Share

Tilasmat

"Neng, gimana kalau belajar meruqyah?" seru Mamah saat kami menjemur keripik di halaman depan rumah.

"Kenapa Mah? Apa karena kejadian beberapa hari lalu itu, ya?" tanyaku.

"Bukan itu. Mamah rasa kamu perlu belajar karena Mamah sudah cukup tua kalau semisal ada orang yang membutuhkan bantuan Mamah. Neng ‘kan masih muda, jadi Mamah berfikir Neng juga bisa membantu sekitar yang membutuhkan," jelas mamah.

"Kan ada santri lain yang lebih mampu, Mah. Mamah ajarin saja mereka," imbuhku.

Mamah tampak menghela nafas dalam. Entah ada apa, tapi wajahnya terlihat sedih mendengar menolakanku itu. Aku merasa tidak tega melihat wajah sedih wanita yang sudah kuanggap Ibu kedua setelah Ibuku itu.

"Baiklah, Neng mau belajar," seruku. Wajah Mamah berubah tersenyum dan kami pun kembali melanjutkan aktifitas kami.

***

Sebelum mempelajari ruqyah, Abah terlebih dahulu memperkenalkan macam-macam sihir yang berjumlah sepuluh menurut salah satu buku Tauhid yang sempat aku pelajari di kelas kang Fakhri.

Aku mendengarkan penjelasannya dengan seksama dari mulai macam-macam sihir, perantaranya,  efek, serta cara mengobatinya.

"Ceng, punten, bantosan pun bojo. Anjeunna teras ngaluarkeun darah tina lambeyna sareng teu tiasa gugah tos sa sasih langkung." Seorang Bapak-bapak datang bertamu ke rumah Abah dan meminta bantuannya.

(Ceng, tolong bantu istri saya. Dia terus mengeluarkan darah dari mulutnya dan tidak bisa bangun selama satu bulan lebih).

"Ke, antosan sakedap." Abah melambaikan tangannya ke arahku.

(tunggu sebentar)

Aku pun menghempiri keduanya sambil menundukkan pandanganku. "Ikut Abah ke rumah Pak Burhan. Istrinya sakit," seru Abah.

"Iya, Bah." Aku pun bergegas pamit ke Mamah dan pergi bersama Abah menuju rumah Pak Burhan yang cukup jauh dari rumah Abah.

Malam ini, suasana kampung entah kenapa terasa begitu mencekam. Angin bertiup tidak semestinya. Apa hanya firasatku saja. Perjalanan kami menuju rumah Pak Burhan mengalami sedikit gangguan dengan munculnya sesosok makhluk berpakaian merah menghadang kami di tengah jalan.

Kami bertiga mundur beberapa langkah dan melafalkan doa sebisa-bisa kami. Makhluk itu menatap dengan mata merahnya dan mencoba menyerang, tetapi terhalang oleh sebuah pagar gaib yang melindungi kami hingga dia pun lebur seperti abu yang tertiup angin.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Tiga bola api kembali menghadang kami dan hampir mengenai Abah yang berdiri paling depan. Beruntung beliau segera menghindar hingga benda itu menabrak sebuah pohon hingga tumbang.

Astagfirullah! Perjalanan kami benar-benar diganggu hingga memakan waktu satu jam lebih. Aku maju ke garis depan saat sesosok menyerupai angin berdiri di depan kami. Kulantunkan bacaan yang Abah ajarkan serta menuangkan sedikit air rebusan daun bidara dan menyiramkannya pada makhluk itu.

Atas izin Allah kami bertiga pun sampai di depan rumah Pak Burhan. Suasana rumah terlihat begitu mencekam dan banyak sekali aura hitam yang kulihat.

"Pak, Ibu muntah darah." Seorang gadis remaja lari terpogoh-pogoh ke depan rumah.

Kami segera masuk dan melihat kondisi Bu Burhan yang terlihat begitu memprihatinkan. Abah menyuruhku mempraktikkan ilmu yang sudah dia ajarkan selama beberapa hari ini. Aku pun mulai membacakan ayat-ayat ruqyah di samping Bu Burhan.

Tubuh wanita paruh baya itu bereaksi. Suaranya menggeram dan kemudian berganti tertawa mengikik, lalu kembali berubah menjadi suara tangis yang begitu menyayat hati.

