Malam itu, Tokyo terasa lebih hangat dari biasanya.
Mereka berjalan berdampingan menyusuri trotoar Tokyo, lampu kota memantul di genangan kecil. Sakura membuka percakapan dengan suara lembut,
“Tadi waktu terbang, kamu lihat Fuji-san nggak?”
“Iya, aku dan kapten sempat lihat,” jawab Heri dengan senyum kecil.
“Indah banget. Nanti aku tunjukin fotonya, ya.”
Sakura langsung menoleh padanya, matanya berbinar.
“Eh, aku mau lihat foto-fotomu di langit, ya. Aku pengen tahu… apa aja sih yang bisa kamu lihat dari atas sana.”
Heri mengangguk pelan, masih dengan senyum hangat di wajahnya.
“Oke, nanti kutunjukin.”
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di restoran pilihan Sakura—Uokin, sebuah restoran seafood yang terkenal di daerah Shinbashi. Papan kayu dan lentera kecil di depan pintunya memberikan kesan sederhana tapi elegan.
“Maaf ya, aku jujur agak bingung mau pilih restoran apa. Tapi restoran ini cukup terkenal dengan seafood-nya. Kamu nggak keberatan, kan?”
“Enggak kok, aku suka seafood,” jawab Heri mantap.
Mereka masuk ke dalam, disambut interior hangat bergaya klasik-modern. Suara perbincangan dan denting gelas terdengar samar, membaur dengan aroma laut dan bumbu khas Jepang. Mereka cukup beruntung—dua kursi di sudut meja bar masih kosong, seolah menunggu mereka datang.
Sakura memesan untuk mereka berdua: sashimi platter, aonori tofu, kinpira, dan untuk minuman—oolong tea untuk mereka berdua.
“Oh, kamu nggak minum?” tanya Heri penasaran.
“Kupikir… orang Jepang pasti minum kalau di tempat seperti ini.”
Sakura tertawa kecil.
“Aku nggak minum. Aku agak buruk sama alkohol… Malam waktu kamu nemuin aku itu, sebenarnya aku udah nggak mau minum, tapi ya… keburu terlanjur ikut nomikai.”
“Terpaksa ikut?” tanya Heri, miringkan kepala sedikit.
“Nggak juga…” sahut Sakura pelan.
“Hari itu kerjaan bikin stres, dan teman-teman ngajakin ke izakaya buat lepas penat. Dan ya… akhirnya kebablasan, hehe.”
Obrolan mengalir. Sakura bertanya,
“Heri-san… kok bisa sih kamu bisa bahasa Jepang? Apa yang bikin kamu mau belajar?”
Heri menjawab dalam campuran bahasa Inggris dan Jepang,
“Aku dulu pernah tinggal di Tokyo… waktu masih pelajar. Program pertukaran pelajar dari sekolah. Satu tahun aku habiskan di Meguro.”
Ia melanjutkan,
“Kelasnya sih pakai bahasa Inggris. Tapi aku pengen ngerasain Jepang yang asli, jadi aku mulai belajar bahasa Jepang sendiri.”
Heri sempat diam sejenak, mengingat kembali masa-masa awalnya di Jepang.
Semua terasa asing: bahasa, kota, bahkan makanan. Butuh dua bulan penuh agar ia bisa benar-benar merasa nyaman.
“Waktu itu aku dan teman-teman tinggal di asrama. Tapi aku sempat iseng daftar program ‘Meet Japanese Family’ dari Meguro Ward dan akhirnya aku punya keluarga angkat. Sekarang, keluarga angkatku itu masih tinggal di sini. Kadang aku sempatkan mampir kalau lagi di Tokyo.”
Sakura mendengarkan penuh perhatian. Matanya tak lepas dari Heri, seolah cerita itu membuka sisi baru dari pria di hadapannya.
“Oh ya, ini mereka.”
Heri menunjukkan foto-fotonya bersama keluarga angkat Jepang-nya di layar ponsel. Sakura tersenyum lebar.
“Senang banget kamu mau cerita ini ke aku…”
Saking asyiknya berbincang, mereka baru sadar makanan sudah datang.
“Aduh, sashimi-nya! Kita sampai lupa!” kata Sakura sambil terkekeh.
“Yuk, cobain! Ini enak banget!”
“Iya, segar banget ikannya,” balas Heri sambil mengambil potongan sashimi pertama.
