Share

BAB 6

last update Last Updated: 2025-06-30 10:03:13

“Cuti?” Sakti menatap tajam ke arah Naura yang tampak kuyu di hadapannya. Lelaki itu menghela napas panjang saat matanya melihat pergelangan tangan kiri Naura yang terbalut perban. Dia sudah mendengar berita tentang Naura yang mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa hari yang lalu.

“Begini, Nau.” Sakti menghela napas panjang. Walau kesal karena Naura menolak tawarannya kemarin, tapi Sakti tetap bisa bersikap profesional. “Dalam satu minggu ini saja, kamu sudah berapa kali izin sakit? Saat mendengar kabar Indra menikah, kamu izin sakit dua hari. Baru satu hari masuk, tengah hari pulang dan izin sakit lagi tiga hari. Total lima hari izin. Itu artinya seminggu penuh kamu tidak masuk, Nau.”

Naura menunduk dalam-dalam. Sejak awal, dia sudah yakin kalau pengajuan cutinya tidak akan disetujui. Namun, dia harus mencoba karena ingin menyelesaikan semua. “Saya minta maaf karena kinerja saya berantakan, Pak. Saya harus pulang agar bisa menyelesaikan masalah. Setelah ini, saya akan bekerja seperti biasa lagi. Saya akan lembur tanpa bayaran sebagai kompensasi.”

Sakti menggeleng pelan. Dia meletakkan surat pengajuan cuti yang Naura berikan barusan. “Bukannya saya tidak mau membantu mengajukan permohonan ini ke atasan, tapi saya bisa dimaki-maki, Nau. Izin sakit seminggu penuh, lalu tambah lagi minta cuti itu aduuuuh …. Kamu harus profesional. Bukan perusahaan yang butuh kamu, tapi kamu yang butuh perusahaan.”

Sakti memberi penekanan pada setiap kalimatnya. “Kamu bukan karyawan yang baik karena masalah pribadi mengganggu pekerjaan sampai sejauh ini. Setiap orang punya masalah, tapi saat bekerja kita dituntut untuk profesional. Perusahaan tidak mau tahu urusan dapur karyawan. Mereka hanya tahu kita berkontribusi sesuai dengan jobdesk yang sudah disepakati karena mereka membayar kita untuk itu.”

Naura mengangguk mengerti. Dia lalu keluar dari ruangan Sakti setelah mengucapkan permisi. Wanita itu berjalan pelan menuju ruang kerjanya kembali. Sejak keluar dari rumah sakit dia seperti tidak ada semangat hidup sama sekali. Langkahnya gontai seolah tak lagi kuat menjejak bumi.

“Ya tidak heran kalau sampai mencoba b.nuh diri, cahaya iman dalam hatinya telah m.ti. Kejadian ini seharusnya tidak membuat kaget lagi bagi. Sudah bisa ditebak dari awal kalau Naura akan mengambil langkah itu. Tiga tahun dia dengan terang-terangan berzina. Di depan makhluk saja dia berani dan tak ada malu sama sekali. Malah bangga mempertontonkan semua seolah hidup hanya tentang mereka berdua.”

Langkah Naura terhenti. Dia tidak berani meneruskan berjalan karena di balik tembok yang menjadi tempat tujuannya, karyawan lain sedang menggunjingkan dirinya. Dia meremas jari. Tangannya terasa dingin. Air matanya mengalir menyadari di setiap sudut kantor mungkin saja orang-orang sedang membicarakan kebod.hannya.

“Sudah, jangan terlalu dibahas. Kita tidak tahu mental dia sekuat apa. Kejadian kemarin membuktikan kalau dia sedang berada di titik terendah walau diluar terlihat biasa saja.”

“Ah … pezina memang pantas mendapat sanksi sosial seperti ini. Sejak dulu, orang memang sudah membicarakan dia dan Indra. Hanya saja, mereka tutup telinga karena sedang dimabuk cinta. Bukan tidak menaruh simpati sebagai sesama manusia ya, tetapi pezina seperti mereka memang harus mendapat sanksi agar urat malunya kembali lagi.”

“Ngomong-ngomong, Indra beneran sudah mengajukan resign ya? Saya kaget juga pas dengar kabar pagi tadi. Saya kira dia bakal datang dulu ke kantor, ternyata malah mengirim email ke HRD. Ya walau sudah bisa ditebak tidak mungkin dia tetap meneruskan bekerja sih.”

Mata Naura membelalak lebar mendengar percakapan karyawan lain di balik tembok. Wanita itu mengepalkan tangan. Refleks, dia membalikkan badan dan memaksakan menyeret kakinya untuk kembali ke ruangan Sakti walau tubuhnya terasa lemas sekali. Tanpa mengucap salam, dia menerobos masuk begitu saja.

