Share

Bi Tinah Menghilang

Terdenggar suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Mereka berdua pun bergegas ke depan. Sebelumnya memakai jilbab sarung mereka. Sebuah mobil hitam L300 datang,  bak di belakangnya telah tersusun barang-barang. Ada lemari, kasur, kursi tamu lapuk, alat-alat dapur. Supir dan keneknya membantu menurunkan barang berat. Mereka akan menatanya nanti, kamar belakang yang biasanya kosong telah dibersihkan sehingga tinggal meletakkan serta menyusunnya.

Ria yang tak melihat Mak dan Bi Tinah yang tadinya memakai sepeda motor tak kunjung menyusul tiba. Ria mencoba menelepon Mak.

“Assalamualaikum, Mak. Mak di mana?” tanya Ria cepat ketika ponselnya diangkat.

“Waalaikumsalam, Mak sama Bibimu mau berpamitan dengan tetangga, serta nanti sekalian ke pasar, ada yang mau dibeli. Di susun itu barang-barang. Uang mobil udah di bayar itu. Cobalah mandiri lagi udah mau kuliah lagi pun, sedikit-sedikit Mak,” sahut Mak panjang lebar.

“Iya, ya Mak, dibantu bibi cantik Laila ni pun, udah ya Mak,”  Jempol  Ria diacungkan pada Bi Laila yang tersenyum mengangkat keranjang berisi pecah belah; piring gelas dan dandang

“Ria!, Ria! Tunggu!” suara Mak terasa menderu dengan angin, mungkin berada di atas sepeda motor.

“Ya, ada apa lagi, Mak?” sahut Ria sambil membawa ember berisi kain kotor, menaiki tangga rumah akan menuju dapur.

“Hidup harus mandiri ya, Nak, dewasalah lagi jangan kekanak-kanakan, jangan ngerepotin Bibikmu dan Bi Laila, jangan pemalas. Ajaran agama jangan ditinggalkan, Ingat, Ria!”  pesan Mak.

“Iya, ya Mak. Mak pun tumben lak menyanyah ni a, udah, ya, Mak,”

“Iya, Nak. Mak tu sayangkan Ria, cuma satu-satunya harta Mak, Nak,” bergetar suara Mak diujung sana.

“Iya Makku sayang, Ria pun sayang Mak pun, ha, dah ya Assalamualaikum,” Ria memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawabanya salam dari Mak.

Setelah mobil angkut pergi, Ria dan Bi Laila berjibaku menyusun barang-barang kecil, seperti memasukkan kembali baju-baju yang berlipat ke lemari yang telah diangkatkan oleh supir tadi.

Beberapa jam kemudian, mereka merasa lelah. Ternyata pindahan itu memang merepotkan pikir Ria. Pantas saja Mak dan Bi Tinah dari pagi baru siap hingga tengah hari. Itu masih untung barang mereka dua beranak tidak begitu banyak. Mak dulu tidak ingin serumah dengan Bi Tinah karena terganggu dan takut dengan suasana berobat pasien santet. Tingkah mereka kadang aneh-aneh dan diluar kendali makanya Mak memilih pisah rumah dengan adiknya.

Ponsel Ria bergetar dan berbunyi, nomor tak dikenal terpampang di situ. Dengan ragu diangkatnya.

“Selamat Siang, benar ini dengan Saudari Ria?” Suara khas bariton laki-laki terdengar menyapa.

“Ya, betul, maaf, siapa ya pak?”

“Kami dari Pihak kepolisian memberitahukan telah terjadi lakalantas tidak jauh dari pasar, sepeda motor tertabrak mobil truk sampah. Atas nama KTP-nya Nurlita, pasien dibawa ke puskesmas kecamatan terdekat dan akan di rujuk ke RS kabupaten. Halo, halo,….” Polisi itu tak dapat sahutan Ria lagi. Karena mata Ria mendelik, napas terhenti sejenak. Hening, pikiran melayang, jauh terbang entah ke alam mana. Ponsel Ria terjatuh, terduduk lemas, lalu terkulai tak berdaya.

Samar mendengar langkah kaki mendekat dengan bunyi hentakkan kaki pada lantai papan.

“Hei, kenapa Ria?” Bi Laila bertanya serta menghampiri dengan panik.

Ria coba membuka mata perlahan, sayu. Dengan bibir bergetar, mencoba berucap.

“Mak …  Mak,” gagap berucap. Badannya dingin.

“Ada apa?” tanya Bi Laila cemas.

Ria terisak, Bi Laila memapah tubuhnya yang terasa tanpa tulang.

“Mak, kecelakaan. Cepat Bi kita ke puskesmas!” seru Ria dengan sekuat tenaga, mencoba memulihkan menyegarkan tubuh untuk segera bisa ke tempat Mak berada.

Seperti pembalap, mobil hitam Fortuner Bi Laila membelah jalanan aspal. Bersama Ria menuju puskesmas yang ditunjukkan jalannya oleh Ria. Mendapati kondisi Mak yang terbaring tak sadarkan diri.

Menurut dokter yang piket UGD saat itu, kemungkinan benturan kepala Mak yang tak memakai helm membuat adanya pembekuan darah. Untuk lebih memastikan harus di CT-Scan dan alat itu hanya tersedia di rumah sakit besar. Luka-luka yang telah diperban turut menghiasi tubuh Mak. Ria turut serta duduk di samping Mak dalam ambulans yang meraung laju menuju rumah sakit. Mengenggam tangan Mak serta memperhatikan pergerakan dada Mak, Ria takut sekali jika tiba-tiba napas itu akan terhenti. Berapa kali Ria menyeka air mata yang terus mengalir. Perawat yang di sampingnya menyodorkan tisu dan memegang tiang infus hanya mencoba menguatkannya dengan memegang pundaknya. Sementara Bi Laila  mengurus urusan ke kantor polisi dan ingin tahu kronologis kejadiannya. Mereka heran kemana Bi Tinah? Saksi mata  banyak menyatakan di lokasi kejadian melihat dua wanita berboncengan yang tertabrak. Ketika diperiksa hanya ada Mak yang tergeletak bersimbah darah. Orang-orang heran karena perempuan yang berhelm yang membonceng hilang segitu saja. Kemanakah Bi Tinah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status