Percakapan pun terus bergulir. Meski kadang Heri harus menggunakan aplikasi translate, Sakura tidak keberatan. Bahkan ia tertawa geli melihat usaha Heri mengucapkan kata-kata Jepang yang sulit.
Sebagai gantinya, Sakura juga mencoba menyeimbangi dengan bahasa Inggris seadanya.
“Aku bisa kok bahasa Inggris… walau nggak selancar kamu,” ujarnya pelan.
Heri kemudian membuka galeri ponselnya.
“Oh ya, ini foto Fuji-san sore tadi. Diambil dari kokpit.”
Tampak Gunung Fuji berdiri megah, langit jingga memeluk puncaknya.
“Kaptenku bahkan sempat umumkan ke penumpang di sisi kiri buat siap-siap ambil kamera. Kata cabin crew, beberapa penumpang sampai berdiri dan ngintip dari jendela pintu pesawat.”
Sakura menatap layar ponsel itu dengan kagum.
“Indah banget…”
Ia membayangkan seperti apa rasanya melihat dunia dari atas langit seperti Heri.
“Kayaknya aku dari tadi terus yang cerita, ya…” Heri terkekeh.
“Maaf, aku jadi kebablasan.”
Sakura tertawa kecil, lalu menggeleng.
“Nggak apa-apa. Aku senang dengar cerita kamu. Rasanya beda banget dari dunia kantorku yang itu-itu aja.”
Sakura melanjutkan,
“Aku… lahir dan besar di Nagasaki, kuliah di Osaka, sempat kerja di Sapporo—tapi dinginnya gak kuat banget! Akhirnya pindah ke Tokyo dan kerja di sini.”
Heri tertawa pelan.
“Loh? Orang Jepang aja nggak tahan dingin?”
“Iya! Dulu waktu kecil tiap musim dingin aku gampang sakit. Bahkan pas kuliah aku pernah nolak diajak main ski ke Nagano!”
Mereka tertawa bersama. Obrolan mengalir seperti sungai yang tenang, sesekali melebar, sesekali dalam, tapi selalu terasa hangat.
Di meja bar itu, dua insan dari dunia yang berbeda — bahasa, budaya, dan kehidupan — terlihat begitu akrab, seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Malam Tokyo tetap sibuk. Tapi di sudut kecil restoran Uokin, ada sepasang jiwa yang perlahan mulai saling membuka diri.
“Heri-san… besok kamu pulang, ya?” tanya Sakura pelan, suaranya sedikit menurun, matanya melirik ke arah gelas oolong tea di hadapannya.
“Iya, begitulah. Untuk rute Tokyo, kami biasanya cuma semalam. Soalnya penerbangannya ada setiap hari.”
Sakura sedikit menunduk. Ada rasa sayang yang tidak terucap, seakan ingin waktu berhenti sebentar.
“Eh, besok…”
Mereka berdua berbicara di saat yang sama, lalu tertawa kecil karena saling tumpang tindih.
“Heri-san duluan.”
“Nggak, ladies first. Sakura-san duluan.”
Saling tunjuk, saling senyum. Seperti dua anak remaja yang kikuk.
Sakura mengusap anak rambut di pipinya, lalu melanjutkan,
“Besok… kamu berangkat ke bandara jam berapa?”
“Jam 7 malam aku harus naik bus bareng kru ke Narita. Pesawatnya jam setengah 11 malam.”
Sakura menatap mata Heri — ada harapan di balik sorot matanya yang lembut. Ingin waktu melambat… atau kalau bisa, berhenti sebentar saja..
“Sakura-san…” panggil Heri perlahan.
“Ya?”
“…Mau temenin aku jalan-jalan gak besok? Aku… pengen ke Odaiba. Rasanya males ikut rombongan kru. Biasanya mereka belanjanya ke Ginza atau Shibuya, aku lebih suka yang… otentik.”
Sakura tertawa, matanya menyipit manis. Ia menatap Heri dan mengangguk lembut.
“Baiklah. Aku temani kamu.”
“Benar nggak keberatan?”
“Nggak. Justru aku senang kamu ngajak aku.”
Sejenak hening. Heri kembali tersenyum canggung.
“Oh ya… aku baru sadar. Selama ini aku manggil kamu pakai nama dari akun SNS. Sakura. Maaf ya, harusnya aku lebih sopan. Host mother-ku dulu pernah bilang, sebaiknya panggil orang Jepang yang baru dikenal pakai nama keluarga.”
