“Apa otakmu sudah hilang? Bisa-bisanya kau mengatakan kalau aku adalah calon istrimu!” marah Raya ketika mereka sedang berada di perjalanan pulang.
Nafas gadis itu terdengar memburu. Dadanya naik turun menandakan ia tengah emosi. Matanya menatap ke jendela. Ia kesal dengan sikap Edard yang seenaknya. Bagaimana bisa lelaki itu mengatakan kalau ia adalah calon istrinya?
Menjadi istri? Itu bukanlah keinginan Raya. Dalam kamus hidupnya, ia tidak pernah menginginkan status istri. Ia hanya ingin hidup dengan dirinya sendiri. Hidup bebas tanpa ikatan adalah impian Raya sejak dulu. Ia tidak mau membuang waktu berharganya hanya karena urusan percintaan. Ia tidak peduli dengan tanggapan orang lain, yang ia butuhkan adalah kebahagiaan untuk dirinya.
Edard membuang nafas pelan. Mata lelaki itu masih fokus menatap ke jalan. Ia tahu ini kalau Raya kesal padanya. Ia juga menyadari itu. Kalau ia yang berada di posisi Raya, ia pasti juga akan melakukan hal yang sama. Tapi Edard tidak ada pilihan lain.
“Iya, aku tahu aku salah. Maafkan aku,” ujar Edard lirih. Lelaki tidak menatap Raya sedikit pun.
Raya meliriknya sinis, kemudian mencebik bibirnya. Gadis itu membuang nafasnya kasar. “Setelah ini, aku tidak ingin ada urusan apapun lagi denganmu,” tandasnya.
Edard tidak menjawab ucapan Raya. Ia tidak mau membuat gadis itu lebih kesal. Meskipun ia yakin, kalau Raya akan membencinya karena apa yang akan ia lakukan nanti.
Setelah pertemuan tak terduga beberapa hari yang lalu, Edard langsung meminta asistennya untuk mencari tahu tentang gadis itu. Tidak butuh waktu lama, Edard sudah mendapatkan informasi tentang gadis itu.
Raya Devani. Gadis yang diketahui selalu anti berhubungan dengan lelaki kecuali sahabatnya. Gadis yang kuliah di salah satu universitas ternama di kota ini sudah memasuki semester akhir. Kedua orang tuanya sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kecelakaan. Saat ini, gadis itu tinggal di rumahnya sendiri sembari menjalankan bisnis restaurant milik keluarganya.
Edard tersenyum miring ketika membaca data milik Raya. Gadis itu cukup menarik. Membuat Edard ingin memiliki gadis itu.
Raya mengernyitkan keningnya ketika mobil milik Edard melewati jalan yang bukan menuju kantor lelaki itu. Mobilnya ada di kantor Edard. Lalu kemana lagi lelaki itu akan membawanya?
“Kemana lagi, sih?!” geram Raya.
Tangan gadis itu mengepal di sisi tubuhnya. Demi apapun ia ingin sekali memberikan bogem mentah ke wajah tampan Edard. Apa lelaki itu tidak peka kalau Raya sudah jengah berada di sekitar lelaki itu? Raya sudah muak berada di dalam situasi yang mana ada Edard di dalamnya. Beberapa hari yang lalu hidupnya masih baik-baik saja. Tidak ada emosi yang merajai hatinya. Tapi setelah mengenal Edard, tampaknya Raya sudah lupa bagaimana rasanya tenang.
“Ke suatu tempat,” ujar Edard kalem. Lelaki itu masih tidak berani melihat Raya yang sudah menatapnya dengan tatapan berapi-api.
“Berhenti!” desis Raya. Ia ingin hilang dari pandangan Edard.
“Tidak,” tolak Edard.
“Berhenti atau aku akan loncat?” ancam Raya dengan serius.
“Loncat saja,” tantang Edard. Lelaki itu yakin kalau Raya hanya menggertaknya saja. Gadis itu pasti tidak akan berani loncat dari mobilnya.
Namun siapa sangka, Raya malah membuka pintu mobil dan belum sempat Edard menghentikan laju mobilnya, gadis itu sudah tersungkur di pinggir jalan. Dengan panik Edard langsung membuka pintu mobilnya dan berlari menghampiri Raya yang tergeletak di pinggir jalan.
Edard langsung mengecek keadaan Raya. Sementara gadis itu tengah meringis kecil. Merasakan sakit yang menyengat dibagian kaki dan sikunya. Terlebih lagi ia mengenakan pakaian kurang bahan. Membuat banyak luka yang tercipta di tubuh mulusnya.
