Lorong-lorong Akademi Baseus terasa seperti labirin yang tak berujung, dinding batu putihnya diukir dengan simbol sihir kuno yang berkilau samar di bawah cahaya kristal biru yang tertanam di langit-langit. Udara dingin dan bau samar tinta tua mengisi setiap sudut, bercampur dengan suara langkah mereka yang bergema pelan di lantai marmer mengilap. Kael memimpin kelompoknya, mantel tuanya ditarik rendah menutupi wajah, matanya tajam melirik ke setiap bayangan yang bergerak di sekitar. Sarah dan Laila mengikuti dengan penyamaran kristal merekaârambut cokelat tua dan merah kecokelatanâlangkah mereka hati-hati, sementara Murphy menutup barisan, tangannya siap di pedang emasnya, wajahnya yang disamarkan tetap tegang. Rivan, murid senior berlencana ungu, berjalan di depan dengan langkah cepat, mantelnya biru tua berkibar pelan. Ia membawa mereka melalui lorong-lorong yang berbelok tak terduga, melewati ruang-ruang kelas kosong dan perpustakaan kecil yang penuh buku tua, membuat Kael sema
Ruangan kecil di dalam rumah kayu Profesor Aldos terasa hangat dan penuh misteri, dindingnya dilapisi rak-rak kayu tua yang penuh dengan buku-buku kuno, gulungan perkamen, dan botol-botol ramuan yang berkilau samar. Lampu kristal kuning di langit-langit memancarkan cahaya lembut, menerangi meja kayu besar di tengah ruangan tempat Kael dan kelompoknya duduk. Aroma kayu bakar dan tinta tua mengisi udara, bercampur dengan bau samar ramuan yang mendidih di sudut. Profesor Aldos berdiri di depan mereka, tubuhnya tinggi kurus dengan mantel biru tua berlencana emas, rambut peraknya terikat rapi, dan matanya biru cerah penuh kebijaksanaan. Phoenix kecil di pundaknya berkedip pelan, bulu apinya menari seperti nyala lilin. Kael duduk di kursi kayu yang berderit, mantel tuanya terlepas kini memperlihatkan wajahnya yang tegang, matanya tajam menatap Aldos. Sarah dan Laila duduk di sisinya, penyamaran kristal mereka dilepas, rambut pirang dan cokelat gelap mereka kembali terlihat, wajah merek
Ruangan kecil Profesor Aldos terasa semakin sesak dengan aroma tinta tua dan kayu bakar, lampu kristal kuning di langit-langit memancarkan cahaya hangat yang menerangi buku kuno di meja kayu besar. Kael duduk dengan tangan mengepal di atas meja, matanya tajam menatap buku itu, ukiran enam penyihir kuno mengelilingi batu bersinar tampak hidup di bawah cahaya. Sarah dan Laila duduk di sisinya, wajah mereka penuh harapan bercampur kelelahan, sementara Murphy bersandar di dinding, pedangnya bergoyang pelan di pinggangnya, matanya cokelat dari penyamaran kristal melirik ke Aldos yang berdiri dengan mantel biru tua berlencana emas. "Kita harus temukan enam token itu," kata Kael, suaranya tegas meski ada nada frustrasi di dalamnya. "Baseus adalah akademi pertamaâkalau ada satu di sini, kita harus mulai dari sini. Tapi..." Ia berhenti, matanya menyipit ke arah buku. "Kita tak tahu bentuknya seperti apa." Aldos mengangguk, jari kurusnya mengetuk sampul buku. "Itu masalahnya," katanya, suar
Ruangan kecil Profesor Aldos terasa tegang, udara hangat dari lampu kristal kuning bercampur aroma tinta tua dan kayu bakar yang kini terasa dingin di kulit Kael. Ia berdiri di dekat meja kayu besar, tangannya mengepal di atas buku kuno, matanya biru penuh kejutan saat kata-kata terakhir Aldos tentang Ruang Bawah Tanah Terlarang bergema di pikirannya. Sarah dan Laila duduk di sisinya, wajah mereka pucat namun penuh tekad, sementara Murphy bersandar di dinding, pedangnya bergoyang pelan di pinggangnya, matanya cokelat dari penyamaran kristal menatap ke arah pintu yang baru saja Aldos tinggalkan. Tiba-tiba, bunyi nyaring phoenix memecah keheningan, getarannya mengguncang dinding kayu dan buku-buku di rak. Kael berlari ke jendela kecil, matanya melebar saat melihat ke luar. Phoenix kecil yang biasanya bertengger di pundak Aldos kini membesar menjadi raksasa beberapa meter panjangnya, sayap apinya membentang lebar dengan nyala merah dan emas yang menyala terang di langit malam. Bulu-bu
