"Mati kau, Shenling," teriak seorang gadis berpakaian mewah dengan dandanan ala tradisional lengkap sambil menghunus pedang. Di hadapannya, seorang gadis lain tengah terikat dengan tubuh lemah dan babak-belur.
'Akankah nasibku berakhir di tempat mengerikan ini? Atau mungkin Leewan akan kembali datang menolongku seperti yang selalu dilakukannya?' bisik gadis itu dalam hati. Masih terngiang di benak gadis tersebut janji yang terucap dari bibir sang pemuda.
"Shenling, apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu. Kamu harus tetap percaya padaku."
***
Yuan Shenling bergegas mengikat rambut panjangnya. Berulang kali dia mematut diri di cermin. Beberapa pakaian berserakan di atas tempat tidur bernuansa biru muda tersebut.
'Rasanya ini sudah pas. Semoga aku tidak membuat kesalahan lagi dan membuat Pak Huang semakin marah padaku,' ujarnya dalam hati.
Terbayang olehnya raut wajah bundar sang atasan yang merah padam dan memberengut kesal. Tidak ayal hal itu membuat Shenling tertawa kecil.
*Ah, Pak Huang memang imut kalau sedang marah. Sayangnya aku tidak punya atasan tampan seperti di komik. Yang ada cuma bos tambun seperti dia,* ujar gadis itu dalam hati sambil tersenyum kecil. Gadis tersebut menepuk jidat keras.
"Berpikiran aneh lagi aku. Pasti karena komik yang kubaca semalam. Lagipula aku sudah punya Yanche," ujarnya lagi sambil bergegas. Gadis itu lalu menuju mobil model lama yang selalu setia menemani dan segera men-starter mesin mobil yang acapkali mogok tersebut.
Shenling tersenyum riang saat tiba di kantor. Segera dia mengerjakan tugasnya dengan penuh semangat. Dirapikannya semua fail dan buku yang tergeletak tidak beraturan di atas meja berbentuk persegi panjang.
"Pagi-pagi sudah rajin sekali kamu ini," sapa Chenyang -teman sekantor sekaligus sahabat Shenling sejak SMU-. Shenling hanya tersenyum simpul sambil terus melanjutkan pekerjaan. Chenyang lalu mengambil gelas kertas serta membuat kopi. Setelahnya dia memberikan minuman tersebut kepada Shenling.
Bruk!
Cairan tersebut tumpah-ruah karena kedua gadis itu saling bertabrakan.
"Ya ampun, bagaimana ini? Maafkan aku. Bagaimana ini? Pak Huang pasti marah besar!" seru Chenyang panik.
"Apa-apaan ini?" teriak Pak Huang yang baru saja memasuki kantor.
"Dokumen-dokumen penting. Semua jadi berantakan karena dirimu!" bentak lelaki paruh baya tersebut kepada Shenling.
"Kalau tidak becus kerja, sebaiknya tidak usah kerja. Kau ini selalu saja membuat masalah. Sia-sia menggaji karyawan bodoh sepertimu!" teriaknya lagi dengan wajah memerah.
"Maafkan saya, Pak. Ini semua benar-benar tidak sengaja," ucap Shenling pelan.
"Minta maaf? Dengan mudahnya kau meminta maaf setelah selalu menimbulkan banyak masalah. Dasar gadis ceroboh. Seharusnya dari awal aku tidak memperkerjakanmu. Kau sama sekali tidak punya keahlian apa-apa. Sekarang juga aku memberhentikanmu bekerja sebelum terjadi bencana yang lebih besar!"
"Pak, jangan marahi Shenling. Ini semua bukan murni kesalahannya. Saya yang ...."
"Sudah cukup. Jangan lagi membela temanmu yang tidak berguna. Keputusanku sudah bulat untuk memberhentikan dia!" ujarnya memotong kata-kata Chenyang sambil menudingkan jarinya kepada Shenling.
"Tapi, Pak ...."
"Sudahlah Yangyang, aku tidak apa-apa, kok. Aku memang salah. Tidak perlu membelaku lagi," ucap Shenling pelan. Gadis itu lalu kembali menoleh kepada Pak Huang.
"Pak, saya benar-benar minta maaf untuk semua kesalahan saya," ucapnya sambil membungkuk.
"Baguslah kalau kau menyadari kesalahanmu. Namun keputusanku tidak berubah. Kau tidak bisa lagi bekerja di sini," ucap Pak Huang. Kemarahannya tampak sedikit mereda.
