Share

Teman?

Tepat pukul delapan malam, Nasai dipanggil oleh ayahnya untuk kembali ke ruang rawat. 

Sungguh Nohan iri padanya, Nohan ingin punya Ayah juga. Apalagi melihat bagaimana baiknya Ayah Nasai. 

Nohan masih duduk di bangku taman, ia menatap sekeliling yang mulai sunyi. 

Ya tadi Nohan melihat ruang rawat yang tak jauh dari taman, dipenuhi siswa-siswa berseragam SMA. Sepertinya mereka menjenguk salah satu teman mereka. 

Menyenangkan ya punya teman, ketika kau sakit mereka akan menjengukmu, ketika kau tidak berada di sekitar mereka, mereka akan mencarimu, menanyakan kabarmu. 

Ya andai saja teman Nohan seperti itu. Nohan pernah punya seseorang yang disebut teman, tepat sebelum seseorang itu menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Yang nyatanya tak jauh beda dari Jay dan gengnya. 

Nyatanya Nohan tidak pernah benar-benar punya teman. 

Nohan kini terkekeh mengingat kembali masa-masa mengerikan itu, meski tak jauh lebih mengerikan dari masa sekarang. 

Selain teman, Nohan juga merasa ia iri pada semua anak yang memiliki orang tua. Ia iri tanpa diketahui orang-orang, ia iri melihat bagaimana hubungan anak dan orang tua terjalin dengan baik di luar sana. 

Sementara Nohan? 

Ya tentu saja Nohan bahkan meragukan hubungannya dengan sang Ibu. 

Ibunya tak percaya padanya, tak mau memahaminya. Dan ya Nohan lagi-lagi harus mengorbankan dirinya, membiarkan masa mudanya penuh kesialan, dan kepahitan. 

Andai saja. 

Kata itu selalu menemani Nohan bahkan dalam mimpinya sekalipun. 

Andai saja ayahku masih ada, andai saja ayah dan ibu tidak berpisah dan ayah tidak meninggal, andai saja ayahku tidak pernah menyentuh benda haram itu, dan menyebabkannya terkena HIV. Batin Nohan menundukkan kepalanya. 

Nohan sudah tak ingin menceritakan masalahnya pada siapapun, baginya tak ada yang mau percaya atau mendengarkan ceritanya. 

Ia benci hidupnya, bahkan jika Tuhan mengabulkan permintaannya hari ini. Nohan pasti akan berdoa agar hidupnya segera berakhir, agar penderitaannya juga ikut berakhir. 

Tapi Nohan tidak pernah tahu, bahwa Tuhan tidak suka pada hamba-Nya yang berdoa agar hidupnya segera berakhir. Tuhan tidak senang akan hal itu. 

Sayangnya Nohan tidak tahu. 

"Nak! Kau tidak kembali ke ruang rawatmu?" 

Nohan terdiam, dan menoleh ke belakang. Menemukkan sosok lelaki yang amat ia kenali, dan tanpa kata Nohan segera bangkit dari bangku taman itu. 

Bergegaslah Nohan meninggalkan taman, dan seseorang yang menatap punggungnya merasa aneh. 

"Aku tidak mau berbicara pada orang bermuka dua sepertinya!" monolog Nohan sembari berjalan cepat, ia juga menyeret tiang penggantung kantung cairan infusnya dengan tergesa. 

Nohan segera masuk ke ruang rawatnya, ia kembali berbaring dengan tenang. 

"Kau baik-baik saja, Nohan?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke ruang rawat Nohan. 

Nohan tak percaya, itu Nasai. 

Ya Nasai datang menemuinya. Tadi saat di taman Nohan menceritakan bagaimana ia ingin dijenguk saat sakit, seperti teman-temannya. Tapi karena ia tak punya teman, tentu saja tak ada yang mau menjenguknya. 

Dan Nasai menjenguknya. Apakah Nasai benar-benar akan jadi temannya? 

Nohan tersenyum lebar, lengkungan di bibirnya itu benar-benar sempurna dan penuh ketulusan. 