Ruangan kecil di dalam hutan ilusi Aldos terasa hening setelah sorak phoenix memudar, cahaya lampu kristal kuning redup di langit-langit, hanya menyisakan bayangan samar di dinding kayu tua. Kael duduk di kursi yang berderit, tangannya mengepal di atas meja, matanya biru penuh tekad bercampur kelelahan saat menatap buku kuno yang terkunci. Sarah dan Laila duduk di sisinya, wajah mereka pucat namun teguh, rambut pirang dan cokelat gelap mereka tampak kusut setelah hari-hari panjang. Murphy bersandar di dinding, pedangnya bertumpu di lantai, matanya cokelat dari penyamaran kristal menatap ke pintu dengan ekspresi muram. "Kita tak bisa langsung masuk ke Perpustakaan Tersegel," kata Kael, suaranya rendah tapi tegas, memotong keheningan yang tegang. "Kita terlalu lelahâdan kita butuh rencana. Kita istirahat sehari, siapkan diri, lalu cari cara ke sana." Sarah mengangguk, tangannya mengusap mata yang lelah. "Aku setujuâaku hampir tak bisa fokus lagi
Ruangan kecil di dalam hutan ilusi Aldos terasa lebih tenang malam itu, lampu kristal kuning memancarkan cahaya hangat yang lembut, menerangi meja kayu tua dan rak-rak penuh buku kuno. Kael duduk di kursi yang berderit, matanya biru penuh tekad meski bayangan lelah terlihat di bawahnya, tangannya memeriksa karung bekal yang mereka siapkan. Sarah dan Laila duduk di sisinya, rambut pirang dan cokelat gelap mereka kusut, wajah mereka penuh kewaspadaan saat mengemas roti kering dan air. Murphy berjalan mondar-mandir di ruangan, suaranya bergema pelan saat ia menggeledah rak di sudut, "Aldos pasti tinggalkan sesuatu untuk kitaâdia selalu siap." Setelah beberapa saat, Murphy menarik sebuah kotak kayu kecil dari rak bawah, debu beterbangan saat ia membukanya. Di dalamnya ada **lampu ajaib**âbola kristal kecil yang menyala kuning lembut, melayang sendiri di udara saat ia menyentuhnyaâdan beberapa alat sihir pelindung lainnya: gelang perak sederhana yang memanc
Tangga curam di bawah pintu rahasia Baseus terasa tak berujung, dinding batu kasarnya dipenuhi lumut basah yang licin, udara dingin dan lembap membawa bau tanah tua yang menyengat. Kael memimpin kelompoknya menuruni anak tangga yang sempit, mantelnya bergoyang pelan di angin samar yang berhembus dari bawah, matanya biru tajam menatap kegelapan yang semakin pekat. **Lampu ajaib** Aldos melayang di tangannya, bola kristal kecil itu memancarkan cahaya kuning lembut yang menerangi wajah mereka yang tegang. Sarah dan Laila mengikuti di belakang, langkah mereka hati-hati di batu licin, rambut pirang dan cokelat gelap mereka tampak kusam di bawah cahaya redup. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, suaranya bergema pelan saat ia mengeluh, "Ini berapa lama lagi? Rasanya setengah jam!" Setelah waktu yang terasa abadi, Kael akhirnya mencapai anak tangga terakhir, napasnya tersengal karena dingin dan tekanan. Tapi saat ia melangkah ke depan, kak
Lorong-lorong Perpustakaan Tersegel membentang luas di depan Kael dan kelompoknya, dinding batu tua penuh ukiran kuno yang berkilau samar, memantulkan bayangan panjang di lantai yang dingin dan berdebu. Udara terasa berat, bau logam dan tinta usang bercampur dengan aroma samar sesuatu yang hidupâsesuatu yang tak alami. Kael berdiri di tengah ruang luas, lampu ajaib yang redup di karungnya tak lagi membantu, matanya biru tajam menatap lorong-lorong bercabang seperti akar pohon raksasa. Sarah dan Laila berdiri di sisinya, wajah mereka pucat tapi teguh, rambut pirang dan cokelat gelap mereka menempel di dahi karena keringat. Murphy berdiri di belakang, pedangnya terhunus dengan energi emas samar, matanya cokelat dari penyamaran kristal melirik ke setiap sudut gelap. "Kita harus pilih satu arah," kata Kael, suaranya rendah tapi penuh tekad, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Tapi kita tak tahu mana yang benarâkita butuh petunjuk." Sarah mengangguk, matanya ungu samar menyala saat ia m
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas â itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam guaâsuara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. âAku dapat kabar buruk,â katanya, begitu masuk. âBanyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.â Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. âSeberapa banyak?â âSedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,â jawab Paman Peter cepat. âAda kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.â Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. âWah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,â gumamnya. Paman Peter mengangguk. âArea ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?â Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awalâmengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahayaâseperti biasaâbergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintuâkode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi