Beranda / Thriller / Thirty Days / Jalanan Sepi

Share

Jalanan Sepi

Penulis: Maulana Hani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-24 21:46:14

Nohan merogoh saku pakaiannya, dan tersenyum lebar kala ternyata uang dua lembar yang diberikan sang Ibu ada di sana.

"Aku akan membelinya, dan setelah itu kembali ke sini!" monolognya sembari tersenyum lebar memandangi toko alat tulis di seberang.

Nohan berjalan sembari menyeret tiang penyangga infusnya, susah sebenarnya apalagi jalanannya tak semulus lantai rumah sakit--ada beberapa kerikil kecil yang membuat Nohan harus mengangkat tiang penyangga infusnya.

"Selamat malam, Nak!" seorang satpam menyapa Nohan dengan ramah.

Mendadak Nohan terdiam, wajahnya menjadi datar seketika.

"Malam!" saut Nohan sekenanya.

"Kau hendak pergi kemana, Nak?" tanya satpam rumah sakit itu ramah.

Nohan hanya diam, entahlah ia tahu semua manusia tidak bisa disamaratakan, tapi Nohan sudah terlanjur menanam kebencian pada setiap sosok yang mirip dengannya tanpa ia sadari.

Nohan berdehem pelan, berusaha meredakkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal.

Sungguh, Nohan sebetulnya tak ingin menimpali pertanyaan satpam ini. Tapi bukankah itu tak sopan?

Orang tua harus selalu dihormati, ingat itu Nohan, seburuk apapun dia. Nohan kembali teringat kata-kata ibunya beberapa bulan yang lalu.

Baiklah Nohan harus berpura-pura, ia harus berpura-pura bahwa ia menimpali dengan tulus, padahal tidak sama sekali.

"Aku ingin pergi ke toko alat tulis di seberang," timpal Nohan berusaha seramah mungkin, meski tetap kentara bahwa Nohan agak kaku.

Satpam di hadapan Nohan tersenyum ramah. Oh sungguh Nohan benci senyum lelaki paruhbaya ini, Nohan tidak tahu mengapa ia dengan mudah membenci orang, padahal ia saja tak tahu namanya.

Apa kau mulai membenci semua orang, Nohan? Tiba-tiba saja sebuah suara di hatinya terdengar. Seolah mempertanyakan sikap Nohan, yang sepertinya memang benar-benar menjadi anti sosial.

Nohan hanya diam, benar juga. Mengapa ia jadi begini? Mengapa perkataan Jay dan gengnya malah betulan melekat pada dirinya?

Nohan sungguh bingung.

Tapi sebelum kebingungan itu semakin menjauh, otak Nohan menguasai dirinya. Berkata di dalam kepala Nohan, tentu saja kau wajar membenci orang-orang, Nohan. Mereka terlalu banyak menyakitimu.

Nohan merasa bingung, apa ia harus mengikuti kata hati atau otaknya. Keduanya tidak pernah ada yang mau mengalah, hingga pada akhirnya Nohan terdiam cukup lama.

Sampai akhirnya tepukkan dari satpam di bahunya membuatnya berjingkit.

"Kau baik-baik saja, Nak? Mau kuantar?" tawar satpam itu tulus.

Satpam ini tidak seperti dia, Nohan. Satpam ini berbeda. Kali ini hatinya kembali bersuara, seolah ingin merenggut Nohan agar kembali menjadi dirinya sendiri lagi.

Kali ini otak Nohan tak lagi menyauti seperti biasanya.

"Bagaimana?"

Nohan menggeleng sebagai jawaban, "Tidak, terima kasih! Aku bisa sendiri!" kata Nohan menolak bantuan satpam itu.

Rumah sakit yang ditempati Nohan bukanlah rumah sakit elite, wajar jika pasien nekat sepertinya bisa keluar dengan mudah. Ya rumah sakit ini tak terlalu besar, bangunannya juga sudah tak terlalu terawat.

"Baiklah, Nak! Hati-hati!" pesan satpam barusan tersenyum ramah.

Nohan hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakkan apapun, jangankan mengatakan sesuatu. Nohan bahkan tak membalas senyum pria paruhbaya itu.

Nohan berjalan pelan, ia mengangkat tiang penyangga infusnya, lantaran kerikil memenuhi jalan menuju keluar rumah sakit.

"Tenang, Nohan! Kau bukan ansos, ya bukan!" kata Nohan seolah meyakinian dirinya sendiri, bahwa ia tak seperti apa yang dikatakan oleh Jay dan teman-temannya.

Rumah sakit ini tak memiliki pagar, jadi Nohan bisa keluar tanpa harus meminta bantuan satpam.

Nohan sudah keluar dari area rumah sakit, ia menatap jalanan sepi di hadapannya.

Sangat senyap, dan sepi. Tentu saja jalanan di depan bukanlah jalan raya utama, maka tak usah heran jika senyap dan sepi.

Nohan menyeberang sembari kepalanya menoleh kanan kiri, barang kali ada kendaraan yang melintas. Bukan tidak munkin tiba-tiba ada kendaraan melintas, mengingat ini juga jalanan meski bukan jalan utama.

