Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 25: Rahasia Buku Kuno

Share

Bab 25: Rahasia Buku Kuno

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-13 00:34:12

Ruangan kecil di dalam rumah kayu Profesor Aldos terasa hangat dan penuh misteri, dindingnya dilapisi rak-rak kayu tua yang penuh dengan buku-buku kuno, gulungan perkamen, dan botol-botol ramuan yang berkilau samar. Lampu kristal kuning di langit-langit memancarkan cahaya lembut, menerangi meja kayu besar di tengah ruangan tempat Kael dan kelompoknya duduk.

Aroma kayu bakar dan tinta tua mengisi udara, bercampur dengan bau samar ramuan yang mendidih di sudut. Profesor Aldos berdiri di depan mereka, tubuhnya tinggi kurus dengan mantel biru tua berlencana emas, rambut peraknya terikat rapi, dan matanya biru cerah penuh kebijaksanaan. Phoenix kecil di pundaknya berkedip pelan, bulu apinya menari seperti nyala lilin.

Kael duduk di kursi kayu yang berderit, mantel tuanya terlepas kini memperlihatkan wajahnya yang tegang, matanya tajam menatap Aldos. Sarah dan Laila duduk di sisinya, penyamaran kristal mereka dilepas, rambut pirang dan cokelat gelap mereka kembali terlihat, wajah merek
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 26: Pencarian di Perpustakaan Baseus

    Ruangan kecil Profesor Aldos terasa semakin sesak dengan aroma tinta tua dan kayu bakar, lampu kristal kuning di langit-langit memancarkan cahaya hangat yang menerangi buku kuno di meja kayu besar. Kael duduk dengan tangan mengepal di atas meja, matanya tajam menatap buku itu, ukiran enam penyihir kuno mengelilingi batu bersinar tampak hidup di bawah cahaya. Sarah dan Laila duduk di sisinya, wajah mereka penuh harapan bercampur kelelahan, sementara Murphy bersandar di dinding, pedangnya bergoyang pelan di pinggangnya, matanya cokelat dari penyamaran kristal melirik ke Aldos yang berdiri dengan mantel biru tua berlencana emas. "Kita harus temukan enam token itu," kata Kael, suaranya tegas meski ada nada frustrasi di dalamnya. "Baseus adalah akademi pertama—kalau ada satu di sini, kita harus mulai dari sini. Tapi..." Ia berhenti, matanya menyipit ke arah buku. "Kita tak tahu bentuknya seperti apa." Aldos mengangguk, jari kurusnya mengetuk sampul buku. "Itu masalahnya," katanya, suar

    Last Updated : 2025-03-14
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 27: Bayang-Bayang Phoenix

    Ruangan kecil Profesor Aldos terasa tegang, udara hangat dari lampu kristal kuning bercampur aroma tinta tua dan kayu bakar yang kini terasa dingin di kulit Kael. Ia berdiri di dekat meja kayu besar, tangannya mengepal di atas buku kuno, matanya biru penuh kejutan saat kata-kata terakhir Aldos tentang Ruang Bawah Tanah Terlarang bergema di pikirannya. Sarah dan Laila duduk di sisinya, wajah mereka pucat namun penuh tekad, sementara Murphy bersandar di dinding, pedangnya bergoyang pelan di pinggangnya, matanya cokelat dari penyamaran kristal menatap ke arah pintu yang baru saja Aldos tinggalkan. Tiba-tiba, bunyi nyaring phoenix memecah keheningan, getarannya mengguncang dinding kayu dan buku-buku di rak. Kael berlari ke jendela kecil, matanya melebar saat melihat ke luar. Phoenix kecil yang biasanya bertengger di pundak Aldos kini membesar menjadi raksasa beberapa meter panjangnya, sayap apinya membentang lebar dengan nyala merah dan emas yang menyala terang di langit malam. Bulu-bu

    Last Updated : 2025-03-14
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 28: Persiapan di Ambang Bahaya

    Ruangan kecil di dalam hutan ilusi Aldos terasa hening setelah sorak phoenix memudar, cahaya lampu kristal kuning redup di langit-langit, hanya menyisakan bayangan samar di dinding kayu tua. Kael duduk di kursi yang berderit, tangannya mengepal di atas meja, matanya biru penuh tekad bercampur kelelahan saat menatap buku kuno yang terkunci. Sarah dan Laila duduk di sisinya, wajah mereka pucat namun teguh, rambut pirang dan cokelat gelap mereka tampak kusut setelah hari-hari panjang. Murphy bersandar di dinding, pedangnya bertumpu di lantai, matanya cokelat dari penyamaran kristal menatap ke pintu dengan ekspresi muram. "Kita tak bisa langsung masuk ke Perpustakaan Tersegel," kata Kael, suaranya rendah tapi tegas, memotong keheningan yang tegang. "Kita terlalu lelah—dan kita butuh rencana. Kita istirahat sehari, siapkan diri, lalu cari cara ke sana." Sarah mengangguk, tangannya mengusap mata yang lelah. "Aku setuju—aku hampir tak bisa fokus lagi

