Share

Kuliah atau ....

Ria duduk di depan cermin, menyisir rambut lurus yang sebahu. Pantulan wajah itu  terlihat kuyu, mata bengkak, menampilkan pipi yang agak cekung, dengan bibir pucat. Ria memang tak ada menimbang badan, tetapi dapat diketahuinya pasti berat badan turun, dari banyaknya baju yang dipakai terasa longgar. Kilatan masa lalu, kebersamaan Mak selalu hadir kembali. Kenangan, harapan serta hal-hal indah membersamai hidup bersama Mak bermunculan.

"Kuliahmu nanti mau ambil apa, Nak?" tanya Mak waktu itu.

"Ria, tertarik mau jadi guru, Mak." Dengan mata berbinar Ria menjawabnya.

"Mantap tu, Ria cocok jadi guru. Itu kerjaan mulia, nanti Mak usahakan biayanya, Bibikmu pun akan membantu," terang Mak.

Seminggu telah berlalu, selama itu tahlilan dilakukan oleh keluarga. Hari ini rumah kembali sepi karena para tetangga serta kerabat tidak ada lagi berkumpul.

Ria harus terbiasa, hidup tanpa Mak. Begitu banyak perhatian dari kedua Bibinya di rumah ini. Nasihat, kata petuah dari para tetua, tetangga kerabat banyak mengalir pada Ria. Bagaimana Ria harus sabar. Tabah menerima kenyataan. Mengikhlaskan yang telah pergi. Ucapan mereka, semua bernyawa jodohnya pasti kematian. Cuma waktunya saja berbeda. Mungkin Mak lebih awal, kita pun semua akhirnya akan menyusul, entah kapan. Mak, walau raga tak lagi di sisi Ria. Tapi kenangan serta nama Mak selalu ada di hati Ria, Mak. Doa selalu akan  Ria alirkan setiap selesai salat, pada kedua orang tua. Ria membatin. Air mata telah di sudut mata, hanya dengan sekali kedipan kembali akan membasahi pipi. Janji terucap di hati gadis itu. Dengan cepat ia menyeka dan berdiri, sebelum ia  kembali larut bersedih tak berkesudahan.

Ria keluar kamar, mendapatkan Bi Tinah dan Bi Laila sedang berbicara dengan wajah serius di ruang tamu. Senyum merekah menyambutnya, ketika Ria ikut bergabung.

"Ria, harus menjalani meneruskan hidup penuh semangat, ya, Nak," Bi Laila berucap dengan tangan dikepal, senyum manis menghiasi wajahnya yang tak lepas dari polesan makeup natural.

Bi Tinah, mendekati mencondongkan tubuhnya seraya membelai rambut Ria, " iya, Ria, Bibi berdua akan menjagamu. Kami akan menggantikan orang tuamu, Nak."

"Terimakasih, Bi," jawab Ria terharu sekali, mata Ria mulai berembun.

"Udah-udah, jangan nangis lagi," cegah Bi Laila cepat, menyapu sudut mata Ria dengan ujung jarinya.

Ria tersenyum, "Bi, sewaktu kecelakaan kemarin, Bibik jadinya kemana?" tanyanya dengan memandang Bi Tinah penuh selidik.

Ekspresi Bi Tinah berubah seketika. Aura dingin serta sendu sarat dengan kesedihan, terpancar pada matanya. Bi Tinah menghela napas. Seperti ada hal yang begitu berat untuk diucapkan.

"Bibimu diselamatkan Faisal, bahkan dia ingin minta maaf dan ingin kembali. Mana bisa dipercaya!" Bi Laila seperti biasa, sangat komunikatif.

"Maksudnya?"

"Ini sabotase, supir truk dibawah kendali Ki Winto. Faisal datang tepat waktu, tetapi hanya bisa sempat menyelamatkan Bibimu."

Bi Tinah hanya diam, menundukkan kepala. Seperti ada yang sangat ia sesali. Mendengar penjelasan Bi Laila Ria kaget, ini dendam seperti apa? Kenapa mesti Ria dan maknya yang menjadi terseret dalam masalah mereka. Tak hentinya mereka menyerang dengan berbagai cara, pikir Ria.

"Bi Tinahmu tak salah, Ria. Dia juga korban. Dendam lama itu beraksi lagi," sebut Bi Laila seakan membaca pikiran Ria.

"Ini salahku," desah Bi Tinah dengan suara bergetar lalu tergugu dengan tubuhnya terguncang.

