Share

Jalanan Sepi

Nohan merogoh saku pakaiannya, dan tersenyum lebar kala ternyata uang dua lembar yang diberikan sang Ibu ada di sana.

"Aku akan membelinya, dan setelah itu kembali ke sini!" monolognya sembari tersenyum lebar memandangi toko alat tulis di seberang.

Nohan berjalan sembari menyeret tiang penyangga infusnya, susah sebenarnya apalagi jalanannya tak semulus lantai rumah sakit--ada beberapa kerikil kecil yang membuat Nohan harus mengangkat tiang penyangga infusnya.

"Selamat malam, Nak!" seorang satpam menyapa Nohan dengan ramah.

Mendadak Nohan terdiam, wajahnya menjadi datar seketika.

"Malam!" saut Nohan sekenanya.

"Kau hendak pergi kemana, Nak?" tanya satpam rumah sakit itu ramah.

Nohan hanya diam, entahlah ia tahu semua manusia tidak bisa disamaratakan, tapi Nohan sudah terlanjur menanam kebencian pada setiap sosok yang mirip dengannya tanpa ia sadari.

Nohan berdehem pelan, berusaha meredakkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal.

Sungguh, Nohan sebetulnya tak ingin menimpali pertanyaan satpam ini. Tapi bukankah itu tak sopan?

Orang tua harus selalu dihormati, ingat itu Nohan, seburuk apapun dia. Nohan kembali teringat kata-kata ibunya beberapa bulan yang lalu.

Baiklah Nohan harus berpura-pura, ia harus berpura-pura bahwa ia menimpali dengan tulus, padahal tidak sama sekali.

"Aku ingin pergi ke toko alat tulis di seberang," timpal Nohan berusaha seramah mungkin, meski tetap kentara bahwa Nohan agak kaku.

Satpam di hadapan Nohan tersenyum ramah. Oh sungguh Nohan benci senyum lelaki paruhbaya ini, Nohan tidak tahu mengapa ia dengan mudah membenci orang, padahal ia saja tak tahu namanya.

Apa kau mulai membenci semua orang, Nohan? Tiba-tiba saja sebuah suara di hatinya terdengar. Seolah mempertanyakan sikap Nohan, yang sepertinya memang benar-benar menjadi anti sosial.

Nohan hanya diam, benar juga. Mengapa ia jadi begini? Mengapa perkataan Jay dan gengnya malah betulan melekat pada dirinya?

Nohan sungguh bingung.

Tapi sebelum kebingungan itu semakin menjauh, otak Nohan menguasai dirinya. Berkata di dalam kepala Nohan, tentu saja kau wajar membenci orang-orang, Nohan. Mereka terlalu banyak menyakitimu.

Nohan merasa bingung, apa ia harus mengikuti kata hati atau otaknya. Keduanya tidak pernah ada yang mau mengalah, hingga pada akhirnya Nohan terdiam cukup lama.

Sampai akhirnya tepukkan dari satpam di bahunya membuatnya berjingkit.

"Kau baik-baik saja, Nak? Mau kuantar?" tawar satpam itu tulus.

Satpam ini tidak seperti dia, Nohan. Satpam ini berbeda. Kali ini hatinya kembali bersuara, seolah ingin merenggut Nohan agar kembali menjadi dirinya sendiri lagi.

Kali ini otak Nohan tak lagi menyauti seperti biasanya.

"Bagaimana?"

Nohan menggeleng sebagai jawaban, "Tidak, terima kasih! Aku bisa sendiri!" kata Nohan menolak bantuan satpam itu.

Rumah sakit yang ditempati Nohan bukanlah rumah sakit elite, wajar jika pasien nekat sepertinya bisa keluar dengan mudah. Ya rumah sakit ini tak terlalu besar, bangunannya juga sudah tak terlalu terawat.

"Baiklah, Nak! Hati-hati!" pesan satpam barusan tersenyum ramah.

Nohan hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakkan apapun, jangankan mengatakan sesuatu. Nohan bahkan tak membalas senyum pria paruhbaya itu.

Nohan berjalan pelan, ia mengangkat tiang penyangga infusnya, lantaran kerikil memenuhi jalan menuju keluar rumah sakit.

"Tenang, Nohan! Kau bukan ansos, ya bukan!" kata Nohan seolah meyakinian dirinya sendiri, bahwa ia tak seperti apa yang dikatakan oleh Jay dan teman-temannya.

Rumah sakit ini tak memiliki pagar, jadi Nohan bisa keluar tanpa harus meminta bantuan satpam.

Nohan sudah keluar dari area rumah sakit, ia menatap jalanan sepi di hadapannya.

Sangat senyap, dan sepi. Tentu saja jalanan di depan bukanlah jalan raya utama, maka tak usah heran jika senyap dan sepi.

Nohan menyeberang sembari kepalanya menoleh kanan kiri, barang kali ada kendaraan yang melintas. Bukan tidak munkin tiba-tiba ada kendaraan melintas, mengingat ini juga jalanan meski bukan jalan utama.

