Share

BAB 7

last update Huling Na-update: 2025-08-01 11:34:52

Satu bulan berlalu tanpa terasa. Namun, bagi Naura satu bulan ke belakang begitu menyiksa. Malam-malamnya dipenuhi tangis. Siang harinya dia harus menulikan telinga dari kalimat-kalimat sumbang yang masih terus berdengung entah sampai kapan.

Dia tak ada tujuan hidup lagi. Semua aktivitas yang Naura jalani hanyalah sebentuk rutinitas yang dia lakukan agar tidak terlalu terpuruk karena memikirkan Indra. Pagi hari berangkat kerja, menjelang maghrib sampai di kosan kembali. Segera, setelah memasuki kamar yang selama ini dia tinggali bersama Indra, air matanya lolos tak tertahankan.

Setelah b.nuh dirinya kemarin gagal, dia tidak berpikiran kesana lagi. Naura yakin ini cara Tuhan menghukum dirinya karena selama ini terlalu jauh tersesat dalam maksiat. Penguasa Kehidupan sengaja tidak mengambil nyawanya agar dia merasakan hukuman di atas bumi yang sudah dia kotori.

“Kamu mau kemana, Nau?” Via yang baru saja selesai makan di kantin berlari kecil saat melihat Naura melintas. Wanita itu melirik ke arah tangan Naura yang membawa amplop putih.

“Makan dulu saja, yuk, Nau? Ini aku belikan pecel ayam. Aku bonusin sekalian sama hati dan ampela goreng juga biar kamu banyak makan.” Via menghela napas panjang saat ucapannya tidak juga ditanggapi oleh Naura.

Sejak kejadian bunuh diri yang gagal kemarin, Naura menjadi sangat pendiam. Dia menutup diri dari sekitar karena gunjingan terhadap dirinya semakin menjadi-jadi. Hanya Via yang masih peduli dengan Naura. Dia selalu membelikan makan untuk Naura setiap kali makan siang di kantin karena tahu Naura tidak akan kesana.

“Kamu jangan sering melupakan makan, Nau. Badan kamu kurus banget sekarang. Bukan cuma tidak bagus dilihat, tetapi, pikirkan juga kesehatanmu.” Via berjalan di samping Naura. Dari lorong yang mereka lalui, dia bisa menebak kemana tempat tujuan Naura.

“Via, terima kasih.” Naura berhenti tepat di ruangan Sakti. Dia tersenyum pada Via yang terpaku menatap dirinya. Sejak kabar Indra menikah di kampung sana, ini kali pertama Naura tersenyum kembali. “Terima kasih karena selalu peduli padaku walau sering aku abaikan. Bukan bermaksud begitu sebenarnya, tapi kadang aku merasa punya dunia sendiri. Raga disini, tapi pikiranku melayang jauh. Berkelana. Sibuk memikirkan banyak hal.”

Via mengangguk maklum. Dia paham kondisi yang Naura hadapi saat ini. Hubungan pertemanan mereka yang terjalin baik membuat Via menyayangi Naura sudah seperti saudara sendiri.

Sebagai sama-sama anak rantau, ikatan mereka begitu kuat. Meninggalkan kampung halaman demi mimpi kehidupan yang lebih baik bukan hal mudah. Itulah sebabnya, Via selalu menguatkan Naura saat banyak yang menjauhi wanita itu. Via ingin Naura kembali bangkit menghidupkan mimpi-mimpi saat pertama mereka menjejakkan kaki di tempat ini.

“Aku memutuskan untuk berhenti hari ini, Vi.” Naura menghela napas panjang. Pandangannya menerawang jauh. “Tidak ada yang bisa diharapkan disini. Semakin hari, rekan kerja semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka. Awalnya, aku memilih membatukan diri. Namun, mentalku juga ada batasnya.”

“Kamu sudah pikirkan ini baik-baik, Nau?” Via memegang tangan Naura. “Mencari pekerjaan saat ini sulit sekali. Apalagi bagi kita yang hanya memegang ijazah SMA.” Via kembali menambahkan. Dia menarik tangan Naura agar mereka bisa duduk sebentar.

“Setiap sudut yang ada disini mengingatkanku pada Indra, Vi. Pulang ke kosan juga sama. Bahkan aku masih bisa mencium dengan jelas wangi napasnya yang baru saja gosok gigi setiap kali melihat sikat gigi yang pernah dia pakai.” Naura mengusap ujung matanya yang basah. “Aku ingin bangkit, tapi rasanya sulit sekali. Benar kata orang-orang. Patah hati itu tidak enak.”

Mereka terdiam sejenak saat dua orang karyawan yang memakai seragam sama dengan mereka melintas. Via bisa melihat kalau keduanya memperhatikan Naura yang memilih menunduk.

