Nohan tidak pingsan, nyatanya memang langit yang menggelap. Mengusir rembulan dan bintang-bintang, yang sebelumnya menggantung di sana.
Jeduarr...
Suara kilat menyambar, cahayanya menyerang terang tepat di hadapan Nohan.
"Lelaki harus kuat apapun yang terjadi!" mendadak Nohan teringat kata-kata Mr. Henry, guru olahraga nyentrik di sekolahnya.
Kau lelaki atau bukan, Nohan. Ayo bangun, kau harus bangun. Dan buang saja pulpen-pulpen itu, kau tak membutuhkannya, tinggalkan saja selembar uang itu. Lupakan semuanya, Nohan. Berlarilah, tinggalkan dunia mengerikan ini, Nohan. Suara di kepala Nohan kembali terdengar, otak Nohan seolah memberikan ide agar Nohan terbebas dari kelamnya hidup.
Bangun, Nohan. Kembalilah ke rumah sakit, tidurlah. Hari sudah semakin larut. Hati Nohan bersuara, seolah mengajaknya untuk tertidur. Dan bermimpi, yang meski dalam mimpipun Nohan tak dapat ketenangan. Bayangan masa lalu itu melebur menjadi satu kisah bersama kejadian tahun-tahun ini.
Semua mimpi Nohan di malam-malam ia tumbuh, tak pernah indah. Nohan bahkan terkadang takut untuk menutup matanya, dan ketika terbangun ia sadar. Bukan hanya hidupnya yang mengerikan, bahkan dalam mimpi pun tak jauh beda.
Nohan masih berbaring telentang, matanya menangkap kantong infus yang sudah kempes, selang infusnya yang telah putus. Hanya tersisa tiangnya saja.
Mengerikan sekali dunia ini. Sepertinya Mr. Henry benar tentang kata-kata yang satu ini, "Dunia itu bukan tempat bersenang-senang, wajar jika beberapa manusia mengalami hari-hari mengerikan sepanjang hidupnya!" ya Nohan masih ingat dengan jelas kata-kata itu.
Tapi mengapa salah satu manusia itu harus dirinya? Mengapa, Tuhan?
"Hei! Kau tidak mau uangmu?"
Nohan yang mendengar suara pelan-pelan bangkit, ia sudah berdiri susah payah.
Nohan hanya memandangi remaja perempuan itu, dan kemudian memilih berlari menjauh dari tempat itu.
"HEI TUNGGU!"
Teriakan remaja perempuan itu tak memengaruhi Nohan untuk berhenti berlari.
Benar, dirimu adalah pilihanmu, Nohan.
Nohan memutuskan pergi dari rumah sakit, ia akan pergi jauh. Ia benci dunia ini, sangat benci.
Nohan berlari sembari air matanya menetes deras, dan ia berhenti di jembatan.
Seluruh emosi kini terkumpul menjadi satu, ia kesal, ia juga marah, ia juga kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa melawan iblis berjubah manusia itu? Mengapa Nohan tidak bisa melindungi dirinya sendiri? Mengapa, Tuhan?
Nohan mencengkeram pagar pembatas jembatan, ia menatap ke sungai yang volume airnya penuh. Apalagi sebentar lagi hujan turun, mungkin akan meluap.
Kau bisa saja lompat, Nohan. Tapi apa setelahnya kau akan diterima oleh Tuhan? Suara hati Nohan kini menggema, membuat Nohan terdiam, cengkeramannya pada pagar pembatas melemah.
Nohan, tidakkah kau merasa hidupmu sudah kacau? Tidakkah kau ingin berhenti? Tidakkah kau ingin melupakan semua penderitaan ini? Kau tidak bersalah, Nohan. Merekalah yang bersalah jika kau lompat, Tuhan tahu itu. Kini giliran otak Nohan yang menguasai, membuat kepalanya pusing sekarang.
Hidup, dan mati setiap manusia ada di tangan Tuhan. Dan setiap manusia yang hidup, tidak pernah berhak mengakhiri hidupnya sendiri.
