Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terbungkus dalam keheningan yang mencekam setelah pertarungan sengit, dinding batu tua yang dingin dan berlumut masih bergema pelan oleh getaran terakhir. Serpihan kayu dari rak-rak raksasa yang hancur berserakan di lantai yang retak dan basah oleh darah hitam serigala jadian. Udara terasa tebal dan menyengat, bau asam lendir yang meleleh bercampur dengan aroma darah busuk dan logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tipis yang menusuk hidung hingga tenggorokan terasa kering. Parasit gelap raksasa, yang kini terkulai di lantai dalam kepompong lendir cair yang menipis, tak lagi bergerak. Tubuhnya hitam pekat menyusut perlahan, sayapnya yang berdengung kini diam seperti reruntuhan yang patah. Laila berdiri di tengah, tubuh kecilnya gemetar hebat, matanya cokelat besar berkaca-kaca oleh kelelahan saat ia mengerahkan kekuatan terakhirnya. Ia menutup mata, pendengaran supernya menangkap aliran darah hitam yang kacau di tubuh parasit, dan dengan n
Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terbungkus keheningan yang rapuh. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut memantulkan bayangan samar dari rak-rak kayu raksasa yang bergerak pelan, seolah tak terganggu oleh pertarungan sengit yang baru berakhir. Udara terasa dingin dan lembap, bau asam lendir yang meleleh perlahan memudar, digantikan aroma logam tua yang berkarat dan darah hitam serigala jadian yang mulai mengering di lantai yang retak. Kael duduk bersandar ke dinding, napasnya masih tersengal tapi lebih teratur, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan roti kering dan botol air dari karung bekal. Matanya yang biru, meski lelah, tetap waspada menatap lendir kecil yang terbaring di dekat sisa tubuh parasit gelap, tubuhnya yang bening berkilau samar seolah masih mencerna energi besar yang diperolehnya. Sarah duduk di sisinya; rambut pirangnya kusut menempel di dahi pucatnya. Tangannya sibuk merobek kain dari mantelnya untuk membalut pundak Murphy yang berdarah. "Pegang diam, Murp
Lorong gelap Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara benturan keras dan geraman yang menggetarkan, dinding batu tua yang berlumut bergetar hebat hingga serpihan kecil berjatuhan dari langit-langit. Udara dipenuhi bau logam tua yang berkarat dan tanah basah, dicampuri aroma samar darah hitam yang masih membekas dari pertarungan sebelumnya. Di tengah kegelapan, monster berkepala kambing berdiri marah, tubuhnya besar berotot dan tertutup bulu hitam kusut, tanduk melengkungnya berkilau samar di bawah cahaya redup, matanya merah menyala penuh nafsu membunuh. Sabit raksasanya menggores lantai dengan bunyi logam menusuk telinga, meninggalkan bekas dalam yang mengeluarkan percikan api kecil saat ia melangkah maju, geramannya mengguncang udara seperti guntur. Dua sosok muncul dari bayang-bayang gelap, menghalangi jalannya—paman misterius dan wanita misterius. Paman itu berdiri tegak, mantel hitamnya menyatu dengan kegelapan, belatinya berkilau samar di tangan kanannya, matanya dingin sep
