Benu memuk.l meja mendengar ucapan Indra. Lelaki itu naik pitam karena enteng sekali mulut Indra berbicara. “Kalian butuh penengah untuk menyelesaikan masalah. Jadi, turunkan ego di kepalamu yang terlalu tinggi sebagai seorang suami. Kalau bisa menyelesaikannya berdua, maka Aini tidak akan lari ke rumah ini!”Indra bungkam mendengar ucapan Benu, kepalanya tertunduk dalam-dalam. Baru kali ini dia melihat kemarahan di mata Benu. Biasanya, lelaki itu selalu menerimanya dengan baik. “Bicara, Indra, jangan jadi seorang pengecut! Apa salah Aini hingga begitu mudahnya kau menjatuhkan tangan padanya? Apa kau tidak tahu saat kau menyakiti fisiknya, maka hatinya jauh lebih sakit?” Benu mati-matian menekan emosi melihat Indra tetap bungkam. Bertanya pada Aini juga percuma karena dua hari tinggal di sana, tidak sepatah katapun keluar dari mulut keponakannya.“Pernikahan itu sakral, Indra! Akad nikah itu akad tertinggi yang islam syariatkan. Saat tanganmu menjabat tangan bapaknya Aini, kamu sedan
“Dari mata Clara, aku bisa melihat ketulusannya yang menyukai aku, Bang. Saat dia memanggilku Mama untuk pertama kalinya, ada getar tak biasa yang aku rasa. Apalagi, saat Abang bilang kalau itu adalah kata pertama yang Naura ucapkan ketika mulai belajar bicara.” Mata Naura berkaca-kaca saat mengingat momen itu. Clara yang baru saja genap berusia satu tahun dengan lantang memanggilnya Mama saat dia menghidangkan pesanan.“Ah … bergetar rasanya di dada saat itu karena menyadari ternyata, aku sudah cocok ya dipanggil Mama. Ternyata, waktu sudah berlalu cukup lama sementara aku masih tertinggal di masa lalu yang sudah jauh di belakang sana.” Naura menghela napas panjang. Tak dia pungkiri, kehadiran Clara menjadi pengobat rindunya pada ketiga j.nin yang kini sudah tenang di taman surga.Naura menghapus ujung matanya yang basah saat Fatih mengelus kepalanya. Dalam hati, dia tak pernah berhenti berdoa semoga mereka segera diberi keturunan. Sungguh, betapa Naura ingin sekali merasakan indahny
“Selamat pagi, Yang.” Fatih mem.luk pinggang Naura dari belakang saat yakin tidak ada siapa-siapa di dapur selain mereka. Lelaki itu meletakkan dagu di bahu Naura sambil mengintip ke arah wajan untuk mengetahui sedang masak apa istrinya. Dia tersenyum saat merasakan hangat tubuh Naura.“Lepas, Bang! Nanti kalau ada Mama atau Papa ke dapur bagaimana?” Naura menoleh ke arah Fatih. Wanita tersipu saat Fatih bukannya melepaskan p.lukan. Lelaki itu malah mencium pipinya hingga hampir mengenai ujung bibir. “Sana lah dulu, Bang. Naura tidak enak kalau Mama ke dapur masakannya belum juga selesai.”“Kangen.” Fatih mengendus rambut Naura. Lelaki itu terkekeh saat Naura berusaha melepaskan diri ketika dia mulai menggoda, mencoba memancing istrinya. “Ke kamar saja yuk? Mumpung Clara masih tidur. Mama juga pasti mengertilah, ‘kan pernah muda.”“Pergi!” Naura akhirnya berhasil melepaskan diri. Spatula teracung di tangan kanan, sementara tangan kiri mengepal. Dia mengembuskan napas kencang melihat F
Malam ini mereka akan bermalam di rumah Asma dan Satria. Itulah sebabnya, siang tadi Naura memesan pindang patin. Ya masa ke rumah mertua tidak bawa apa-apa walau Asma selalu bilang tidak usah bawa apapun kalau mereka kesana. Namun, Naura segan kalau datang dengan tangan hampa.Sengaja dia pesan siang karena tahu kalau sore pasti rumah makan Wahid akan repot sekali persiapan untuk yang makan malam disana. Awalnya, dia mau masak sendiri. Namun, Clara maunya ditemani terus karena kangen katanya. Akhirnya, Naura memutuskan minta kirim pindang patin saja ke Dewi agar bisa quality time dengan anak sambungnya.“Sudah siap Tuan Ratu dan Tuan Putri? Yuk!” Fatih menghela napas lega melihat Clara dan Naura yang sudah siap. Hampir setengah jam dia menunggui keduanya berdandan sampai Fatih hampir ketiduran. Lelaki itu bergegas meraih rantang dan berjalan di belakang Clara yang menyanyikan lagu Cicak di Dinding sambil menggandeng Naura.Saat Naura akan masuk ke mobil, Fatih meraih pinggang istriny
“TAMPAR LAGI, NDRA, TAMPAR!” Aini berteriak saat melihat tangan Indra kembali teracung di udara. Dia memegang pipinya yang terasa perih dan panas karena p.kulan suaminya. Namun, rasa sakit itu tak sebanding dengan nyeri yang dia rasakan di hatinya. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tidak tumpah. Aini meneguhkan hati tidak akan lagi menangis Indra yang tak pernah mencintainya sedikitpun selama ini.“Jaga mulutmu, Aini! Kau bicara seolah kau tak pernah berbuat dosa hingga bisa menghakimi orang lain sesukamu saja. Apa perlu kuingatkan kalau masa lalumu pun kurang lebih sama dengan aku dan Naura? Apa harus kukatakan dengan jelas kalau aku menikahimu dalam keadaan berbadan dua? Jangan karena aku tak pernah mengungkitnya karena kau berzina dengan abangku, lalu kau bisa seenaknya bicara!”Aini menggigit bibir hingga mulutnya terasa asin. Dia menggeleng pelan, tak percaya Indra tega mengungkit dosa Irwan yang telah tiada. Hanya karena Naura, Indra tega melakukannya. Aini tidak mengingin
Sementara disini, Aini menyibukkan diri dengan menyuapi Arjun. Dia bahkan mulai bisa tertawa saat mendengar cerita kegiatan anaknya di sekolah. Sesekali, dia melirik ke arah Indra yang sepertinya kesulitan menghabiskan nasi di piringnya. Padahal, biasanya Indra akan lahap sekali makan kalau lauknya pindang ikan patin.“Mau urut kapan jadinya, Aini? Lima tahun itu sudah cukup jauhlah jarak Arjun dan adiknya nanti. Kamu juga tidak terlalu repot lagi karena Arjun sudah sekolah.” Wenny bertanya pada Aini yang baru selesai menyuapi Arjun. Wanita itu menggeser ikan baung masak kuah tempoyak pesanan Aini. “Bibik ditanyain sama ibumu terus kapan mau membawa kamu buat urut. Sepertinya Kak Emi kangen menggendong cucu.”“Kapan, Bang? Aini bagaimana Bang Indra saja. Soalnya sudah setahunan ini kami juga tidak kontrol ke dokter lagi. Rencana program hamil waktu itu berhenti sebelum dimulai.” Aini mengedikkan bahu. Dia enggan terus didesak sendiri. Padahal, Indra yang selalu mengelak selama ini.Be