Perjalanan mereka berjalan lancar, berkat insting tajam Paman Peter dan Kael yang memandu langkah kelompok kecil itu melewati lorong-lorong gelap nan berliku. Di sekeliling mereka, dinding batu kasar menjulang, dipenuhi lumut hitam yang mengilap dalam kegelapan, seolah-olah makhluk hidup yang mengintai. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan gema sunyi yang menyebar seperti gelombang di udara berat. Meskipun sudah berhati-hati, mereka tetap menemukan jebakan di sepanjang perjalanan. Terkadang jalanan berubah bentuk, seolah-olah dinding hidup yang bergeser dengan sendirinya. Ada pula lubang-lubang kecil tersembunyi di lantai yang tampak kokoh, yang bisa menelan mereka tanpa ampun jika lengah. Namun, perjalanan penuh tipu daya ini malah semakin mengasah insting Kael. Dengan setiap jebakan yang mereka hindari, nalurinya menjadi lebih tajam, seperti pedang yang terus diasah. Ia mulai dapat merasakan keanehan sebelum jebakan itu benar-benar terungkap, membuat mereka mampu berbelok atau b
Langkah kaki mereka bergema di antara bebatuan lembap, saat kelompok Kael merapat, masing-masing bersiaga dengan aura sihir yang berdenyut di udara. Udara berbau amis dan pekat, membuat setiap tarikan napas terasa berat di dada. Namun di tengah ketegangan itu, Kael merasakan sesuatu yang ganjil. Mata tajamnya memandang kelompok makhluk aneh yang menyerupai mereka—ada sesuatu dalam gerakan mereka yang terasa tidak benar, terlalu... terkendali. Semua orang menahan napas, otot-otot mereka menegang, siap meledak dalam pertempuran kapan saja. Namun yang terjadi membuat semua membeku. Secara tiba-tiba, semua makhluk yang menyerupai Murphy bergegas berlari menuju kolam darah di tengah ruangan. Cipratan darah kental terciprat ke udara, menciptakan percikan merah yang seolah menari di bawah cahaya redup obor. "Apa yang sedang terjadi? Mereka tidak menyerang kami, malah terjun ke kolam darah?" gumam Murphy, suaranya terdengar lebih bingung daripada marah, alisnya berkerut dalam ketidakpaham
Pertempuran terus berkecamuk di ruang yang dipenuhi kabut sihir dan bau besi yang menyesakkan. Klon yang menyerupai mereka bergegas menuju kolam darah yang terletak di tengah ruangan seperti jantung yang memompa ancaman. Mereka tidak menyerbu secara sembrono, melainkan bergerak dengan kecekatan menyerupai kelinci yang terbiasa melintasi hutan berburu mangsa—atau menghindari pemangsa. Setiap gerakan mereka penuh tujuan: menuju kolam darah. Mereka melompat, berputar, menekuk tubuh secara mustahil untuk menghindari serangan yang datang. Seolah tidak peduli pada tim Kael, misi mereka jelas: masuk ke dalam kolam. Laila berdiri di titik tinggi, suara sihirnya memekakkan telinga, meledak ke segala arah seperti gelombang guntur dalam badai. Klon miliknya yang terlalu lambat atau terlalu dekat tak bisa menghindar; tubuh mereka terhempas dan terkoyak oleh hantaman frekuensi sonik yang menggetarkan udara. Di sisi lain, Lyra tampak seperti dewi air dalam badai. Sihirnya menyembur dari botol
Suara ledakan keras mengguncang udara, memecah kesunyian ruang bawah tanah seperti dentuman langit yang jatuh ke bumi. Ledakan sihir terkompresi menghantam tubuh makhluk itu, membuat getaran bergema dari dinding ke dinding. Asap pekat beraroma belerang dan logam terbakar mengepul sesaat, menutupi penglihatan, namun tidak cukup untuk menyembunyikan efek mengerikan dari serangan itu. Makhluk tersebut meraung dengan buas, matanya yang gelap berkilat merah menyala, mencerminkan pengaruh dari sihir halusinasi yang menyusup ke dalam kesadarannya. Tubuhnya bergerak tak terkendali, namun anehnya, arah serangannya mulai meleset, melukai bayangan dan ruang kosong yang jauh dari posisi kelompok Kael. Di tengah kekacauan itu, terdengar suara senyap seperti bisikan angin tajam. Tiga bilah belati berputar dengan kecepatan mengerikan muncul dari bayangan. Aura dingin yang mengikutinya langsung mengubah suhu sekitar menjadi berat dan membeku, seolah udara enggan bergerak. Paman Peter yang diam men
Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,
Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan
Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya
Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di
