Cahaya mentari pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, Ria menggerjab sesaat. Mengeliatkan badan, lalu duduk di atas ranjang yang hanya muat untuk sendiri. Alhamdulillah tubuhnya sudah tidak begitu merasakan linu lagi. Hanya kepala terasa sedikit berat. Memperhatikan sekeliling, Bi Laila masih lelap tertidur dengan baju tidurnya berlengan panjang dan celana panjang terbuat dari kain lembut serta berenda. Mak dan Bi Tinah tidak terlihat, mungkin sudah bangun. Hanya meninggalkan jejak selimut yang sudah berlipat di samping Bi Laila.
Ria beranjak berdiri menuju dua jendela kayu besar yang berada beberapa langkah darinya. Udara segar begitu terasa ketika jendela itu terdorong oleh Ria.
“Hmm … sudah bangun, jam berapa ini?”
“Pukul 08.00, Bi. Bi Laila dari kota mana ? Apa sudah berkeluarga atau belum seperti Bi Tinah?” serbu Ria dengan pertanyaan.
“Ini anak, pagi-pagi kita di recoki ama pertanyaan bukannya sarapan,” gerutunya jengkel.
Ria menerbitkan senyum demi mendengarnya menggomel sambil garuk kepala yang tak gatal.
“Bibi dari Rengat, Bibi janda, anak satu, udah besar. Udah pandai urus sendiri, ikut bapaknya. Kami pisah!” sahutnya dengan tetap melakukan aktivitas melipat selimut.
Pagi itu Ria lebih mengenal Bi Laila lebih dekat. Ternyata Bi Laila membuka praktek supranatural juga. Berbeda dengan Bi Tinah gaya hidup Bi Laila lebih hedonisme dengan kemewahan. Terlihat dari mobil mewahnya, dia suka traveling dan bergaya. Bi Laila juga menyinggung tentang Bi Tinah yang dianggapnya terlalu idealis. Uang hasil pengobatan Bi Tinah lebih banyak di setor ke masjid dan amal. Selain itu katanya Bi Tinah wanita yang tidak bisa move on dari cinta pertama. Bertahan dengan hati yang patah dan memutuskan menua sendiri. Kalau Bi Laila malah berhasrat ingin mencari brondong keren ucapnya bersemangat.
Terbersit rasa ingin tahu Ria semakin besar, tentang kisah cinta Bi Tinah. Namun, mereka dikejutkan dengan kehadiran Bi Tinah yang tiba-tiba menghentikannya untuk mengorek informasi lebih dalam. Aneh memang untuk mengetahui tentang Bibinya itu malah harus dari orang lain. Karena Bibinya yang begitu tertutup. Dia datang menyuruh sarapan yang telah disiapkan oleh maknya Ria.
Hari ini, Ria dan Bi Laila bertugas memasak, sedangkan Bi Tinah dan Mak ke rumah kontrakan mereka. Mereka mengemasi barang yang nanti akan di bawa ke rumah Bi Tinah. Bi Laila kurang cekatan dalam hal bidang memasak karena ia jarang masak. Ia lebih suka makanan beli saja. Alhasil akhirnya Ria lah yang menyelesaikan persiapan untuk menu hari ini. Selesai masak, barulah Ria memutuskan untuk mandi karena tubuh sudah terasa lengket.
Ria menghampiri Bi Laila yang lagi asyik sendiri bermain ponsel. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rambutan belakang rumah. Angin tengah hari berembus semilir menerbangkan beberapa helai rambutnya ke wajah. Dengan mengembangkan senyum Ria mengambil duduk tepat di sampingnya.
“Lah siap mandilah?” Bi Laila menyambut Ria dengan pertanyaan.
“Udah, segar jadinya langsung zuhur,” sahutnya, “Bi, nggak salat?”
Bi Laila mengelengkan kepalanya, “ dapat tadi,” jawabnya.
“Bi cerita tentang Bi Tinah itu Bi, kepo aku lo jadinya,” sosor Ria padanya.
“Sedih ceritanya, Bi Tinah itu salah mencintai orang.”
“Maksudnya?” tanya Ria dengan dahi mengeryit. Rambutnya tertiup angin dialihkan ke belakang telinga. Jika di rumah mereka melepas hijabnya.