"Memangnya mengapa jika aku lompat? Jika aku mati apa ada yang peduli?" monolog Nohan dengan tawa mirisnya, "SEMUA ORANG TAK ADA YANG PEDULI PADAKU! TAK ADAAA!" lanjutnya berteriak menggelegar.
Dan tepat saat Nohan akan memanjat pagar pembatas itu, hujan deras turun. Mengguyur tanah dengan bersemangatnya, dan detik itu juga emosi, kekesalan, dan kebencian Nohan seolah ikut tersapu bersama butiran-butiran air, dan angin sepoi dingin yang menyapa.
Nohan seolah tersadarkan, ia terdiam dan jatuh terduduk di depan jembatan itu. Ia menangis diiringi nada hujan, dan petir yang menyambar seolah turut berduka atas kenahasan yang menimpa Nohan malam ini.
"Aku tidak tahu hidupku akan semengerikan ini, Tuhan! Aku tidak tahu, tapi kenapa harus aku? Kenapa, Tuhan?"
Nohan mendongak menatap langit yang gelap gulita, tak dihiraukannya air hujan yang mulai masuk ke matanya.
Nohan masih mendongak saat suara klakson mobil membuatnya berdiri seketika.
Tinnn...
Tinnn...
Lampu mobil berwarna silver itu menyorot Nohan, membuat matanya menjadi silau.
Siapa? Apa dia juga ingin memukulku? Ingin menghinaku? Batin Nohan bertanya-tanya.
Jika kali ini benar, benar bahwa pemilik mobil ini ingin memukulnya. Maka Nohan bersumpah setelahnya ia akan melompat ke sungai, ia akan memastikan dirinya tak pernah lagi ada di dunia.
Nohan masih menatap mobil berwarna silver yang berhenti di pinggir jembatan--di dekatnya.
Sampai sosok lelaki dengan payung keluar dari sana.
"Nohan? Kau kah itu?"
Nohan terdiam, dari suaranya ia mengenalnya. Itu Mr. Henry, si guru olahraga nyentrik di sekolahnya.
"Nohan? Wah benar ternyata kau, kenapa kau di sini, Nohan?" tanya sosok lelaki yang ternyata adalah Mr. Henry, si guru muda yang nyentrik.
Nohan terdiam, lidahnya terasa kelu untuk sekadar menjawab pertanyaan Mr. Henry.
Mr. Henry mendekat, dan terkejut kala menyadari pipi Nohan lebam sampai membiru. Ia tahu pukulan itu baru, terlihat warnanya berbeda dari lebam lainnya di wajah Nohan.
Dan tunggu pakaian rumah sakit? Mr. Henry geleng kepala. Entah apa yang dilakukan muridnya sampai nekat ke jembatan dengan mengenakan pakaian pasien rumah sakit.
Apa ia kabur dari rumah sakit? Tapi kenapa? Batin Mr. Henry bertanya-tanya.
"Kau dipukul oleh seseorang, Nohan?" tanya Mr. Henry lagi.
Nohan akhirnya bisa menguasai dirinya kembali, ia menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Lalu? Kau terjatuh atau bagaimana?" tanya Mr. Henry lagi, ia benar-benar ingin tahu apa penyebab murid pendiam ini sering kali punya wajah lebam membiru, bahkan saat kelas sepuluh, Mr. Henry pernah melihat rambut Nohan dipenuhi permen karet. Sungguh Mr. Henry ingin bertanya, tapi Nohan seolah menghindarinya, berusaha mengelak tiap kali ditanya apa penyebabnya.
Tidak mungkin kan seseorang menempelkan permen karet ke rambutnya sendiri?
"Aku terjatuh, Mr. Henry!" balas Nohan pada akhirnya.
Bohong, tentu saja Nohan berbohong. Ia tahu Mr. Henry atau siapapun itu takkan percaya padanya, bahwa yang menyebabkannya begini adalah Jay dan teman-temannya.
Keduanya berbicara dengan nada yang keras, mengingat hujan turun dengan derasnya.
"Ayo pulang, Nohan! Akan kuantar, kau!" kata Mr. Henry mengajak Nohan.
Pada akhirnya Nohan menerima ajakkan Mr. Henry.