Suara ledakan keras mengguncang udara, memecah kesunyian ruang bawah tanah seperti dentuman langit yang jatuh ke bumi. Ledakan sihir terkompresi menghantam tubuh makhluk itu, membuat getaran bergema dari dinding ke dinding. Asap pekat beraroma belerang dan logam terbakar mengepul sesaat, menutupi penglihatan, namun tidak cukup untuk menyembunyikan efek mengerikan dari serangan itu. Makhluk tersebut meraung dengan buas, matanya yang gelap berkilat merah menyala, mencerminkan pengaruh dari sihir halusinasi yang menyusup ke dalam kesadarannya. Tubuhnya bergerak tak terkendali, namun anehnya, arah serangannya mulai meleset, melukai bayangan dan ruang kosong yang jauh dari posisi kelompok Kael. Di tengah kekacauan itu, terdengar suara senyap seperti bisikan angin tajam. Tiga bilah belati berputar dengan kecepatan mengerikan muncul dari bayangan. Aura dingin yang mengikutinya langsung mengubah suhu sekitar menjadi berat dan membeku, seolah udara enggan bergerak. Paman Peter yang diam men
Pertempuran terus berkecamuk di ruang yang dipenuhi kabut sihir dan bau besi yang menyesakkan. Klon yang menyerupai mereka bergegas menuju kolam darah yang terletak di tengah ruangan seperti jantung yang memompa ancaman. Mereka tidak menyerbu secara sembrono, melainkan bergerak dengan kecekatan menyerupai kelinci yang terbiasa melintasi hutan berburu mangsa—atau menghindari pemangsa. Setiap gerakan mereka penuh tujuan: menuju kolam darah. Mereka melompat, berputar, menekuk tubuh secara mustahil untuk menghindari serangan yang datang. Seolah tidak peduli pada tim Kael, misi mereka jelas: masuk ke dalam kolam. Laila berdiri di titik tinggi, suara sihirnya memekakkan telinga, meledak ke segala arah seperti gelombang guntur dalam badai. Klon miliknya yang terlalu lambat atau terlalu dekat tak bisa menghindar; tubuh mereka terhempas dan terkoyak oleh hantaman frekuensi sonik yang menggetarkan udara. Di sisi lain, Lyra tampak seperti dewi air dalam badai. Sihirnya menyembur dari botol
Langkah kaki mereka bergema di antara bebatuan lembap, saat kelompok Kael merapat, masing-masing bersiaga dengan aura sihir yang berdenyut di udara. Udara berbau amis dan pekat, membuat setiap tarikan napas terasa berat di dada. Namun di tengah ketegangan itu, Kael merasakan sesuatu yang ganjil. Mata tajamnya memandang kelompok makhluk aneh yang menyerupai mereka—ada sesuatu dalam gerakan mereka yang terasa tidak benar, terlalu... terkendali. Semua orang menahan napas, otot-otot mereka menegang, siap meledak dalam pertempuran kapan saja. Namun yang terjadi membuat semua membeku. Secara tiba-tiba, semua makhluk yang menyerupai Murphy bergegas berlari menuju kolam darah di tengah ruangan. Cipratan darah kental terciprat ke udara, menciptakan percikan merah yang seolah menari di bawah cahaya redup obor. "Apa yang sedang terjadi? Mereka tidak menyerang kami, malah terjun ke kolam darah?" gumam Murphy, suaranya terdengar lebih bingung daripada marah, alisnya berkerut dalam ketidakpaham
Perjalanan mereka berjalan lancar, berkat insting tajam Paman Peter dan Kael yang memandu langkah kelompok kecil itu melewati lorong-lorong gelap nan berliku. Di sekeliling mereka, dinding batu kasar menjulang, dipenuhi lumut hitam yang mengilap dalam kegelapan, seolah-olah makhluk hidup yang mengintai. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan gema sunyi yang menyebar seperti gelombang di udara berat. Meskipun sudah berhati-hati, mereka tetap menemukan jebakan di sepanjang perjalanan. Terkadang jalanan berubah bentuk, seolah-olah dinding hidup yang bergeser dengan sendirinya. Ada pula lubang-lubang kecil tersembunyi di lantai yang tampak kokoh, yang bisa menelan mereka tanpa ampun jika lengah. Namun, perjalanan penuh tipu daya ini malah semakin mengasah insting Kael. Dengan setiap jebakan yang mereka hindari, nalurinya menjadi lebih tajam, seperti pedang yang terus diasah. Ia mulai dapat merasakan keanehan sebelum jebakan itu benar-benar terungkap, membuat mereka mampu berbelok atau b
Berada terlalu lama di tempat yang diselimuti kegelapan dan suasana mencekam membuat perasaan tidak nyaman menyelimuti semua orang. Namun, mereka tidak memiliki pilihan lain. Jalan ke depan tertutup oleh gelap yang tidak biasa, dan rasa was-was mulai menggerogoti ketenangan mereka. "Karena di dalam ruang ini kita akan kehilangan arah jika hanya mengandalkan mata dan telinga seperti sebelumnya, maka kita harus mengandalkan insting saja," ucap Kael, suaranya tenang namun tegas. Ia memandang anggota kelompoknya yang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Aku pikir Paman Peter pasti memiliki kemampuan insting yang kuat juga. Jadi, aku dan Paman Peter akan mencoba mengikuti insting kami untuk menemukan arah yang benar di lorong ini." "Aku harap itu benar-benar membantu seperti yang kamu katakan. Sudah terlalu lama kita berada di sini," balas Paman Peter, wajahnya serius, matanya menyipit menembus gelap yang tak bersahabat. "Aku khawatir kita akan kehabisan waktu. Bisa saja kelo