    Last Updated : 2025-03-15
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 29: Langkah Menuju Terlarang

    Ruangan kecil di dalam hutan ilusi Aldos terasa lebih tenang malam itu, lampu kristal kuning memancarkan cahaya hangat yang lembut, menerangi meja kayu tua dan rak-rak penuh buku kuno. Kael duduk di kursi yang berderit, matanya biru penuh tekad meski bayangan lelah terlihat di bawahnya, tangannya memeriksa karung bekal yang mereka siapkan. Sarah dan Laila duduk di sisinya, rambut pirang dan cokelat gelap mereka kusut, wajah mereka penuh kewaspadaan saat mengemas roti kering dan air. Murphy berjalan mondar-mandir di ruangan, suaranya bergema pelan saat ia menggeledah rak di sudut, "Aldos pasti tinggalkan sesuatu untuk kita—dia selalu siap." Setelah beberapa saat, Murphy menarik sebuah kotak kayu kecil dari rak bawah, debu beterbangan saat ia membukanya. Di dalamnya ada **lampu ajaib**—bola kristal kecil yang menyala kuning lembut, melayang sendiri di udara saat ia menyentuhnya—dan beberapa alat sihir pelindung lainnya: gelang perak sederhana yang memanc

    Last Updated : 2025-03-15
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 30: Kedalaman Perpustakaan Tersegel

    Tangga curam di bawah pintu rahasia Baseus terasa tak berujung, dinding batu kasarnya dipenuhi lumut basah yang licin, udara dingin dan lembap membawa bau tanah tua yang menyengat. Kael memimpin kelompoknya menuruni anak tangga yang sempit, mantelnya bergoyang pelan di angin samar yang berhembus dari bawah, matanya biru tajam menatap kegelapan yang semakin pekat. **Lampu ajaib** Aldos melayang di tangannya, bola kristal kecil itu memancarkan cahaya kuning lembut yang menerangi wajah mereka yang tegang. Sarah dan Laila mengikuti di belakang, langkah mereka hati-hati di batu licin, rambut pirang dan cokelat gelap mereka tampak kusam di bawah cahaya redup. Murphy menutup barisan, pedangnya bergoyang di pinggang, suaranya bergema pelan saat ia mengeluh, "Ini berapa lama lagi? Rasanya setengah jam!" Setelah waktu yang terasa abadi, Kael akhirnya mencapai anak tangga terakhir, napasnya tersengal karena dingin dan tekanan. Tapi saat ia melangkah ke depan, kak

    Last Updated : 2025-03-15
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 31: Lendir dan Serigala Jadian

    Lorong-lorong Perpustakaan Tersegel membentang luas di depan Kael dan kelompoknya, dinding batu tua penuh ukiran kuno yang berkilau samar, memantulkan bayangan panjang di lantai yang dingin dan berdebu. Udara terasa berat, bau logam dan tinta usang bercampur dengan aroma samar sesuatu yang hidup—sesuatu yang tak alami. Kael berdiri di tengah ruang luas, lampu ajaib yang redup di karungnya tak lagi membantu, matanya biru tajam menatap lorong-lorong bercabang seperti akar pohon raksasa. Sarah dan Laila berdiri di sisinya, wajah mereka pucat tapi teguh, rambut pirang dan cokelat gelap mereka menempel di dahi karena keringat. Murphy berdiri di belakang, pedangnya terhunus dengan energi emas samar, matanya cokelat dari penyamaran kristal melirik ke setiap sudut gelap. "Kita harus pilih satu arah," kata Kael, suaranya rendah tapi penuh tekad, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Tapi kita tak tahu mana yang benar—kita butuh petunjuk." Sarah mengangguk, matanya ungu samar menyala saat ia m

    Last Updated : 2025-03-16
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 32: Rak-Rak Hidup dan Peta Kuno

    Lorong Perpustakaan Tersegel terasa semakin dingin dan lembap saat Kael dan kelompoknya mengikuti slime kecil itu, langkah mereka pelan tapi waspada di lantai batu yang licin. Dinding lorong dipenuhi lumut basah, udara penuh bau tanah tua dan logam yang menyengat, tapi yang lebih mencolok adalah **lubang-lubang di langit-langit**—rongga kecil yang berdenyut seperti sarang hidup. Dari lubang itu, gerombolan **lendir transparan** merayap keluar, tubuh mereka bening berkilau samar, diikuti lendir lain yang memancarkan **cahaya hijau dan biru**. Cahaya itu memenuhi lorong, menciptakan kilauan aneh yang memantul di dinding, menyerupai lautan kecil yang bergerak di atas kepala mereka. Kael memimpin dengan tangan siap di sisi tubuh, matanya biru tajam melirik ke langit-langit, energi **Racun Tiga Mayat** bergetar halus di jemarinya. Sarah dan Laila mengikuti, wajah mereka penuh kewaspadaan, rambut pirang dan cokelat gelap mereka tampak berkilau di bawah cahaya lendir. Murphy berjalan di b

