LOGINSatu bulan berlalu tanpa terasa. Namun, bagi Naura satu bulan ke belakang begitu menyiksa. Malam-malamnya dipenuhi tangis. Siang harinya dia harus menulikan telinga dari kalimat-kalimat sumbang yang masih terus berdengung entah sampai kapan.
Dia tak ada tujuan hidup lagi. Semua aktivitas yang Naura jalani hanyalah sebentuk rutinitas yang dia lakukan agar tidak terlalu terpuruk karena memikirkan Indra. Pagi hari berangkat kerja, menjelang maghrib sampai di kosan kembali. Segera, setelah memasuki kamar yang selama ini dia tinggali bersama Indra, air matanya lolos tak tertahankan. Setelah b.nuh dirinya kemarin gagal, dia tidak berpikiran kesana lagi. Naura yakin ini cara Tuhan menghukum dirinya karena selama ini terlalu jauh tersesat dalam maksiat. Penguasa Kehidupan sengaja tidak mengambil nyawanya agar dia merasakan hukuman di atas bumi yang sudah dia kotori. “Kamu mau kemana, Nau?” Via yang baru saja selesai makan di kantin berlari kecil saat melihat Naura melintas. Wanita itu melirik ke arah tangan Naura yang membawa amplop putih. “Makan dulu saja, yuk, Nau? Ini aku belikan pecel ayam. Aku bonusin sekalian sama hati dan ampela goreng juga biar kamu banyak makan.” Via menghela napas panjang saat ucapannya tidak juga ditanggapi oleh Naura. Sejak kejadian bunuh diri yang gagal kemarin, Naura menjadi sangat pendiam. Dia menutup diri dari sekitar karena gunjingan terhadap dirinya semakin menjadi-jadi. Hanya Via yang masih peduli dengan Naura. Dia selalu membelikan makan untuk Naura setiap kali makan siang di kantin karena tahu Naura tidak akan kesana. “Kamu jangan sering melupakan makan, Nau. Badan kamu kurus banget sekarang. Bukan cuma tidak bagus dilihat, tetapi, pikirkan juga kesehatanmu.” Via berjalan di samping Naura. Dari lorong yang mereka lalui, dia bisa menebak kemana tempat tujuan Naura. “Via, terima kasih.” Naura berhenti tepat di ruangan Sakti. Dia tersenyum pada Via yang terpaku menatap dirinya. Sejak kabar Indra menikah di kampung sana, ini kali pertama Naura tersenyum kembali. “Terima kasih karena selalu peduli padaku walau sering aku abaikan. Bukan bermaksud begitu sebenarnya, tapi kadang aku merasa punya dunia sendiri. Raga disini, tapi pikiranku melayang jauh. Berkelana. Sibuk memikirkan banyak hal.” Via mengangguk maklum. Dia paham kondisi yang Naura hadapi saat ini. Hubungan pertemanan mereka yang terjalin baik membuat Via menyayangi Naura sudah seperti saudara sendiri. Sebagai sama-sama anak rantau, ikatan mereka begitu kuat. Meninggalkan kampung halaman demi mimpi kehidupan yang lebih baik bukan hal mudah. Itulah sebabnya, Via selalu menguatkan Naura saat banyak yang menjauhi wanita itu. Via ingin Naura kembali bangkit menghidupkan mimpi-mimpi saat pertama mereka menjejakkan kaki di tempat ini. “Aku memutuskan untuk berhenti hari ini, Vi.” Naura menghela napas panjang. Pandangannya menerawang jauh. “Tidak ada yang bisa diharapkan disini. Semakin hari, rekan kerja semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka. Awalnya, aku memilih membatukan diri. Namun, mentalku juga ada batasnya.” “Kamu sudah pikirkan ini baik-baik, Nau?” Via memegang tangan Naura. “Mencari pekerjaan saat ini sulit sekali. Apalagi bagi kita yang hanya memegang ijazah SMA.” Via kembali menambahkan. Dia menarik tangan Naura agar mereka bisa duduk sebentar. “Setiap sudut yang ada disini mengingatkanku pada Indra, Vi. Pulang ke kosan juga sama. Bahkan aku masih bisa mencium dengan jelas wangi napasnya yang baru saja gosok gigi setiap kali melihat sikat gigi yang pernah dia pakai.” Naura mengusap ujung matanya yang basah. “Aku ingin bangkit, tapi rasanya sulit sekali. Benar kata orang-orang. Patah hati itu tidak enak.” Mereka terdiam sejenak saat dua orang karyawan yang memakai seragam sama dengan mereka melintas. Via bisa melihat kalau keduanya memperhatikan Naura yang memilih menunduk. “Impianku saat datang kesini adalah mengumpulkan uang agar kedepan bisa untuk modal hidup berumah tangga dengan Indra. Penyemangat hidupku hanya dia karena Indra satu-satunya orang yang paling peduli padaku selama ini. Kamu tahu sendiri bagaimana