Kael merasa terhimpit oleh kegelapan hutan purba yang melingkupi sekelilingnya, seolah-olah ia terjebak dalam ruang hampa tanpa ujung. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk berpadu dengan kabut dingin yang menyesakkan, membakar hidungnya dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, cahaya bulan muncul samar, berjuang menembus tirai daun lebat yang selalu menghalangi.Akar-akar pohon menjalar di bawah kakinya, menimbulkan sensasi aneh seolah tangan-tangan hantu berusaha menahan langkahnya, menariknya ke dalam kedalaman misterius hutan. Angin lembut membawa bisikan halus, menyerupai suara-suara kuno yang memanggil dari balik bayang-bayang pepohonan. Hutan ini bukan sekadar tempat; ia adalah makhluk hidup dengan kesadaran dan niatnya sendiri, berbisik kepada Kael untuk berhati-hati, atau bahkan menyerah.Keheningan malam terasa pekat dan getir, seolah alam pun menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terduga. Setiap langkah Kael semakin berat,
Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk."Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami."Kael mengepalkan tangan, merasakan
Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos.Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian ya
Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga."Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di
Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka
Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh
Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget
Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Di tengah lorong bawah tanah yang semakin pengap oleh aroma darah dan sihir yang terbakar, Kael berdiri di hadapan Lyra, Sarah, dan Laila. Nafasnya masih terengah, tubuhnya dilapisi keringat dan debu pertempuran. Meski luka-lukanya belum pulih sepenuhnya, matanya masih menyala dengan tekad. "Ini jebakan Sophia," ujar Kael, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Ia membuat dirinya jadi umpan agar kita bisa melancarkan serangan gabungan saat makhluk itu lengah." Lyra menggenggam botol sihir airnya lebih erat, sementara Sarah menajamkan telinganya, menangkap ritme pergerakan makhluk itu dari kejauhan. Laila mengangguk meski tak berkata apa-apa, namun matanya bersinar dengan frekuensi sonik yang siap digunakan kapan saja. Tubuh mereka semua diliputi kelelahan. Sudah terlalu lama mereka bertarung. Dimulai dari mencegah makhluk-makhluk aneh memasuki kolam darah yang memancar aura kegelapan, kemudian menghadapi klon Murphy yang tak hanya kuat secara fisik, tapi juga mengenal gaya bertaru
Suasana di dalam ruangan itu dicekam oleh ketegangan yang begitu menyesakkan. Aura bahaya memenuhi udara, menyatu dengan debu dan sisa energi sihir dari pertarungan sebelumnya. Di hadapan mereka, sesosok makhluk aneh perlahan bangkit dari dasar kolam darah yang telah mengering. Sosok itu merupakan gabungan kekuatan dari lebih dari empat ratus klon kelompok Kael—makhluk yang tak sempat mereka cegah saat menyerbu masuk ke kolam berdarah itu. Dan kini, mereka harus menghadapi hasil akhir dari kegagalan tersebut. Namun perhatian semua orang tak tertuju pada makhluk itu dahulu. Justru, mereka terpaku pada Sophia. Gadis itu berdiri paling dekat dengan bibir kolam, nyaris di tepiannya. Sementara yang lain sudah menepi, menyembunyikan diri di balik reruntuhan, mencari perlindungan terbaik, Sophia tetap berdiri di tempatnya. Seolah tak takut, seolah ia memang sudah menunggu momen ini. Kolam yang dulunya dipenuhi darah kini tampak seperti liang gelap berkedalaman lebih dari empat meter. Di
