Tanah gersang tersebut hanya ditumbuhi sedikit tumbuhan serta rerumputan. Beberapa di antaranya tampak meranggas karena terik sang surya.
Seorang pria muda bertubuh tegap terlihat terjatuh di tanah berdebu. Wajahnya tampak kotor oleh pasir. Baju zirah lengkap yang dikenakan tidak kalah kotor. Meski begitu, pedang tetap terhunus di tangan. Di sekelilingnya tampak puluhan mayat bergelimpangan. Darah dan debu melumuri tubuh mereka.
"Jenderal Lee yang terhormat, Anda sudah kalah. Lihat semua pasukan Anda, mereka semua sudah tewas!" ujar seorang berkuda di hadapannya dengan nada suara dibuat-buat dan mengejek.
"Aku belum kalah," sahut sang jenderal muda itu sambil bangkit berdiri. Dia berdiri dengan sedikit sempoyongan, meski begitu tetap saja berusaha untuk berdiri tegak dan menghunus pedang.
"Maju kalian. Aku pastikan mayat kalian semua juga akan terkubur di tempat ini!" desisnya.
"Sombong sekali kau. Aku berniat memberimu ampun karena kita pernah bersahabat. Namun kelihatannya kau sedang mencari maut!" sahut musuhnya itu.
"Habisi dia sekarang!" teriaknya pada pasukan yang berada di sekeliling. Mereka semua maju dan menyerang bersama sang jenderal. Jenderal Lee berusaha bertahan dan melawan. Namun jumlah musuh terlalu banyak. Mereka mengepung dan menyerang dia bersamaan. Sabetan-sabetan pedang mengenai tubuh sang jenderal. Meski begitu, dia masih tetap mengayunkan pedang dan melawan mereka yang berada di sekelilingnya.
***
Shenling tertegun. Tatapannya terpaku tidak percaya pada apa yang dilihat. Ingin rasanya ia menjerit serta mencakar-cakar wajah mereka, tetapi nyatanya ia hanya berdiri diam.
Dua orang yang paling dia cintai dan percayai -Yanche dan Chenyang- kini sedang bercumbu mesra di ruang tamu rumah pemuda itu. Pintu di rumah tersebut bahkan tidak dikunci, sehingga Shenling bisa langsung membukanya.
"Ada apa ini? Kenapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Shenling setelah beberapa saat menegarkan hati dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
Kedua orang di depannya itu sama sekali tidak terlihat terkejut. Bahkan keduanya tersenyum santai. Shenling melengos, baginya senyum kedua orang yang pernah dekat dengannya itu sangat menjijikkan.
"Kenapa? Tentu saja karena aku dan Yanche saling mencintai," jawab Chenyang sambil memilin rambutnya dengan jemari dan melangkah mendekati Shenling.
"Ck, ck, ck, kasihan sekali kau. Selama ini tidak menyadari bahwa Yanche sudah tidak mencintaimu," ucap Chenyang lagi sambil tetap tersenyum dan mengitari Shenling. Sekuat tenaga, Shenling berusaha untuk tetap bersabar, meski amarah mulai menyelimuti hati.
"Kenapa kalian tega berbuat seperti ini padaku?"
"Karena kami tidak pernah menyukaimu. Aku muak dan sangat membencimu," desis Chenyang kepada gadis di depannya itu.
"Tapi apa? Apa kesalahanku? Bukankah kita teman?"
Chenyang mendengus sambil tertawa mengejek.
"Teman? Aku tidak pernah menganggapmu teman. Kau adalah duri yang sangat mengganggu. Aku selalu ingin menyingkirkanmu, Nona Sok Baik," sindirnya.
Raut wajah Shenling memperlihatkan kesedihan bercampur amarah. Ia lalu menatap Yanche dengan air mata berlinang, tetapi pemuda yang dicintainya itu hanya diam dengan wajah datar. Shenling tidak ingin percaya dengan semua ini. Orang-orang itu telah menipu dan mengkhianatinya, padahal dia selalu mempercayai dan menyayangi mereka. Dirinya lalu berbalik dan bergegas pergi dari situ.
