Share

Kedatangan Bi Laila

Berlahan Ria membuka mata. Pertama yang terlihat adalah langit- langit kamar berupa papan triplek berwarna coklat, sebuah bola lampu kecil mengantung di sana. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh sambil berpikir.

"Ria!Ria! Syukurlah kamu sudah sadar, Nak!" Terdengar suara maknya, membuat Ria mengalihkan pandangan cepat. Mak tersenyum mengapai tangan Ria. Raut wajah bahagia semringah terpancar dari wanita yang melahirkannya tersebut.

"Aduh!" keluh Ria sembari meringis.

"Kenapa, Nak. Apa ada yang sakit?" tanya Mak khawatir.

"Badanku sakit-sakit semua, tenggorokan kering," Ria mencoba mengangkat tangan menuju lehernya.

"Memang seperti itu jika setelah kesurupan, itu untung pingsanmu tak kelamaan." Tiba-tiba Bi Tinah muncul di ambang pintu kamar menyahut. Melangkah ke arah mereka, menyerahkan segelas air putih. 

Secara cepat disambut Mak dan ikut menolong Ria untuk duduk bersandar. Mak menopang dan tangan sebelahnya menuntun cangkir ke mulut Ria. Membasahi kerongkongan, hingga gelas itu kosong.

"Kesurupan?" dahi Ria berkerut dan mencoba mengingat kejadian, tetapi nihil. Tak ingat apapun. Belum terjawab pertanyaannya oleh orang di rumah tersebut. Ria terperanjat dengan wajah tegang melihat baju yang kenakannya.

"Mak, kenapa ini Mak!" seru Ria.

"Kenapa?" tanya Mak heran kelabakan.

"Baju ini! gamis ini kok dipake?" Tubuh Ria terlonjak ketika menyadari gamis yang dicuri dijemuran itu melekat di tubuh Ria.

"Udah, tak apa itu," kata Bi Tinah tenang, sembari memasang mukenanya.

"Nanti akan dijelaskan Bibimu, sekarang pulihkan dulu badanmu, Mak pun kurang paham. Makan dulu ya, Mak siapkan."

Setelah selesai berbicara, Mak pun berlalu keluar. Tinggallah Ria yang tercenung sendiri. Mengalihkan perhatian ke Bi Tinah, dia mengambil posisi di sudut kamar. Sedang salat, entah salat apa. 

Begitu banyak pertanyaan di benak Ria. Rasa penasaran ini ingin segera mendesak untuk dijawab. Matanya tetap mengawasi pergerakan Bi Tinah selesai salat. Menunggunya, agar bisa Ria mengajukan pertanyaan padanya. Namun, sepertinya Ria harus bersabar. Bi Tinah tidak beranjak, dia melanjutkan melakukan aktivitas berzikir berjibaku dengan tasbih di tangannya.

"Makan yok, biar bertenaga," Mak datang dengan membawa sepiring nasi lalu kembali duduk di samping ranjang.

Hampir separuh nasi berlauk telur sambal telah disuapkan Mak pada Ria. Mereka dikejutkan dengan gedoran pintu yang keras. Membuat Bi Tinah cepat beranjak ke luar. Mengecek siapa yang bertamu. Sepertinya terburu-buru dan mendesak, terdengar dari tempo ketukannya yang kuat.

Tak lama berselang, Bi Tinah masuk ke kamar beriringan dengan seorang wanita bergaya muslimah. Berbalut gamis dengan warna cerah senada dengan jilbabnya. Wajahnya dipenuhi dandanan yang apik. Di tangannya menyeret koper besar. Senyumnya mengembang ramah, menghampiri seraya berkata, “Kakak dan ponakannya Kak Tinah ya, perkenalkan saya Laila, adik seperguruannya dari padepokan.” 

Dia mengulurkan tangan menjabat tangan, Ria dan Mak. Mereka memamerkan gigi dan mengangguk menerima salamnya. 

“Ini, maaf, ya, Saya datang bertamu larut malam, karena mendesak,” matanya mengarah ke Bi Tinah.

“Duduklah dulu! Baru berceritanya,” ujar Mak beralih duduk lesehan di samping Bi Tinah yang sudah bersandar di dinding.

Wanita yang bernama Laila itu pun ikut duduk berselonjor. Terlihat gurat kelelahan dari wajahnya.