    Last Updated : 2025-03-16
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 33: Pertarungan Dua Ancaman

    Lorong luas Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara berderit dari rak-rak kayu raksasa yang bergerak, dinding batu tua dipenuhi ukiran kuno yang berkilau samar di bawah cahaya hijau dan biru lendir yang bergetar di langit-langit. Udara terasa berat, bau logam dan tinta usang bercampur aroma asam dari parasit gelap yang melayang cepat, sayap tipis mereka berdengung seperti serangga haus. Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat**, matanya biru tajam menatap parasit yang mencoba melahap rak. Sarah dan Laila berdiri di sisinya, wajah mereka tegang, tangan mereka siap dengan energi ungu. Murphy mengangkat pedangnya, energi emas berkilau samar, matanya cokelat dari penyamaran kristal penuh kewaspadaan. "Kita harus cepat," kata Kael, suaranya rendah tapi tegas, tangannya mengepal memegang peta kulit dari lendir. "Parasit ini fokus ke rak—Sarah, ilusi untuk tarik perhatian mereka. Laila, arahkan kami. Murphy, serang yang mendeka

    Last Updated : 2025-03-17

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 110 — Dua Kael

    Kael berlari menembus kegelapan pekat, napasnya berat, jantungnya berdegup tak karuan seperti genderang perang. Setiap langkahnya menghentak lorong kosong itu, menghasilkan gema sunyi yang segera ditelan gelap, menyatu dengan desiran angin dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di hadapannya, dunia seolah tak berujung. Tak ada suara selain derap langkahnya. Tak ada aroma tanah, darah, ataupun kehidupan. Tak ada energi sihir yang terasa. Hanya hampa. Hanya tubuhnya sendiri... dan keputusasaan yang menggeliat perlahan, seperti ular berbisa yang membelit hatinya. Windstep yang biasanya membawanya meluncur ringan kini terasa berat. Kael seakan berlari di atas pasir hisap. Setiap loncatan terasa menghabiskan lebih banyak tenaga, dan parahnya—jarak seolah tak pernah berkurang. Semakin cepat ia berlari, semakin jauh rasanya tujuannya. "Ada yang salah," pikir Kael, peluh dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya menghantam tulang rusuk, memompa kegelisahan ke seluruh tubuh. "Tidak!

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 109 – Labirin Kegelapan dan Wajah yang Mengelabui

    Ketegangan yang menekan dada perlahan menyelimuti kelompok itu setelah kejadian di luar. Meskipun kekhawatiran terhadap Molly dan Vale masih menggelayuti pikiran mereka, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan misi. Waktu tidak berpihak pada mereka. Dengan langkah waspada, mereka melangkah ke dalam kedalaman area terlarang Akademi Vitrum. Tanpa peta, tanpa informasi yang jelas, mereka ibarat pejalan buta dalam hutan lebat, hanya bergantung pada insting dan kewaspadaan mereka sendiri. Lyra menggenggam botol sihir di tangannya erat-erat, jari-jarinya yang ramping menempel kuat seolah itu adalah satu-satunya pelindungnya. Cairan biru di dalam botol beriak perlahan, memantulkan cahaya lampu magis di sepanjang lorong. Ia siap kapan saja melepaskan sihir kontrol airnya untuk menyerang atau bertahan. Murphy, di sisi lain, memegang pedang sihirnya yang diselimuti aura keemasan. Cahaya itu tampak menghangatkan, namun pada saat yang sama memancarkan ketegasan yang membuat siapa pun berpiki

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 108 – Bayangan di Balik Kabut

    Di luar area terlarang, saat kelompok Kael bertarung keras untuk membuka pintu raksasa, di bukit berbatu yang diselimuti kabut tipis, sosok paman Peter berjongkok, menyatu dengan batuan kasar dan bayang-bayang, matanya awas menatap situasi di kejauhan. Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Ia langsung siaga, namun segera menurunkan bahu saat melihat dua sosok yang mendekat. Maya dan paman Barrett muncul dari balik bayangan, tubuh mereka hampir tak terlihat, terlindungi oleh lapisan sihir bayangan yang melingkupi mereka. "Aku tidak menyangka... betapa menegangkannya mengikuti perjalanan kalian," gerutu Maya, suaranya rendah dan serak, matanya yang tajam menyapu area sekitar dengan waspada. "Kami harus berusaha keras menyingkirkan makhluk beracun di sekitar sini, sementara kalian bisa bergerak cukup aman di dalam kabut itu..." Bayangan sihir paman Barrett menari samar di sekitar tubuh mereka, membuat mereka nyaris mustahil dideteksi oleh makhluk liar yang berkeliaran. Paman B

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status