***
Shenling melangkah pelan sambil melamun. Air mata kembali membanjir semakin deras. Terbayang kemesraan Yanche dan Chenyang di rumah tersebut membuat hatinya bagai ditusuk sembilu.
'Jadi selama ini Chenyang membenciku? Apa mungkin dia juga yang menyebabkan aku dipecat dan tidak diterima kerja di mana pun. Kenapa dia tega? Aku sama sekali tidak mengerti. Selama ini aku benar-benar tulus menganggap dia sahabat terbaik. Yanche juga, selama ini aku begitu mencintainya,' ujarnya sambil terus melangkah.
"Ini tidak adil!" teriak gadis itu sambil mengepalkan tangan ke atas. Untunglah, di sekitarnya jalan terlihat sepi, sehingga tingkah lakunya tidak menarik perhatian.
"Aku sudah begitu baik pada mereka, tapi kenapa mereka seperti ini padaku?"
"Aaakkhhh!" jerit Shenling keras, lalu disusul bunyi berdebum nyaring.
Shenling berusaha bangkit berdiri sambil meringis nyeri dari posisi tengkurapnya. Karena tersandung sesuatu, ia terjatuh. Gadis itu segera melihat ke arah yang membuatnya jatuh.
'Ma-yat, mayat, ada mayat. Aduh bagaimana ini? Aku tidak mau dipenjara. Orang-orang pasti menduga aku membunuh orang karena patah hati,' ujar Shenling ketakutan.
'Bagaimana ini? Sebaiknya aku segera pergi dari sini sebelum ada yang melihat,' gumamnya lagi.
Sambil menahan sakit, gadis berambut panjang tersebut segera bangkit berdiri. Ia lalu mendekat dan melihat ragu.
'Mayat ini tampan juga,' ucapnya sesaat kemudian.
'Rambutnya panjang. Hidungnya mancung. Bulu matanya bahkan lebih panjang dari bulu mataku.'
Shenling menggeleng dan menepuk jidatnya sendiri.
'Ayo Shenling, fokus. Pergi dari sini. Segera!' ucapnya. Gadis itu kembali berdiri tegak dan segera berjalan.
'Tunggu sebentar,' ucapnya beberapa saat kemudian.
'Bagaimana kalau dia masih hidup? Tapi masa sih orang hidup tidur di tengah jalan, di tempat terbuka lagi? Tapi sebaiknya kupastikan saja.'
Shenling kembali dengan ragu. Sebagian pikirannya menyuruh dia pergi dari situ dan tidak terlibat masalah. Sebagian lagi menyuruhnya untuk memastikan kondisi pemuda berkostum aneh tersebut. Shenling akhirnya menuruti pikiran yang terakhir. Ia berjongkok dan meraih tangan si pemuda tidak dikenal untuk memeriksa denyut nadi. Sesaat kemudian mendekatkan jari tangan pada hidung.
'Ternyata dia memang masih hidup, tapi kenapa dia berada di sini, ya?' gumam gadis itu lagi.
Shenling mencoba mencoba memeriksa tubuh pria muda itu.
'Kelihatannya dia terluka. Mungkin habis mabuk dan dipukuli orang atau dirampok. Lagian pakaiannya juga terlalu menarik perhatian. Tapi ini apa? Apa ini pedang sungguhan? Jangan-jangan dia memang terlibat masalah. Aduh Shenling, masalahmu sendiri sudah cukup banyak. Jangan menambah masalah lagi!' ucap gadis itu lagi sambil menggeleng.
***
Di sebuah ruangan bergaya klasik tampak sekelompok orang dengan memakai pakaian jaman dulu berlutut di depan lelaki paruh baya yang duduk di singgasana.
"Benarkah apa yang kudengar? Bagaimana bisa hal ini terjadi? Mana mungkin Jenderal Lee menghilang di tengah medan perang?" tanya lelaki di tahta tersebut.