“Impianku saat datang kesini adalah mengumpulkan uang agar kedepan bisa untuk modal hidup berumah tangga dengan Indra. Penyemangat hidupku hanya dia karena Indra satu-satunya orang yang paling peduli padaku selama ini. Kamu tahu sendiri bagaimana cerita tentang keluargaku, Vi?” Naura mengabaikan Naura yang seperti ingin berbicara.

“Selain itu, kontrakku juga habis bulan depan. Mengingat semua kekacauan yang terjadi dan kinerjaku yang sangat menurun karena masalah ini, sepertinya tidak akan diperpanjang lagi. Jadi ya ….”

“Kenapa tidak menunggu sampai kontrak habis saja, Nau?”

“Untuk apa?”

“Ya … setidaknya kamu punya pegangan uang.”

“Iya, untuk apa?” Naura kembali tersenyum melihat Via yang terdiam. Sungguh, Naura merasa tidak membutuhkan uang saat ini. Seperti pertanyaannya, untuk apa? Makan apapun tak enak, tidur juga tidak nyaman. Jadi, uang untuk apa?

Tekad Naura sudah bulat untuk berhenti. Selain karena bayangan Indra yang terus menghantui, Naura tahu persis Sakti pasti memaksa untuk minta ditemani tidur kalau mau kontraknya diperpanjang.

Naura menghela napas panjang sekali lagi. Begitu rendah dia dipandang kini hingga tak ada lagi harga diri. Dia tak bisa terus disini. Naura tidak mau terus begini. Kalau Indra menghilang, dia putuskan untuk mencari. Naura ingin dapat penjelasan dari lelaki itu kenapa tega melakukan semua ini.

“Aku ke Pak Sakti dulu, Vi. Sebentar lagi jam ishoma selesai.” Naura berdiri tanpa menunggu jawaban dari Via. Setelah mengetuk pintu ruang kerja kepala HRD perusahaan, Naura masuk dan langsung duduk walau belum dipersilakan.

“Saya mengundurkan diri, Pak. Jadi, Bapak tidak perlu repot-repot memberi penawaran lagi.” Naura bicara tanpa basa-basi. Wanita itu mendengus kencang melihat Sakti justru tersenyum mendengar ucapannya.

“Naura …, Naura ….” Sakti berdiri dan melonggarkan dasi yang dia kenakan. Lelaki itu berjalan keluar dari meja dan berdiri di belakang kursi yang diduduki oleh Naura. “Ini yang saya suka dari kamu, Nau. Kamu cerdas dan tegas. Sikapmu yang pemberani dan kadang keras menimbulkan rasa penasaran.”

Naura sontak ingin berdiri mendengar ucapan Sakti. Namun, gerakan tangan Sakti lebih cepat saat menahan bahunya. Wanita itu menggigit bibir saat bahunya terasa sakit karena Sakti menekannya kencang.

“Saya tidak menerima penolakan, Nau. Kalau kamu tidak mau menerima penawaran, maka saya bisa melakukan pemaksaan.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 157

    Ba’da ashar, Indra hendak berpamitan pulang. Namun, dia urung saat melihat Aini dan Siti datang. Aini terlihat sedikit canggung saat bertatapan dengan Indra. Dia ingin langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar Indra pamit untuk pulang. Wanita itu refleks membalikkan badan hingga bertatapan kembali dengan Indra.Indra mengulas senyum melihat Aini yang kembali memalingkan wajah, menghindari beradu pandang dengan dirinya. Lelaki itu mendekat pada Aini. Dia menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berbicara dengan wanita yang pernah mengabdikan diri sepenuh hati selama lima tahun pada dirinya.“Selamat atas pertunanganmu dengan Pak Saka, Aini. Semoga rencana pernikahan kalian diberi kemudahan dan kelancaran sampai waktunya tiba. Abang ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Akhirnya, Aini menemukan seseorang yang begitu memperjuangkan cinta dengan segenap rasa. Selamat menikmati euforia dicintai.” Indra mengulas senyum saat Aini menoleh kembali. Mereka bertatapan c

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 156

    Indra mematut diri di depan cermin. Lelaki itu tersenyum lebar melihat tampilannya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia berpakaian rapi seperti ini. Sekarang, hanya sesekali saja kalau ada keperluan seperti hari ini. Indra mengalihkan pandangan ke arah kado yang sudah dia siapkan sejak seminggu lalu. Senyumnya kembali terbit mengingat dia harus menyisihkan uang dari hasil mengambil upah harian selama hampir tiga bulan agar bisa membelinya.Embusan napas kencang terdengar. Indra meraih kado berisi sepatu roda yang sudah sejak setahun lalu diminta oleh Arjun. Anak lelaki itu minta dibelikan sepatu roda kalau dia berhasil juara kelas lagi semester ini. Indra langsung mengiyakan karena tahu Arjun memang sangat suka sepatu roda. Jadilah akhirnya tahun ini dia membelikannya walau raport belum dibagikan. Indra yakin betul Arjun pasti juara kelas lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.Indra meraih ponsel di saku celananya saat alat komunikasi itu berdering. Dia tertawa melihat nama Aini terte