“Kak, aku mau numpang di rumahmu ya, untuk beberapa hari atau tak tentulah. Karena setelah aku terawang hanya rumahmu yang aman dari serangan Ki Badal. Aku kewalahan dan perlu tempat bersembunyi yang aman darinya. Musuh bebuyutanku itu sepertinya memiliki sekutu yang kuat,” cerita Bi Laila dengan mendengus kesal.

“Kau diserang juga?” ekpresi terkejut Bi Tinah.

“Iya,jadi? jangan-jangan Kakak juga,” duga Bi Laila matanya membulat dan telunjuknya mengarah ke Bi Tinah.

“Iya, lebih parah lagi, melibatkan ponakkanku Ria, sepertinya Ki Badal dan Ki Winto bekerjasama. Mereka mengirim tujuh jin sekaligus untuk menguasai Ria. Ria terlalu lemah tapi memiliki tanggal kelahiran yang bagus. Jika dipakai jiwanya untuk membunuh sangat bagus. Aku hampir saja mati dengan kekuatannya tersebut. Alhamdulillah untung saja Abah guru Shaleh datang menyelamatkanku tadi,” terang Bi Tinah dengan menyipitkan matanya.

“Abah Guru Shaleh muncul, Masya Allah. Apa dia turun gunung? setelah itu kau sempat berkomunikasi dengannya. Sudah sekian lama beliau menghilang,” pungkas Bi Laila dengan sorot mata antusias penuh kerinduan.

“Hanya sebentar, setelah Ia menghilangkan ajian ‘serep jiwa’ pada baju gamis Ria,” ujar Bi Tinah, mengalihkan pandanganya ke arah Ria. Timbul rasa sesal dan amarah di hatinya karena musuhnya membawa-bawa Ria ke dalam kemelut masalah mereka.

Dari obrolan mereka berdua dapat Ria simpulkan kejadian yang telah menimpa dirinya. Barulah dia sadar, kesurupan telah menimpa tubuhnya. Ternyata Ria terlibat dalam perseteruan orang yang ahli dalam ilmu astral ini.

“Siapa itu Ki Badal, Ki Winto, dan Ki Andrung itu, Bik? Tanya Ria penuh penasaran.

“Mereka adalah dari golongan hitam, ilmu sesat serta bersekutu dengan Iblis. Banyak usahanya gagal karena kami berhasil mengobati orang yang terkena teluhnya. Oleh karena itu mereka sangat berambisi menghabisi kami,” jelas Bi Laila dengan menyiratkan rasa kebanggaan.

Bi Tinah hanya menganggukan kepalanya. Bi Laila terlihat berkarakter hobi berbicara di banding Bi Tinah yang lebih introvert.

“Bagaimana Ria jadinya, Kak? Aman dia,” Bi Laila bertanya kepada Bi Tinah dengan memandang sekilas ke arah Ria lalu beralih ke Bi Tinah.

 “Iya, Nah. Apa bisa kami pulang besok. Kerjaanku udah nunggu soalnya.” Mak yang sedari tadi diam mendengarkan ikut bertanya.

“Belum bisa, kalian berdua harus tinggal di sini juga. Karena rumah ini telah dilapisi ajian pelindung oleh Abah Guru Shaleh. Selain itu gamis itu juga telah diberi ajian yang membuat Ria memiliki kekuatan setelah memakainya, Ria bukan lagi gadis lemah bulu. Kita telah bertiga sekarang. Dan kau Laila aku akan sangat terbantu dengan kau tinggal di sini, tolong aku menurunkan ilmu ke Ria,” titah Bi Tinah tegas.

“Oke, aman tu. Siap Bos!” Bi Laila nyengir, tersenyum manis.

“Udah pukul 03.00 nanti kita tidur bentang karpet saja berbaris di sini, mengenai pekerjaan kakak, berhenti saja, tinggal lah di sini! Lagian aku tutup praktek sementara. Kakak tak perlu takut tentang pasien-pasienku. Tidurlah lagi, Kakak tidak ada memejamkan mata menunggui Ria sedari tadi,” saran Bi Tinah.

“Laila, sudah salat tahajud ?” sambungnya lagi.

“Belumlah, mana ada tidur akunya nyetir pun ngebut agar bisa mencapai rumahmu dengan cepat. Kalau nggak keburu diserang Ki Badal pulak aku ntar,” sunggut Bi Laila dengan bibirnya dimanyunkan.

Ria dan Mak ikut tersenyum dengan tingkah Bi Laila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status