“Aku sudah sampai hotel.”
Pesan dari Heri masuk ke LINE.
Baru saja ia meletakkan ponselnya, notifikasi lain langsung muncul.
“Aku masih di kereta >.< Tapi udah di Chiyoda Line, sebentar lagi sampai!”
Balasan cepat dari Sakura.
Heri tersenyum kecil, lalu mengetik:
“Besok... ketemu jam 10 pagi di Stasiun Shinbashi, gimana? Kepagian nggak buat Sakura-san? Cuacanya menurut ramalan cuaca sih katanya cerah, aku kepikiran naik Yurikamome ke Odaiba. Pasti seru.”
Belum sampai satu menit, balasan Sakura langsung muncul:
“Mau mau! Kita naik Yurikamome aja! Jam 10 gak masalah!”
Senyum Heri makin lebar. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk membilas tubuhnya — mencoba menyegarkan diri setelah malam yang menghangatkan hati.
Sementara itu, Sakura akhirnya tiba di Stasiun Yoyogi-Uehara. Udara malam yang sejuk membelai pipinya. Ia menarik napas panjang, membiarkan angin membawa pikirannya jauh... tentang malam ini. Tentang senyum itu. Tentang perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Kereta Odakyu Romancecar, kereta express mewah, melintas dengan cepat di belakang Sakura, menuju depotnya, membuyarkan lamunannya sejenak.
Sakura membuka kamera ponselnya, memotret stasiun yang sepi dan hangat, lalu mengirim pesan:
“Aku udah sampai Yoyogi! (^_^)/ Mau mampir ke konbini dulu sebentar, terus pulang ke apartemen!”
Heri — yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya — membaca pesan itu dan tersenyum. Jemarinya dengan cepat mengetik balasan:
“Hati-hati ya. Sudah malam. Kabari aku kalau sudah sampai apartemen.”
Ia lalu menutup wajahnya dengan tangan, sambil tertawa pelan.
“Baru dua kali ketemu… tapi kok rasanya udah begini ya?”
Senyum kecil menggantung di wajahnya saat ia merebahkan tubuh ke kasur. Ia menyetel alarm untuk bangun subuh — niatnya untuk sholat, jogging ringan, dan sarapan bareng kru sebelum bertemu Sakura.
Sakura, yang baru keluar dari konbini dengan kantong belanja di tangan, membaca pesan Heri.
Senyumnya mengembang perlahan.
Langkahnya pun jadi lebih cepat. Seolah hatinya ingin segera sampai, agar Heri tak menunggu lama balasannya.
12 menit kemudian, ia tiba di depan pintu apartemen. Masuk, meletakkan belanjaan, dan langsung mengirim pesan:
“Aku sudah sampai di apartemen~!”
Tak lama, LINE berbunyi.
“Selamat istirahat, Sakura-san.”
Sakura menatap layar ponselnya sambil tersenyum.
Ia kemudian membuka lemari, mulai memilih outfit untuk esok hari. Harus semi-kasual… tapi tetap nyaman untuk banyak berjalan. Tangannya meraba dua pasang sepatu: New Balance yang biasa ia pakai… atau OnCloud yang baru dibeli beberapa minggu lalu?
Tangannya menyentuh jaket, lalu pakaian hangat. Tidak terlalu tebal, tapi cukup untuk udara Tokyo yang mulai menggigit.
Malam itu, hati Sakura terasa hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… ia merasa damai dan hangat.
Sebelum tidur, ia menyetel alarm di ponselnya. Perjalanan dari Yoyogi-Uehara ke Shinbashi butuh sekitar 30 menit — dan ia tidak mau terlambat. Tidak untuk hari yang sudah dinantikannya.
Dan malam pun berlanjut.
Di dua sisi kota Tokyo, dalam dua ward yang berbeda — dua hati sedang beristirahat.
Beristirahat... dengan tenang.
***
Alarm Heri berbunyi pelan di kamar hotelnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia berjalan perlahan ke kamar mandi. Cuci muka, gosok gigi, dan mengambil wudhu. Hawa pagi yang dingin tak menyurutkan niatnya untuk menunaikan salat subuh.
Usai beribadah, ia mengenakan pakaian olahraga: lapisan dalam heattech, kaos olahraga, jaket ringan, dan kaus kaki tebal. Meski udara pagi Tokyo menggigit, Heri tetap melangkah keluar kamar. Ia jogging selama 45 menit di sekitar area hotel—kebiasaannya untuk menjaga kebugaran fisik yang diperlukan bagi pekerjaannya.
Selesai berolahraga, ia kembali ke kamar, mandi, dan mulai berpakaian. Namun belum sempat selesai, telepon kamar berbunyi.
“Yuk, Mas, sarapan. Udah pada di bawah nih.”
Kapten penerbangannya menyapa dari seberang.
“Siap, Kep! Lima menit lagi, baru kelar mandi,” sahut Heri sambil tersenyum.
Di restoran hotel, Heri bergabung dengan kru Merak 006 serta beberapa awak dari penerbangan lain. Ada yang bersiap kembali ke Jakarta, ada pula yang baru mendarat dari Amerika atau Kanada. Suasana restoran hidup, penuh canda dan energi dari para kru maskapai yang saling bersilang rute.
