“Cuti?” Sakti menatap tajam ke arah Naura yang tampak kuyu di hadapannya. Lelaki itu menghela napas panjang saat matanya melihat pergelangan tangan kiri Naura yang terbalut perban. Dia sudah mendengar berita tentang Naura yang mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa hari yang lalu.
“Begini, Nau.” Sakti menghela napas panjang. Walau kesal karena Naura menolak tawarannya kemarin, tapi Sakti tetap bisa bersikap profesional. “Dalam satu minggu ini saja, kamu sudah berapa kali izin sakit? Saat mendengar kabar Indra menikah, kamu izin sakit dua hari. Baru satu hari masuk, tengah hari pulang dan izin sakit lagi tiga hari. Total lima hari izin. Itu artinya seminggu penuh kamu tidak masuk, Nau.” Naura menunduk dalam-dalam. Sejak awal, dia sudah yakin kalau pengajuan cutinya tidak akan disetujui. Namun, dia harus mencoba karena ingin menyelesaikan semua. “Saya minta maaf karena kinerja saya berantakan, Pak. Saya harus pulang agar bisa menyelesaikan masalah. Setelah ini, saya akan bekerja seperti biasa lagi. Saya akan lembur tanpa bayaran sebagai kompensasi.” Sakti menggeleng pelan. Dia meletakkan surat pengajuan cuti yang Naura berikan barusan. “Bukannya saya tidak mau membantu mengajukan permohonan ini ke atasan, tapi saya bisa dimaki-maki, Nau. Izin sakit seminggu penuh, lalu tambah lagi minta cuti itu aduuuuh …. Kamu harus profesional. Bukan perusahaan yang butuh kamu, tapi kamu yang butuh perusahaan.” Sakti memberi penekanan pada setiap kalimatnya. “Kamu bukan karyawan yang baik karena masalah pribadi mengganggu pekerjaan sampai sejauh ini. Setiap orang punya masalah, tapi saat bekerja kita dituntut untuk profesional. Perusahaan tidak mau tahu urusan dapur karyawan. Mereka hanya tahu kita berkontribusi sesuai dengan jobdesk yang sudah disepakati karena mereka membayar kita untuk itu.” Naura mengangguk mengerti. Dia lalu keluar dari ruangan Sakti setelah mengucapkan permisi. Wanita itu berjalan pelan menuju ruang kerjanya kembali. Sejak keluar dari rumah sakit dia seperti tidak ada semangat hidup sama sekali. Langkahnya gontai seolah tak lagi kuat menjejak bumi. “Ya tidak heran kalau sampai mencoba b.nuh diri, cahaya iman dalam hatinya telah m.ti. Kejadian ini seharusnya tidak membuat kaget lagi bagi. Sudah bisa ditebak dari awal kalau Naura akan mengambil langkah itu. Tiga tahun dia dengan terang-terangan berzina. Di depan makhluk saja dia berani dan tak ada malu sama sekali. Malah bangga mempertontonkan semua seolah hidup hanya tentang mereka berdua.” Langkah Naura terhenti. Dia tidak berani meneruskan berjalan karena di balik tembok yang menjadi tempat tujuannya, karyawan lain sedang menggunjingkan dirinya. Dia meremas jari. Tangannya terasa dingin. Air matanya mengalir menyadari di setiap sudut kantor mungkin saja orang-orang sedang membicarakan kebod.hannya. “Sudah, jangan terlalu dibahas. Kita tidak tahu mental dia sekuat apa. Kejadian kemarin membuktikan kalau dia sedang berada di titik terendah walau diluar terlihat biasa saja.” “Ah … pezina memang pantas mendapat sanksi sosial seperti ini. Sejak dulu, orang memang sudah membicarakan dia dan Indra. Hanya saja, mereka tutup telinga karena sedang dimabuk cinta. Bukan tidak menaruh simpati sebagai sesama manusia ya, tetapi pezina seperti mereka memang harus mendapat sanksi agar urat malunya kembali lagi.” “Ngomong-ngomong, Indra beneran sudah mengajukan resign ya? Saya kaget juga pas dengar kabar pagi tadi. Saya kira dia bakal datang dulu ke kantor, ternyata malah mengirim email ke HRD. Ya walau sudah bisa ditebak tidak mungkin dia tetap meneruskan bekerja sih.” Mata Naura membelalak lebar mendengar percakapan karyawan lain di balik tembok. Wanita itu mengepalkan tangan. Refleks, dia membalikkan badan dan memaksakan menyeret kakinya untuk kembali ke ruangan Sakti walau tubuhnya terasa lemas sekali. Tanpa mengucap salam, dia menerobos masuk begitu saja. “Kenapa Bapak tidak bilang kalau Indra sudah mengajukan surat resign?” Napas Naura terengah. Dia berpegangan pada kursi untuk menopang tubuhnya yang gemetar hebat. Tadinya, dia berharap