Home / Horor / Tilasmat / 6 Kesurupan Masal

Share

6 Kesurupan Masal

last update Last Updated: 2022-05-27 14:37:43

Fikirku melanglang buana mencari sebuah jawaban yang sejak satu pekan ini tak kudapatkan dari kakek. Tentang orang-orang yang mengincarku serta rahasia yang ditutup-tutupi oleh Abah dan Mamah.

"Neng, ada Mang Burhan datang berkunjung. Katanya mau bertemu sama Neng," tegur mamah yang berdiri di ambang pintu kamar. Aku pun segera beranjak menghampiri tamu yang katanya ingin bertemu denganku itu.

Kutangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai sapaan pada pria paruh baya yang tengah duduk berbincang dengan Abah di kursi tua yang ada di ruang tamu. "Bagaimana kabar Bu Burhan sekarang, Mang?" tanyaku basa-basi.

"Alhamdulillah Neng, berkat Neng istri saya sudah sembuh seperti sedia kala," ujarnya sumringah.

"Hakekatna karena Allah, Mang. Abdi mah ngan saukur perantara, Allah nu langkung uninga sareng anu ngagaduhan tapak damel," sanggahku meluruskan. Aku hanya perantaranya saja.

(Hakikatnya karena Allah. Saya hanya sekedar perantara, Allah yang lebih tahu dan hanya dia yang memiliki kehendak atas segalanya)

Mang Burhan menyodorkan amplop putih ke arah depan. Aku sendiri menautkan kedua alis dan menatap Abah yang juga balas menatapku. "Ini hanya sekedar rasa terimakasih saya sama Neng karena membantu istri saya. Tolong diterima, Neng.”

"Tidak perlu repot-repot, Mang. Saya ikhlas menolong istri Amang. Saya tahu rasanya saat keluarga kita mendapatkan perlakuan keji seperti itu, saya juga pernah merasakannya," tolakku halus.

Mang Burhan tampak berpikir sejenak, "ini bukan imbalan, Neng. Ini sebagai bentuk rasa bersyukur keluarga saya atas sehatnya istri saya.”

"Terima saja, Nyimas," timpal Abah.

Dengan ragu kuambil amplop itu serta tak lupa mengucapkan terima kasih pada Mang Burhan. Ternyata tak hanya amplop itu saja yang dikirim beliau ke rumah ini. Beberapa bahan makanan seperti kelapa, agar-agar mentah, gula merah, dan lain sebagainya turut dikirimkan sebagai ungkapan terima kasih.

"Bah," panggilku setelah Mang Burhan pamit undur diri.

"Ya, Nyimas.”

"Yang ngincar Nyimas itu siapa? Terus maksudnya yang buyut Siliwangi itu apa?” tanyaku entah yang keberapa kali selama tiga minggu aku tinggal di sini.

Abah tersenyum, lalu mengelus punggung tanganku. "Yakin, mau tahu?" tanyanya. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Mereka itu dukun penganut ilmu hitam yang sejak jaman nenek moyang dulu memusuhi kita, Neng. Alasannya Abah sendiri kurang tahu, tetapi katanya leluhur mereka porak poranda di tangan salah satu keturunan Prabu Siliwangi," jelas Abah.

"Hubungannya denganku apa? Bukankah itu cerita masa lalu, lalu kenapa mereka masih memupuk dendam itu hingga sekarang?"

Abah menghela nafas dalam. Pandangannya lurus menerawang entah ke mana. "Mereka tidak bisa menerima kekalahan, itu sebabnya mereka mengincar Nyimas yang merupakan keturuan termuda. Mereka tahu kalau Nyimas masih rentan dan mudah untuk digapai. Namun, mereka salah besar karena mereka tidak tahu kalau sejak dalam rahim, Nyimas mendapatkan penjagaan dari semua leluhur."

Aku mangut-mangut meski sebenarnya tak paham dengan penjelasan beliau. Aku memang pernah membaca artikel tentang Raja Kerajaan Pasundan itu, tetapi tidak pernah menyangka jika aku memiliki hubungan darah dengannya.

"Ingat! Jangan sampai lalai dalam membentengi diri dari mereka yang syirik dan dengki pada kita. Terutama jika kamu sedang halangan. Kamu harus lebih hati-hati karena biasanya saat itu kondisimu lemah dan akan mudah bagi mereka untuk mengganggumu." Nasihat Abah sebelum beranjak hendak ke masjid.