“Kenapa Bapak tidak bilang kalau Indra sudah mengajukan surat resign?” Napas Naura terengah. Dia berpegangan pada kursi untuk menopang tubuhnya yang gemetar hebat. Tadinya, dia berharap bisa bicara dengan Indra saat lelaki itu masuk kerja kembali. Namun, siapa sangka ternyata lelaki itu malah memilih jalan ini. Naura terus merutuk dalam hati tentang Indra yang tidak mau menemuinya karena tak punya nyali.

“Kamu tidak bertanya, jadi untuk apa saya bilang, Nau?” Sakti mengangkat bahu saat Naura bertanya padanya. “Lagipula, saya tidak mau menambah beban piNaura kamu yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.” Sakti berdiri dan meminta Naura duduk.

Naura mengedikkan bahu saat merasa tangan sakti memijat bahunya pelan. Dia menatap tak suka pada lelaki yang kini tersenyum lebar ke arahnya. Tanpa berpamitan, Naura langsung meninggalkan ruangan itu. Hatinya perih. Serendah itu dia di mata orang-orang sehingga Sakti merasa pantas menjamah dirinya sesukanya.

“Pengecut kamu, Ndra!” Naura terduduk di belakang kantor. Dia menyendiri di taman yang sepi karena jam istirahat begini pasti karyawan lain ramai di kantin. Dia benar-benar buntu. Semua akses komunikasi benar-benar putus. Padahal, Naura hanya butuh penjelasan. Apa yang membuat Indra tega melakukan semua?

Kejadian ini membuat perasaannya hancur berkeping-keping. Secara tiba-tiba, Indra meninggalkannya padahal hubungan mereka baik-baik saja. Tiba-tiba? Naura mendadak tertawa saat menyadari sesuatu.

Mungkin saja, Indra sudah merencanakan semua sejak lama. Jadi, tidak ada yang tiba-tiba bagi laki-laki itu. Dia saja yang terlalu b.doh sehingga tidak menyadari semua karena sikap Indra yang selalu manis dengan tutur kata memuja.

Buktinya, Indra bahkan tidak ragu untuk resign. Seharusnya, lelaki itu pasti akan tetap bekerja karena dia butuh menafkahi istrinya. Namun, sekarang apa?

Naura memeluk lutut. Bahunya bergetar hebat. Tangisan yang keluar dari bibirnya terdengar sangat pilu saat menyadari Indra ternyata sudah merencanakan semua dengan matang. Lelaki itu ternyata punya rencana lain dan bukan dia tujuannya.

Naura menggigit bibirnya hingga rasa asin menyapa lidah. Sungguh, dia merasa benar-benar b.doh karena selama ini terlalu mempercayai Indra hingga rela menyerahkan semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 161

    “Sudah dapat datanya, tinggal di olah. Cuma aku masih malas mulai, Bang. Dosennya juga lagi ikut seminar internasional di Hongkong. Nantilah kalau dosennya sudah pulang baru dikerjakan.” Naura memainkan jari telunjuknya di dada Fatih. Wanita itu tersenyum tipis saat suara napas suaminya terdengar berat dengan suara sedikit serak.“Paling berat itu memang mengerjakan tugas akhir. Apalagi kalau dosennya gaib, hilang-hilangan.” Fatih terkekeh melihat Naura manyun. Dia iseng menarik bibir Naura yang dimonyongkan hingga membuat wanita itu spontan bangun dari tiduran. Namun, Fatih kembali menarik Naura, tak rela jika harus melepaskan kenyamanan kedekatan mereka.“Nikmati saja. Itulah seninya menjadi mahasiswa.” Fatih merapikan anak rambut Naura yang jatuh di dahi. “Setiap fase ada perjuangan dan ujiannya. Ya saat menjadi mahasiswa, fase perjuangannya selama proses belajar. Puncaknya saat menyusun tugas akhir dan ujiannya saat sidang. Itu yang akan menentukan lulus atau tidak untuk menyandan

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 160

    “Papa, kapan pulang? Bawain oleh-oleh yang banyak ya? Atau nanti libur sekolah semester depan Arjun saja yang main kesana. Biar bisa lihat tempat Papa tinggal. Boleh ya, Ma?”Indra tersenyum lebar mendengar suara Aini yang mengiyakan permintaan Arjun. Seperti biasa, setiap menjelang maghrib di Ketapang, dia akan melakukan panggilan video pada Arjun. Mendengarkan cerita tentang keseharian anak lelaki itu menjadi hiburan tersendiri bagi Indra yang sering merasa sepi di tempat barunya ini.Tak terasa, setengah tahun sudah dia disana. Usaha konveksi rumahan yang dia kelola progresnya cukup menjanjikan. Di awal kedatangannya, Indra setiap hari selalu keluar rumah. Berangkat saat matahari belum muncul dan pulang saat matahari sudah tenggelam. Dia menyusuri jalanan, door to door mempromosikan usaha yang baru saja dia mulai.Benu tidak salah menaruh kepercayaan penuh pada Indra. Dalam waktu setengah tahun, usaha yang dia modali mulai memperlihatkan progres yang cukup menjanjikan. Setelah mula