“Kamu belum pernah bilang, nama keluarga kamu siapa?”
Sakura tersenyum, lalu menjawab,
“Kitagawa. Kitagawa Sakura. Itu nama lengkapku.”
“Kitagawa-san, berarti?”
“Sakura aja. Aku gak keberatan.”
“Kitagawa-san.”
“Sakura aja, ih!”
Sakura tanpa sadar mencubit lengan Heri gemas. Mereka tertawa bersama.
“Kalau di Indonesia, orang biasanya manggil nama gimana, Heri-san?”
“Nama depan. Kebanyakan begitu. Tapi… ada juga yang nama panggilannya jauh banget dari nama aslinya. Sumpah.”
Sakura tertawa lepas, membayangkan betapa random-nya nama panggilan di tempat Heri berasal. Malam terasa lebih hangat dari sebelumnya.
Waktu terus berlalu, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Saat membayar, Heri berniat membagi dua biaya makan mereka. Tapi Sakura bersikeras ingin mentraktir—sebagai ungkapan terima kasih atas malam ketika Heri menolongnya.
“Kalau begitu… makan siang besok, giliranku, ya,” kata Heri.
“Aku menantikannya,” jawab Sakura dengan senyum lebar.
Mereka keluar dari restoran, berjalan beriringan menuju stasiun.
“Rumahmu jauh, Sakura?”
“Di Tokyo Barat. Sekitar 15 menit jalan kaki dari Stasiun Yoyogi-Uehara. Masih di Shibuya Ward, kok.”
“Aah, Odakyu Line!” seru Heri.
“Eh, kamu tahu?” Sakura menoleh.
“Tahu dong. Ada bangunan kayak begini, kan?” Heri menunjukkan foto Masjid Tokyo Camii di ponselnya.
“Eh, iya! Kok kamu tahu?” Sakura penasaran.
“Aku sering ke sana. Kadang pas Jumat siang kalau kebetulan lagi di Tokyo. Atau kalau lagi solo travel ke Jepang, aku sempatkan mampir.”
“Itu tempat ibadah, ya?” tanya Sakura.
“Iya… tapi soal itu, aku ceritain nanti aja, ya? Besok.”
Sakura tersenyum.
“Janji, ya? Aku juga penasaran cerita solo travel kamu.”
“Janji.”
Sesaat sebelum berpisah, mereka saling memastikan rute pulang.
“Kamu tahu arah pulang?” tanya Heri.
“Ya tahu... eh, sebentar…” Sakura tertawa kecil, membuka HP nya untuk memastikan.
“Naik Ginza Line sampai Omotesando, terus lanjut Chiyoda Line. Sekitar 20 menit.”
“Kalau Heri-san, malah tinggal jalan kaki, ya?”
“Yup. Dari sini ke hotel cukup dekat.”
Heri tertawa ringan.
“Ya sudah, selamat istirahat, Kita—eh… Sakura-san.”
Sakura tertawa.
“Tuh kan, kupikir bakal ‘Kitagawa-san’.”
“Nggak deh, nanti aku dicubit lagi.”
Heri tersenyum.
“Selamat malam, Heri-san. Terima kasih, malam ini menyenangkan.”
“Kamu juga. Hati-hati di jalan, ya.”
Mereka saling melambaikan tangan di depan gerbang Tokyo Metro.
“Kabari ya di LINE kalau udah sampai hotel. Aku juga akan kabari kamu kalau udah di rumah.” “Oke!”
Sakura melangkah menjauh, tapi sesekali menoleh ke belakang. Heri masih berdiri di sana, menatapnya, memastikan dirinya pergi dengan selamat hingga tak terlihat lagi.
Ada kehangatan di dada Sakura.
Perasaan yang sudah lama tak ia rasakan.
“Jangan hilang… tolong jangan padam…” bisiknya dalam hati.
Sementara itu, Heri melangkah menuju hotelnya.
Ia menatap langit Tokyo yang malam itu jernih dan penuh cahaya.
Gedung-gedung tinggi, hiruk pikuk yang belum tidur.
“Malam ini… cukup menyenangkan,” gumamnya.
Ia tersenyum, lalu membisikkan kata-kata kecil untuk dirinya sendiri,
“Tokyo is a place where magic, hope, and dream mix in together… isn’t it?”
***
Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb
Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk
Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin
“Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini
Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik
“Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa
PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma
TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba
Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La