bisa bicara dengan Indra saat lelaki itu masuk kerja kembali. Namun, siapa sangka ternyata lelaki itu malah memilih jalan ini. Naura terus merutuk dalam hati tentang Indra yang tidak mau menemuinya karena tak punya nyali. “Kamu tidak bertanya, jadi untuk apa saya bilang, Nau?” Sakti mengangkat bahu saat Naura bertanya padanya. “Lagipula, saya tidak mau menambah beban piNaura kamu yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.” Sakti berdiri dan meminta Naura duduk. Naura mengedikkan bahu saat merasa tangan sakti memijat bahunya pelan. Dia menatap tak suka pada lelaki yang kini tersenyum lebar ke arahnya. Tanpa berpamitan, Naura langsung meninggalkan ruangan itu. Hatinya perih. Serendah itu dia di mata orang-orang sehingga Sakti merasa pantas menjamah dirinya sesukanya. “Pengecut kamu, Ndra!” Naura terduduk di belakang kantor. Dia menyendiri di taman yang sepi karena jam istirahat begini pasti karyawan lain ramai di kantin. Dia benar-benar buntu. Semua akses komunikasi benar-benar putus. Padahal, Naura hanya butuh penjelasan. Apa yang membuat Indra tega melakukan semua? Kejadian ini membuat perasaannya hancur berkeping-keping. Secara tiba-tiba, Indra meninggalkannya padahal hubungan mereka baik-baik saja. Tiba-tiba? Naura mendadak tertawa saat menyadari sesuatu. Mungkin saja, Indra sudah merencanakan semua sejak lama. Jadi, tidak ada yang tiba-tiba bagi laki-laki itu. Dia saja yang terlalu b.doh sehingga tidak menyadari semua karena sikap Indra yang selalu manis dengan tutur kata memuja. Buktinya, Indra bahkan tidak ragu untuk resign. Seharusnya, lelaki itu pasti akan tetap bekerja karena dia butuh menafkahi istrinya. Namun, sekarang apa? Naura memeluk lutut. Bahunya bergetar hebat. Tangisan yang keluar dari bibirnya terdengar sangat pilu saat menyadari Indra ternyata sudah merencanakan semua dengan matang. Lelaki itu ternyata punya rencana lain dan bukan dia tujuannya. Naura menggigit bibirnya hingga rasa asin menyapa lidah. Sungguh, dia merasa benar-benar b.doh karena selama ini terlalu mempercayai Indra hingga rela menyerahkan semuanya.Naura mengangguk. Itu artinya, Bibi dan mamangnya bekerja hanya untuk mengisi hari tua, bukan untuk mencari makan lagi. Kebanyakan orang tua disana enggan ikut anaknya merantau walau kehidupan anaknya sudah nyaman. Mereka terlanjur mencintai kampung halaman yang menjadi tempat mereka lahir dan dibesarkan.“Abangmu sering menanyakan kabarmu kalau sedang telpon, Nau. Beberapa kali dia minta nomormu, tapi Bibi tidak punya.”Naura membisu mendengar ucapan bibinya. Dia menghela napas panjang untuk yang kesekian kali. Sejak merantau dan yakin akan janji kehidupan lebih baik bersama Indra, dia mengganti nomor ponselnya. Naura ingin melupakan semua kepahitan hidupnya di masa lalu dan fokus untuk menyongsong masa depan bersama lelaki yang menjadi tumpuan harapannya.“Lusa, abangmu pulang. Teman baiknya sejak kecil menikah, sehingga dia menyempatkan untuk datang.” Ila memperhatikan Naura yang kini menoleh ke arahnya. “Mungkin ini jalan Tuhan, Nau. Kamu datang disaat abangmu juga pulang.”Naura
Bendri membisu. Dia kehabisan kata karena apa yang sepupunya ucapkan adalah kebenaran. Sejak bercerai dengan mantan istrinya, dia tidak mau tahu menahu tentang Naura sama sekali. Bendri bahkan tidak memberikan uang saat Naura minta untuk membeli seragam saat akan masuk SMP sekitar sembilan tahunan yang lalu.“Kita pulang, Nau. Seharusnya, sejak awal datang kau tahu kemana harus pulang. Pintu rumah Bibi selalu terbuka untuk kau datangi.” Ila menarik tangan Naura agar mengikutinya. Dia mengambil keranjang yang terjatuh di halaman. Setelah memasukkan kembali isinya yang tercecer, Ila berjalan diiringi oleh Naura.“Dimana baju-bajumu, Nau?” Ila bertanya setelah mereka sampai di rumah. Dia memberikan segelas air dingin pada Naura yang terlihat sudah jauh lebih tenang. Wanita itu menghela napas panjang melihat wajah lelah dan kuyu yang terpancar jelas di wajah keponakannya.“Di rumah Farhan, Bi.” Naura menjawab pelan. Dia mengambil gelas yang diberikan oleh Ila dan meminumnya satu tegukan.
