Mag-log in“Dulu, kamu yang paling keras melarang aku bilang ke siapa pun kalau aku adikmu. Kamu bilang itu memalukan. Kamu bilang aku jangan bawa-bawa nama keluarga di kampus.”Aku menarik napas dalam-dalam, menatap wajah Arsion yang menegang.“Kamu ingat semua itu, kan, Sion?” lanjutku. “Kamu bilang, ‘Di kampus, kita bukan siapa-siapa.’ Kamu bahkan pura-pura tidak kenal aku kalau ketemu.”Aku tertawa tanpa suara dan bertanya dengan nada getir. “Jadi kenapa sekarang? Kenapa tiba-tiba kamu berdiri paling depan seolah-olah—”“Karena aku sadar aku salah.”Jawaban Arsion cepat, tegas dan tanpa pembelaan, sehingga giliran aku yang terdiam dan tak tahu harus menjawab apa. Arsion menatap lurus ke arah halaman kampus yang ramai, lalu kembali padaku. “Dulu aku kekanak-kanakan, aku malu tanpa sebab dan aku konyol."Arsion mengepalkan tangannya dan berkata dengan suara lirih, "Maafkan aku, aku belum dewasa.”Dadaku menghangat sekaligus sakit mendengar bagaimana Arsion mengakui kesalahannya dengan juj
Ia tidak menoleh ke arahku, tapi masih fokus memelototi para mahasiswa yang tadi menghinaku. “Kamu pikir adikku perempuan murahan?” katanya lagi, dengan mata merah karena marah. “Kamu tahu siapa dia? Dia ADIKKU! Dia tak butuh melakukan hal se menjijikkan itu hanya untuk sebuah nilai!"“Arsion…” Aku menarik lengannya dengan suara bergetar. “Tolong, sudah.”Ia menghela napas berat, dadanya kasih naik turun dan tangannya mengepal, tapi karena aku terus menariknya, kepalan tangan itu perlahan mengendur.“Pergi,” katanya dingin pada mereka. “Sebelum aku lupa kalau ini kampus.”Mereka tidak menunggu perintah kedua. Pergi tergesa, menunduk, hilang di antara kerumunan.Kerumunan mulai menjauh dan setelah semuanya pergi, aku baru sadar tanganku gemetar.Arsion berbalik padaku, wajahnya masih marah—tapi matanya berbeda. Ada sesuatu seperti sebuah kekhawatiran di sana. “Kamu dengar sendiri, kan?” ucapnya dengan nada lebih pelan. “Ini yang terjadi saat kamu tidak ada yang jaga, Sherry.” “Ak
“Aku tidak perlu lapor kamu, kan?”Aku menjawab dan berjalan pergi meninggalkan Arsion, aku terlalu lelah untuk berdebat dengan tiga saudara tiriku yang pemarah.Langkah kakiku cepat, nyaris berlari. Dadaku sesak. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah kampus ini menyimpan terlalu banyak udara beracun yang menempel di kulitku.“Sherry!” Suara Arsion menyusul di belakangku, teriakannya mengandung amarah yang ditahan terlalu lama.Aku tidak menoleh dan terus berjalan, aku sudah cukup lelah untuk hari ini dan tak berniat mendengar ocehan pedas Arsion lebih lama. Arsion yang berhasil menyusul langkahku, menarik lenganku dengan kasar, meski gerakannya tidak menyakitkan, tapi cukup untuk menghentikanku.“Kamu kira kamu bisa kabur begitu saja?” desis Arsion, suaranya rendah, seperti ditekan. “Kamu tidak pulang ke rumah tiga hari. Tiga hari, Sherry. Dan sekarang aku dapat kabar kamu tinggal sama laki-laki. Kamu pikir aku tidak akan marah, hah?!"“Bukan urusanmu," jawabku, ketus, seraya
“Cukup, kamu capek. Emosimu lagi nggak stabil,” katanya seolah sedang menganalisis laporan ker . “Aku maklumi. Tapi ini bukan keputusan yang bisa kamu ambil sendiri.”Aku terkekeh pelan. Bukan karena lucu—tapi karena pahit.“Lucu,” gumamku. “Keputusan tentang hidupku selalu bukan keputusanku sendiri.”Aresh melangkah mendekat satu langkah. “Sherry, cukup.”Aku mundur setengah langkah—bukan takut, tapi refleks.“Jangan dekati aku,” kataku pelan, tapi tegas.Ia terdiam sejenak, jelas tidak menyangka.“Kamu berani sekarang?” katanya dingin.Aku menatapnya lurus.“Aku sudah capek takut.”Keheningan menegang di antara kami.“Kamu tahu Mama bakal gimana kalau tahu kamu tinggal sama laki-laki?” ucapnya akhirnya, lebih rendah. “Kamu mau bikin beliau sakit lagi?”Nama itu menghantam dadaku keras.Mama.Tanganku mengepal.“Kamu selalu pakai itu,” kataku lirih. “Setiap kali aku mencoba bersuara.”“Aku pakai fakta,” bantahnya. “Mama sudah cukup susah karena kamu.”Aku menatapnya tajam. “Karena ak
"Sherry.... " Aaron maju satu langkah, sementara Sherry mundur satu langkah lebih jauh, sehingga membuat Aaron menghentikan langkahnya dan tersenyum kecil, getir. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Kak? Bukan Claire. Tapi fakta bahwa kamu diam saat itu, dan kamu bukannya membelaku, tapi ikut menyalahkan aku, Kak," ucap Sherry dengan senyum perih. "Sherry, waktu itu.... " Aaron hendak menyela, tapi Sherry lebih dulu melanjutkan. “Sudahlah, Kak. Aku kan orang baru di kehidupan kamu, beda dengan Claire yang sudah menemani kamu bertahun-tahun, jadi wajar kalau kakak lebih percaya dia daripada aku, kan?" Kata-kata itu menghantam Aaron lebih keras dari tamparan mana pun, sehingga membuat dia terdiam seribu bahasa. "Oke... " Aaron berkata pelan, menghela napas panjang. “Aku tidak minta dimaafkan sekarang,” ucapnya cepat, seolah takut ia benar-benar kehilangan kesempatan. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku menyesal atas kejadian waktu itu, Sherry." Aaron berkata dengan suara
Di luar kampus, sebuah mobil hitam terparkir di seberang jalan, tersembunyi di antara deretan kendaraan lain. Kacanya gelap, tapi dari dalam, gerbang kampus terlihat jelas.Aaron duduk di kursi belakang. Tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di paha, tatapannya tajam mengunci pintu utama fakultas.Wajahnya tenang, terlalu tenang sampai menakutkan. Di kursi depan, Kaiser menyandarkan punggung, satu tangan di kemudi, satu lagi mengetuk-ngetuk gelisah.“Sudah terlalu lama,” gumam Kaiser. “Perasaanku tidak enak.”Aaron tidak menoleh, dan menjawab dengan dingin, “Samuel bergerak lebih cepat dari dugaan.”“Kamu yakin orangmu cukup?” Kaiser melirik spion, tampak gelisah, “Ini kampus. Kalau sampai salah langkah—”Sebelum Kaiser selesai bicara, ponsel Aaron bergetar dan nama Drake muncul di layar.Aaron langsung mengangkat telepon dan berbicara dengan tegas, “Lapor.”Suara di seberang terdengar rendah, profesional. Tidak ada emosi berlebihan, hanya fakta.“Samuel mencoba melakukan p