Lorong rahasia di balik rak buku raksasa terasa dingin dan sempit. Dinding batu tua yang kasar ditumbuhi lumut basah dan licin. Udara di sana pengap, berbau tanah lembap bercampur aroma kayu lapuk yang samar. Semua itu menciptakan suasana suram yang membuat mereka sulit bernapas. Kael berjalan paling depan, mantelnya melambai pelan tertiup angin dingin yang mengalir dari arah depan. Sepasang mata birunya yang tajam menatap ke dalam kegelapan dengan penuh kewaspadaan. Tangannya dalam keadaan siaga, meski energi sihir dalam tubuhnya masih terasa lemah. Sarah dan Laila mengikuti rapat di belakangnya. Rambut pirang Sarah dan rambut cokelat gelap milik Laila menempel pada dahi mereka yang pucat karena keringat. Langkah kedua gadis itu hati-hati, menghindari lantai batu yang tidak rata. Murphy berjalan di belakang mereka, pundaknya terbalut kain yang bernoda darah. Pedangnya masih tersarung, namun tangan pria itu tetap waspada di dekat gagang senjata. Napasnya terdengar sesak akibat luka
Angin dingin bertiup kencang di puncak tebing, membawa aroma segar air tawar bercampur bau tanah basah dari sungai deras di bawah. Cahaya matahari yang redup menyelinap di sela-sela awan tebal, memantulkan kilauan samar di permukaan air hitam yang berputar ganas. Gemuruh arusnya menggema hingga ke dinding batu curam, mengirim getaran halus ke kaki Kael dan kelompoknya. Di seberang sungai, sebuah gunung menjulang megah, puncaknya terselimut kabut tipis. Di lerengnya berdiri teguh bangunan kuno; dinding batunya dipenuhi ukiran simbol penyihir yang telah pudar dimakan waktu, atapnya retak namun tetap berdiri kokoh seperti penjaga abadi. Itulah tujuan akhir yang mereka kejar sejak memasuki wilayah Perpustakaan Tersegel. Kael berdiri tegak di bibir tebing, mantelnya berkibar pelan diterpa angin. Matanya yang biru menyipit, menatap tajam ke arah sungai sambil menggenggam erat peta kulit di tangannya—sebuah peta yang kini diam setelah selesai menunjukkan arah. Napasnya masih berat akibat p
Tepi sungai di sisi gunung terasa dingin dan lembap. Angin sepoi membawa aroma air tawar yang berpadu dengan wangi tanah basah. Gemuruh arus deras di bawah mengisi udara dengan irama konstan yang menenangkan setelah perjalanan melelahkan. Kael duduk di atas batu licin, mantelnya basah melekat di tubuh. Tangannya menggenggam peta kulit yang kini sedikit robek di tepi. Mata birunya lelah namun tetap waspada, menatap bangunan kuno yang menjulang di sisi gunung. Sarah bersandar di sampingnya, rambut pirang kusutnya menempel di wajah pucat. Ia meneguk air dari botol dengan perlahan, mata ungunya sesekali melirik sungai penuh kewaspadaan. Laila duduk di tanah berbatu, memeluk gadis kecil yang dulunya berupa lendir. Mata cokelatnya yang besar memancarkan kelelahan namun tetap siaga saat mengawasi arus deras, pendengaran supernya kini terbiasa dengan suara air sebagai latar. Murphy terbaring di dekat mereka, bahunya terbalut kain berdarah, wajahnya pucat berman
Suara gesekan keras bergema di gunung berbatu yang dingin dan berangin, memecah kesunyian yang mencekam. Dinding tebing bergetar hebat saat cangkang batu menyerupai kepiting raksasa muncul dari dalam tanah. Tubuh bulat keras mereka berderit bagai logam tua yang berkarat, mata merah kecil berkilat mengancam dari celah-celah cangkang berkilau. Udara dipenuhi aroma debu kering dan tanah basah teraduk, bercampur bau samar darah hitam yang masih menempel di pakaian mereka dari pertarungan sebelumnya. Di tengah kelompok, Kael berdiri dengan mantel hitam berkibar ditiup angin gunung. Mata birunya menyipit waspada mengawasi sekeliling, tangan terkepal menyala dengan energi hijau kehitaman Racun Tiga Mayat. Napasnya memburu namun tekadnya tak goyah, meski energi sihirnya terbatas setelah pertarungan panjang. Ketegangan meningkat ketika cangkang-cangkang batu bergerak mengepung mereka dalam formasi melingkar, suara gesekan batu memekakkan telinga di dinding gunung.