cerita tentang keluargaku, Vi?” Naura mengabaikan Naura yang seperti ingin berbicara. “Selain itu, kontrakku juga habis bulan depan. Mengingat semua kekacauan yang terjadi dan kinerjaku yang sangat menurun karena masalah ini, sepertinya tidak akan diperpanjang lagi. Jadi ya ….” “Kenapa tidak menunggu sampai kontrak habis saja, Nau?” “Untuk apa?” “Ya … setidaknya kamu punya pegangan uang.” “Iya, untuk apa?” Naura kembali tersenyum melihat Via yang terdiam. Sungguh, Naura merasa tidak membutuhkan uang saat ini. Seperti pertanyaannya, untuk apa? Makan apapun tak enak, tidur juga tidak nyaman. Jadi, uang untuk apa? Tekad Naura sudah bulat untuk berhenti. Selain karena bayangan Indra yang terus menghantui, Naura tahu persis Sakti pasti memaksa untuk minta ditemani tidur kalau mau kontraknya diperpanjang. Naura menghela napas panjang sekali lagi. Begitu rendah dia dipandang kini hingga tak ada lagi harga diri. Dia tak bisa terus disini. Naura tidak mau terus begini. Kalau Indra menghilang, dia putuskan untuk mencari. Naura ingin dapat penjelasan dari lelaki itu kenapa tega melakukan semua ini. “Aku ke Pak Sakti dulu, Vi. Sebentar lagi jam ishoma selesai.” Naura berdiri tanpa menunggu jawaban dari Via. Setelah mengetuk pintu ruang kerja kepala HRD perusahaan, Naura masuk dan langsung duduk walau belum dipersilakan. “Saya mengundurkan diri, Pak. Jadi, Bapak tidak perlu repot-repot memberi penawaran lagi.” Naura bicara tanpa basa-basi. Wanita itu mendengus kencang melihat Sakti justru tersenyum mendengar ucapannya. “Naura …, Naura ….” Sakti berdiri dan melonggarkan dasi yang dia kenakan. Lelaki itu berjalan keluar dari meja dan berdiri di belakang kursi yang diduduki oleh Naura. “Ini yang saya suka dari kamu, Nau. Kamu cerdas dan tegas. Sikapmu yang pemberani dan kadang keras menimbulkan rasa penasaran.” Naura sontak ingin berdiri mendengar ucapan Sakti. Namun, gerakan tangan Sakti lebih cepat saat menahan bahunya. Wanita itu menggigit bibir saat bahunya terasa sakit karena Sakti menekannya kencang. “Saya tidak menerima penolakan, Nau. Kalau kamu tidak mau menerima penawaran, maka saya bisa melakukan pemaksaan.”“Sudah dapat datanya, tinggal di olah. Cuma aku masih malas mulai, Bang. Dosennya juga lagi ikut seminar internasional di Hongkong. Nantilah kalau dosennya sudah pulang baru dikerjakan.” Naura memainkan jari telunjuknya di dada Fatih. Wanita itu tersenyum tipis saat suara napas suaminya terdengar berat dengan suara sedikit serak.“Paling berat itu memang mengerjakan tugas akhir. Apalagi kalau dosennya gaib, hilang-hilangan.” Fatih terkekeh melihat Naura manyun. Dia iseng menarik bibir Naura yang dimonyongkan hingga membuat wanita itu spontan bangun dari tiduran. Namun, Fatih kembali menarik Naura, tak rela jika harus melepaskan kenyamanan kedekatan mereka.“Nikmati saja. Itulah seninya menjadi mahasiswa.” Fatih merapikan anak rambut Naura yang jatuh di dahi. “Setiap fase ada perjuangan dan ujiannya. Ya saat menjadi mahasiswa, fase perjuangannya selama proses belajar. Puncaknya saat menyusun tugas akhir dan ujiannya saat sidang. Itu yang akan menentukan lulus atau tidak untuk menyandan
“Papa, kapan pulang? Bawain oleh-oleh yang banyak ya? Atau nanti libur sekolah semester depan Arjun saja yang main kesana. Biar bisa lihat tempat Papa tinggal. Boleh ya, Ma?”Indra tersenyum lebar mendengar suara Aini yang mengiyakan permintaan Arjun. Seperti biasa, setiap menjelang maghrib di Ketapang, dia akan melakukan panggilan video pada Arjun. Mendengarkan cerita tentang keseharian anak lelaki itu menjadi hiburan tersendiri bagi Indra yang sering merasa sepi di tempat barunya ini.Tak terasa, setengah tahun sudah dia disana. Usaha konveksi rumahan yang dia kelola progresnya cukup menjanjikan. Di awal kedatangannya, Indra setiap hari selalu keluar rumah. Berangkat saat matahari belum muncul dan pulang saat matahari sudah tenggelam. Dia menyusuri jalanan, door to door mempromosikan usaha yang baru saja dia mulai.Benu tidak salah menaruh kepercayaan penuh pada Indra. Dalam waktu setengah tahun, usaha yang dia modali mulai memperlihatkan progres yang cukup menjanjikan. Setelah mula