"Maafkan hamba, Yang Mulia. Menurut hamba, mungkin Jenderal Lee melarikan diri atau berada di tangan musuh," ujar salah seorang dari yang berlutut tersebut dengan nada penuh hormat.
Pria di hadapan mereka itu terlihat marah.
"Pastikan kebenarannya. Temukan Jenderal Lee di mana pun dia berada. Setelah berhasil, suruh dia segera menghadapku. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
Seorang gadis muda dengan pakaian anggun dan rambut berhias mahkota kecil serta tusuk konde berbentuk kupu-kupu berwarna ungu tampak bergegas memasuki ruangan.
"Ayah, benarkah yang kudengar? Ayah harus melakukan segala cara untuk menemukan Jenderal Lee," ujarnya.
"Tuan putri," panggil seorang perempuan berpakaian sederhana sambil membungkuk hormat.
"Sebaiknya Tuan putri kembali dan menenangkan diri."
"Aku tidak butuh ketenangan!" gertak gadis itu.
"Aku hanya butuh Jenderal Lee segera ditemukan."
"Tenanglah, Lanshang. Aku berjanji padamu, putriku. Jenderal Lee pasti akan ditemukan," ucap lelaki yang masih duduk di tahtanya tersebut.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum senang. Perasaannya kini kembali lega. Ayahnya adalah seorang kaisar penguasa negeri. Apa pun yang beliau cari, pasti akan ditemukan.
Changlan kembali roboh bersimbah darah. Hujaman sejumlah pedang menusuk tubuhnya. Shenling menjerit histeris memanggil nama pria itu. Mendadak tangan Leewan dan Lanzhou seolah terbakar. Cekalan mereka pada Shenling terlepas dan gadis itu kembali berlari menghampiri Changlan. Dipeluknya yang telah diam tersebut erat. Derai air mata mengalir deras di wajah Shenling. Wuyan menatap gadis itu tanpa belas kasihan."Bunuh penyihir itu sekarang!" Beberapa orang mematuhi perintah. Mereka bergegas maju membawa pedang berniat menyerang Shenling. "Shenling!" teriak Leewan. Ia dan Lanzhou hendak bergegas maju. Akan tetapi, sinar putih tiba-tiba memantul dan membuat keduanya kemudian terjatuh. Leewan kembali beringsut untuk maju, tetapi Lanzhou memegang pundaknya dan menggeleng."Kita tidak akan bisa masuk." "Ta
"Pasukan kerajaan Wuyan menyerbu perbatasan kerajaan kita," lapor seorang pasukan yang bergegas masuk ke dalam tenda. Leewan dan Lanzhou terperanjat dan bangkit berdiri. Hari ini memang sang pangeran tengah berkunjung ke tempat itu dikawal oleh para pengawal. Ia ingin mencari tahu tentang kabar apakah Shenling sudah ditemukan. Meski tahu cintanya bertepuk sebelah tangan, tetap saja ia tidak bisa tenang dan selalu memikirkan gadis itu. "Apa maksudmu? Ceritakan dengan jelas!" perintah Leewan. Ia tidak menyangka masalah akan datang bersamaan. Sementara Shenling tidak jelas rimbanya, kini malah ada kerajaan Wuyan yang menyerang perbatasan. "Itulah yang hamba tahu. Sebuah surat tiba dari perbatasan baru saja. Mereka meminta bantuan, karena kali ini pasukan Wuyan sangat kuat," jawab pasukan itu lagi. "Kata mereka, ada siluman rubah dan gadis berkemampuan aneh membantu tentara Wuyan," lanjutnya lagi