Udara di luar bangunan kuno terasa dingin dan kering. Angin gunung sepoi-sepoi membawa aroma debu tua dan kayu lapuk dari pintu raksasa yang baru terbuka, suara deritnya masih bergema samar di tebing berbatu. Cahaya matahari redup menyelinap melalui celah awan tebal, memantulkan kilauan lembut pada dinding batu berukir, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di tanah tempat Kael dan kelompoknya berdiri. Kael duduk di atas batu besar, mantel basahnya menempel di tubuh. Tangannya menggenggam peta kulit yang kini diam, mata birunya menatap tajam ke pintu gelap dengan penuh kewaspadaan. Napasnya masih tersengal namun mulai teratur. Instingnya bergetar—firasat samar namun kuat bahwa langkah berikutnya ke dalam bangunan ini tidak akan mudah. "Kita istirahat dulu di sini," ujar Kael, suara rendah tetapi tegas, tangannya mengepal saat melirik kelompoknya. "Instingku mengatakan kita harus siap—apa yang di dalam mungkin lebih berat dari yang telah kita hadapi. Kita tidak boleh masuk de
Perjalanan mereka berjalan lancar, berkat insting tajam Paman Peter dan Kael yang memandu langkah kelompok kecil itu melewati lorong-lorong gelap nan berliku. Di sekeliling mereka, dinding batu kasar menjulang, dipenuhi lumut hitam yang mengilap dalam kegelapan, seolah-olah makhluk hidup yang mengintai. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan gema sunyi yang menyebar seperti gelombang di udara berat. Meskipun sudah berhati-hati, mereka tetap menemukan jebakan di sepanjang perjalanan. Terkadang jalanan berubah bentuk, seolah-olah dinding hidup yang bergeser dengan sendirinya. Ada pula lubang-lubang kecil tersembunyi di lantai yang tampak kokoh, yang bisa menelan mereka tanpa ampun jika lengah. Namun, perjalanan penuh tipu daya ini malah semakin mengasah insting Kael. Dengan setiap jebakan yang mereka hindari, nalurinya menjadi lebih tajam, seperti pedang yang terus diasah. Ia mulai dapat merasakan keanehan sebelum jebakan itu benar-benar terungkap, membuat mereka mampu berbelok atau b
Berada terlalu lama di tempat yang diselimuti kegelapan dan suasana mencekam membuat perasaan tidak nyaman menyelimuti semua orang. Namun, mereka tidak memiliki pilihan lain. Jalan ke depan tertutup oleh gelap yang tidak biasa, dan rasa was-was mulai menggerogoti ketenangan mereka. "Karena di dalam ruang ini kita akan kehilangan arah jika hanya mengandalkan mata dan telinga seperti sebelumnya, maka kita harus mengandalkan insting saja," ucap Kael, suaranya tenang namun tegas. Ia memandang anggota kelompoknya yang terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Aku pikir Paman Peter pasti memiliki kemampuan insting yang kuat juga. Jadi, aku dan Paman Peter akan mencoba mengikuti insting kami untuk menemukan arah yang benar di lorong ini." "Aku harap itu benar-benar membantu seperti yang kamu katakan. Sudah terlalu lama kita berada di sini," balas Paman Peter, wajahnya serius, matanya menyipit menembus gelap yang tak bersahabat. "Aku khawatir kita akan kehabisan waktu. Bisa saja kelo
Energi sihir yang terkompresi dengan cepat meluncur bagai meteorit yang jatuh dari langit, mengarah lurus ke sosok yang menyerupai Kael. Suara ledakan energi menggema di seluruh lorong, dan pada saat bersamaan, kelompok Kael seolah menyadari sesuatu yang tidak beres. Mereka tanpa sadar mundur, menjaga jarak dari sosok Kael yang selama ini mereka ikuti. Saat serangan Kael menghantam, sosok itu akhirnya menunjukkan wujud aslinya—sebuah makhluk mengerikan yang bentuknya menyerupai kenangan buruk yang pernah Kael hadapi. Tubuh makhluk itu bergetar, berteriak dengan suara nyaring penuh rasa sakit. Sihir racun melemahkan milik Kael perlahan meluruhkan tubuhnya, memperlihatkan sosok yang menjijikkan: seperti gurita dengan kepala yang dipenuhi mulut bergigi tajam yang terbuka lebar, menganga liar di udara. Murphy, yang menahan rasa mual, berseru dengan ekspresi buruk di wajahnya. "Jadi, apakah Kael yang bersama kita sebelumnya adalah makhluk mengerikan ini?! Karena itulah aku merasa k