“Dulu, ada seorang pemuda bernama Faisal datang ke padepokkan ingin bergabung. Oleh guru kami Ki Ahmat, Ki Ahmat ini cucunya Tuan Guru Shaleh yang menyelamatkanmu itu, diterima dengan tangan terbuka. Alasan pemuda itu datang ingin bertaubat, Ia adalah anak dari musuh. Anaknya Ki Winto. Karena sering bertemu, kharismatik serta bersungguh-sungguh ingin menjadi orang baik. Bibimu dan Faisal saling jatuh cinta. Saat itu Kak Tinah berusia kurang lebih dua puluh lima tahunan la, akhirnya mereka akan disatukan. Toh, sudah saling menyukai. Namun, malapetaka itu terjadi. Faisal tiba-tiba memberontak, mungkin ia pura-pura masuk padepokan hanya sebagai mata-mata. Padepokan kacau balau, banyak yang terluka dan Ki Ahmat guru kami tewas di racun, lebih detailnya bagaimana kejadiannya, Bibi pun belum paham kali, karena saat itu Bibi masih remaja muda. Tidak begitu mengerti. Bibi taunya padepokan hancur, bubar dan menyisakan luka mendalam pada Bi Tinah yang merasa dikhianati atau merasa bersalah karena padepokan dan guru kami tewas.” Raut sedih ditunjukkan wajah Bi Laila. Matanya memandang lurus ke depan menerawang. Menghela napas berat. Dapat Ria bayangkan betapa terlukanya hati Bi Tinah saat itu, karena orang yang dicintai pergi dan juga yang menghancurkan orang sekelilingnya Bi Tinah.
“Jadi, tiada kabar dari Faisal tu sampai sekarang Bi? tanya Ria lagi.
“Entahlah, kemungkinan ia kembali dengan Ki Winto. Melanjutkan aliran ilmu hitam ayahnya. Bisa jadi, jangan kau coba menanyakan hal tersebut kepada Bi Tinah, dia takkan suka. Ibarat membuka lukanya, lagian Bibikmu orang yang tak mau berbagi cerita orangnya.”
“Rupa Faisal itu gimana, Bi?” tanya Ria lagi dengan mengambil pinang yang telah terkupas lalu memotongnya dengan kacip, menyerahkannya pada Bi Laila. Ia menerimanya dengan tersenyum. Tradisi masih suka makan pinang memang masih ada pada sebagian masyarakat di daerah Pelalawan ini.
“Pria yang tampan, pantas dan serasi untuk Bibimu yang manis, dia tinggi rupawan, pandangan matanya teduh, banyak yang suka, tapi dia memilih Bibimu. Banyak wanita yang iri saat itu, murid kesayangan padepokan mendapatkan hati pemuda itu, eh ternyata penghianat. Atau cinta tipuan, entahlah,” terang Bi Laila sambil mengigit pinang.
Setelah bertanya pada bagian informasi. Ria menuju lantai atas rumah sakit ruangan VVIP menggunakan lift. Melangkah dengan keraguan serta bagaimana ia nantinya harus bersikap terhadap pamannya.Setelah menemukan ruangan Paman Tiok. Pamannya tersebut hanya minta berbicara berdua saja. Bi Tinah dan Bi Laila beriringan ke luar ruangan. Sedangkan Bi Wulan dan Clara seperti tak rela jika tidak ikut mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Mereka sangat penasaran. Sayangnya Paman Tiok tetap menyuruh mereka keluar.“Ria,” lemah suara paman Tiok. “Sebenarnya kamu berpihak pada siapa? Paman ini adalah adik satu-satunya dari Bapakmu dan kau tega bekerja pada musuh pamanmu.”“Hm, itu-“ Ria mencoba berpikir mencari kata-kata yang pas untuk berbicara.“Apa?”“Itu, paman. Aku tak tahu jika kalian bermusuhan. Setahuku di pesta hotel itu bukankah kalian merger ya?” tanya Ria dengan memasang wajah polosny