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 155

    “Permisi.”“Ah iya, silakan.” Naura langsung menepi. Dia mengangguk sopan karena tahu salah berdiri agak ke tengah jalan. “Indra.” Naura mendesis pelan, tapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Fatih hingga membuat lelaki itu menoleh. Naura menghela napas panjang melihat Indra yang sedang membawa setengah karung kopi di pundaknya.Indra mengangguk pelan sebelum akhirnya meneruskan langkah. Dia malu hati bertemu Naura dan Fatih dalam keadaan seperti ini. Celana panjangnya penuh licak dan kotor oleh tanah. Baju kaos panjang yang dia kenakan robek di beberapa bagian karena memang pakaian itu yang selalu dia gunakan saat akan mengambil upah harian di pehumaan orang.Sesampai di rumah, Indra mengempaskan begitu saja setengah karung kopi yang dia bawa. Lelaki itu mengembuskan napas kencang melihat hasil bayaran upahnya bekerja setengah hari ini. Dia bergegas masuk ke dalam karena tak ingin Naura dan Fatih melihatnya lagi. Rasa rendah diri memenuhi hati. Dia benar-benar sudah berbeda dari

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 154

    “Kenapa?” Naura menatap mata Fatih dalam-dalam. Sejujurnya, sampai detik ini dia masih belum mengerti kenapa Fatih menerima dia sebegitunya. Cinta? Ah … alasan klasik yang diucapkan oleh lelaki. Logika Naura agak sulit menerima kalau Fatih melakukan semua karena alasan ketulusan perasaan setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Indra, orang yang pernah menjadi satu-satunya tempat Naura menumpukan harapan.“Kenapa Abang begitu baik pada Naura? Kenapa Abang menerima Naura begitu saja? Kenapa Abang tidak sekalipun bertanya tentang masa lalu Naura?” Hujan perlahan mereda, menyisakan rintik yang sepertinya masih enggan untuk berhenti. Udara dingin membuat Naura sedikit menggigil. Gamis rumahan yang dia kenakan bahannya cukup tipis dan ringan sehingga tidak bisa untuk menghangatkan badan.“Karena aku melihat diriku pada dirimu.” Fatih menatap Naura tak berkedip. “Tatapan mata kosong, tertawa tapi menangis, berbaur tapi sendiri. Aku tahu persis perasaan itu karena aku pernah mengalami sendi

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 153

    Indra mengembuskan napas panjang. Kalau Aini menikah kelak, entah dengan Saka atau siapapun itu, dia tidak akan bisa bebas berkunjung seperti ini lagi. Ada hati yang harus dijaga dan tak elok pula dilihat tetangga. Mendadak, Indra merasa sebatang kara. Dia juga akan terbuang dari keluarga mantan mertuanya yang sudah dia anggap sebagai orangtuanya sendiri selama ini.“Pak.” Indra langsung berdiri saat Ari keluar rumah. Dia langsung mengulurkan tangan untuk berpamitan pulang. “Pamit pulang, Pak, mumpung hujannya sedang reda. Khawatir kesorean nanti. Apalagi jalanan pasti licin jadi harus pelan-pelan.” Indra menjelaskan dengan cepat, khawatir terkurung lagi karena awan masih gelap sekali.Ari mengangguk mengerti. Dia menepuk pundak Indra saat mereka berjabat tangan. “Pikirkan ucapan Bapak tadi, Ndra. Sebelum semua terlambat, kesempatan masih sangat besar. Bapak bisa melihat Saka lelaki yang baik untuk Aini. Namun, kalau ada kesempatan kamu dan Aini bisa bersama lagi, Bapak lebih setuju d

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 152

    Lepas dzuhur, mobil Saka memasuki halaman rumah orangtua Aini. Indra yang baru saja akan pamit urung bicara melihat Saka dan Aini keluar dari mobil berbarengan. Keduanya berlari-lari kecil masuk ke rumah karena gerimis masih sesekali turun sejak tadi. Indra memalingkan wajah melihat Aini mengembalikan jaket Saka yang tadi digunakan untuk menutupi kepala dan tubuhnya. Wanita itu sedikit tenggelam karena ukuran jaket Saka yang cukup besar.“Sudah pulang?” Ari tersenyum pada Saka yang mencium tangannya. Lelaki berusia tiga puluhan itu terlihat sangat sopan, cocok dengan profesinya sebagai tenaga pendidik. Dari cerita Saka, Ari tahu kalau lelaki itu baru lulus CPNS tahun ini dan mendapat SK di desa mereka setelah lebih dari delapan tahun mengabdi di sekolah sebelumnya.“Iya, Pak, Aini katanya mau istirahat.” Saka mengulas senyum. Mereka memang selalu langsung pulang setelah selesai acara. Aini sering menolak setiap diajak jalan atau bahkan sekedar mampir sebentar untuk makan. Arjun menjad

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status