Situasi hari itu sangat suram. Cuaca yang mendung sejak pagi sama sekali tidak berubah, sampai akhirnya hari pun berganti malam. Hujan yang turun dari langit semakin menderas, mengancam terjadinya bencana banjir di beberapa lokasi. Suara petir yang menggelegar di angkasa dan membelah kegelapan pun, tampak meredam jeritan seseorang yang saat ini sedang berjuang untuk nyawanya."Oh! Oh, Steve...! Aku tidak kuat lagi!?"Jeritan isterinya membuat Stephen meneteskan air matanya. Setelah tadi pagi kehilangan kakaknya, pria itu harus menghadapi cobaan kalau isterinya pun akan bertaruh nyawa di hari yang sama. Lelaki itu berusaha menyisihkan rasa dukanya dan memberikan kekuatan pada isterinya melalui ciuman yang beberapa kali ia berikan pada wanita yang tengah berjuang itu. "Sedikit lagi, sayang... Sedikit lagi...""Nyonya Hamilton! Berikan dorongan terbaik Anda, Nyonya! Kepala anak Anda sudah mulai terlihat!""Kamu dengar itu, sayang? Berikan dorongan terbaikmu, Sharon! Anak itu sebentar lag
Terrence Gabriel Hamilton adalah nama Gabriel untuk bereinkarnasi yang ke-18 kalinya. Entah bagaimana caranya, tapi Michael telah mengatur agar seniornya itu selalu lahir kembali dalam keluarga Hamilton. Rekannya memilih keluarga Hamilton, karena takdir membawa keluarga ini untuk dapat tetap eksis di dunia sampai akhirnya kiamat menjemput semua mahluk yang ada di dalamnya.Keluarga Hamilton awalnya adalah keluarga petani yang tinggal di Amerika. Mereka memiliki lahan yang kemudian digarap menjadi kebun jagung yang menghasilkan. Hasil tani yang lumayan itu mulai dijual sedikit demi sedikit dan akhirnya membuat derajat keluarga Hamilton yang tadinya hanya petani miskin mulai terangkat, ketika sumber uang mereka mulai mengalir dengan derasnya. Nasib mereka itu sebenarnya mulai berubah karena campur tangan Gabriel yang bereinkarnasi pertama kali sebagai salah satu anak dari keluarga Hamilton. Dan dengan prakarsa dari Gabriel jugalah akhirnya keluarga Hamilton bermigrasi ke Jerman untuk s
Lelaki yang patah hati itu akhirnya memeluk erat tubuh wanita yang dicintainya dan menangis tersedu-sedu. Berulang kali kata-kata maaf terucap dari bibirnya. Selama beberapa waktu, pria itu hanya memangku dan menimang-nimang tubuh mungil yang sudah tidak bernyawa di pelukannya. Rasa bersalahnya sama sekali tidak terkira pada wanita ini. Hanya karena ingin memberikan hadiah pada gadis yang dicintainya, ia telah menyebabkan gadis itu kehilangan nyawanya. Hanya karena hadiah kecil... Hanya karena sesuatu yang tidak berarti, ia telah menjadi penyebab hilangnya nyawa wanita yang baru pertama kali ini dicintainya...Kesedihannya yang besar tampak terkoneksi dengan cuaca yang sedang menggila saat ini. Dan puncaknya, Terrence pun menengadahkan kepalanya dan berteriak sangat kencang ke arah langit-langit kandang ternak itu. Bersamaan dengan teriakannya, setiap pasang mata yang sedang memandang bangunan tua itu tampak membelalak saat kilatan petir yang sangat terang menghantam kandang itu dan
Dan selama beberapa bulan dalam kehidupan pertamanya, Gabriel merasakan siksaan demi siksaan pada jiwanya. Pria itu akhirnya menyadari peringatan Michael agar ia tidak bermain-main dengan yang namanya ingatan dalam bereinkarnasi.Saat ini, pria itu keluar dari raganya karena tidak tahan dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh sosok bayinya. Terlihat bayi yang tanpa roh itu sedang dis*sui dan ditimang-timang dalam pangkuan ibunya. Dengan muka yang memerah, Gabriel memalingkan wajahnya dan ia memutuskan untuk menunggu di luar ruangan bayi itu. Baru saja melangkah keluar menembus tembok, ia melihat sosok yang sama sekali tidak disangkanya akan pernah dijumpainya di dunia manusia. Tampak kepala yang berambut pirang itu menoleh padanya dan tersenyum riang. "Michael? Apa yang kau lakukan di sini?"Dengan semangat, Michael berjalan menghampiri dirinya. Terlihat pria itu membawa sebuah kantong kecil bersinar di salah satu tangannya. "Ada jiwa yang kabur lagi?"Terkekeh, Michael mengan