Sementara Kael bersiap menyerang dengan sihir racun, yang dirancang khusus untuk mengganggu struktur sihir di dalam kolam darah, aroma logam yang menusuk tercium makin tajam di udara. Kabut darah bergolak pelan, seolah menyadari bahaya yang mendekat. Di sisi lain, kelompok mereka dengan cepat mengeluarkan potion mana, meneguknya tanpa ragu. Energi sihir mereka telah banyak terkuras saat menghadapi klon sebelumnya, dan mereka tak bisa lengah lagi. Kael menggertakkan gigi, tubuhnya basah oleh keringat saat ia memampatkan sihir racun—teknik paling mematikan yang juga paling menguras kekuatan sihirnya. Sihir itu tampak seperti pusaran ungu tua yang berdenyut hidup di telapak tangannya, seolah menyuarakan kehendaknya sendiri. Saat ia merasakan momen yang tepat, tak ada aba-aba. Tanpa sepatah kata, Kael mengangkat tangannya tinggi-tinggi—dan melepaskan sihir itu lurus ke arah kabut merah pekat yang menggantung di atas kolam. Suara seperti bisikan ribuan roh menyeringai menyambut tumbukan
Suara ledakan keras mengguncang udara, memecah kesunyian ruang bawah tanah seperti dentuman langit yang jatuh ke bumi. Ledakan sihir terkompresi menghantam tubuh makhluk itu, membuat getaran bergema dari dinding ke dinding. Asap pekat beraroma belerang dan logam terbakar mengepul sesaat, menutupi penglihatan, namun tidak cukup untuk menyembunyikan efek mengerikan dari serangan itu. Makhluk tersebut meraung dengan buas, matanya yang gelap berkilat merah menyala, mencerminkan pengaruh dari sihir halusinasi yang menyusup ke dalam kesadarannya. Tubuhnya bergerak tak terkendali, namun anehnya, arah serangannya mulai meleset, melukai bayangan dan ruang kosong yang jauh dari posisi kelompok Kael. Di tengah kekacauan itu, terdengar suara senyap seperti bisikan angin tajam. Tiga bilah belati berputar dengan kecepatan mengerikan muncul dari bayangan. Aura dingin yang mengikutinya langsung mengubah suhu sekitar menjadi berat dan membeku, seolah udara enggan bergerak. Paman Peter yang diam men
Pertempuran terus berkecamuk di ruang yang dipenuhi kabut sihir dan bau besi yang menyesakkan. Klon yang menyerupai mereka bergegas menuju kolam darah yang terletak di tengah ruangan seperti jantung yang memompa ancaman. Mereka tidak menyerbu secara sembrono, melainkan bergerak dengan kecekatan menyerupai kelinci yang terbiasa melintasi hutan berburu mangsa—atau menghindari pemangsa. Setiap gerakan mereka penuh tujuan: menuju kolam darah. Mereka melompat, berputar, menekuk tubuh secara mustahil untuk menghindari serangan yang datang. Seolah tidak peduli pada tim Kael, misi mereka jelas: masuk ke dalam kolam. Laila berdiri di titik tinggi, suara sihirnya memekakkan telinga, meledak ke segala arah seperti gelombang guntur dalam badai. Klon miliknya yang terlalu lambat atau terlalu dekat tak bisa menghindar; tubuh mereka terhempas dan terkoyak oleh hantaman frekuensi sonik yang menggetarkan udara. Di sisi lain, Lyra tampak seperti dewi air dalam badai. Sihirnya menyembur dari botol