"Pak, tulungan Ibu. Panas," rintihnya saat mendengar ayat ruqyah yang kubaca.

(tulungan=tolongin)

Pak Burhan hendak mendekat, tetapi segera dicegah oleh Abah. Suara itu hanya tipuan makhluk hina yang menguasai tubuh istrinya saat ini. Dua puluh menit berlalu, Bu Burhan memuntahkan darah bercampur makhluk kecil menyerupai belatung dan tak sadarkan diri setelahnya.

"Kalau Ibu sadar nanti, tolong minumkan ini." Kuserahkan sebotol kecil air daun bidara pada putri Pak Buhan.

"Nuhun, Teh," serunya.

Aku mengangguk dan tersenyum. Aku dan Abah segera pamit karena waktu sudah sangat larut sekarang. "Abah bangga sama kamu, Nyimas!" seru Abah yang berjalan di sampingku.

"Neng hanya tidak suka melihat orang yang tidak bersalah diperlakukan begitu keji seperti itu," pungkasku.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Alhamdulillah lancar dan tidak ada satu makhluk pun yang menghadang kami seperti saat kami berangkat tadi.

"Hey, tong sok api-api! Aing apal maneh bisa nempo bangsa kami!" Sosok menyebalkan itu kembali muncul saat kami melewati sebuah pohon tua menuju pondok pesantren.

(Jangan pura-pura! Aku tahu kamu bisa melihat bangsa kami!)

Memangnya jika aku bisa melihat kalian, mau apa?. Gumamku dalam hati. Gedek rasanya. Masih mending kalau dia menampakkan wajah pucat, lah ini menampakkan wajah asli yang begitu menyeramkan plus menjijikan. Kusiramkan air bidara ke arah makhluk itu dan dia pun menghilang bagai asap.

Sesampainya di rumah, aku segera mengerjakan salat sunah dan memohon petunjuk pada sang maha pencipta alam semesta mengenai letak buhul yang ditujukan untuk Bu Burhan.

(buhul=media perantara sihir)

Aku kembali tertidur dalam kondisi masih mengenakan alat salat. Dalam mimpi, kulihat pekarangan sebuah rumah yang tidak asing bagiku, tetapi aku tidak ingat rumah siapa itu.

Di sana, ada satu sudut yang memiliki aura begitu pekat dan gelap. Di dekat pohon mangga tepat di bawah batu besar. Sebuah tepukan di bahu membangunkanku.

"Pindah ke ranjang, Neng. Nanti sakit pinggang kalau tidurnya sambil duduk," tegur Mamah yang sepertinya baru selesai melaksanakan salat sunah.

Aku pun mengangguk dan segera merapikan alat salat, setelah itu beranjak ke tempat tidur dan melanjutkan tidurku yang tertunda tadi.

Keesokan harinya, aku kembali berkunjung ke rumah Pak Burhan bersama Abah. Kami bertiga bersama Pak Burhan menuju sebuah pohon mangga yang berada di belakang rumah itu. Pohon itu yang semalam muncul di mimpiku.

"Coba angkat batunya, Mang," seruku.

Pria itu mengangguk dan mengangkat batu berukuran sedang itu dengan dibantu oleh putra sulungnya. "Tidak ada apa-apa, Neng!" serunya melihat tanah bekas tindihan batu tadi.

"Tunggu!" selaku seraya berjongkok dan mengambil sebuah ranting dan mulai menggali tanah itu. Dugaanku benar. Sebuah kain putih terkubur di sana. Saat ku buka, isinya adalah tulisan yang aku sendiri tidak tahu apa artinya.

Segera kuserahkan benda itu pada Abah. "Tilasmat!" seru Abah seraya mengambil kain yang ditulis dengan darah itu dan membakarnya setelah sebelumnya dibacakan doa terlebih dahulu. Itu sejenis sihir yang menggunakan tulisan berupa coretan yang tidak tahu apa artinya dan bisa menimbulkan khawarik, atau kejadian diluar nalar.

Benar-benar miris. Jaman sudah semakin maju, tetapi masih banyak orang yang ingin menjatuhkan orang lain dengan cara halus seperti itu. Aku jadi teringat ayah dan Ibu yang ada di Jakarta. Apa mereka baik-baik saja sekarang? Kenapa mereka tidak menghubungiku, dan aku pun tidak bisa menghubungi mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status