***

Bakda isya aku bersama Ayu dan Silfi melihat anak-anak marawis yang tengah berlatih untuk menyambut Isra Miraj yang akan diadakan dua minggu lagi. Tak hanya itu saja, santri lain sibuk menyiapkan perlombaan yang akan diadakan mulai besok malam.

Bibirku tersungging saat melihat Kang Fakhri yang tengah melatih para santri baru memainkan satu persatu alat marawis bersama santri senior lainnya. Ternyata selain suaranya yang merdu dia juga pintar memainkan alat marawis.

"Teh, bisa tolong bantu membuat soal untuk cerdas cermat, gak?" Sebuah tepukan pelan di bahu membuatku mengalihkan pandangan ke arah samping.

Aku tersenyum saat mendapati Risma yang menegurku tadi. "Iya, bisa, ayo." Kami segera beranjak meninggalkan aula menuju kelas satu sanawi. Di sana sudah ada dua santriah lain yang juga tengah menyusun teks pidato yang akan dibagikan untuk anak-anak tingkat diniyah.

Kami berdua mulai menyusun pertanyaan yang akan diajukan untuk cerdas cermat yang akan diadakan di malam terakhir perlombaan. Cukup lama kami menyusun satu persatu pertanyaan dari beberapa kitab yang sudah diajarkan.

"Alhamdulillah!" ujar kami serempak saat semuanya selesai. Aku pamit dan kembali menghampiri Ayu di aula tempat latihan marawis. Namun, Ayu sudah tidak ada di sana. Anak-anak marawis juga satu persatu sudah meninggalkan tempat, dan hanya ada beberapa santri senior yang sedang merapihkan alat marawis.

Aku berbalik hendak meninggalkan tempat itu sebelum akhirnya sebuah sapaan menghentikanku. "Belum pulang?" sapanya.

Aku menoleh sekilas dan kembali memfokuskan pandangan ke arah ujung kaki yang tampak sedikit dari ujung gamis yang digunakan. "Iya, tadinya saya pikir Ayu masih di sini," sahutku.

"Dia sudah pulang ke kobong satu jam yang lalu," kata Fakhri memberi tahu.

"Ya, kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum." Kubalikkan kembali tubuh dan menuruni satu persatu undakan tangga.

"Siapa, Kang?" Samar kudengar seseorang bertanya pada Kang Fakhri.

"Cucunya Ceng Ilham," jawab Fakhri.

"Cantik, ya." Hening. Fakhri tidak menanggapi seruan dari temannya itu.

Hembusan angin menyapaku saat berjalan di halaman depan pondok untuk kembali ke rumah. Rasanya ada yang aneh, tetapi aku tidak tahu apa itu. Kuhiraukan sekitar dan melanjutkan langkah.

Seperti biasa aku membaringkan tubuh setelah mengambil wudhu sebelumnya. Entah baru berapa jam tertidur, suara benturan seperti batu yang dilemparkan ke dinding membuatku terjaga. Inisiatif aku mengintip dari celah jendela kamar. Tidak ada apa pun, hanya terlihat gelap saja. Mungkin ranting jatuh, pikirku positif.

Kuletakkan satu tangan di atas bantal seraya berusaha memejamkan mata kembali. Namun, sekelebat wajah Kang Fakhri tiba-tiba saja muncul hingga terpaksa aku pun kembali mendudukkan diri dan beberapa kali mengucap istigfar.

"Apa aku menyukai pemuda itu? tapi, bagaimana mungkin. Kami hanya bertemu beberapa kali, itupun tanpa sengaja. Ini tidak benar Sri! Dia mungkin sudah memiliki calon istri," gumamku menasehati diri sendiri.

Mataku akhirnya kembali terpejam setelah beberapa saat, dan lagi-lagi suara berisik dari luar menganggu. Kali ini suaranya bukan seperti benda yang dilempar ke dinding seperti tadi. Namun, suara seseorang yang tengah mengobrol di depan.

"Aya naon, Bah?" tanyaku menghampiri Abah yang tengah mengobrol dengan Fakhri di depan pintu masuk.

"Katanya ada kesurupan masal di kobong satu." Aku terperanjat kaget mendengarnya. Bagaimana bisa?.

"Neng, ayo atuh bantu Mamah." Suara Mamah membuyarkan lamunanku. Segera kuraih baju hangat di atas tempat tidur dan menyusul di belakang Mamah dan Abah menuju kobong santri.

(Kobong=Asrama tempat tidur para santri)

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status