Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya.
"Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.
Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkan
Baru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedang melaksanakan operasi lalu lintas.
Aku mengikuti instruksi tersebut dengan tenang. Merasa tidak melanggar dan memiliki surat-surat dengan lengkap, tidak ada hal apapun yang perlu aku khawatirkan.
"Selamat siang, Mbak!" Ucap pak polisi sembari memberi hormat ke arahku.
Aku membuka kaca helm ku, lalu tersenyum dan berucap. "Siang, Pak."
"Mohon maaf mengganggu perjalanannya. Bisa tolong lihat surat-suratnya?"
"Bisa, Pak. Sebentar!" Aku menurunkan totebag dari lengan kananku, lalu segera mengobrak-abrik isinya untuk menemukan dompet penyelamat.
"Ada, Mbak?" Ucap si Bapak setelah aku tak kunjung juga memberikannya apa yang diinginkan.
"Sebentar, Pak." Aku sudah mulai merasa panik karena apa yang sedang kucari sedari tadi belum juga aku temukan.
"Bapak ke mas yang di sebelah dulu aja, Pak. Sambil nunggu saya cari dompet saya." Aku mencoba untuk mengalihkan fokus si bapak karena cukup terganggu, sekaligus merasa terintimidasi dengan tatapan tajamnya. Dan untungnya, si bapak menuruti permintaanku barusan
Aku menyetandarkan motorku, lalu turun dan mencoba menghubungi Raini untuk membantu. Barang kali dia tau keberadaan dompetku, karena sedari tadi belum juga berhasil kutemukan.
Nomor yang Anda hubungi sedang tidak dapat menerima panggilan.
Silahkan tinggalkan pesan atau hubungi beberapa saat lagi.Sial!
Aku mengumpat pelan saat panggilan ketiga ku belum juga diangkat oleh Raini."Gimana, Mbak? Ini motornya ditinggal aja ya. Nanti saya kasih jadwal sidangnya." Ucap bapak-bapak perut buncit berseragam ini.
Aku menggeleng sembari menggigit bibir dalamku.
"Jangan, Pak. Kampus saya masih jauh, belum lagi saya ada praktikum seperempat jam lagi. Janji deh besok nggak bakal ketinggalan lagi, biarin saya kali ini aja ya Pak?" Mohon ku dengan wajah memelas.
"Nggak bisa, Mbak. Yang namanya hukum tetap hukum."
"Kalo Mbak nggak bawa STNK dan SIM nya, motornya kami sita terlebih dulu. Nanti saya kasih jadwal sidangnya buat besok."
Aku menghembuskan napas pelan. Bagaimana bisa aku tidak ingat jika dompetku tertinggal diatas meja kontrakan gara-gara tadi membeli makan siang di warteg depan . Astaga cerobohnya!
"Terus saya ke kampusnya gimana, Pak?"
"Ya terserah Mbaknya saja. Naik angkot atau ojol." Pak Polisi yang aku taksir berumur hampir setengah abad ini memberikan saran yang sesungguhnya tidak aku butuhkan.
Aku mendengkus, "Kan dompet saya ketinggalan, Pak. Mana bisa saya naik kendaraan umum. Gimana entar coba bayarnya. Maafin saya kali ini deh ya, Pak?" Aku masih belum patah semangat untuk merayu bapak polisi yang satu ini.
Kulihat pak polisi di depanku justru tersenyum sembari memandang lurus ke arah belakangku. Dan entah kenapa tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak dengan sendirinya.
"Hey kamu yang pake baju warna marun! Sini sebentar." Teriak sang bapak sembari melambaikan tangannya kepada seseorang yang sepertinya berada dibelakang posisiku berdiri.
"Itu di belakang ada yang bajunya sama kaya kamu. Saya bilangin dulu biar kasih tumpangan ke kampus!" Seketika kedua mataku membola kaget mendengar penuturan bapaknya. Ku beranikan diri untuk menengok ke belakang dan damn, cobaan apalagi ini, Tuhan?