"Kau bisa ganti pakaianmu, Nohan!" suruh Mr. Henry pada Nohan yang duduk di bangku belakang, "Akh... baiklah tidak usah! Kau pakai saja jaket itu! Lagipun aku tak bawa baju lainnya," lanjut Mr. Henry yang hanya dianggukki Nohan.
Nohan memakai jaket tebal berwarna hitam milik Mr. Henry. Nohan merasa baru kali ini ada yang peduli padanya, ada yang tulus menolongnya. Ya termasuk Nasai sebetulnya.
"Nohan! Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi sepertinya kau mengalami hari yang berat!" kata Mr. Henry setelah cukup lama suasana di mobil hening, "Ada banyak hal yang tak tertulis di dunia ini, tapi kau harus mengikutinya! Salah satunya adalah lelaki tidak boleh menangis meski saat dunianya hancur!" lanjut Mr. Henry, di bangku belakang Nohan diam mendengarkan.
"Itu memang tak tertulis, tapi kebanyakan masyarakat dunia merasa hal itu seolah menunjukkan seberapa tangguhnya laki-laki bukan? Kau pernah dengar saat kecil tidak? Dulu aku pernah mendengarnya, begini, kau kan anak laki-laki jadi tak boleh menangis, masa laki-laki menangis. Kau pernah dengar hal seperti itu, Nohan?"
Nohan menganggukkan kepalanya, ia bahkan mendengarnya untuk dirinya sendiri. Bukan untuk orang lain.
Mr. Henry melanjutkan kembali kalimatnya, "Kau tahu Nohan itulah penyebab mengapa di rumah sakit jiwa kebanyakan penghuninya lelaki, karena laki-laki harus menahan lukanya, harus menahan kekecewaannya, harus menahan air matanya yang bahkan tak akan menghancurkan dunia meski itu menetes!"
"Seolah hanya perempuan saja yang boleh menangis, aku tentu saja tak menyalahkan para perempuan. Hanya saja terasa menyakitkan bukan saat duniamu hancur, kau ingin menangis tapi tak bisa. Kau ingin menangis sekeras-kerasnya tapi menunggu saat-saat tak ada orang, itulah alasannya, Nohan. Alasan banyaknya penghuni rumah sakit jiwa didominasi kaum laki-laki!"
"Aku tahu harimu berat, maka menangislah! Aku tidak akan mengejekmu hanya karena kau menangis," lanjut Mr. Henry menatap Nohan lewat kaca dash board, "Meski kau menangis, kau akan tetap jadi laki-laki! Jadi jangan takut untuk menangis," katanya lagi sembari tersenyum tulus, yang hanya dianggukki Nohan.
"Jika aku menyerah akan hidupku apa itu juga tidak boleh, Mr. Henry?"
Bersambung.
***
Terima kasih yang udah mampir, seneng banget udah sampek bab ini. Dukung aku dengan vote cerita ini ya.
Stay healthy and happy.