Usai berhasil menyeberang, senyum di wajah Nohan kembali mengembang sempurna, sesempurna kala ia tersenyum bersama Nasai.

Kini ia berdiri di depan toko alat tulis, menatap deretan benda-benda yang menarik di matanya; gunting kecil, sticky notes, pulpen berbagai warna dan karakter, penghapus, tip-x, dan hal lainnya.

Nohan terdiam menatap deretan benda-benda itu, yang seolah menari-nari di matanya. Entah apa atau bagaimana bisa benda-benda itu seolah menarik di mata Nohan, ia memang tak pernah membeli peralatan sekolah di tempat sebagus ini.

"Tempat ini bagus sekali, ini pertama kalinya aku membeli alat tulis bukan di warung itu!" monolog Nohan dengan mata berbinar senang.

Nohan masih menatap benda-benda itu dibalik etalase, sampai sosok remaja perempuan menyapanya, membuatnya terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Mau beli sesuatu?" sapa remaja perempuan yang sepertinya seumuran dengan Nohan, lantaran bisa Nohan lihat bahwa remaja perempuan di hadapannya punya seragam sama dengannya.

Nohan berdehem pelan berusaha meredakkan keterkejutannya.

"Kau beli atau mau berdiri saja disitu?" tanya si remaja perempuan lagi.

Meski satu sekolah, Nohan tak tahu nama remaja perempuan di hadapannya ini.

"Aku beli! Aku mau beli pulpen," kata Nohan berusaha ramah.

Remaja perempuan itu mengangguk, dan menyodorkan beberapa merk pulpen di meja etalase pada Nohan.

"Kau mau yang mana?"

Nohan segera memilih pulpen yang sekiranya ingin ia beli.

Dan jatuhlah pilihan Nohan pada pulpen hitam, ia mengambil tiga pulpen dan menyodorkan satu lembar uang.

"Kau beli tiga pulpen, dan uangmu seratus ribu? Serius?" tanya si remaja perempuan menatap Nohan tak habis pikir.

Nohan hanya mengangguk, bukankah lebih baik dari pada ia tak membayar pulpen ini?

Remaja perempuan yang tak Nohan ketahui namanya menganggukkan kepala, "Baiklah! Kau tunggu dulu sebentar, aku akan mencari uang kembaliannya ke dalam!" kata si remaja perempuan segera melengang pergi.

Nohan menatap jalanan sembari menunggu uang kembalian.

Hingga empat sosok yang dibencinya datang menyapanya, membuat Nohan membeku seketika.

Mengapa mereka harus kesini, Tuhan? Batin Nohan.

"Hai, Ansos! Sedang apa kau di sini huh?" sapa Jay dengan seringaian di wajahnya.

Jay, Ray, Ren, dan Jio. Keempat manusia itu masih mengenakan seragam sekolah, bahkan masih terlihat rapi, kecuali Jio yang memang sudah sedari pagi tak rapi.

Nohan diam saja, tak berniat meladeni manusia-manusia ini.

Kenapa lama sekali? Batin Nohan sembari melongok ke dalam toko.

Terdengar deheman Ray, "Kau tidak bisa menjawabnya atau bagaimana, Ansos?" tanyanya dengan tajam.

Nohan mendesis, apa mereka tidak lelah menganggu Nohan terus-terusan? Apa mereka tidak punya pekerjaan lain? Apa mereka belum puas setelah melihat Nohan dengan pakaian rumah sakit, dipasangi infus? Mereka belum puas?

Tentu monster makin senang menyiksa saat korbannya makin lemah bukan?

Ren tak banyak bicara, tapi sekalinya memukul itu terasa amat menyakitkan.

Bughh...

Nohan terjatuh, dengan tiang infus yang menimpa kepalanya.

"Bagus, Ren!" bangga Jio tersenyum.

Sementara Jay, dan Ray tak kalah bangga bahkan sampai menatap Nohan seolah mengatakan "Rasakan itu, Ansos!"

Bugh...

Dan lagi, Ren menendang perut Nohan.

Nohan tak tahu apa mungkin ia akan selamat malam ini.

"Singkirkan selang infusnya!" perintah Jay, yang diangguki Ray dan Ren.

Settt...

Terlepaslah selang infus dari tangan Nohan, bahkan seolah menghina Nohan Ray tanpa perasaan menginjak-injak kantong infus itu, membuat cairannya muncrat kemana-mana.

"Kau tahu, Nohan! Hal paling mengerikan bukanlah saat kau berhadapan dengan kami, tapi saat kau berhadapan dengan dirimu sendiri... yang lemah!" tegas Jay dan segera melengang pergi bersama tiga kawannya.

Nohan tergeletak tak berdaya di pinggir jalanan sepi, ia menatap langit yang kini menggelap sepenuhnya.

Langit atau pandangannmu, Nohan?

Bersambung.

***

Terima kasih buat kalian semua yang udah mau baca ceritaku, jangan lupa votenya ya.

Stay healthy and happy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status