Om Tiok segera dilarikan ke rumah sakit. Bi Tinah dan Bi Laila yang saat kejadian masih menginap di rumah mereka ikut serta mengantar ke rumah sakit. Sedangkan Ria sore itu belum berada di rumah. Gadis itu masih berada di kampus, masuk kuliah dijadwal siang. Diagnosis dokter Om Tiok mengalami gangguan pada jantungnya dan oleh dokter harus diopname beberapa hari sampai pulih. Serta tetap melakukan rawat jalan nantinya. Clara dan Bi Wulan begitu panik dan cemas. Mereka berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Kondisi perusahaan yang hampir terpuruk dan ditambah lagi kondisi kesehatan yang buruk. Bi Tinah dan Bi Laila bersikap memberi dukungan serta mendoakan agar Om Tiok segera sehat seperti sedia kala. Mata Om Tiok yang semula terpejam mulai terbuka secara perlahan. “Papa!” Clara mendekati brankar. Mata kedua gadis itu berkaca-kaca. Bi Wulan pun melakukan hal yang sama. Mama Clara tersebut mengengam tangan suaminya. “Ria
Afran mengangkat wajah dan kesempatan itu digunakan oleh asisten Om Tiok melepaskan tembakan ke arah Afran. Beruntung saja, tangan Ria lebih cepat menyerang dengan menyentak pergelangan tangan itu, sepersekian detik sebelum menarik pelatuk dengan telunjuknya. Amunisi yang keluar dari ujung laras pistolnya meleset, dan hanya memecahkan vas bunga di sudut ruangan.Tanpa menyia-nyiakan waktu Ria kembali menyerang. Kali ini gadis itu mencengkram lengan asisten Om Tiok. Bagas juga sibuk membawa Om Tiok menepi ke sudut ruangan dan mengunci pergerakan lelaki itu.“Bersihkan semuanya,” perintah Bagas kepada pasukan timnya yang di luar.Secepat kilat pria berambut belah tengah itu berlari ke arah asisten om Tiok yang berusaha meraih pistolnya yang tergeletak di lantai. Bagas menarik pelatuk pistol G2nya. Suara letusan senjata api menggaung di udara bersamaan dengan suara erangan dari pria yang terkapar di lantai. Pria itu mengerang kesakitan. Tangan kir
“Melihat rincian hari rapat hari ini yang tidak begitu bagus, sebaiknya Bapak bersiap akan kemungkinan terburuk.” Asisten Om Tiok mengingatkan bosnya itu dengan hati-hati. Om Tiok yang berwajah kelam melakukan tarikan napas dalam. “Atur pertemuan tertutup dengan Afrandio, pria itu harus menerima pelajaran akan ulahnya ini.” Om Tiok memerintahkan pada bawahannya tersebut. Ria menerima perintah untuk ikut serta. Sebenarnya Bi Tinah tidak setuju karena niatnya akan mengajukan pembatalan kontrak. Namun, urung karena kemarin belum berhasil menemui Afran secara langsung. Bertolak belakang dengan Bi Laila yang masih memberi kesempatan untuk Ria menambah pengalaman bertualang memicu adrenalin katanya. Afran bersama Ria serta Bagas memenuhi undangan Om Tiok untuk datang pada sebuah tempat pertemuan berupa resort di pinggiran kota. Penjagaan begitu terlihat jelas, beberapa pria pasukan keamanan Om Tiok siaga. Terletak di sebuah lahan yang luas. Bangunan i
Afran melemparkan Koran yang diserahkan oleh Bagas itu dengan kesal. Pemberitaan yang membuat emosinya naik. Berita heboh terbaca pada deadline surat kabar maupun pemberitaan media elektronik. Terlihat sebuah foto yang terlihat vulgar. Foto Afran dan Clara bersisian sedang berjalan dan satu lagi foto ketika Afran membuat napas buatan. Judul besar : Akankah Pewaris MT Company Grup dan Afrandio Company Grup akan bersatu. “Segera hapus cepat pemberitaan-pemberitaan itu dengan cepat. Tim bekerja harus cepat, cek ip asal berita, lakukan tekanan. Naikkan berita tentang skandal Pak Tiok. Agar sahamnya segera turun,” perintah Afran dengan cepat. “Siap!” Bagas segera menepi serta terlihat sibuk memberi intruksi melalui earphone ht berkomunikasi dengan markas. Sedang Afran menyandarkan punggung serta mengoyang kursi singgasananya dengan pelan. Ia tak menduga juga akan rencana Clara. Untungnya dia telah dulu mempersiapkan hal lain dengan matang. P
