Sementara disini, Aini menyibukkan diri dengan menyuapi Arjun. Dia bahkan mulai bisa tertawa saat mendengar cerita kegiatan anaknya di sekolah. Sesekali, dia melirik ke arah Indra yang sepertinya kesulitan menghabiskan nasi di piringnya. Padahal, biasanya Indra akan lahap sekali makan kalau lauknya pindang ikan patin.“Mau urut kapan jadinya, Aini? Lima tahun itu sudah cukup jauhlah jarak Arjun dan adiknya nanti. Kamu juga tidak terlalu repot lagi karena Arjun sudah sekolah.” Wenny bertanya pada Aini yang baru selesai menyuapi Arjun. Wanita itu menggeser ikan baung masak kuah tempoyak pesanan Aini. “Bibik ditanyain sama ibumu terus kapan mau membawa kamu buat urut. Sepertinya Kak Emi kangen menggendong cucu.”“Kapan, Bang? Aini bagaimana Bang Indra saja. Soalnya sudah setahunan ini kami juga tidak kontrol ke dokter lagi. Rencana program hamil waktu itu berhenti sebelum dimulai.” Aini mengedikkan bahu. Dia enggan terus didesak sendiri. Padahal, Indra yang selalu mengelak selama ini.Be
“Aini!” Indra mendesis, tangannya mengepal erat. Lelaki itu mengembuskan napas kencang dengan mata menatap Aini tak berkedip. Andai di rumah, sudah dia luapkan kemarahan yang bergumul di dalam dada. Namun, dia masih bisa berpikiran dengan jernih kalau saat ini sedang ada di rumah Om Aini.“Kita bicara lagi di rumah nanti. Aku tidak memberi izin kamu bekerja. Mencari nafkah itu kewajiban suami dan aku tidak pernah melalaikan kewajibanku selama ini. Kamu dan Arjun tidak pernah kekurangan apapun. Jadi, atas dasar apa kamu merasa harus ikut bekerja? Membantu suami? Atau ingin menyuapi egomu sendiri?”Aini memalingkan wajah. Melihat kilat kemarahan di mata Indra membuat hatinya bergetar. Selama ini, Indra selalu bersikap lemah lembut padanya. Walau Aini tahu Indra tak pernah menaruh hati padanya, tapi lelaki itu tak pernah bersikap kasar ataupun mengabaikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Hanya setahunan terakhir ini saja keluarga harmonis mereka dulu menjadi dingin dan tera
“Astaga, Aini!” Indra meninju udara. Setahun ke belakang, tidak pernah lagi ada nama Naura di rumah mereka. Pagi ini, mendadak Aini membahas Naura lagi hingga membuat emosi Indra naik seketika. “Kenapa tiba-tiba membahas Naura? Kamu sengaja mencari bahan untuk ribut, hah?!”“Karena tadi malam aku melihat Abang membuka media sosial suami Naura!” Aini tersenyum miring melihat wajah Indra yang tadinya merah padam menahan amarah mendadak salah tingkah. Lelaki itu bahkan memalingkan wajah, menghindari kontak mata dengan dirinya.“Aku lelah berjuang sendiri, Bang. Abang bisa melupakan Naura asal ada niat dan kemauan. Namun, sepertinya memang Abang saja yang enggan. Kalau memang Abang tidak mau beranjak pergi dari kenangan, ya sudah, aku mengalah. Silahkan Abang lakukan sesukanya, tapi aku juga akan melakukan sesukaku.” “Sial!” Indra memuk.l udara saat Aini berlalu dan meninggalkan dirinya. Dia akhirnya berangkat tanpa sarapan. Sejujurnya, Indra terlanjur nyaman dengan sikap dan perlakuan A
“Bang, Aini keluar dulu untuk mengantar Arjun. Dia ada senam, jadi diminta berangkat lebih pagi hari ini.” Aini berpamitan pada Indra keesokan harinya. Wanita itu mencium tangan Indra dan meminta Arjun melakukan hal yang sama.“Semangat ya, Jagoan Papa, berkeringat itu baik.” Indra mengangkat Arjun tinggi-tinggi. Dia terkekeh saat anak itu berteriak-teriak kegirangan, sementara Aini melotot tidak suka. Sejak dulu, istrinya memang sering melarang Indra mengangkat Arjun seperti itu dengan banyak sekali alasan yang diberikan.Setelah anak dan istrinya berangkat, Indra menuju dapur untuk sarapan. Lelaki itu membuka tudung saji. Indra mengepalkan tangan saat melihat nasi kuning dalam box styrofoam dan gorengan yang masih di dalam plastik. Ini kali pertama Aini membeli makan tanpa diminta Indra. Lima tahun menikah, Aini selalu masak sendiri. Indra ingat betul ucapan Aini dulu saat dia bertanya apa tidak capek sering masak.“Kalau beli itu kita nggak tahu kebersihannya bagaimana, Bang. Yakin
Aini yang baru kembali dari kamar Arjun menautkan alis saat melihat layar ponsel Indra yang menyala. Wanita itu perlahan mendekat dan meraih ponsel Indra. Dia berpapasan dengan suaminya diluar tadi. Laki-laki itu terlihat buru-buru menuju toilet di belakang, kebelet sepertinya.“Naura ….” Aini menghela napas panjang saat melihat foto Naura bersama suami dan anak sambungnya. Dia menggulir media sosial Fatih yang dibuka oleh suaminya. Foto-foto Naura dengan senyum lebarnya banyak memenuhi profil lelaki itu. Keluarga kecil itu terlihat harmonis dan hangat sekali. Seperti keluarga mereka dulu, sebelum Indra bertemu dengan mantan kekasih yang sepertinya masih menjajah hati sampai hari ini.Wanita itu meletakkan ponsel suaminya lagi saat mendengar suara pintu dibuka. Dia menuju meja rias dan mulai memoles skincare malam sebelum tidur. Menangis? Tidak. Aini bukan wanita cengeng yang mudah sekali menangis seperti setahun lalu. Sejak liburan mereka di Yogya yang berakhir kacau waktu itu, Aini
Setahun pernikahan, belum ada tanda-tanda Naura isi. Padahal, tidak seperti yang orang lain duga, mereka tidak menunda sama sekali. Baik Naura maupun Fatih sepakat kapanpun diberi akan mereka syukuri. Namun, saat orang mulai bertanya, Naura sepertinya mulai terganggu.Keesokan harinya, mereka bisa bernapas lega saat dokter mengatakan dari hasil pemeriksaan, keduanya baik-baik saja. Mereka bahkan langsung berhubungan karena tadi dokter mengatakan ini sedang puncak masa subur Naura kalau dihitung dari terakhir kali jadwal datang bulannya.“Bang?” Naura menoleh ke arah Fatih sesaat setelah mereka selesai. Wanita itu memiringkan tubuh dan menatap wajah suaminya yang berkeringat. Dia tersenyum lebar kalau mengingat setiap kali kebersamaan, Fatih tidak pernah egois memikirkan dirinya sendiri. Suaminya selalu mendahulukan Naura sampai lebih dulu, sehingga dia bisa merasakan betapa lelaki itu mencintainya.“Hmm?” Fatih tersenyum. Dia mengelus pipi Naura sambil menatap wajah istrinya yang terl