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 159

    “Sudah, tapi dosennya minta tambah data karena ada beberapa variabel tambahan juga.” Naura mengembuskan napas kencang. Seharusnya, dia sudah mulai bisa menyusun skripsi. Namun, karena dosen pembimbingnya minta tambahan data, jadilah dia harus turun ke lapangan lagi.“Besok jadi mau coba minta doa, Nau?” Dewi bertanya hati-hati. Sejujurnya, dia ikut sedih karena lima tahun lebih menikah, Naura dan Fatih belum juga dikarunia buah hati. Padahal, usaha yang mereka lakukan tidak main-main. Memanfaatkan libur semester, dua tahun lalu, Naura dan Fatih pernah mencoba bayi tabung di Penang, Malaysia. Namun, usaha itu belum berhasil karena embrio tidak menempel di rahim.Setahun mereka memilih istirahat, mengembalikan mental yang sudah pasti down. Tak dipungkiri, keduanya menaruh harapan besar akan keberhasilan bayi tabung kemarin. Setelah berhasil bangkit lagi, mereka menjadi lebih kuat karena saling menguatkan. Naura dan Fatih sepakat akan terus berusaha selama rezeki ada dan tubuh mereka mas

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 158

    Indra menghela napas panjang saat pengumuman landing terdengar. Dia memasang sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Lelaki itu menoleh ke arah jendela pesawat, memperhatikan sungai barito yang memanjang dan berkelok-kelok di bawah sana. Kapal tongkang tampak berjalan sangat pelan karena membawa tonan beban batubara di belakangnya, mutiara hitam tanah Kalimantan. Kapal Ferry dan klotok tampak berlalu-lalang, masih menjadi alat transportasi yang terus dilestarikan. Dada Indra berdebar kencang seiring dengan getaran pesawat yang semakin terasa. Saat roda burung besi itu menyentuh landasan, bayangan wajah Aini memenuhi kepala Indra. Hampir satu dekade yang lalu, dia menjejakkan kaki pertama kali di pulau ini. Lima tahun kemudian, dia angkat kaki. Hari ini, setelah hampir lima tahun meninggalkan Borneo, dia kembali lagi. Bedanya, tak ada Aini yang selama ini selalu mendampingi. “Selamat datang kembali, anakku.” Benu merentangkan tangan. Lelaki itu memeluk Indra erat di depan pintu

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 157

    Ba’da ashar, Indra hendak berpamitan pulang. Namun, dia urung saat melihat Aini dan Siti datang. Aini terlihat sedikit canggung saat bertatapan dengan Indra. Dia ingin langsung masuk ke kamar, tapi langkahnya terhenti saat mendengar Indra pamit untuk pulang. Wanita itu refleks membalikkan badan hingga bertatapan kembali dengan Indra.Indra mengulas senyum melihat Aini yang kembali memalingkan wajah, menghindari beradu pandang dengan dirinya. Lelaki itu mendekat pada Aini. Dia menghirup udara sebanyak mungkin sebelum berbicara dengan wanita yang pernah mengabdikan diri sepenuh hati selama lima tahun pada dirinya.“Selamat atas pertunanganmu dengan Pak Saka, Aini. Semoga rencana pernikahan kalian diberi kemudahan dan kelancaran sampai waktunya tiba. Abang ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Akhirnya, Aini menemukan seseorang yang begitu memperjuangkan cinta dengan segenap rasa. Selamat menikmati euforia dicintai.” Indra mengulas senyum saat Aini menoleh kembali. Mereka bertatapan c

  • Titik Nadir Sang Pendosa   BAB 156

    Indra mematut diri di depan cermin. Lelaki itu tersenyum lebar melihat tampilannya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia berpakaian rapi seperti ini. Sekarang, hanya sesekali saja kalau ada keperluan seperti hari ini. Indra mengalihkan pandangan ke arah kado yang sudah dia siapkan sejak seminggu lalu. Senyumnya kembali terbit mengingat dia harus menyisihkan uang dari hasil mengambil upah harian selama hampir tiga bulan agar bisa membelinya.Embusan napas kencang terdengar. Indra meraih kado berisi sepatu roda yang sudah sejak setahun lalu diminta oleh Arjun. Anak lelaki itu minta dibelikan sepatu roda kalau dia berhasil juara kelas lagi semester ini. Indra langsung mengiyakan karena tahu Arjun memang sangat suka sepatu roda. Jadilah akhirnya tahun ini dia membelikannya walau raport belum dibagikan. Indra yakin betul Arjun pasti juara kelas lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.Indra meraih ponsel di saku celananya saat alat komunikasi itu berdering. Dia tertawa melihat nama Aini terte

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status