Tidak ada yang tahu bagaimana seseorang akan menjalani kehidupannya. Hal-hal yang sebelumnya terasa begitu mustahil untuk dialami, bisa saja dalam sekejap terjadi seperti apa yang ada dalam bayangan. Ada saja kejadian tidak terduga yang digariskan takdir, yang tiba-tiba membuat dua orang yang tidak mungkin memiliki kesempatan untuk berinteraksi bisa bersatu dalam sebuah ikatan dalam waktu yang terhitung cepat.Dalam dua puluh satu tahun hidupku di dunia, dam-diam menyukai seseorang tanpa ada keinginan untuk menyatakan adalah hal paling sulit yang pernah aku lakukan. Mengamati dalam diam dan melihat bagaimana dia menjalani kehidupannya adalah hal sederhana yang selalu bisa membuatku tersenyum bahagia.Ayolah... Jatuh cinta memang tidak sebercanda itu."Bang ..." Aku memanggil Bang Radit yang belum juga mengatakan satu patah kata pun sedari tadi.Saat ini kami berdiri di samping kolam renang di halaman belakang."Bang ..." Sekali lagi aku memanggil namanya. Bedanya, suaraku semakin liri
Flashback onKesan pertama adalah hal paling krusial antara pertemuan dua orang. Pepatah yang mengatakan bahwa hanya perlu empat detik untuk memutuskan kita senang atau tidak dengan orang baru, nyatanya masih cukup relevan bagi sebagian besar orang. Baik itu untuk menyukai, membenci, atau bahkan sekedar respect or enggaknya.Bagiku sendiri yang cenderung sulit dekat dengan orang lain, gestur dan bagaimana orang itu bertutur kata padaku saat pertama kali kami berinteraksi adalah hal yang sepenuhnya membentuk perspektif ku akan orang tersebut. Jika aku merasa nyaman or anything like that maka aku akan memberikan respon positif dan menjadi lebih mudah untuk membaur di masa depan. Sementara jika penilaian ku terhadapnya sudah terlanjur buruk, even di masa depan dia ternyata tidak seperti yang aku duga pun tetap saja begitu sulit bagi ku untuk merasa dekat dengan orang tersebut. Dan itu berarti aku dapat mengatakan bahwa untuk kasusku kesan pertama adalah segalanya, termasuk membuatku mera
"Kaya gembel banget sih!" Bang Saka menghinaku yang hari ini menggunakan daster lusuh berwarna kuning yang bergambar Spongebob.Jika aku tidak salah ingat, daster ini aku beli ketika study tour ke pulau Dewata saat kelas 2 SMP. Jadi apakah selama enam tahun terakhir ini aku tidak tumbuh?"Ini bagus tau, Bang. Lucu banget gini!" Balasku tak mau kalah.Bang Saka masih saja mencibir. "Lo bukan anak-anak lagi, Ka.... Nggak cocok udah itu bajunya. Buang aja!"Aku tidak habis pikir dengan pikiran seorang Arsaka. Kenapa semua barang menurutnya pantas untuk dibuang? jelas-jelas baju yang sedang aku pakai ini masih sangat nyaman untuk di pakai."Parah lo, Bang! Masih bagus gini!" Ucapku sembari meninju lengannya pelan."Ya udah yuk! Katanya mau bikin ayam geprek...." Ucapku sembari menarik tangannya menuju ke dapur."Jangan di bolak-balik terus ayamnya, Bang...." "Apinya jangan kegedean, Bang!""Itu minyaknya di tirisin dulu, ih!"Memasak bersama Bang Saka pasti berakhir dengan aku yang haru
"Hati-hati ya .. Jangan lupa kabarin abang kalo udah nyampe rumah." Aku mengelus pelan rambutnya, dan menyelipkannya di belakang telinga.Naina masih saja cemberut. "Ini kan baru minggu pagi, Bang. Kenapa sih aku udah disuruh pulang?"Saat ini aku sedang berada di stasiun Bogor untuk mengantarkan Naina. Sedari tadi dia bersikeras untuk tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di sini hingga Senin besok. "Abang abis ini mau pergi, Na. Jadi nggak bisa nemenin kamu jalan-jalan.""Aku bisa jalan-jalan sendiri, Bang. Sumpah nggak bakal ngerepotin Abang," Naina mengangkat telunjuk dan jari tengahnya untuk menyakinkan ku jika dia bisa pergi jalan-jalan sendiri.Aku menggeleng.Sampai dia sebesar ini, aku masih saja sering khawatir jika dia harus bepergian sendiri di tempat-tempat yang baru. Memang selama ini dia pernah beberapa kali berkeliaran di sekitaran kota Bogor, tapi itu denganku kan?"Nggak bisa, Na. Abang nggak bisa ngebiarin kamu pergi jalan-jalan sendiri....""Tapi Naina udah gede
Seringkali kita merasa sudah berusaha untuk menciptakan pikiran-pikiran positif dalam rangka mencari kebahagiaan. Namun, tetap saja ada masanya kita seolah tidak berdaya untuk mengendalikan suasana hati. Sebentar-sebentar merasa bahagia, sebentar-sebentar lagi sedih dan ingin menangis."Kangen..." Pipiku langsung bersemu karena malu.Bisa-bisanya ada orang seperti dia di dunia ini. Baru saja menampakkan diri dan langsung membuat jantungku jumpalitan."Ini beneran loh, Ka.... Bukan main-main." Lanjutnya sembari mengeringkan rambutnya yang masih basah.Damage-nya astaga ....."Abang baru mandi?" "Iya, baru dari luar soalnya. Panas!""Dari mana?" sepertinya ada kesempatan bagiku untuk menggali lebih dalam tentang foto yang dikirimkan oleh Fayka."Dari Botas..." Aku merasa lega karena Bang Radit menjawab jujur tanpa keraguan."Sama siapa?'Oke. Semoga dia tidak menyadari jika aku sedang mencoba mengintrogasinya.Bang Radit tersenyum penuh makna kepadaku. "Ika nggak cemburu ya, Bang. Cum
"FAY URGENT! Ini gue Arun." Aku mengirim direct message pada Fayka menggunakan akun Instagram Bang Saka. Akun centang biru yang telah ter-verify hampir setahun lalu. Semoga anak itu tidak berjingkrak-jingkrak dan membuat keributan karena mendapat pesan dari seorang selebritas, pikirku sembari tertawa cekikikan.Aku harus menyelesaikan ini dengan sangat cepat karena Bang Saka mungkin saja bisa kembali sewaktu-waktu. Aku menggunakan ponselnya secara diam-diam, dan tidak boleh sampai ketahuan jika ingin uang sakuku bulan ini tidak dipotongnya."Tolong kirimin no nya Bang Radit yang gue tulis di halaman paling belakang buku warna coklat yang ada di meja belajar gue. Kunci kamar gue titipin ke Bela kemaren! Thanks ❤️" Lanjutku sebelum menekan pesan tersebut dan menghapusnya untuk menghilangkan jejak.Fayka biasanya akan membuka akun instagramnya pada sore hari, sehingga nanti aku juga harus menemukan waktu yang tepat untuk mengeceknya secara diam-diam tanpa ketahuan."Dek, lo liat hp gue n