Om Tiok segera dilarikan ke rumah sakit. Bi Tinah dan Bi Laila yang saat kejadian masih menginap di rumah mereka ikut serta mengantar ke rumah sakit. Sedangkan Ria sore itu belum berada di rumah. Gadis itu masih berada di kampus, masuk kuliah dijadwal siang.
Diagnosis dokter Om Tiok mengalami gangguan pada jantungnya dan oleh dokter harus diopname beberapa hari sampai pulih. Serta tetap melakukan rawat jalan nantinya.
Clara dan Bi Wulan begitu panik dan cemas. Mereka berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Kondisi perusahaan yang hampir terpuruk dan ditambah lagi kondisi kesehatan yang buruk.
Bi Tinah dan Bi Laila bersikap memberi dukungan serta mendoakan agar Om Tiok segera sehat seperti sedia kala.
Mata Om Tiok yang semula terpejam mulai terbuka secara perlahan.
“Papa!” Clara mendekati brankar. Mata kedua gadis itu berkaca-kaca.
Bi Wulan pun melakukan hal yang sama. Mama Clara tersebut mengengam tangan suaminya.
“Ria
Wah, pilih Rendy apa Afran nih para pembaca sekalian ? Kalau kita mah, bingung lo. Yuk terus ikuti ya. Musuh besar belum muncul lagi lo.
Setelah bertanya pada bagian informasi. Ria menuju lantai atas rumah sakit ruangan VVIP menggunakan lift. Melangkah dengan keraguan serta bagaimana ia nantinya harus bersikap terhadap pamannya.Setelah menemukan ruangan Paman Tiok. Pamannya tersebut hanya minta berbicara berdua saja. Bi Tinah dan Bi Laila beriringan ke luar ruangan. Sedangkan Bi Wulan dan Clara seperti tak rela jika tidak ikut mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Mereka sangat penasaran. Sayangnya Paman Tiok tetap menyuruh mereka keluar.“Ria,” lemah suara paman Tiok. “Sebenarnya kamu berpihak pada siapa? Paman ini adalah adik satu-satunya dari Bapakmu dan kau tega bekerja pada musuh pamanmu.”“Hm, itu-“ Ria mencoba berpikir mencari kata-kata yang pas untuk berbicara.“Apa?”“Itu, paman. Aku tak tahu jika kalian bermusuhan. Setahuku di pesta hotel itu bukankah kalian merger ya?” tanya Ria dengan memasang wajah polosny
"Mak, ada angkat baju gamisku yang dipake waktu kondangan Surti kemaren, Mak?"tanya Ria pada maknya yang terlihat sibuk menyapu dapur."Tak ada, kenapa?" Mak balas bertanya lagi."Enggak ada ni Mak, mana ya?" ujar Ria sambil membongkar tumpukkan kain yang baru saja diletakkan di keranjang setrikaan.Kening Ria berkerut mengingat beberapa harian ini, berpikir di mana meletakkannya ataukah terlupa.Ria berdiri, menuju kamar membuka lemari dan memeriksanya. Tiada menemukan pakaian yang dicarinya."Jangan-jangan hilang ndak ya, Mak, apa ada yang mencurinya ya?”"Ingat-ingat dulu, iya dicuci ndak tadi? atau tergantung di lemari tak?""Cuci kok, Mak," pungkas Ria cepat.Baju gamis itu adalah baju kesayangan gadis berambut panjang. Nyaman dipakai karena bahannya yang adem walaupun harganya tidak terlalu mahal. Warnanya polos serta lembut, sehingga sangat mudah memadukan dengan jilbab warna lain.Hati gadis itu tak tenang,
Malam Jumat Kliwon itu akhirnya datang juga. Seperti perintah Bi Tinah. Malam ini mereka akan membakar baju gamis.Dua wanita tersebut memutuskan untuk menginap di rumah Bi Tinah saja. Walaupun paham dengan perintah yang disuruhnya, tetapi muncul keraguan dan ketakutan. Ria dan Mak memang terkenal penakut dalam keluarganya.Rumah lama peninggalan nenek Ria banyak memiliki kenangan. Bentuknya berupa rumah panggung. Terbuat dari kayu yang kokoh tanpa cat. Undakkan berjumlah lima anak tangga untuk naik ke rumah. Jendela besar serta lubang angin di atas pintu. Di bawah rumah terdapat beberapa kayu bakar untuk Bi Tinah memasak. Walau kompor gas sudah ada tapi ia lebih sering menggunakan tungku api. Di kiri kanan dan depan masih terdapat beberapa pohon rambutan serta mangga sehingga membuat permukaan tanah menuju rumah agak bergelombang karena akar yang bermunculan di tanah.Malam bergulir, langit indah berhiaskan bulan yang sedang bercumbu pada bintang. Suasana yang