Usai berhasil menyeberang, senyum di wajah Nohan kembali mengembang sempurna, sesempurna kala ia tersenyum bersama Nasai.

Kini ia berdiri di depan toko alat tulis, menatap deretan benda-benda yang menarik di matanya; gunting kecil, sticky notes, pulpen berbagai warna dan karakter, penghapus, tip-x, dan hal lainnya.

Nohan terdiam menatap deretan benda-benda itu, yang seolah menari-nari di matanya. Entah apa atau bagaimana bisa benda-benda itu seolah menarik di mata Nohan, ia memang tak pernah membeli peralatan sekolah di tempat sebagus ini.

"Tempat ini bagus sekali, ini pertama kalinya aku membeli alat tulis bukan di warung itu!" monolog Nohan dengan mata berbinar senang.

Nohan masih menatap benda-benda itu dibalik etalase, sampai sosok remaja perempuan menyapanya, membuatnya terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Mau beli sesuatu?" sapa remaja perempuan yang sepertinya seumuran dengan Nohan, lantaran bisa Nohan lihat bahwa remaja perempuan di hadapannya punya seragam sama dengannya.

Nohan berdehem pelan berusaha meredakkan keterkejutannya.

"Kau beli atau mau berdiri saja disitu?" tanya si remaja perempuan lagi.

Meski satu sekolah, Nohan tak tahu nama remaja perempuan di hadapannya ini.

"Aku beli! Aku mau beli pulpen," kata Nohan berusaha ramah.

Remaja perempuan itu mengangguk, dan menyodorkan beberapa merk pulpen di meja etalase pada Nohan.

"Kau mau yang mana?"

Nohan segera memilih pulpen yang sekiranya ingin ia beli.

Dan jatuhlah pilihan Nohan pada pulpen hitam, ia mengambil tiga pulpen dan menyodorkan satu lembar uang.

"Kau beli tiga pulpen, dan uangmu seratus ribu? Serius?" tanya si remaja perempuan menatap Nohan tak habis pikir.

Nohan hanya mengangguk, bukankah lebih baik dari pada ia tak membayar pulpen ini?

Remaja perempuan yang tak Nohan ketahui namanya menganggukkan kepala, "Baiklah! Kau tunggu dulu sebentar, aku akan mencari uang kembaliannya ke dalam!" kata si remaja perempuan segera melengang pergi.

Nohan menatap jalanan sembari menunggu uang kembalian.

Hingga empat sosok yang dibencinya datang menyapanya, membuat Nohan membeku seketika.

Mengapa mereka harus kesini, Tuhan? Batin Nohan.

"Hai, Ansos! Sedang apa kau di sini huh?" sapa Jay dengan seringaian di wajahnya.

Jay, Ray, Ren, dan Jio. Keempat manusia itu masih mengenakan seragam sekolah, bahkan masih terlihat rapi, kecuali Jio yang memang sudah sedari pagi tak rapi.

Nohan diam saja, tak berniat meladeni manusia-manusia ini.

Kenapa lama sekali? Batin Nohan sembari melongok ke dalam toko.

Terdengar deheman Ray, "Kau tidak bisa menjawabnya atau bagaimana, Ansos?" tanyanya dengan tajam.

Nohan mendesis, apa mereka tidak lelah menganggu Nohan terus-terusan? Apa mereka tidak punya pekerjaan lain? Apa mereka belum puas setelah melihat Nohan dengan pakaian rumah sakit, dipasangi infus? Mereka belum puas?

Tentu monster makin senang menyiksa saat korbannya makin lemah bukan?

Ren tak banyak bicara, tapi sekalinya memukul itu terasa amat menyakitkan.

Bughh...

Nohan terjatuh, dengan tiang infus yang menimpa kepalanya.

"Bagus, Ren!" bangga Jio tersenyum.

Sementara Jay, dan Ray tak kalah bangga bahkan sampai menatap Nohan seolah mengatakan "Rasakan itu, Ansos!"

Bugh...

Dan lagi, Ren menendang perut Nohan.

Nohan tak tahu apa mungkin ia akan selamat malam ini.

"Singkirkan selang infusnya!" perintah Jay, yang diangguki Ray dan Ren.

Settt...

Terlepaslah selang infus dari tangan Nohan, bahkan seolah menghina Nohan Ray tanpa perasaan menginjak-injak kantong infus itu, membuat cairannya muncrat kemana-mana.

"Kau tahu, Nohan! Hal paling mengerikan bukanlah saat kau berhadapan dengan kami, tapi saat kau berhadapan dengan dirimu sendiri... yang lemah!" tegas Jay dan segera melengang pergi bersama tiga kawannya.

Nohan tergeletak tak berdaya di pinggir jalanan sepi, ia menatap langit yang kini menggelap sepenuhnya.

Langit atau pandangannmu, Nohan?

Bersambung.

***

Terima kasih buat kalian semua yang udah mau baca ceritaku, jangan lupa votenya ya.

Stay healthy and happy.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Thirty Days   Epilog

    Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh

  • Thirty Days   Ten Day

    Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a

  • Thirty Days   Nine Day

    Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya

  • Thirty Days   Akhirnya Kau Lenyap

    Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re

  • Thirty Days   Eight Day

    Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d

  • Thirty Days   Seven Day

    Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status