“Apa kau bodoh?!” marah Edard sembari melihat luka Raya yang cukup parah. Terdapat goresan memandang di bagian kaki dan sikunya.
Gadis itu menatap tajam ke arah Edard. “Ini semua karena kau yang tidak mau menurutiku!” ketusnya.
Edard mengusap wajahnya frustrasi. Tak bisa berkata-kata dengan tindakan mengejutkan dari Raya. Gadis itu selain keras kepala, rupanya seseorang yang nekat juga.
Pandangan Edard turun ke lutut gadis itu yang berdarah. Tangannya terulur hendak menyentuhnya, namun segera ditepis kasar oleh Raya.
“Jangan sentuh!” ujarnya sembari menjauhkan lututnya dari jangkauan Edard.
“Aku hanya ingin melihatnya, parah atau tidak,” kata Edard.
Raya menatapnya tak percaya membuat Edard geram sendiri. “Aku hanya ingin melihatnya saja,” katanya sekali lagi meyakinkan gadis keras kepala itu.
Raya pun akhirnya membiarkan Edard melihat lukanya. Sesekali ringisan kecil terdengar dari bibirnya. Lukanya tidak terlalu besar tapi perihnya bukan main.
“Ayo aku obati,” ajak Edard sembari mengulurkan tangannya.
Raya menatap tangan Edard yang terulur. Antara ingin menerima atau tidak. Gadis itu terlalu gengsi untuk menerima bantuan dari Edard. Bayangkan saja, ia sudah memaksa keluar dari mobil Edard, lalu sekarang ia masuk lagi ke mobil itu. Betapa malunya Raya saat ini.
Tak sabar dengan respon Raya yang lambat, Edard malah bergerak menggendong tubuh mungil gadis itu. Membuat Raya tersentak karena gerakan Edard yang tiba-tiba.
“Turunkan aku!” pekiknya sembari mukul punggung Edard. Tubuhnya terasa melayang.
Edard tampak mencebik. “Sudah sakit, masih saja keras kepala,” cibirnya.
Edard pun mendudukkan Raya di kursi penumpang kemudian menjalankan mobilnya. Raya membuang muka ke jendela. Bukannya marah, tapi rasa malu lebih mendominasi saat ini. Ia bahkan tak memprotes tentang kemana laju mobil Edard.
Tak lama kemudian, mobil Edard memasuk kawasan rumah elit. Lalu terhenti di sebuah mansion besar berwarna putih. Raya sempat terpesona dengan kemewahan mansion itu. Dari luar saja sudah terlihat megah apalagi dalamnya? Raya yakin ini pasti rumah Edard. Memang Edard bukanlah lelaki biasa.
Edard melepaskan sabuk pengamannya dan keluar mobil. Kemudian ia membukakan pintu untuk Raya. Belum sempat gadis itu melayangkan protesannya, Edard sudah lebih dulu menyela.
“Jadilah gadis penurut, sebentar saja,” ujarnya berhasil membungkam bibir Raya.
Gadis itu bahkan pasrah saat Edard menggendongnya masuk ke dalam mansion itu. Ingat! Kalau bukan karena sakit, Raya juga tidak akan sudi digendong oleh lelaki itu. Lelaki yang bisanya membuat Raya darah tinggi setiap mereka bertemu.
Edard mendudukkan Raya di sofa kemudian meninggalkan gadis itu untuk mencari obat merah. Sementara Raya, gadis itu mengedarkan pandangannya menatap sekeliling. Raya dibuat takjub dengan interior-interior mahal yang berada di rumah ini. Memunculkan pertanyaan seberapa kaya seorang Edard Stollin?
Tapi satu hal yang membuat Raya merasa aneh. Di rumah sebesar ini, terasa sangat sepi. Seperti tidak ada penghuni lain selain Edard. Dimana orang tua lelaki itu?
“Aku tinggal sendiri, orang tuaku ada di rumah mereka.”
Tiba-tiba suara Edard terdengar. Lelaki itu berkata seolah mengerti dengan isi kepala Raya. Raya hanya diam saja, tak mau membalas. Edard datang dengan perban, kapas, serta obat merah. Lalu ia mulai mengobati luka Raya.
Raya meringis pelan. “Bisakah kau menggunakan hati? Ini sakit!” ketusnya karena Edard malah menekan-nekan lukanya.
Edard tertawa pelan. “Maaf.”
Raya tak menanggapinya. Ia hanya fokus pada lukanya yang sedang di obati oleh Edard. Sementara Edard, lelaki itu menatap Raya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Raya,” panggilnya.