Pagi ini Nohan terbangun di rumah sakit lagi, semalam Mr. Henry langsung mengantarnya kembali ke rumah sakit. Nohan terdiam, mengamati sekeliling. Dan tatapannya terjatuh di tangan kirinya yang kembali dililit selang infus, mendadak Nohan teringat kejadian semalam. Saat dengan tak punya hatinya, Ray menginjak-injak kantung infusnya hingga isinya muncrat kemana-mana. Ia benci mengingat hal mengerikan itu, tetapi tentu saja Nohan tak bisa melupakannya begitu saja. Nohan mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan kepalan di tangannya melemah. Saat tatapannya jatuh ke meja sebelah brankar, di mana tiga pulpen tergeletak di atas buku harian bersampul hitam--yang diberikan Nasai padanya. Nohan tak tersenyum, wajahnya lempeng saja. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, dan tangannya berusaha menggapai buku dan juga pulpen. "Aku tidak tahu kalau kau semalam pergi dari sini, Nohan! Kukira kau tertidur lantaran ruang rawatmu terlihat sepi dan senyap," suara seseorang di depan pintu membuat Nohan
Nohan diam saja, ia tahu siapa yang memanggilnya. Tentu saja suara keras bernada menghina itu milik Jay si ketua geng perundung. Nohan hanya diam, ia tak berniat menyauti atau sekadar melihat wajah Jay. "Si ansos ini pasti merasa senang sekarang!" ini suara mengejek milik Jio. Entah mengapa diantara keempat orang yang merundungnya, Nohan paling membenci Jio. Tapi tentu bukan berarti Nohan membenci Jay, Ray, dan Ren sedikit. Ia membenci mereka dengan kadar yang sudah melebihi kebenciannya. Nohan benci mereka berempat, ia juga benci semua yang hanya menonton ketika ia dirundung, ia benci semua hal yang ada di dunia ini. Bahkan mungkin tanpa sadar Nohan juga membenci dirinya sendiri. Sungguh, Nohan yang malang. "Semuanya boleh pulang! Hari ini guru-guru rapat!" suara Jay kembali terdengar, membuat kelas menjadi ramai seketika. Siswa-siswa segera merapikan buku-buku mereka, memasukkannya ke tas dengan terburu-buru. "DIAM! DAN SEGERALAH KELUAR!" teriak Ren menggelegar, semuanya t
"Kau belum pulang, Nak?" tanya seseorang barusan, yang ternyata adalah Mr. Jusuf. Nohan hanya menundukkan kepalanya. Kemudian Mr. Jusuf terbelalak, menyadari Nohan basah kuyup, dan aroma tak sedap mengitari muridnya itu. "Sesuatu terjadi padamu, Nak?" tanya Mr. Jusuf khawatir. Nohan berdehem pelan, dan berusaha tersenyum walau sebetulnya hatinya benar-benar tak ingin tersenyum. "Tadi aku tak sengaja menyenggol ember yang berisi air untuk mengepel, Mr. Jusuf. Dan ya akhirnya aku terpeleset airnya mengguyurku," jelas Nohan berusaha berbohong sebaik mungkin. Satpam yang berdiri di belakang Nohan menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan Mr. Jusuf yang juga menatapnya. Mr. Jusuf pun akhirnya percaya. "Nohan! Karena kau sudah basah kuyup, kau boleh pulang! Tadinya aku hendak berbicara denganmu, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat," kata Mr. Jusuf tersenyum ramah penuh perhatian. Nohan menganggukkan kepala sebagai respon. "Kalau begitu aku permisi! Dan selamat pulang, Nak! Hati
Tuhan, apa aku bahkan tidak boleh dikenal dengan namaku? Namaku Nohan bukan Ansos ataupun pecundang. Batin Nohan mendesis, menyadari tatapan menyeringai tiga remaja lelaki di hadapannya. "Ya Tuhan, sepertinya menyenangkan mengajaknya bermain!" saut salah satu dari remaja lelaki barusan, yang ini rambutnya cepak rapi, hanya saja pakaiannya sudah acak-acakkan. Sudah keluar dari celananya. Kemejanya bahkan sudah terlepas kancingnya, menampilkan kaos hitam di dalamnya.Berani-beraninya kau membawa nama Tuhan, disaat kau akan menyakiti makhluk ciptaan-Nya. Batin Nohan mendesis. "Kau tidak lihat dia basah kuyup begitu? Kasihan kalau kita mengajaknya bermain, eh apa tadi di luar hujan?" saut sosok dengan hoodie abu-abu, rambutnya sudah agak menutupi telinga. Ketiga manusia itu tertawa terbahak-bahak, seolah menertawakan Nohan dan kemalangannya adalah suatu hal yang membahagiakan. "Mungkin saja! Bukankah setiap hari adalah hujan baginya?" saut sosok dengan jaket hitam, rambutnya cepak bah