Langkah kaki mereka bergema di antara bebatuan lembap, saat kelompok Kael merapat, masing-masing bersiaga dengan aura sihir yang berdenyut di udara. Udara berbau amis dan pekat, membuat setiap tarikan napas terasa berat di dada. Namun di tengah ketegangan itu, Kael merasakan sesuatu yang ganjil. Mata tajamnya memandang kelompok makhluk aneh yang menyerupai mereka—ada sesuatu dalam gerakan mereka yang terasa tidak benar, terlalu... terkendali. Semua orang menahan napas, otot-otot mereka menegang, siap meledak dalam pertempuran kapan saja. Namun yang terjadi membuat semua membeku. Secara tiba-tiba, semua makhluk yang menyerupai Murphy bergegas berlari menuju kolam darah di tengah ruangan. Cipratan darah kental terciprat ke udara, menciptakan percikan merah yang seolah menari di bawah cahaya redup obor. "Apa yang sedang terjadi? Mereka tidak menyerang kami, malah terjun ke kolam darah?" gumam Murphy, suaranya terdengar lebih bingung daripada marah, alisnya berkerut dalam ketidakpaham
Perjalanan mereka berjalan lancar, berkat insting tajam Paman Peter dan Kael yang memandu langkah kelompok kecil itu melewati lorong-lorong gelap nan berliku. Di sekeliling mereka, dinding batu kasar menjulang, dipenuhi lumut hitam yang mengilap dalam kegelapan, seolah-olah makhluk hidup yang mengintai. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan gema sunyi yang menyebar seperti gelombang di udara berat. Meskipun sudah berhati-hati, mereka tetap menemukan jebakan di sepanjang perjalanan. Terkadang jalanan berubah bentuk, seolah-olah dinding hidup yang bergeser dengan sendirinya. Ada pula lubang-lubang kecil tersembunyi di lantai yang tampak kokoh, yang bisa menelan mereka tanpa ampun jika lengah. Namun, perjalanan penuh tipu daya ini malah semakin mengasah insting Kael. Dengan setiap jebakan yang mereka hindari, nalurinya menjadi lebih tajam, seperti pedang yang terus diasah. Ia mulai dapat merasakan keanehan sebelum jebakan itu benar-benar terungkap, membuat mereka mampu berbelok atau b
Berada terlalu lama di tempat yang diselimuti kegelapan dan suasana mencekam membuat perasaan tidak nyaman menyelimuti semua orang. Namun, mereka tidak memiliki pilihan lain. Jalan ke depan tertutup oleh gelap yang tidak biasa, dan rasa was-was mulai menggerogoti ketenangan mereka. "Karena di dalam ruang ini kita akan kehilangan arah jika hanya mengandalkan mata dan telinga seperti sebelumnya, maka kita harus mengandalkan insting saja," ucap Kael, suaranya tenang namun tegas. Ia memandang anggota kelompoknya yang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Aku pikir Paman Peter pasti memiliki kemampuan insting yang kuat juga. Jadi, aku dan Paman Peter akan mencoba mengikuti insting kami untuk menemukan arah yang benar di lorong ini." "Aku harap itu benar-benar membantu seperti yang kamu katakan. Sudah terlalu lama kita berada di sini," balas Paman Peter, wajahnya serius, matanya menyipit menembus gelap yang tak bersahabat. "Aku khawatir kita akan kehabisan waktu. Bisa saja kelo
Energi sihir yang terkompresi dengan cepat meluncur bagai meteorit yang jatuh dari langit, mengarah lurus ke sosok yang menyerupai Kael. Suara ledakan energi menggema di seluruh lorong, dan pada saat bersamaan, kelompok Kael seolah menyadari sesuatu yang tidak beres. Mereka tanpa sadar mundur, menjaga jarak dari sosok Kael yang selama ini mereka ikuti. Saat serangan Kael menghantam, sosok itu akhirnya menunjukkan wujud aslinya—sebuah makhluk mengerikan yang bentuknya menyerupai kenangan buruk yang pernah Kael hadapi. Tubuh makhluk itu bergetar, berteriak dengan suara nyaring penuh rasa sakit. Sihir racun melemahkan milik Kael perlahan meluruhkan tubuhnya, memperlihatkan sosok yang menjijikkan: seperti gurita dengan kepala yang dipenuhi mulut bergigi tajam yang terbuka lebar, menganga liar di udara. Murphy, yang menahan rasa mual, berseru dengan ekspresi buruk di wajahnya. "Jadi, apakah Kael yang bersama kita sebelumnya adalah makhluk mengerikan ini?! Karena itulah aku merasa k