Raya mendongak, alisnya terangkat sebelah seolah bertanya “Ada apa?”
“Menikahlah denganku.”
Raya berjalan menyusuri koridor gedung fakultas hukum. Kedua tangannya mendekap tumpukan buku tebal. Wajahnya terlihat kusut. Bibirnya tak henti menggerutu. Hari ini mood-nya benar-benar buruk. Bagaimana ia tidak kesal? Tadi ketika ia baru berangkat, tiba-tiba ia diserbu oleh banyak gadis terutama oleh Scarlett and the gank.Awalnya ia bingung apa yang membuat mereka menyerbunya, namun ketika Scarlett menyebut nama Edard, Raya jadi mengerti apa permasalahannya. Terlebih lagi dengan berita yang menyebutkan kalau Raya akan menikah dengan Edard yang beredar di berbagai acara gosip dan berita di media sosial.Tentu saja hal itu memicu berbagai argument. Apa lagi Scarlett. Gadis itu bahkan menyindir Raya kalau selama ini Raya tidak mau berhubungan dengan lelaki lain karena tidak memenuhi kriterianya. Jadi ketika Edard mendekatinya dan mengajak menikah, Raya langsung menerima karena menurut Scarlett, siapa sih yang bisa menolak pesona seorang Edard Stollin? Ada! Itu Raya men
Raya menatap dirinya di pantulan cermin besar di depannya. Kemudian menghembuskan nafasnya pelan. Apa mungkin ini keputusan terbaik yang ia pilih? Apa mungkin setelah ini hidupnya akan tetap berjalan seperti sebelumnya? Setelah berdebat panjang dengan Edard, akhirnya Raya bersedia membantu Edard dengan syarat pernikahan ini hanya sebagai formalitas saja. Tidak ada yang namanya pernikahan sungguhan. Raya juga bebas melakukan apapun dan pernikahan dilangsungkan secara privat. Raya tidak ingin menjadi bullyan di kampusnya hanya karena ia menikah. Tanpa banyak pertimbangan, Edard pun menyetujui syarat dari Raya. Karena yang ia butuhkan saat ini hanyalah pengantin pengganti.Tepat setelah menyetujui persayaratan itu, hari ini mereka melangsungkan pernikahan dan sesuai dengan permintaan Raya, pernikahan ini dilangsungkan dengan privat. Tidak ada yang tahu kecuali Davin, sahabat Raya. Untuk orang tua Edard, beruntungnya mereka tidak bisa hadir karena masih ada urusan bisnis. M
Seharusnya, Edard menjelma menjadi lelaki paling bahagia karena bisa menikah dengan gadis cantik seperti Raya yang kini sudah sah menjadi istrinya. Baik secara agama maupun hukum.Seharusnya, sebagai pengantin baru, Edard bisa menikmati moment penting bersama istrinya seperti tidur seranjang.Seharusnya juga, Edard merasakan bagaimana rasanya dilayani dengan baik oleh istrinya seperti Papanya dulu.Tapi semua itu sepertinya hanya ada di dalam imajinasinya saja. Jangankan untuk dilayani, diizinkan masuk ke kamar sama tidak.Edard ingat betul bagaimana Raya memberinya satu bogem mentah ketika Edard masuk ke kamar ketika Raya sedang berganti pakaian. Bukankah seharusnya itu biasa saja karena mereka sudah suami istri?Tapi kembali lagi, rupanya Edard melupakan sesuatu. Ia lupa kalau pernikahan ini hanya di atas kertas. Raya mau menikah dengannya hanya sebatas memberi bantuan.Raya tidak meminta cerai di hari pertama mereka menikah saja itu sudah
"Davin!" teriak Raya dengan nyaring.Membuat beberapa pasang mata pengunjung mall melihat ke arahnya. Namun gadis itu terlihat tidak peduli dan terus berjalan ke arah Davin. Nafasnya menggebu-gebu bersiap menumpahkan segala amarah untuk lelaki itu.Sementara Davin, lelaki itu terdiam kaku di tempatnya. Dalam hatinya, ia merutuk kesal. Padahal tadi ia sudah berusaha untuk tidak terlihat tapi kenapa penglihatan Raya tajam sekali?Di lain sisi, ada Ava, gadis yang beberapa hari lalu telah resmi menjadi kekasihnya. Tampaknya gadis itu sedikit bingung melihat kedatangan Raya dengan muka marah."Vin, dia siapa? Apa dia temanmu?" tanya Ava pada Davin.Sedangkan Raya, gadis itu menatap Ava dengan penuh penilaian. Cukup bagus juga selera Davin, pikirnya.Davin berdehem sebentar kemudian menatap Raya lalu tersenyum lebar. "Hallo, Ray. Apa kabar?" tanyanya basa-basi.Raya mendengus kesal. Bisa-bisanya Davin dengan percaya diri tersenyum lebar di