“Mas Heri, habis ini kita mau belanja bareng ke Ginza atau Shibuya, ramean bareng kru flight lain juga. Ikut dong! Siapa tahu bisa kasih tur Tokyo buat para cabin crew, biar makin terpesona sama Mas Heri,” canda kaptennya sambil tertawa.
“Hehe, makasih banyak, Kep. Tapi hari ini saya udah ada janji dengan teman lokal, mau ke tempat yang ingin saya kunjungi sejak lama.”
“Wah ya sudah, kalau begitu. Jangan lupa jam tujuh malam kumpul di lobi, ya.”
“Siap, terima kasih Kep!”
Setelah menyelesaikan sarapan, Heri sempat disapa para cabin crew.
“Mas Heriiii, masa gak ikut sih? Ajak temenmu juga dong, kan bisa jalan bareng.”
"Iya nih, kayaknya Mas Heri tiap ke Tokyo suka nyempil sendiri,"
“Iya, Mas Her kalo layover di Tokyo kok selalu menghilang sih?”
Heri tertawa pelan.
“Lain kali ya. Hari ini udah terlanjur janji.”
Ia naik ke kamar, mengenakan pakaian terbaik yang ia bawa: simpel, tapi rapi dan bersih. Memastikan baterai HP penuh, dan PASMO card lama dari masa tinggalnya di Tokyo terselip di balik cover HP — masih aktif, masih setia.
Tinggal menunggu jam 10 pagi.
Di sisi lain Tokyo, alarm Sakura berdering... untuk yang kelima kalinya. Ia menggeliat, membuka mata, dan melihat jam.
“ASTAGA! KESIANGAN!!” teriaknya dalam hati.
Ia bangkit dari tempat tidur seperti disetrum, wajah panik total.
"Kenapa harus sekarang sih!? Hari spesial malah kesiangan!"
Sakura terbiasa bangun siang di hari Sabtu. Tapi hari ini bukan Sabtu biasa — dan dia sangat tidak ingin merusaknya.
Ia berlari ke kamar mandi, mencuci muka, menyikat gigi, lalu berganti pakaian dengan cepat. Outfit yang sudah disiapkan semalam: sweater putih yang manis dipadu dress khaki, legging hangat, dan tentu saja—sepatu OnCloud barunya yang bersih mengilap.
Ia bergegas. Dompet, HP, tas, kunci... semua dicek.
“PASMO! Hampir ketinggalan!”
Ia mengambil kartu itu sambil bercermin cepat, merapikan rambut bob-nya yang sedikit kusut.
Lalu... ia berlari ke stasiun.
Sesampainya di sana, sebuah pengumuman terdengar:
“Chiyoda Line tertunda 7 menit karena pengecekan keselamatan di peron.”
“AAARGH!”
Sakura menahan tangis.
“Kenapa harus sekarang sih?”
“Kenapa pas banget hari ini sih telatnya!?”
Dalam kondisi panik, ia mengirim pesan ke Heri, menjelaskan bahwa keretanya tertunda.
Balasan dari Heri datang tak lama kemudian:
“Tenang aja, santai. Odaiba gak akan kemana-mana kok.”
Sakura tersenyum kecil, meski perutnya tiba-tiba berbunyi.
“Aduh, aku belum sarapan... bego banget.”
Rasa malu bercampur lapar.
Kereta terus melaju menuju Omotesando, tempat Sakura harus berganti ke Ginza Line. Ia sempat tergoda mampir konbini, tapi waktu tidak mengizinkan. Dia terus melanjutkan perjalanannya, matanya sesekali melirik jam tangan.
“Aku telat… Heri pasti mikir aku gak disiplin. Aduh, malu banget….”
Sementara itu, Heri sudah tiba di Stasiun Shinbashi, bersandar santai di dekat pintu masuk Yurikamome. Earphone di telinganya memainkan lagu “Melodrama” dari Natori dan Imase — nada lembut yang menemani pagi Tokyo yang perlahan menghangat.
Ia mengecek jam, dan tetap tenang.
Kereta akhirnya tiba. Sakura keluar dari gerbong dengan langkah tergesa, kali ini saldo PASMO-nya aman. Ia langsung mengirim pesan:
“Aku udah sampai! Maaf banget aku telat (T_T)”
Balasan datang tak lama kemudian:
“Aku nunggu di pintu masuk Yurikamome, ya.”
Sakura buru-buru menuju arah yang dimaksud. Sesampainya di sana, ia sempat berhenti sebentar, bersandar, menarik napas panjang. Wajahnya campur aduk antara panik, lelah, dan... malu luar biasa.
Di kejauhan, ia melihat Heri sedang bersandar sambil memainkan ponselnya.
Sakura menghampirinya.
“Heri-san, maaf aku telat banget!”
Suaranya penuh penyesalan.
Heri menoleh, tersenyum.
“Gak apa-apa. Yang penting kamu sampai dengan selamat.”
Ia melanjutkan,
“Odaiba juga gak akan ke mana-mana. Tarik napas dulu… kamu butuh itu.”
Sakura tertawa kecil, rasa gugupnya sedikit mencair.
Hari ini, dua insan dari dua dunia berbeda,
…akan berbagi waktu, cerita, dan mungkin…
…sedikit keajaiban.
Di pulau kecil bernama Odaiba.
***
Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb
Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk
Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin
“Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini
Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik
“Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa
PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma
TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba
Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La