"Pak, Shenling ...."
Kata-kata Chenyang terhenti saat melihat Shenling menggeleng. Pak Huang bergegas keluar dari ruangan itu.
"Shenling, bagaimana ini? Kau dipecat gara-gara aku. Ini semua kesalahanku. Aku akan menemui Pak Huang dan menjelaskan semua!" sergah Chenyang sembari bergegas.
"Jangan!" ujar Shenling cepat sambil mencekal tangan sahabatnya itu.
"Dia sedang sangat marah. Kalau kau bicara dengannya, mungkin akan membuat emosi kembali meluap. Jangan membuat masalah lagi bagimu. Bukankah kau juga membutuhkan pekerjaan ini? Jangan sampai dirimu ikut dikeluarkan gara-gara membela aku."
"Shenling ...," ucap Chenyang sambil menunduk. Raut wajahnya terlihat sedih.
"Sudah, aku tidak apa-apa, kok," ujar Shenling sambil mengedipkan sebelah matanya. Chenyang tampak sangat terpukul, karena itu dia berusaha untuk tetap ceria, meski tidak ayal ada kesedihan di dalam hatinya.
"Sudah ya. Kamu jangan sedih-sedih. Sekarang kita bereskan semua ini. Lalu aku akan segera berkemas. Kamu harus tetap semangat dan meraih jabatan tinggi meski aku sudah nggak kerja di sini," ucap Shenling lagi sambil menepuk pelan pundak sahabatnya itu.
Chenyang hanya diam dan mengangguk.
***
'Semangat Shenling! Semangat!' gumam gadis itu sambil terus berjalan.
'Aku nggak boleh sedih. Pasti ada pekerjaan lain di luar sana untukku.'
Di kejauhan, Chenyang hanya diam menatap kepergian sahabatnya itu dan kembali masuk ke dalam kantor setelah Shenling tidak terlihat lagi.
Meski sudah menyemangati diri, tidak ayal rasa sedih dan putus asa hinggap juga di benak Shenling.
'Bagaimana aku akan membayar uang sewa rumah, juga biaya rumah sakit ayah? Apa yang harus kulakukan? Mencari pekerjaan lagi tentu tidak mudah,' gumamnya pelan.
Selama ini Shenling memang tinggal hanya berdua dengan sang ayah. Ibunya telah lama meninggal dunia. Dia adalah putri satu-satunya di keluarga tersebut. Namun setelah penyakit diabetes yang menyerang beliau semakin parah, Shenling hanya tinggal seorang diri, sedang sang ayah harus menjalani pengobatan intensif di rumah sakit.
Gadis itu lalu duduk di bangku yang ada pada sebuah taman. Kegalauan tampak jelas di wajahnya. Tanpa sadar air mata tampak menitik di wajah. Sang ayah adalah segalanya bagi Shenling.
'Apa yang harus kulakukan sekarang?' ucapnya lagi. Gadis jelita tersebut lalu menggeleng sambil menghapus air mata.
'Tidak. Aku tidak boleh berputus asa. Aku harus tetap ssmangat. Semua demi ayah!' ucapnya seraya mengangguk.
'Aku harus segera menemukan pekerjaan baru secepatnya.'
***
Hari berikutnya, Shenling berjalan ke sana kemari. Keluar-masuk dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Namun mereka semua menolak dengan berbagai alasan. Kebanyakan tidak ada lagi lowongan yang tersedia.
'Bagaimana ini?' ucap Shenling sambil melangkah gontai menuju rumah. Perlahan ia meraih ponsel dan menelepon Yanche. Biasanya saat sedang down seperti sekarang, pemuda itu selalu mendampingi dan menghibur gadis itu. Menciptakan berbagai lelucon lucu hanya untuk membuat Shenling kembali tertawa. Namun, semenjak hari dia dipecat, Yanche sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomornya juga tidak aktif.
'Yanche, di mana kau? Aku sangat membutuhkan dukungan darimu sekarang. Tapi kenapa dirimu justru menghilang?' ujar gadis itu pelan. Rasa putus asa bercampur kesedihan merayap semakin dalam di hatinya.
'Mungkin sebaiknya aku pergi ke rumahnya. Aku sangat membutuhkan dirinya.'
Shenling segera bersiap. Membersihkan diri dan mengenakan gaun berwarna hijau pupus kesukaan Yanche. Pemuda itu selalu saja memujinya cantik kala Shenling mengenakan gaun tersebut. Seulas polesan tipis make-up mempercantik paras nan ayu tersebut. Tidak lama, Shenling telah mematut diri di depan kaca sambil tersenyum. Dia lalu segera bergegas pergi ke rumah pemuda yang dicintainya itu. Tanpa mengetahui kejutan lain telah menanti di sana.