“Jaga mulutmu, Naura. Jangan bicara seperti orang tak pernah mendapat pendidikan. Aku ini bapakmu!” Bendri terengah. Dia tersinggung mendengar ucapan yang keluar dari bibir anaknya. “Untuk apa kamu pulang kalau hanya membuat kekacauan saja? Tahunan kamu pergi dari sini kehidupan kami aman dan tenang terkendali.”Naura meludah. Cairan ludah bercampur darah menempel di batu hias yang disusun di pekarangan. Wanita itu menggeleng pelan. Tenaganya habis sudah untuk menjawab semua ucapan bapaknya. Fisiknya lelah. Batinnya apalagi.Dia akhirnya duduk di teras rumah. Lelah rasanya berhadapan dengan para manusia yang selalu ingin dihormati sebagai orangtua, tapi tidak pernah mengurusnya sama sekali. Tidak berpendidikan katanya? Naura berdecak pelan. Ingin rasanya dia mengembalikan kata-kata Bendri lagi. Apa selama ini Bendri memberikan pendidikan padanya hingga bisa berkata demikian?Namun, dia memilih diam. Tamp.ran dari bapaknya barusan cukup membuat mentalnya semakin jatuh. Pada akhirnya ap
“Nau, kita masuk dulu.” Rida membantu Naura berdiri. Wanita itu mengembuskan napas kencang melihat tetangganya yang saling menggamit dan berbisik, menggunjingkan tentang keluarganya.“Ayo, Naura.” Rida menghela napas panjang saat tidak ada penolakan dari Naura. Mereka berjalan pelan masuk ke dalam rumah, sementara yang lain masih berdiri di tempat semula, berharap ada kelanjutan cerita.“Minum dulu.” Rida memberikan segelas air putih dingin pada Naura yang langsung menghabiskannya sampai tandas. “Pulanglah, Nau, Indra tidak ada disini. Semakin lama kamu disini, tetangga akan semakin bergunjing. Jadi, Ibu mohon, pulanglah ….”“Kemana?” Naura menggigit bibir. Tatapan matanya kosong. Kemana dia harus pulang? Selama ini, tujuannya kembali hanya Indra. Sekarang, saat lelaki itu menghilang, dia harus kemana?Rida menghela napas panjang melihat wajah Naura yang basah. Dia tahu betul cerita hidup Naura. Namun, mau bagaimana lagi? Indra dan Naura tidak berjodoh. Dia tak mau membuat Naura berha
“Indra!”Naura bergegas berdiri saat suara panggilan kembali terdengar. Tak disangka, belum satu jam menginjakkan kaki di desa ini, dia langsung bertemu dengan lelaki pengecut yang memblokir semua akses kontak mereka. Wanita itu menelan sisa roti di mulutnya dengan cepat. Setelah menghela napas beberapa kali, Naura memaksakan diri untuk menoleh.Walau belum siap jika harus bertemu dengan Indra yang mungkin saja sedang bersama istrinya, Naura tidak mau melewatkan kesempatan ini. Bisa saja, Indra malah pergi lagi jika tahu dia ada di desa ini.“Farhan?" Naura menautkan alis melihat teman satu sekolahnya sejak SD sampai SMA. Lelaki yang membawa parang di pinggang dan tangan kanan menenteng nangka berjalan mendekat ke arahnya.Naura mengedarkan pandangan. Tidak ada orang lain yang ada disana. Hanya ada mereka berdua karena letak masjid di kampung itu memang ada di ujung desa. Mendadak, Naura menyadari sesuatu. Sejak dia berpacaran dengan Indra, Farhan selalu memanggilnya dengan nama lelak
Sakti semakin mengencangkan tangannya di bahu Naura hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik. “Sudah kubilang kalau kau membuatku penasaran, Nau. Jadi, jangan harap bisa lepas begitu saja. Lagi pula, apa susahnya, sih? Paling sepuluh sampai lima belas menit juga beres. Kita sama-sama diuntungkan disini.”Sakti melirik jam dinding. Dia melepaskan Naura yang mengepalkan kedua tangannya di paha. Lelaki itu mengulas senyum saat kembali ke tempatnya duduk. “Tentu saja tidak disini. Tidak sekarang, Nau. Jadi, bawa kembali surat pengunduran dirimu. Lebih baik kita bersenang-senang bersama. Apa kau tidak merindukan itu? Sebulan lebih kamu nganggur ditinggal Indra ‘kan?”“Picik!” Naura menatap Sakti dengan ujung mata. Dia memasang wajah datar saat melihat Sakti yang terkekeh pelan mendengar makiannya barusan. “Seperti yang Bapak bilang, saya cerdas. jadi, walau saat ini keadaan saya sedang kacau, saya tetap bisa berpikir jernih.”Naura mengangkat ponselnya dan memutar rekaman suara Sakti. “