"Aku baik-baik saja, Nasai! Terima kasih sudah datang," saut Nohan tersenyum, menatap Nasai yang duduk di kursi rodanya. 

Nasai menganggukkan kepalanya, ia mendekat pada Nohan. 

"Aku punya sesuatu untukmu, Nohan!" kata Nasai sembari menyodorkan sebuah buku bersampul kertas hitam. Bukunya cukup tebal. 

Nohan terdiam, tak paham maksud Nasai memberinya buku. 

"Untukmu! Kau bilang tak ada yang mau mendengarkanmu bercerita kan?" jelas Nasai menyodorkannya pada Nohan, "Kau bisa menulisnya di sini, Nohan!" lanjut Nasai tersenyum ramah. 

Nohan tanpa ragu menerima buku itu, dan menatap bukunya dengan perasaan senang. 

Akhirnya aku punya teman... lagi. Batin Nohan agak teringat masa lalunya. Tetapi segera ditepisnya masa lalu itu. 

"Terima kasih! Terima kasih juga sudah mau berteman denganku, Nasai!" kata Nohan tersenyum amat lebar. 

"Sama-sama, Nohan! Kalau begitu aku akan kembali ke ruang rawatku, terima kasih juga sudah mau berteman denganku," saut Nasai tersenyum, dan usai pamit pada Nohan. Ia benar-benar pergi dari ruang rawat Nohan. 

Kini Nohan sendirian lagi, tetapi tak lagi dengan wajah sedih ataupun murung. 

Kini wajah Nohan sedikit cerah, senyumnya juga masih mengembang. 

"Buku apa ini?" monolog Nohan sembari membolak-balikkan buku bersampul kertas warna hitam di tangannya. 

Nohan membuka halaman pertama, dan kosong. Halaman kedua, ketiga, dan seterusnya yang ternyata memang benar kata Nasai, bahwa buku ini bisa Nohan gunakan untuk menuliskan unek-uneknya. Lantaran semua kertasnya kosong. 

"Jadi ini semacam buku harian ya?" tanya pada diri sendiri, dan tersenyum makin lebar. 

Nohan ingin menulis sesuatu, tapi ia tak punya pulpen. 

Atau mungkin Nohan bisa meminjamnya pada resepsionis, atau perawat. Ya sepertinya Nohan harus meminjamnya, ia ingin menuliskan kebahagiaannya hari ini di buku harian, yang diberikan Nasai padanya. 

Nohan bergegas bangkit dari posisi berbaringnya, ia kembali berjalan sembari menyeret tiang penggantung cairan infusnya. Sedikit merepotkan, tapi apa boleh buat. 

Ia berjalan menjauhi ruang rawatnya, pokoknya kalau nanti bertemu perawat, Nohan akan meminjam pulpen. Jika tidak bertemu, Nohan mungkin akan menuju ke meja resepsionis dan meminjam pulpennya di sana. 

Nohan berjalan pelan melewati lorong rumah sakit, sedari tadi ia berjalan tak ada satupun perawat yang lewat. Ya mungkin Nohan memang harus menuju meja resepsionis. 

Dan sayangnya di meja resepsionis juga kosong, tak ada siapapun kecuali komputer yang menyala, Nohan bisa melihat cahaya layar komputer dari samping. 

Nohan menghela napas, ia harus dapat pulpennya. Kalau tidak ia jadi tak bisa tidur nanti. 

Nohan terdiam, sampai ia memandang ke arah jalanan yang lengang. Dan di ujung sana ada toko alat tulis.

Tidak mungkin kan di toko itu tak ada pulpen? Ya kecuali stoknya habis, itu mungkin saja terjadi. 

Nohan tersenyum lebar, ia akan ke sana saja. Ia akan membeli pulpen di toko seberang sana. 

Tenang saja, ibu Nohan sudah meninggalkan dua lembar uang jika Nohan ingin membeli sesuatu di kantin misalnya. 

Bersambung. 

***

Makasih yang udah mampir, dukung aku dengan cara vote cerita ini ya. Terima kasih. 

Stay healthy and happy gengs.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status