“Abang mau Aini pijat?” Malam harinya, seperti biasa Aini menawarkan untuk memijat Indra sebelum tidur. Wanita itu menautkan alis saat Indra tetap diam saja, tidak menanggapi ucapannya. “Bang? Mau Aini pijat?”“Tidak usah, Nau, kita langsung tidur saja.” Indra yang sejak tadi masih memikirkan sikap manis Fatih pada Naura sedikit terkejut dengan kehadiran Aini. Dia bahkan tidak menyadari kapan Aini masuk ke kamar dan duduk di sebelahnya.“Nau?” Suara Aini bergetar. Sakit benar hatinya mendengar Indra salah menyebut nama. Kalau sebelumnya, dia masih berusaha menekan sakit saat mendengar nama itu keluar dari bibir Indra ketika sedang mengigau. Namun, tidak kali ini. Air matanya mengalir begitu saja saat Indra menyebut nama Naura secara sadar.“Naura maksudnya?” Aini terisak. Dia menjauh saat Indra berusaha meraih tangannya. “Aku Aini, Bang, bukan Naura.” Aini menggeleng kencang. Dia berusaha memberontak saat Indra mem.luknya dengan erat.“Maaf … maaf ….” Indra memejamkan mata rapat-rapa
“Yuk, turun! Kamu manis sekali kalau senyum-senyum malu begitu, Nau. Ah … senyum-senyum malu atau senyum-senyum mau?” Tawa Fatih berderai saat untuk kali kedua, Naura keluar dari mobil dan meninggalkannya.Saat sedang makan, mereka mengobrol banyak dan cukup nyambung. Naura yang aslinya memang mudah bergaul gampang masuk ke dalam obrolan Fatih. Apalagi, Fatih cukup mengikuti perkembangan saat ini sehingga bisa mengimbangi Naura walau jarak usia mereka cukup jauh.“Naura?”Gerakan tangan Naura yang akan menyuapkan makanan terhenti. Senyum di wajahnya padam seketika. Walau sudah berusaha menguatkan hati, tetap saja rasa tidak nyaman menguasai saat mendengar suara Indra menyapa. Wanita itu mengeluh dalam hati. Dari sekian banyak tempat di bumi ini, kenapa Indra harus berada di tempat yang sama dengannya?Fatih yang paham situasi mengambil tisu dan mengelap noda di ujung bibir Naura. Lelaki itu tersenyum saat mata mereka bertatapan. Dengan bahasa isyarat, dia meminta agar Naura menghela n
“Apa ini?” Naura menatap heran ke arah Fatih. Dia mengalihkan pandangan pada permen lolipop dengan gagang putih yang Fatih serahkan padanya. Naura mengangkat sebelah alis melihat senyum Fatih yang sejak tadi terus mengembang.“Makanlah. Rasanya menyenangkan menikmati permen manis itu setelah menumpahkan segala keluh kesah.” Fatih memberi kode pada Naura agar mengikutinya keluar dari ruangan itu. Hampir tiga jam dia menunggu Naura konsultasi di sana. Sejujurnya, Fatih lega melihat jejak-jejak air mata di wajah Naura. Itu artinya, Naura mau terbuka di dalam sana.“Terima kasih.” Naura mengulas senyum saat sudah di dalam mobil. Dia memperhatikan permen lolipop besar seukuran telapak tangannya yang berwarna-warni seperti pelangi. “Memangnya tidak ada bentuk lain sampai harus bentuk tanda cinta begini ya, Ndra?”“Fatih.”Naura tertegun mendengar koreksi dari Fatih. Wanita itu menghela napas panjang saat wajah Indra melintas dalam ingatannya. Dulu, lelaki itu sering sekali membelikan dia pe
Naura menghela napas panjang mendengar ucapan Fatih. Masalahnya, apa yang menjadi ganjalan di hati Naura tidak sesederhana masalah Fatih yang hanya lelaki lemah karena butuh teman curhat. Dia menyimpan aib kelam di masa lalunya yang bisa membuat persepsi orang tentang dirinya akan berubah jauh andai hal itu terbuka.Naura akhirnya memejamkan mata. Kilas balik saat orangtuanya berpisah kembali berputar di dalam kepala. Dia yang tadinya disayang dan dicinta, mendadak tersisihkan dan tak dianggap dalam sekejap mata.“Naura mau ikut Ibu.”“Tidak bisa, Nau. Ibu tidak punya uang. Bapakmu yang bertanggung jawab atas dirimu. Jangankan untuk membiayai hidupmu, bahkan untuk makan besok saja Ibu tidak tahu. Kamu disini saja, ikut Bapak.”Naura meremas tangan saat bayangan belasan tahun silam kembali melintas. Dia bahkan masih bisa mengingat dengan jelas pakaian yang dikenakan oleh ibunya saat pergi meninggalkan rumah. Hari itu, terakhir kalinya Naura dipeluk oleh sang Ibu. Pelukan perpisahan. Se
Sebulan berlalu cepat, Naura sudah mulai kembali seperti biasa. Walau sesekali masih sering terlihat melamun, tapi Naura sudah bisa mengatur fokus kembali. Ini hari pertama dia akan ikut membantu di rumah makan lagi. Wahid memang memberinya waktu untuk menenangkan diri. Lelaki itu ingin Naura merenungi semua dan melepaskan masa lalu yang membelenggunya selama ini.“Bagaimana saran Abang kemarin, Nau?” Wahid yang sedang menghabiskan sarapan melirik ke arah Naura yang duduk di dekat Dewi. “Coba saja dulu, toh tidak ada ruginya. Saran dari Fatih ada benarnya. Kamu butuh seseorang untuk menjadi teman bicara. Profesional tentu akan membuat merasa nyaman karena mereka tidak akan menghakimi kalau itu yang kau takutkan.”Naura menghela napas panjang. Dia masih maju mundur untuk ke psikolog seperti yang Wahid sarankan. Naura merasa lebih baik menyimpan semua rahasianya sendiri. Dengan begitu, hidupnya bisa tenang tanpa penghakiman dan hujatan seperti yang dulu dia rasakan.“Ada yang bisa mengo
Indra menghela napas panjang mendengar sindiran yang dilontarkan oleh Wahid. Dia mengambil kunci mobil yang terjatuh di lantai dan berlalu meninggalkan tempat itu. Cukup lama dia terpaku di parkiran untuk menenangkan diri. Dia jelas tidak bisa mengemudi dalam keadaan kacau seperti ini.“Naura ….” Mata Indra kembali basah melihat bagaimana frustasinya Naura di hadapannya tadi. Dia kenal betul dengan wanita itu. Lima tahun menjalin hubungan dan tiga tahun tinggal bersama membuat Indra tahu betul luar dan dalam Naura. Lelaki itu mengutuk dirinya sendiri membayangkan gadis manjanya itu hampir mati karena b.nuh diri.Adzan ashar membuat Indra tersadar dari lamunan. Dia akhirnya mulai melajukan mobilnya. Lelaki itu melirik ke arah rumah makan yang sudah mulai ramai kembali setelah tadi sempat ditutup agar dia dan Naura bisa bicara.Kurang dari jam lima, mobil Indra memasuki halaman rumah. Dia mengeluh saat melihat Aini dan Arjun yang duduk di teras menunggu kepulangannya. Indra lupa membeli