Tanah gersang tersebut hanya ditumbuhi sedikit tumbuhan serta rerumputan. Beberapa di antaranya tampak meranggas karena terik sang surya. Seorang pria muda bertubuh tegap terlihat terjatuh di tanah berdebu. Wajahnya tampak kotor oleh pasir. Baju zirah lengkap yang dikenakan tidak kalah kotor. Meski begitu, pedang tetap terhunus di tangan. Di sekelilingnya tampak puluhan mayat bergelimpangan. Darah dan debu melumuri tubuh mereka. "Jenderal Lee yang terhormat, Anda sudah kalah. Lihat semua pasukan Anda, mereka semua sudah tewas!" ujar seorang berkuda di hadapannya dengan nada suara dibuat-buat dan mengejek. "Aku belum kalah," sahut sang jenderal muda itu sambil bangkit berdiri. Dia berdiri dengan sedikit sempoyongan, meski begitu tetap saja berusaha untuk berdiri tegak dan menghunus pedang. "Maju kalian. Aku pastikan mayat kalian semua juga akan terkubur di tempat ini!" desisnya. "Sombon
Shenling berjalan pelan. Pria paruh baya bertubuh tambun segera mengikuti sambil menggendong punggung sosok pria muda yang ditemukan gadis itu. Gadis muda tersebut akhirnya mengambil keputusan untuk menyelamatkan lelaki tidak dikenal itu. Ia bahkan membayar orang untuk membawa lelaki itu pulang ke rumahnya. Sebenarnya, Shenling sempat ingin membawa pemuda yang membuatnya jatuh itu ke rumah sakit, tetapi masalahnya dia tidak punya uang. Ini saja dia sudah habis-habisan untuk menyewa paman gemuk itu agar membantu membawa orang itu ke rumahnya. 'Ah, Shenling, kau terlalu baik hati. Seharusnya kau pergi dan tidak ikut campur. Sekarang lihat saja bagaimana nasibmu selanjutnya,' gerutunya pada diri sendiri. 'Sudahlah. Mungkin dia nanti akan membayarku. Lagipula meski habis dirampok, para perampok itu meninggalkan pedang ini. Aku bisa menjualnya,' ucapnya sambil menatap pedang yang berada di genggaman tangan.
"Tempat ini. Apa ini adalah pondok penyihir?" tanya Leewan setelah beberapa saat. "Apa katamu?" tanya Shenling sedikit bingung. "Apa kau seorang penyihir dan sedang menahanku sekarang?" "Apa?" ucap Shenling sekali lagi dengan keras. Gadis itu lalu menggeleng."Kau ini bicara apa?" 'Ck, sayang sekali, pemuda ini tampan, tapi kelihatannya otaknya agak terganggu. Apa para perampok itu telah memukul kepalanya dengan sangat keras?' gumam gadis itu dalam hati. "Kalau begitu, apa kau akan membebaskan aku?" tanya pemuda di hadapannya itu lagi setelah beberapa saat. Shenling hanya diam sambil menggeleng. "Kau tidak mau membebaskan aku? Dengar aku adalah jenderal negeri ini. Satu kata dariku akan bisa menghancurkan pondokmu ini," ucap Leewan cepat. "Aku ... aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan," jawab Shenling yang masih kebingungan.