Ava menganga tak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan. Bagaimana mungkin Edard Stollin sudah menikah? Bahkan tidak ada pemberitaan apapun tentang lelaki itu baik di televisi atau di media sosial.Lagipula, yang benar saja lelaki setampan Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya. Ah, itu tidak mungkin."Ternyata Edard suka becanda, ya?" kekeh Ava membuat Raya memutar bola matanya malas."Dia memang suami Raya, Va." Davin memberitahu dengan nada datar."Mana mungkin seorang Edard mau menikahi gadis gatal seperti Raya, Vin?" ujar Ava tanpa tahu malu.Padahal jelas-jelas disini dia yang gatal. Lihat saja tingkahnya, terlihat sekali kalau sedang menggoda suami orang.Sedangkan Raya, gadis itu tentu saja menahan amarah karena selalu disebut gadis gatal oleh Ava. Namun Edard terus menggenggam erat tangannya agar ia tidak bertindak gegabah.Ava, dimana Davin menemukan gadis ular semacam ini? Sejak bersama Davin, lelaki itu be
"Mampir sebentar di toko depan, aku ingin beli sesuatu," pinta Raya saat ia mengingat ada barang yang perlu ia beli.Edard mengangguk kecil menyetujui permintaan Raya. Saat sampai di toko yang dimaksud Raya, Edard segera menepikan mobilnya."Aku akan menemanimu," ujar Edard.Raya mengernyitkan keningnya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolaknya kemudian bergegas keluar mobil.Sementara Edard, lelaki itu hanya menghela nafasnya pelan. Ia lupa kalau Raya adalah gadis yang mandiri. Tentu saja hal semacam ini akan dinilai terlalu manja baginya.Mata Edard menatap punggung Raya yang semakin menjauh lalu hilang dibalik pintu toko. Edard mengeluarkan ponselnya untuk mengusir rasa bosan.Lelaki itu menatap foto Raya yang ia jadikan wallpaper di ponselnya. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan setengah lingkaran.Ia sengaja memasang foto gadis itu di ponselnya karena ia memang menyukainya. Tentu saja hal itu tanpa sepeng
Tampak dua insan yang duduk di sofa tamu saling melempar tatapan. Keduanya kompak diam saat ditatap oleh seorang wanita paruh baya yang tengah bersedekap dada di depan mereka. Tatapan wanita itu jelas menuntut penjelasan.Edard menghela nafasnya berat kemudian menatap wanita itu. "Baiklah, aku minta maaf karena tidak memberitahu soal pernikahanku," ujarnya dengan wajah dibuat semenyesal mungkin agar wanita di depannya itu bisa melunak.Wanita itu lalu mengalihkan tatapannya ke Raya. Gadis itu tertunduk sembari menautkan kedua jemarinya. Jujur saja, ditatap seperti itu membuat dirinya kembali ke kenangan masa ospek dulu. Benar-benar menegangkan. Jadi begini rasanya bertemu mertua? Itulah salah satu alasan mengapa ia tidak mau menikah. Ia takut memiliki mertua yang kejam seperti di film yang kerap kali ia tonton.Wanita paruh baya itu menatap Raya dengan tatapan penuh penilaian. Mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuat jantung Raya ingin lompat dari temp
Edard membolak-balik dokumen di tangannya dengan perasaan gusar. Sejak tadi ia tidak pernah fokus dengan apa yang ia kerjakan. Pikirannya selalu melayang kepada gadis yang beberapa saat ini memenuhi kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Raya.Bagaimana perasaan gadis itu? Sejak kedatangan ibunya tadi, Raya menjadi banyak diam. Gadis itu selalu bersikap hati-hati. Apalagi Emily terus memperhatikan gerak-gerik Raya. Mungkin saja membuat Raya tidak nyaman.Edard memegang kepalanya pusing. Tidak tahu harus berbuat apa. Dengan keberadaan Emily disini ia yakin akan membuat semuanya menjadi rumit.Edard melirik jam yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Sudah hampir larut, sebaiknya ia tidur saja.Edard pun berjalan keluar menuju kamar yang ia tempati, yaitu kamar yang ada di lantai satu. Edard tampak mengendap-endap sembari mengamati keadaan di sekitarnya. Takut kalau Emily memergokinya masuk ke dalam kamar ini."Ken