“Sudah, tapi dosennya minta tambah data karena ada beberapa variabel tambahan juga.” Naura mengembuskan napas kencang. Seharusnya, dia sudah mulai bisa menyusun skripsi. Namun, karena dosen pembimbingnya minta tambahan data, jadilah dia harus turun ke lapangan lagi.“Besok jadi mau coba minta doa, Nau?” Dewi bertanya hati-hati. Sejujurnya, dia ikut sedih karena lima tahun lebih menikah, Naura dan Fatih belum juga dikarunia buah hati. Padahal, usaha yang mereka lakukan tidak main-main. Memanfaatkan libur semester, dua tahun lalu, Naura dan Fatih pernah mencoba bayi tabung di Penang, Malaysia. Namun, usaha itu belum berhasil karena embrio tidak menempel di rahim.Setahun mereka memilih istirahat, mengembalikan mental yang sudah pasti down. Tak dipungkiri, keduanya menaruh harapan besar akan keberhasilan bayi tabung kemarin. Setelah berhasil bangkit lagi, mereka menjadi lebih kuat karena saling menguatkan. Naura dan Fatih sepakat akan terus berusaha selama rezeki ada dan tubuh mereka mas
Indra menghela napas panjang saat pengumuman landing terdengar. Dia memasang sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Lelaki itu menoleh ke arah jendela pesawat, memperhatikan sungai barito yang memanjang dan berkelok-kelok di bawah sana. Kapal tongkang tampak berjalan sangat pelan karena membawa tonan beban batubara di belakangnya, mutiara hitam tanah Kalimantan. Kapal Ferry dan klotok tampak berlalu-lalang, masih menjadi alat transportasi yang terus dilestarikan. Dada Indra berdebar kencang seiring dengan getaran pesawat yang semakin terasa. Saat roda burung besi itu menyentuh landasan, bayangan wajah Aini memenuhi kepala Indra. Hampir satu dekade yang lalu, dia menjejakkan kaki pertama kali di pulau ini. Lima tahun kemudian, dia angkat kaki. Hari ini, setelah hampir lima tahun meninggalkan Borneo, dia kembali lagi. Bedanya, tak ada Aini yang selama ini selalu mendampingi. “Selamat datang kembali, anakku.” Benu merentangkan tangan. Lelaki itu memeluk Indra erat di depan pintu
Ba’da ashar, Indra hendak berpamitan pulang. Namun, dia urung saat melihat Aini dan Siti datang. Aini terlihat sedikit canggung saat bertatapan dengan Indra. Dia ingin langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar Indra pamit untuk pulang. Wanita itu refleks membalikkan badan hingga bertatapan kembali dengan Indra.Indra mengulas senyum melihat Aini yang kembali memalingkan wajah, menghindari beradu pandang dengan dirinya. Lelaki itu mendekat pada Aini. Dia menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berbicara dengan wanita yang pernah mengabdikan diri sepenuh hati selama lima tahun pada dirinya.“Selamat atas pertunanganmu dengan Pak Saka, Aini. Semoga rencana pernikahan kalian diberi kemudahan dan kelancaran sampai waktunya tiba. Abang ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Akhirnya, Aini menemukan seseorang yang begitu memperjuangkan cinta dengan segenap rasa. Selamat menikmati euforia dicintai.” Indra mengulas senyum saat Aini menoleh kembali. Mereka bertatapan c
Indra mematut diri di depan cermin. Lelaki itu tersenyum lebar melihat tampilannya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia berpakaian rapi seperti ini. Sekarang, hanya sesekali saja kalau ada keperluan seperti hari ini. Indra mengalihkan pandangan ke arah kado yang sudah dia siapkan sejak seminggu lalu. Senyumnya kembali terbit mengingat dia harus menyisihkan uang dari hasil mengambil upah harian selama hampir tiga bulan agar bisa membelinya.Embusan napas kencang terdengar. Indra meraih kado berisi sepatu roda yang sudah sejak setahun lalu diminta oleh Arjun. Anak lelaki itu minta dibelikan sepatu roda kalau dia berhasil juara kelas lagi semester ini. Indra langsung mengiyakan karena tahu Arjun memang sangat suka sepatu roda. Jadilah akhirnya tahun ini dia membelikannya walau raport belum dibagikan. Indra yakin betul Arjun pasti juara kelas lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.Indra meraih ponsel di saku celananya saat alat komunikasi itu berdering. Dia tertawa melihat nama Aini terte