Leewan bergegas keluar dari rumah. Shenling yang berada di dalam masih membeku ketakutan. Tadi Leewan sempat memaksa dan mengancam untuk menunjukkan pintu keluar. 'Aku telah menolong orang yang salah. Dia hampir saja membuatku celaka," gumam Shenling dalam hati. Di luar, justru Leewan yang tertegun bengong. Jalanan dipenuhi benda-benda yang tidak pernah dilihat. Ada besi bergerak dengan orang di dalamnya. Lalu orang-orang juga berpakaian aneh. Pakaian yang sejenis dengan yang dipakai Shenling. Beberapa orang tampak mengamati benda di tangan mereka. Semua itu membuat Leewan menyadari ia berada di dunia asing yang aneh. "Kau masih di sini?" tegur Shenling membuat pemuda itu terperanjat. Ia langsung melompat mundur. "Kau ... kau memang penyihir," ujarnya sambil menuding gadis itu. "'Kan sudah kubilang. Aku ini penyihir yang sangat hebat. Begitu pula orang-orang di sini. Jadi kau ti
Hari berikutnya, Leewan tetap saja meminta diantar ke istana, saat Shenling mendesak untuk memberitahu alamat rumahnya. "Ah sudahlah. Semua percuma saja. Biar kukatakan satu hal padamu. Tidak ada istana di daerah ini. Semua sudah berubah menjadi museum. Tidak ada raja, ratu, atau apa pun itu," sergah gadis itu cepat. "Itu tidak mungkin. Kemarin aku melihat di kotak hitam itu, semua ada. Meski aku bingung, kenapa wajah mereka semua terlihat berbeda?" ujar pemuda itu sembari menunjuk ke arah televisi. "Nah, kau lihat sendiri, 'kan? Itu semua adalah tipuan. Iru hanya permainan orang-orang. Raja dan ratu sudah tidak ada." "Tidak. Itu tidak mungkin!" seru Leewan sambil memegang erat bahu Shenling."Kau pasti sedang berbohong. Aku tidak percaya padamu. Aku harus melihatnya sendiri. Kemarin kerajaan masih berdiri kokoh, tidak mungkin hancur begitu saja. Antar aku ke sana sekarang!" &
"Ini aneh. Kenapa istana berubah menjadi seperti taman hiburan begini? Suasana juga begitu ramai. Apa istana bebas dimasuki sembarangan orang? Lalu di mana raja dan ratu? Juga pangeran dan tuan putri?" ucap Leewan setelah beberapa saat. Dia benar-benar tidak mengerti dengan yang terjadi. Kerajaan berantakan hanya dalam beberapa hari saja dan semua itu karena para penyihir itu. 'Padahal mereka kelihatan seperti orang biasa. Apa aku terlalu meremehkan mereka?' ujarnya dalam hati. Dia lalu menoleh kepada Shenling yang memberikan sebungkus camilan padanya. "Makanlah," ucap gadis itu pelan. Leewan menerima sambil mengucapkan terima kasih. 'Shenling begitu baik padaku. Meski aku hanya tahanan, dia selalu peduli dan memperhatikan aku. Bahkan saat ini, meski dia terlihat marah dengan kata-kataku, dia tetap saja masih peduli. Apa aku bisa pergi begitu saja dan tidak bertemu dia lagi?' gumam Leewan ragu. Ia tahu ini baru
"Kau mau apa?" tanya Shenling saat melihat Leewan mengikuti dia keluar dari rumah. Penampilannya sudah bersih dan rapi. Kue yang dibuat telah dimasukkan di dalam kotak berwarna-warni."Kau di rumah saja." "Aku akan ikut denganmu," sahut Leewan."Aku akan membantumu mencari uang." "Tidak usah. Aku akan melakukannya sendiri. Kau diam saja di rumah." "Aku akan tetap ikut denganmu. Aku tidak mau kau pergi seorang diri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu? Bagaimana kalau ada yang berniat jahat padamu?" "Itu tidak akan terjadi. Kau tahu 'kan aku penyihir hebat? Aku bisa menjaga diri. Jadi, kau tidak perlu ikut denganku." "Tidak bisa. Pokoknya aku ikut denganmu. Kalau tidak, kau tidak boleh pergi ke mana pun!" Shenying akhirnya mengalah dan mengangguk.*** Lanshang membuka pintu kamar dengan
Semua bermula dari rasa iri. Iri yang lalu berubah menjadi cemburu. Cemburu yang terus membesar menjadi kebencian dan rasa amarah. Hal itu terjadi sudah cukup lama. Shenling begitu disukai oleh banyak orang. Ia menjadi idola dari kaum adam dan gadis-gadis menjadikan dia semacam trendsetter. Mereka mengikuti setiap hal yang Shenling lakukan. Model rambut hingga pakaian dan sepatu, mereka selalu meniru Shenling. Semula Chenyang senang memiliki seorang sahabat yang begitu disukai banyak orang. Namun semua berubah setelah mendengar percakapan orang-orang tentang dirinya dan Shenling. Percakapan yang membuat Chenyang akhirnya sadar bahwa dirinya tidak pernah dianggap ada oleh yang lain. Bahwa dirinya hanya bayangan Shenling. Tanpa sahabatnya itu, dia bukan siapa-siapa. Chenyang lalu melihat betapa populernya Shenling. Betapa tidak ada yang peduli padanya. Padahal dia lebih kaya dari gadis itu, tetapi mengapa tidak ada yang melihat