Nohan berjalan mendekat ke arah sosok kecil menggemaskan itu, ia tersenyum lebar. "Kau baik-baik saja, kucing kecil?" tanya Nohan yang tentu tak dijawab oleh sosok kecil, yang ternyata adalah seekor anak kucing berwarna abu-abu. Nohan tersenyum makin lebar, dan tanpa menunggu lama tangannya terulur untuk memungut anak kucing itu. Ia mengambilnya lalu menggendongnya penuh sayang. Usai memungut anak kucing barusan, Nohan segera menyingkir dari jalan. Membiarkan bus super itu melaju kembali. "Kau aman sekarang, kucing kecil!" kata Nohan tersenyum tulus, yang berikutnya seolah menyauti Nohan dengan menjilat lengan Nohan. Nohan terkekeh merasa geli di tangan akibat lidah si anak kucing. "Kau benar-benar menggemaskan, aku akan membawamu pulang," kata Nohan sembari menatap anak kucing di gendongannya. Dan berikutnya Nohan tersadar bahwa dirinya harus segera pulang, membersihkan diri dari aroma got ini, dan juga mengompre
Mengapa tempat ini begitu mengerikan? Sangat gelap, dan beberapa benda-benda tajam terpampang dengan jelas di meja. Nohan merasa bulu kuduknya meremang seketika, ia melihat berbagai benda tajam. Ada parang, celurit, roda gerigi, dan pedang? Sungguh itu pedang? Nohan mendekat ke arah meja kayu yang dipenuhi benda tajam itu, ia melihat betapa tajam benda-benda itu; terlihat begitu mengilap seperti sering kali diasah. Nohan terdiam, ia bahkan mendadak lupa apa tujuannya masuk ke gudang. Cuitt...Cuitt...Nohan terkesiap, ia tahu itu suara apa--tikus penghuni gudang ini pastinya. Bukkk...Suara cicitan tikus berhenti, tepat ketika suara benda terjatuh muncul. Nohan segera membuka jendela gudang, setidaknya agar ia bisa melihat benda apa yang terjatuh barusan. Nohan menoleh
Pagi berikutnya Nohan sudah bersiap untuk berangkat sekolah, ia kini tengah sarapan ditemani anak kucing abu-abu--yang belum ia beri nama. Pagi ini seperti biasa--roti sisa kemarin dan susu cair yang sebentar lagi kadaluarsa. Akh... Nohan bahkan sudah tak takut kalau-kalau ia akan keracunan. Ia sudah terlampau sering mengonsumsinya, dan selama ini ia baik-baik saja. Jadi sepertinya sebelum susu itu kadaluarsa tepat di tanggal dan harinya, maka Nohan harus buru-buru menghabiskannya. "Aku akan memberimu nama Uba! Kau suka nama itu?" tanya Nohan pada kucing kecil yang tengah meminum susu cair di piring kecil semalam. Entah mengapa tiba-tiba saja Nohan terpikir untuk memberi nama, pada si anak kucing menggemaskan ini. Tadinya jika ibunya melihat anak kucing ini, Nohan sudah bersiap akan mengembalikannya ke tempat semula; di sekitar jalanan. Tapi ternyata ibunya melihatnya, dan biasa saja. Itu artinya sang Ibu mengizin
Jay mendekati Jio, kemudian membisikkan sesuatu yang Nohan tak tahu. Sementara itu Ray terlihat menyeringai lebar, pun dengan Ren yang wajahnya kini terlihat amat mengerikan. "Baiklah! Kami pergi dulu, Ansos!" Dan detik itu juga keempat monster berjubah manusia itu melengang keluar kelas. Kini kelas benar-benar kosong, menyisakkan Nohan dengan perasaan jengkel dan kecewa pada dirinya sendiri. Nohan tentu ingin melawan, tapi percuma Nohan tak akan mungkin menang melawan empat orang sekaligus. Ditambah Ren adalah atlet taekwondo kebanggaan sekolah. Tentu Nohan pasti akan babak belur, sebelum mampu memukul salah satu dari mereka. Nohan mengusap hidungnya, kini cairan kental berwarna merah sepenuhnya terlihat di tangan kanannya. Nohan tertawa, ia tertawa miris memandangi tangannya yang dipenuhi darah dari--hidungnya. Nohan kira darah di hidungnya akan berhenti keluar, nyatanya tidak. Darah itu bahkan menetes ke meja. "Aku bahkan tidak punya tisu!" monolog Nohan merasa frustrasi.