Changlan tertegun diam mendengar perkataan Shenling. Gadis tersebut lalu menjelaskan tentang Yanche dan Chenyang. "Chenyang dulu sahabat baikku. Begitu pula Yanche. Dia cinta pertamaku, tapi semua berakhir saat mereka mengkhianatiku. Bukan hanya itu, mereka juga berusaha menyakitiku, bahkan membunuhku," ucap Shenling dengan mata berkaca-kaca. Changlan segera bangkit dari duduknya dan melangkah mendekat. Ia kemudian memeluk erat gadis itu. "Maafkan aku. Aku tidak tahu tentang itu. Semua pasti terasa berat bagimu sekarang. Kurasa kita memang harus benar-benar pergi dari sini," ucapnya. Shenling menggeleng."Tidak," tolaknya."Aku akan menghadapi semua itu." "Tapi mereka benar-benar jahat. Apa kau bisa mengatasinya?" Shenling tersenyum kecil."Kau tenang saja. Aku bukanlah gadis yang lemah. Kejadian demi kejadian yang menerpa menemp
Hari sudah beranjak siang. Shenling dan Changlan tengah bersiap untuk pergi. Semalam mereka telah menyusun rencana. Shenling memutuskan untuk tidak jadi pergi dan membantu orang-orang itu hidup merdeka. "Apa kau sudah tidak ragu lagi?" tanya Changlan dalam perjalanan. Mereka hendak menemui pangeran Wuyan untuk bekerja sama. Hal tersebut adalah usul dari nenek Shan yang mengetahui bahwa pangeran dari kerajaan tetangga tersebut memendam amarah dan sakit hati pada kerajaan Lan. "Semua karena putri Lanshang telah menolak menikah dengannya dan memilih bersama jenderal Lee, Pangeran Wuyan merasa sangat dipermalukan," ujar wanita uzur tersebut malam sebelumnya. Shenling diam termangu. Mendengar nama jenderal Lee, membuat hatinya membuncah tidak menentu. Changlan menatap gadis itu sekilas. "Jika kau ragu, kita bisa membatalkannya," ucap pemuda itu. "Kenapa kau selalu membuat dia
Semua kedamaian dan kebahagiaan itu kemudian berlalu cepat. Semua berawal dari pemberontakan seorang bawahan raja. Dia ingin berkuasa. Tuduhan sang ratu adalah penyihir tersiar luas. Isu tersebut semakin kuat setelah beberapa orang menteri dan pejabat meninggal secara misterius. Tuduhan tersebut semakin menguat. Raja didesak untuk menurunkan dan menghukum mati ratu yang memang memiliki kemampuan untuk menyihir. Juga untuk membunuh Shenling yang dianggap putri penyihir. Sang raja tentu menolak. Orang-orang yang semula setia berpaling dan mengkhianati kerajaan. Mereka membelot dan memprovokasi kerajaan Lan yang waktu itu hanya kerajaan kecil. Seranganpun terjadi tanpa terelakkan di dalam istana. "Ayah, Ibu!" seru Shenling sambil berlari menuju ruang utama. Gadis itu tadinya bersama pengawal yang masih setia. Akan tetapi dia justru melarikan diri saat para musuh juga menyerang pengawal itu. &nbs
Nenek Shan menyambut Shenling di kediamannya. Dibanding kediaman yang selama ini pernah ditinggali Shenling, kediaman ini yang paling kumuh. Tempatnya kecil dan dibangun ala kadarnya. Meski begitu keadaan di dalam rumah itu terbilang cukup bersih. Nenek Shan segera menyuruh Shenling duduk. Gadis di hadapannya tersebut tersenyum sambil mengangguk sopan, meski begitu keraguan membayang jelas di wajahnya. Wanita tua yang membawa tongkat itu mulai menceritakan semuanya. Tentang keluarga kerajaan yang pernah menguasai negeri itu sebelum kekuasaan direbut oleh raja yang sekarang. "Tapi itu semua tidak mungkin. Aku bahkan tidak berasal dari masa ini. Anda pasti sudah salah mengenali orang. Aku bukanlah tuan putri yang Anda cari. Cucu Anda itu pasti sedang berada di suatu tempat dan mungkin sedang menanti Anda untuk membawa dia kembali," ujar Shenling. "Aku tidak salah. Kau memang cucuku. Akulah yang mengirimmu pergi ke