Beberapa tahun kemudian, akhirnya Gabriel memasuki usia pra-sekolah. Tampak balita itu dipersiapkan oleh orangtuanya untuk ke sekolah bermain yang sudah diikutinya hampir satu tahun ini. Stephen yang melihat Sharon sedang memakaikan kaos kaki ke anaknya, tersenyum dan mencium ubun-ubun isterinya. "Sayang, sepertinya kamu harus mulai mengajarinya untuk mandiri. Aku pernah melihatnya memasang kaos kaki dan sepatunya sendiri."Eh?Kata-kata Stephen membuat raut Gabriel sedikit memucat. Sepertinya ia kurang hati-hati."Oh? Kapan, Steve? Selama ini, Thunder sepertinya senang-senang saja kalau aku membantunya untuk berpakaian." Tampak Sharon memandang anaknya dengan ingin tahu. Wanita itu memegang kedua sepatu anaknya di salah satu tangannya dan mengacungkannya pada anak lelakinya."Kamu bisa memakai sepatu ini sendiri, Thunder?"Memandang ragu-ragu wanita itu, akhirnya Gabriel memutuskan untuk sedikit jujur dengan menganggukkan kepalanya. Meski ia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri,
"Kau sudah mengirimnya?""Sudah, Gabriel. Kau telah menanyakannya untuk kesekian kalinya hari ini.""Karena aku belum menemukannya.""Itu karena belum waktunya. Kau akan menemuinya saat memang sudah waktunya. Kau tahu sendiri kalau roda takdir bergerak dengan cara yang aneh. Bahkan kita para malaikat, tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya. Hanya diri-Nya lah yang mengetahui rahasia ini.""Ya. Aku tahu soal itu, Michael. Aku hanya ingin agar periode reinkarnasi-ku ini cepat selesai dan aku bisa segera kembali ke sini. Hidup sebagai seorang manusia di dunia ternyata tidak segampang itu.""Aku sudah memperingatkanmu dari awal bukan? Jangan main-main dengan yang namanya reinkarnasi."Michael memperhatikan rekannya yang menarik nafas dalam. Tampak pria itu berusaha mengulum tawanya yang hampir tersembur keluar saat ini. Ia sedikit berdehem sebelum berbicara kembali."Aku perhatikan, akhir-akhir ini tampaknya emosimu naik-turun, Gabriel. Tidak seperti dirimu yang biasanya
"Sampai jam berapa kamu kuliah hari ini, Thunder?"Merapihkan isi tasnya, Gabriel menoleh pada orang yang menjadi ibunya. Tampak wanita itu sedang melap kedua tangannya setelah ia mencuci piring."Sekitar jam 13.00, aku sudah selesai. Hanya ada dua mata kuliah hari ini.""Setelah itu, apa rencanamu?""Mungkin akan langsung ke kantor papa. Kemarin, ada beberapa tugas dari Pak Zimmerman yang harus aku selesaikan hari ini."Sharon melipat lap-nya menjadi lipatan yang rapi dan kecil. "Oh? Pak Zimmerman? Kalau tidak salah dia karyawan yang baru mutasi dari Amerika sekitar 2 bulan lalu, bukan?"Kepala Gabriel mengengguk-angguk kecil. "Kalau tidak salah memang seperti itu. Aku juga belum tahu terlalu banyak tentang orang itu."Ia akhirnya mengambil salah satu roti bakar di atas meja dan menyelipkannya asal di mulutnya. Gabriel juga langsung meraup tas ranselnya dan memberikan kecupan cepat di pipi ibunya."Aku sudah terlambat. Aku pergi dulu, mam!"Melambai pada sosok anaknya yang menghilang
Terlihat kedua alis pirang Michael berkerut sangat dalam saat Gabriel selesai bercerita. "Kau yakin, Gabriel? Kau yakin kalau Kat yang menarikmu?"Pandangan Gabriel mengarah pada jiwa-jiwa suci di bawah mereka yang sedang mendapatkan pengarahan dari Ambrosio dan Persephone. Mereka berdua sedang mempersiapkan jiwa-jiwa itu sebelum akhirnya lahir kembali ke dunia. Beberapa dari para jiwa itu tampak mengendap-endap keluar karena bosan, tapi tali api Ambrosio segera menarik kembali jiwa yang menjerit marah itu ke dalam lingkaran suci mereka.Meski sudah tidak memiliki raga tapi tetap saja, yang namanya karakter memang sulit untuk diubah."Aku pun tidak yakin, tapi itulah yang terjadi, Michael. Jelas aku melihat bola silver Kat melayang di depanku dan dia menempelkan dirinya ke mukaku.""Eh?" Seruan kaget Michael akhirnya membuat Gabriel berpaling."Eh...? Kenapa dengan 'eh'?"Mata Michael mengerjap bingung. "Dia menyentuhmu?"Kepala Gabriel mengangguk. "Ya. Dia mendekat dan menyentuh mulu