Mata beriris hazel itu mengerjap. Afran mendesah panjang. Liburan terpaksa ini begitu menyiksa baginya. Clara yang berada di kamar sebelah begitu merepotkan. Malam tadi ia baru saja membawa gadis itu ke club. Ternyata ia baru tahu untuk urusan minum, gadis itu jago mabuk. Berbeda dengannya yang masih bisa terkontrol. Ia sadar tal boleh lepas kendali akibat minuman keras. Ia melirik jam digital di atas nakas, angka telah menunjukan ke 11 : 45, mendekati tengah hari. Pantas saja perutnya mulai bernyanyi minta diisi. Malam tadi ia kembali ke kamar hampir dini hari, setelah mengantar Clara ke kamarnya. Anehnya lagi Afran mimpi yang tak pernah diduga untuk pelepasan hormon testosterone bersama Ria. Mimpi itu begitu terasa menjiwai. Membuat ia merasa jengah sendiri. Mengapa celana mesti basah karena mimpi dewasa dengan gadis kampung pikirnya. Ia pun beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya agar terasa segar. Bahkan ia berlama-lama meletakkan kepala pada guyuran shower un
Ria bersiap akan pulang. Berjalan menuju parkiran sepeda motornya."Hei, cewek aneh. Tungguin!" Terdengar suara itu memanggil, asal suara dari sebuah mobil sedan putih yang terparkir di seberang parkiran sepeda motor.Ria tidak merasa sapaan itu ditujukan padanya. Ia tetap melangkah."Hei, iya. Elo cewek aneh" Kembali sosok pria di balik kemudi itu berbicara dekat kacanya diturunkan.Ria menjadi celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Sepi, hanya ia yang sedang menuju sepeda motornya. Itu artinya teguran itu untuknya. Tunggu, kenapa juga panggilannya 'cewek aneh' Ria berkata dalam hati.Pria itu dengan cepat keluar dari mobil serta setengah berlari menghampiri Ria. Gadis yang memiliki kemampuan ilmu kebatinan itu hanya menunggu dengan memasang wajah heran."Hai, kamu gadis aneh itu kan? Kamu terlihat berbeda sekarang?""Maksudnya?" Ria mulai bereaksi dengan bingung. Dia sungguh merasa tak nyaman dengan sapaan pria yang tak dikenal
“Eh, dah pandai dandan nih anak gadis,” sapaan dari Bi Laila membuat Ria sontak menoleh dari cermin ke arah Bi Laila. Gadis itu tersenyum. Kembali ia mematutkan diri di depan pantulan cermin pada lemari miliknya. Gadis itu mengenakan skirt Pants dengan paduan kemeja berwarna putih polos menyamakan dengan sepatunya yang berwarna putih juga. “Sini, Bibi tolongin dikit, bagian mata ini eyelinernya jangan terlalu tebal, tipis saja. Agar tidak terkesan galak,” saran Bi Laila mendekati Ria lagi. Sesuai rencana mereka akan pergi ke kantor bertiga. Bi Laila dengan mahir menyetir menuju ke kantor milik Afran. “Bapak sedang keluar kota, liburan sampai seminggu ke depannya. Skedulnya hari ini pun banyak diganti ke hari lain,” terang sekretaris Afran ketika mereka bertiga akan bertandang ke ruangan Afran. Ria mengerutkan kening. Pak Afran tidak ada mengkonfirmasi padanya. Bi Laila sibuk celingak-celinguk melihat sekeliling. Sedangkan Bi Tinah memasang wajah
“Engkau selama ini terlalu menghabiskan waktu bekerja terus!” Clara berkata dengan antusias. Dia yang dulunya memanggil Afran dengan embel-embel Abang di depan nama pria itu. Sudah tidak lagi. Ia ingin terlihat dewasa dan akan mampu mengimbangi Afran pikirnya. Afran yang menyuap nasi pada mulutnya memandang tajam pada Clara yang baru berucap. Kunyahan belum sempat ia lakukan ketika Clara kembali menyerocos. “Sesekali kau harus menikmati hidup dengan jalan-jalan, santai. Aku bersedia akan menemani,” tawar gadis yang tak tahu malu itu terang-terangan. Afran mencoba memaksakan tersenyum. Rasanya begitu menyiksa, ketika harus berpura-pura. Sebenarnya ia tak suka dengan kondisi ini. Cuma ia harus menahan diri. Demi menyelamatkan perusahaannya. “Boleh juga, kau tau tempat wisata yang bagus?” Clara terkekeh, dia memang gadis yang jika tertawa bertipe lepas. “Saking sibuk kerja, sampai-sampai tak tahu tempat rekreasi?” Clara mengeleng-ge