Ria tahu ini takdir, tak harus menyalahkan siapapun kecuali mereka yang merencanakan. Musuh kedua Bibinya inilah yang telah menghabisi nyawa Mak. Darah Ria mendidih, amarah terasa membakar. Ingin rasanya meluahkan rasa kebencian yang membuncah. Api dendam membara di hati Ria.

"Bi, cepat ajari aku ilmu kanuragan dan kebatinan itu," ucap Ria bergelora penuh semangat.

"Ria, kau salah jika menempatkan dendam pada dasar keinginanmu untuk berlatih," ujar Bi Tinah yang sudah meredakan emosinya. Wajahnya kembali tenang dengan ekspresi lekat memandangi mendominasi.

"Dendam, akan membuatku terkurung dengan kebencian. Dan itu akan menghancurkan diri sendiri. Hilangkan rasa itu!" tambahnya lagi. Baru kali ini Bi Tinah berbicara lebih banyak dari biasanya.

"Maksudnya, Bi?" tanya Ria tak mengerti.

"Dendam dilarang oleh Allah SWT, permusuhan yang tak berkesudahan, terjerumus ke jalan syaitan, dibenci oleh Allah, akan menjauhkan dari rahmat Allah, tentunya ini tidak diridhoi, kau paham itu Ria," Bi Tinah menegaskan. Terkadang Bi Tinah seperti asing bagi Ria. Timbul rasa sungkan. Jika Dia sudah serius berbicara banyak. Nyali Ria menciut, anehkan, padahal Bibi Ria sendiri. Berbeda dengan Bi Laila ia merasa seperti sahabat. Pribadi yang hangat, supel, bawel dan ada urakannya.

Tak ada bantahan yang dapat Ria ucapkan. Anggukan berlahan menjadi jawaban atas responnya kepada Bi Tinah.

"Bagaimana dengan kuliah yang akan kau ambil? Kapan mulai masuk?" tanyanya Bi Tinah dengan suara tegas.

"Bulan depan, udah masuk Bi, akan menumpang tinggal di rumah Paman Tiok, kayaknya jadi,"

Akhirnya, Ria akan kuliah di Universitas Riau (UR) mengambil Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan sesuai cita-citanya. Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Untungnya adik bapaknya ada yang berdomisili di Pekanbaru sehingga Ria tak perlu mencari indekos lagi kebetulan juga jarak tempuhnya  pun tidak begitu jauh.

"Kalo kuliah, cem mana mau belajar ilmu dari kita?" timpal Bi Laila bertanya.

Ria tercenung, Bi Tinah pun sama,  mereka di kecamatan sementara Ria di ibukota provinsi. Bagaimana hal itu bisa terkejar olehnya nantinya.

Ria sangat ingin memiliki ilmu agar memiliki modal untuknya nanti melawan orang yang akan berniat jahat padanya. Selain itu bahaya bisa saja masih mengincar. Dilema yang dirasakan saat ini. Diantara dua pilihan yang sulit. Keduanya sama penting. Dengan bismillah, puncaknya ia memutuskan menunda setahun untuk mulai kuliahnya. Ia akan fokus konsentrasi untuk modal diri agar kuat. Setelah itu nanti baru menuntut ilmu tuk impiannya.

Kedua Bibinya pun setuju saja atas keputusan yang telah diambilnya. Apapun itu asal tekad kuat serta semangat berkobar. Mereka berharap dalam waktu setahun itu sempat untuk berlatih. Mereka tidak lagi membuka praktek lebih memprioritaskan latihan agar lebih maksimal. Untuk biaya hidup, hal yang mengejutkan modal hidup Bi Tinah dan Bi Laila memiliki tabungan dengan nominal banyak.

Diawali dengan olah fisik. Ria harus menyeimbangkan hidup dengan pola diet sehat. Ketahanan tubuh dengan berlari pagi, olah raga. Bahkan Bi Tinah tega  menyuruhnya mengangkat air dari ujung jalan hingga ke rumah. Menjadi tontonan para penduduk. Kulitnya yang dulunya putih bersih mulai menuju kewarna kecoklatan. Tepian pipi dekat telinga terlihat belang dengan pipinya, karena jejak hijab yang membekas.

Siang malam ditempa dengan dua wanita yang berkarakter berlawanan. Menjadi lebih bervariasi. Disaat  Ria merasa lelah rasa tak berdaya Bi Laila mengedipkan matanya menyuruh istirahat, sementara Bi Tinah melirik bahkan melototkan matanya ketika push-up Ria terhenti. Otot dibeberapa bagian terlihat mulai menonjol. Garis wajah terlihat lebih keras. Ria tidak kemayu lagi. Ternyata tidak mudah, berproses harus dilaluinya. Pontang panting hingga jungkir balik siang jadi malam, begitupun sebaliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status