Tiba-tiba angin berembus kencang. Keheranan tentu itu yang dirasakan, dari mana arah angin menerpa tersebut hadir, sementara rumah tertutup, hanya lubang angin kecil di atas pintu saja. Angin tersebut memadamkankan korek api yang dipegang oleh Bi Tinah.Ketakutan menyergapi, bulu kuduk meremang. Suasana sunyi senyap. Segera Ria berinisiatif mendekati Mak, merapatkan tubuhnya. Ria merasa ada yang tak beres. Maknya menyambut dengan merangkulkan tangannya ke bahu Ria."Takut aku, Mak," lirih Ria."Sama Mak pun takut, tapi kita minta tolong pada Allah, semoga Bibimu dibantu Allah, Nak. Mudahan malam ini terlewati dengan lancar." ucapan Mak Ria mencoba menghibur dengan suara bergetar. Dapat dirasakan dia pun merasakan kekhawatiran."Bersiap, orang ini melakukan perlawanan," ucap Bi Tinah dengan wajah serius.Lampu mendadak padam. Gelap gulita dengan angin semilir terasa dingin menembus tulang. Dengan gemetar Ria mencoba merogoh ponsel di saku. Mencoba m
Tiba-tiba suasana berubah menjadi hitam pekat. Keberadaan Ria dan Bibinya tersebut bukan lagi di rumah. Hanya terlihat Bi Tinah pada pandangan mata Ria, begitu pun sebaliknya. Serasa aliran panas mengalir pada setiap pembuluh darah Ria. Gadis yatim itu tak tau siapa dirinya lagi. Artinya Ia telah dikendalikan alias kesurupan. Tubuhnya memiliki energi kuat yang menguasai. Bak banteng yang siap menyerang dan mengerang.Bi Tinah bersila mengambil posisi tenang, mulutnya bergerak-gerak cepat. Tubuhnya bersinar terang dengan cahaya yang menyilaukan. Melihat hal itu, ada gejolak perlawanan dan kekuatan besar menarik Ria untuk segera bertindak. Dengan berteriak Ria maju menyerang dengan cepat. Tubuh gadis itu yang sudah dikuasai itu berlompatan gesit menyerang dengan tenaga penuh.Bi Tinah dengan lincah hanya mencoba menghindar saja. Tanpa bisa membuat serangan balik. Dengan pertimbangan takut akan melukai fisik keponakannya. Dia terlihat kewalahan menghadapi serangan Ria. Ka
Berlahan Ria membuka mata. Pertama yang terlihat adalah langit- langit kamar berupa papan triplek berwarna coklat, sebuah bola lampu kecil mengantung di sana. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh sambil berpikir. "Ria!Ria! Syukurlah kamu sudah sadar, Nak!" Terdengar suara maknya, membuat Ria mengalihkan pandangan cepat. Mak tersenyum mengapai tangan Ria. Raut wajah bahagia semringah terpancar dari wanita yang melahirkannya tersebut. "Aduh!" keluh Ria sembari meringis. "Kenapa, Nak. Apa ada yang sakit?" tanya Mak khawatir. "Badanku sakit-sakit semua, tenggorokan kering," Ria mencoba mengangkat tangan menuju lehernya. "Memang seperti itu jika setelah kesurupan, itu untung pingsanmu tak kelamaan." Tiba-tiba Bi Tinah muncul di ambang pintu kamar menyahut. Melangkah ke arah mereka, menyerahkan segelas air putih. Secara cepat disambut Mak dan ikut menolong Ria untuk duduk bersandar. Mak menopang dan tangan sebelahnya menuntun cangkir k
Cahaya mentari pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, Ria menggerjab sesaat. Mengeliatkan badan, lalu duduk di atas ranjang yang hanya muat untuk sendiri. Alhamdulillah tubuhnya sudah tidak begitu merasakan linu lagi. Hanya kepala terasa sedikit berat. Memperhatikan sekeliling, Bi Laila masih lelap tertidur dengan baju tidurnya berlengan panjang dan celana panjang terbuat dari kain lembut serta berenda. Mak dan Bi Tinah tidak terlihat, mungkin sudah bangun. Hanya meninggalkan jejak selimut yang sudah berlipat di samping Bi Laila.Ria beranjak berdiri menuju dua jendela kayu besar yang berada beberapa langkah darinya. Udara segar begitu terasa ketika jendela itu terdorong oleh Ria.“Hmm … sudah bangun, jam berapa ini?”“Pukul 08.00, Bi. Bi Laila dari kota mana ? Apa sudah berkeluarga atau belum seperti Bi Tinah?” serbu Ria dengan pertanyaan.“Ini anak, pagi-pagi kita di recoki ama pertanyaan bukan
Terdenggar suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Mereka berdua pun bergegas ke depan. Sebelumnya memakai jilbab sarung mereka. Sebuah mobil hitam L300 datang, bak di belakangnya telah tersusun barang-barang. Ada lemari, kasur, kursi tamu lapuk, alat-alat dapur. Supir dan keneknya membantu menurunkan barang berat. Mereka akan menatanya nanti, kamar belakang yang biasanya kosong telah dibersihkan sehingga tinggal meletakkan serta menyusunnya.Ria yang tak melihat Mak dan Bi Tinah yang tadinya memakai sepeda motor tak kunjung menyusul tiba. Ria mencoba menelepon Mak.“Assalamualaikum, Mak. Mak di mana?” tanya Ria cepat ketika ponselnya diangkat.“Waalaikumsalam, Mak sama Bibimu mau berpamitan dengan tetangga, serta nanti sekalian ke pasar, ada yang mau dibeli. Di susun itu barang-barang. Uang mobil udah di bayar itu. Cobalah mandiri lagi udah mau kuliah lagi pun, sedikit-sedikit Mak,” sahut Mak panjang lebar.“Iya, y