Energi sihir yang terkompresi dengan cepat meluncur bagai meteorit yang jatuh dari langit, mengarah lurus ke sosok yang menyerupai Kael. Suara ledakan energi menggema di seluruh lorong, dan pada saat bersamaan, kelompok Kael seolah menyadari sesuatu yang tidak beres. Mereka tanpa sadar mundur, menjaga jarak dari sosok Kael yang selama ini mereka ikuti. Saat serangan Kael menghantam, sosok itu akhirnya menunjukkan wujud aslinya—sebuah makhluk mengerikan yang bentuknya menyerupai kenangan buruk yang pernah Kael hadapi. Tubuh makhluk itu bergetar, berteriak dengan suara nyaring penuh rasa sakit. Sihir racun melemahkan milik Kael perlahan meluruhkan tubuhnya, memperlihatkan sosok yang menjijikkan: seperti gurita dengan kepala yang dipenuhi mulut bergigi tajam yang terbuka lebar, menganga liar di udara. Murphy, yang menahan rasa mual, berseru dengan ekspresi buruk di wajahnya. "Jadi, apakah Kael yang bersama kita sebelumnya adalah makhluk mengerikan ini?! Karena itulah aku merasa k
Kael berlari menembus kegelapan pekat, napasnya berat, jantungnya berdegup tak karuan seperti genderang perang. Setiap langkahnya menghentak lorong kosong itu, menghasilkan gema sunyi yang segera ditelan gelap, menyatu dengan desiran angin dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di hadapannya, dunia seolah tak berujung. Tak ada suara selain derap langkahnya. Tak ada aroma tanah, darah, ataupun kehidupan. Tak ada energi sihir yang terasa. Hanya hampa. Hanya tubuhnya sendiri... dan keputusasaan yang menggeliat perlahan, seperti ular berbisa yang membelit hatinya. Windstep yang biasanya membawanya meluncur ringan kini terasa berat. Kael seakan berlari di atas pasir hisap. Setiap loncatan terasa menghabiskan lebih banyak tenaga, dan parahnya—jarak seolah tak pernah berkurang. Semakin cepat ia berlari, semakin jauh rasanya tujuannya. "Ada yang salah," pikir Kael, peluh dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya menghantam tulang rusuk, memompa kegelisahan ke seluruh tubuh. "Tidak!
Ketegangan yang menekan dada perlahan menyelimuti kelompok itu setelah kejadian di luar. Meskipun kekhawatiran terhadap Molly dan Vale masih menggelayuti pikiran mereka, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan misi. Waktu tidak berpihak pada mereka. Dengan langkah waspada, mereka melangkah ke dalam kedalaman area terlarang Akademi Vitrum. Tanpa peta, tanpa informasi yang jelas, mereka ibarat pejalan buta dalam hutan lebat, hanya bergantung pada insting dan kewaspadaan mereka sendiri. Lyra menggenggam botol sihir di tangannya erat-erat, jari-jarinya yang ramping menempel kuat seolah itu adalah satu-satunya pelindungnya. Cairan biru di dalam botol beriak perlahan, memantulkan cahaya lampu magis di sepanjang lorong. Ia siap kapan saja melepaskan sihir kontrol airnya untuk menyerang atau bertahan. Murphy, di sisi lain, memegang pedang sihirnya yang diselimuti aura keemasan. Cahaya itu tampak menghangatkan, namun pada saat yang sama memancarkan ketegasan yang membuat siapa pun berpiki
Di luar area terlarang, saat kelompok Kael bertarung keras untuk membuka pintu raksasa, di bukit berbatu yang diselimuti kabut tipis, sosok paman Peter berjongkok, menyatu dengan batuan kasar dan bayang-bayang, matanya awas menatap situasi di kejauhan. Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Ia langsung siaga, namun segera menurunkan bahu saat melihat dua sosok yang mendekat. Maya dan paman Barrett muncul dari balik bayangan, tubuh mereka hampir tak terlihat, terlindungi oleh lapisan sihir bayangan yang melingkupi mereka. "Aku tidak menyangka... betapa menegangkannya mengikuti perjalanan kalian," gerutu Maya, suaranya rendah dan serak, matanya yang tajam menyapu area sekitar dengan waspada. "Kami harus berusaha keras menyingkirkan makhluk beracun di sekitar sini, sementara kalian bisa bergerak cukup aman di dalam kabut itu..." Bayangan sihir paman Barrett menari samar di sekitar tubuh mereka, membuat mereka nyaris mustahil dideteksi oleh makhluk liar yang berkeliaran. Paman B