Kael berlari menembus kegelapan pekat, napasnya berat, jantungnya berdegup tak karuan seperti genderang perang. Setiap langkahnya menghentak lorong kosong itu, menghasilkan gema sunyi yang segera ditelan gelap, menyatu dengan desiran angin dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di hadapannya, dunia seolah tak berujung. Tak ada suara selain derap langkahnya. Tak ada aroma tanah, darah, ataupun kehidupan. Tak ada energi sihir yang terasa. Hanya hampa. Hanya tubuhnya sendiri... dan keputusasaan yang menggeliat perlahan, seperti ular berbisa yang membelit hatinya. Windstep yang biasanya membawanya meluncur ringan kini terasa berat. Kael seakan berlari di atas pasir hisap. Setiap loncatan terasa menghabiskan lebih banyak tenaga, dan parahnya—jarak seolah tak pernah berkurang. Semakin cepat ia berlari, semakin jauh rasanya tujuannya. "Ada yang salah," pikir Kael, peluh dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya menghantam tulang rusuk, memompa kegelisahan ke seluruh tubuh. "Tidak!
Ketegangan yang menekan dada perlahan menyelimuti kelompok itu setelah kejadian di luar. Meskipun kekhawatiran terhadap Molly dan Vale masih menggelayuti pikiran mereka, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan misi. Waktu tidak berpihak pada mereka. Dengan langkah waspada, mereka melangkah ke dalam kedalaman area terlarang Akademi Vitrum. Tanpa peta, tanpa informasi yang jelas, mereka ibarat pejalan buta dalam hutan lebat, hanya bergantung pada insting dan kewaspadaan mereka sendiri. Lyra menggenggam botol sihir di tangannya erat-erat, jari-jarinya yang ramping menempel kuat seolah itu adalah satu-satunya pelindungnya. Cairan biru di dalam botol beriak perlahan, memantulkan cahaya lampu magis di sepanjang lorong. Ia siap kapan saja melepaskan sihir kontrol airnya untuk menyerang atau bertahan. Murphy, di sisi lain, memegang pedang sihirnya yang diselimuti aura keemasan. Cahaya itu tampak menghangatkan, namun pada saat yang sama memancarkan ketegasan yang membuat siapa pun berpiki
Di luar area terlarang, saat kelompok Kael bertarung keras untuk membuka pintu raksasa, di bukit berbatu yang diselimuti kabut tipis, sosok paman Peter berjongkok, menyatu dengan batuan kasar dan bayang-bayang, matanya awas menatap situasi di kejauhan. Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Ia langsung siaga, namun segera menurunkan bahu saat melihat dua sosok yang mendekat. Maya dan paman Barrett muncul dari balik bayangan, tubuh mereka hampir tak terlihat, terlindungi oleh lapisan sihir bayangan yang melingkupi mereka. "Aku tidak menyangka... betapa menegangkannya mengikuti perjalanan kalian," gerutu Maya, suaranya rendah dan serak, matanya yang tajam menyapu area sekitar dengan waspada. "Kami harus berusaha keras menyingkirkan makhluk beracun di sekitar sini, sementara kalian bisa bergerak cukup aman di dalam kabut itu..." Bayangan sihir paman Barrett menari samar di sekitar tubuh mereka, membuat mereka nyaris mustahil dideteksi oleh makhluk liar yang berkeliaran. Paman B
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi