Share

SHINBASHI - I

Penulis: HaKa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-17 13:31:43

“Tanggal 17…” gumam Sakura sambil menatap kalender kecil yang tergantung di dinding kamarnya.

Jumat.

Dia berharap sepenuh hati, “Tolong… jangan ada lembur.”

Baginya, tak ada yang lebih menyebalkan dari lembur mendadak. Dan kalau harus terjadi di hari Jumat — apalagi tanggal itu — rasanya seperti semesta sedang mengejeknya.

“Mikirin aja udah bikin kepala mau meledak…” katanya sambil menepuk pipinya pelan, mencoba menenangkan diri.

Dia mulai memikirkan banyak hal:

Pakai baju apa? Makan di mana? Gaya rambut gimana?

Ia membuka LINE dan mengirim pesan ke Heri:

Heri-san, apakah ada makanan yang tidak bisa kamu makan?

Tak lama, balasan datang:

Aku nggak minum alkohol atau sake, dan tidak makan daging babi.”

Sakura menatap pesan itu.

“Ooh ? Unik ya…” pikirnya. Tapi justru dari situ, ia jadi lebih mudah memilih restoran.

Karena Heri baru bisa bertemu sekitar jam 8 malam, Sakura mulai mencari tempat makan yang buka sampai larut. Ia menemukan satu restoran menarik dekat stasiun Shinbashi, tidak terlalu jauh dari hotel Heri di Shiodome.

Dia melingkari tanggal 17 di kalender.

Tapi dalam hati, Sakura mengingatkan diri sendiri:

“Jangan terlalu berharap tinggi… kita beda negara, beda budaya, beda cara hidup. Tapi… setidaknya aku ingin menikmati malam ini.”

Hari-hari berlalu.

Tanggal 15.

Tanggal 16.

Dan akhirnya…

Tanggal 17.

Pagi hari yang dingin, matahari masih malu-malu menyinari Tokyo. Sakura membuka ponselnya—ada notifikasi I*******m Story dari Heri.

Ia membuka cepat.

Sebuah foto badan pesawat, terlihat lambang SkyTeam di fuselage. Di bawahnya, petugas ground handling tengah memuat bagasi ke perut pesawat.

Caption:

“Merak 006 service to Tokyo Narita. Boeing 777-300ER PK-MRI SkyTeam livery. See you in few hours, Tokyo Tower and Mt Fuji!”

Sakura menarik napas panjang, senyum tak tertahankan terukir di wajahnya.

“Dia benar-benar datang…”

Hari itu, dia mengenakan salah satu outfit terbaiknya:

Blouse biru muda lembut yang membuat kulitnya terlihat segar, dipadukan rok putih yang jatuh elegan, dan sebagai pelengkap, coat warna cokelat muda yang hangat tapi tetap anggun.

Dengan semangat yang tidak biasa, Sakura melangkah ke stasiun dan naik kereta ke kantor.

Melewati jalanan musim dingin Tokyo yang mulai dipenuhi daun kering dan embusan angin menusuk.

Hari ini... akan menjadi hari yang menarik.

***

“Sakuraaa-chan~”

Rekan kerjanya yang duduk di sebelah memanggil dengan nada genit.

“Apa?” jawab Sakura santai.

“Mau nanya makan siang di mana? Aku pengen yang nggak terlalu berat.”

“Bukan itu, duh!” sahut si teman sambil cekikikan.

“Hari ini kamu cantik banget! Lucu! Gemes! Mau kencan yaa?”

Rekan lainnya ikut nimbrung.

“Iya nih, Sakura ngedate ya? Jangan-jangan sama cowok baru? Tapi kamu nggak ditipu lagi, kan?”

“Ihh enggak! Masa aku nggak boleh dandan cantik dikit?” jawab Sakura pura-pura kesal.

Untung saja ibu manajer mereka lewat dan menyelamatkan situasi.

“Sudahlah, mungkin Sakura cuma pengen suasana baru hari ini. Kasihan, jangan digodain terus. Yuk, makan siang bareng!”

Mereka pun keluar bersama mencari makan siang di sekitar kantor.

Semakin sore, jantung Sakura berdetak semakin cepat. Jarum jam menunjukkan pukul 4 sore.

Satu jam lagi… hanya satu jam lagi!

Dia akan bebas. Keluar dari kantor. Duduk di kafe. Menunggu Heri.

Namun harapannya direnggut seketika.

Pintu ruangan terbuka keras. Seorang pria paruh baya masuk—tanpa basa-basi, tanpa sopan santun—membawa setumpuk dokumen.

“Maaf, ini darurat. Tapi dokumen ini harus selesai malam ini juga.”

Tanpa meminta izin atau menjelaskan ke siapa pun, pria itu langsung menaruh dokumen di meja tim Sakura, lalu pergi begitu saja.

DEG! LEMBUR?! SIAL!

Tinggal 20 menit lagi menuju pukul 5 sore! Hanya 20 menit lagi!

Sakura menahan napas, mencoba menenangkan diri. “Ya sudahlah, mungkin ini takdir. Hitung-hitung sambil menunggu Heri…”

Ibu manajer pun datang, tampak kesal.

“Orang itu benar-benar keterlaluan. Tapi aku dengar memang sedang darurat… Sepertinya kita harus lembur malam ini.”

Disambut suara pasrah dari seluruh tim.

Sakura mengerjakan tugasnya secepat mungkin. Sesekali menatap jam. Pukul 6 sore, LINE berbunyi.

Aku sudah tiba di Tokyo, sedang menuju hotel.”

Pesan dari Heri.

Sakura buru-buru membalas:

Aah, maaf! Mungkin aku sedikit telat, masih merapikan dokumen!

Balasan dari Heri datang cepat:

Tidak apa, jangan buru-buru. Semangat, ya!

Kalimat itu saja sudah cukup membakar semangat Sakura.

“Harus selesai! Harus selesai!”

Namun semakin ia lihat tumpukan dokumen… semakin nyata rasa putus asanya. Jam menunjukkan 19.30. Waktu terus bergulir. Tangannya mulai gemetar.

Lalu, suara lembut manajernya terdengar.

“Sakura…”

Sakura menoleh.

“Kamu boleh pergi duluan. Sisanya biar kami yang selesaikan.”

Sakura terpaku. Temannya menepuk pundaknya.

“Sudah, pergi sana. Aku bisa urus ini. Kamu pasti punya urusan penting malam ini, kan?”

Dengan mata berkaca-kaca, Sakura berdiri, menunduk dalam-dalam.

“Terima kasih… aku akan membalas kebaikan kalian…”

Ia buru-buru merapikan meja, mengambil coat, dan melangkah cepat keluar gedung.

“Wah, pasti cowok nih~” celetuk temannya dari dalam.

Sakura melangkah cepat, hampir berlari menuju stasiun Higashi-ikebukuro. Baru sadar—dia belum memberi tahu Heri titik pertemuan!

Dengan jari yang gemetar, ia mengetik:

Aku sudah selesai! Kita ketemu di Stasiun Shinbashi saja, ya!

Ia melihat lampu pejalan kaki menyala merah.

“Kenapa lama banget sih!?”

Ia melihat jam—panik.

“Taksi? Atau kereta? Aduh…”

Taksi bisa macet. Ia akhirnya memutuskan naik kereta.

Tapi dalam kereta, dadanya seperti ditarik-tarik. Deg-degan. Campur aduk.

Ingin menangis.

Ingin marah.

Ingin sampai secepatnya.

Pukul 20.00…

Lewat 15 menit…

Lewat 20 menit…

“Astaga, aku telat banget…”

Akhirnya setelah 30 menit, ia tiba di Stasiun Shinbashi. Ia berlari ke arah gate…

“TEEEET!”

Saldo kartu PASMO-nya habis!

“TIDAKKKK!!!”

Ia panik. Mencari mesin fare adjustment

Antrian?!

Air matanya hampir jatuh.

Kenapa semua harus seperti ini?

Begitu berhasil tap out, ia langsung membuka LINE.

Aku di stasiun! Kamu di mana?

Tidak ada balasan.

Ia menelpon via LINE.

Tidak diangkat.

Dunia terasa runtuh.

Sakura berdiri mematung, matanya menyapu setiap sisi stasiun. Pandangannya berkabut. Perasaannya campur aduk: takut, malu, kecewa. “Heri-san… di mana kamu…”

Dunia terasa mengejek nya.

Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari sampingnya.

Sakura-san… kan, ya?

Dengan aksen yang terdengar sedikit kaku.

Sakura menoleh cepat.

Di sana, berdiri seorang pria. Tersenyum.

Rambutnya rapih, jaket hitamnya tampak sederhana.

Heri.

Pria itu… berdiri tepat di sampingnya.

Sakura menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya membesar, pipinya memerah, dan air mata nyaris jatuh — bukan karena sedih, tapi karena campuran antara lega, panik, dan harapan yang akhirnya tidak sia-sia.

Dia mengangguk pelan, menahan gejolak emosi di dadanya.

“Eh… kamu nggak apa-apa? Kenapa… kok kelihatan mau nangis?”

Heri yang sedikit panik buru-buru membuka tas selempangnya dan mengeluarkan tisu.

“Jangan nangis, ya…”

Sakura belum bisa menjawab.

Matanya hanya menatap Heri — penuh rasa syukur, tak percaya, dan mungkin… sedikit rindu yang baru ia sadari.

Heri berbicara lagi, kali ini dengan bahasa Jepang seadanya,

“Sakura-san…aku ada di sini. Sudah, tenang. Otsukaresamadeshita (thank you for your hard work). Kamu pasti capek banget, kan? Gak apa-apa, namanya juga kerjaan. Tarik napas dulu… pelan-pelan. Aku nggak ke mana-mana.”

Kata-kata itu seperti selimut hangat di tengah dinginnya malam.

Sakura akhirnya menurunkan tangannya. Ia tertawa kecil sambil mengelap sudut matanya.

“Heri-san… ya ampun… aku minta maaf banget!”

Heri ikut tertawa, ringan dan tulus.

No, it’s okay. Really.”

Setelah suasana mulai mencair, Heri bertanya sambil tersenyum:

“Jadi… malam ini kita ke mana? Aku jujur jarang banget main ke sekitar sini, padahal deket banget sama hotel tempat kru biasanya nginap.”

Sakura, kini sudah jauh lebih tenang, menjawab penuh semangat:

“Pokoknya malam ini, serahkan semuanya padaku!”

“Wah, baiklah! Tour leader Sakura, siap!”

Heri tertawa lagi, lalu membuka tas kertas kecil dari balik jaketnya.

“Oh ya… ini ada sedikit oleh-oleh. Cemilan dari Indonesia. Aku harap kamu suka.”

Sakura menerimanya dengan ekspresi bahagia yang tak bisa disembunyikan.

“Aduh… ngapain repot-repot! Tapi makasih ya, beneran… aku seneng banget.”

“Yuk, kita jalan!” lanjutnya, antusias.

Mereka pun mulai melangkah berdampingan, menyusuri trotoar Tokyo yang terang benderang oleh lampu kota. Di sekeliling mereka, orang-orang lalu lalang dengan langkah cepat, sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi di tengah keramaian itu, dua sosok berjalan pelan — seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Dua insan dari dua dunia berbeda, terpisah oleh jarak dan budaya, akhirnya bertemu kembali.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   Epilog

    Musim semi… tinggal menghitung minggu.Sakura keluar dari apartemennya pagi itu. Udara Tokyo masih dingin, menusuk pipi dan telinga. Ia berjalan menuju Stasiun Yoyogi-Uehara. Ear muffler menempel di telinganya, melindungi dari sisa-sisa musim dingin yang belum rela pergi.Di telinganya, lagu “Kaiju no Hanauta” dari Vaundy mengalun melalui handsfree.Di stasiun, kereta pagi sudah penuh sesak. Petugas mendorong penumpang masuk agar pintu bisa tertutup. Sakura ikut terdorong ke dalam, penuh sesak, menjadi bagian kesehariannya.Sesampainya di Higashi-Ikebukuro, ia berjalan santai menuju kantor, ia sempatkan membeli kopi kaleng dari vending machine. Ia genggam erat, berharap kehangatan kaleng itu bisa menular ke tubuhnya yang terkena angin dingin yang berhembus dari sela-sela gedung.Dia mengecek jadwal hari itu — rapat bersama manajernya di Omiya.“Sakura, ayo berangkat. Pastikan dokumennya ya,” ujar manajernya.Semua terasa biasa. Tapi ada yang berubah.Di sela-sela rutinitas, Sakura memb

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - V

    Di dalam kereta yang mulai sepi, Heri berdiri tenang di sudut dekat pintu. Lagu “Fragrance” dari Mahiru dan RINZO mengalun lembut lewat earphone-nya, menyatu dengan pemandangan malam Tokyo yang berlalu di balik kaca.Tokyu Lines... hari ini dia kembali menyusuri jalur yang pernah jadi bagian hidupnya. Bedanya, sekarang ada Sakura di sampingnya. Kenangan dan kenyataan saling bertemu — dan hatinya terasa hangat.Sesampainya di hotel, ia bertemu beberapa rekan cabin crew.“Mas Heri, dari tadi ke mana? Hilang seharian,” tanya salah satu dengan santai.“Main sama teman,” jawabnya pelan, hanya tersenyum.Mereka bercerita tentang petualangan belanja di Shibuya, makan di Ginza, dan ketawa-ketawa di Ikebukuro. Mereka mengajaknya bergabung lain kali.Heri hanya mengangguk sopan. Tokyo yang mereka cari dan cintai... berbeda dari Tokyo yang ia simpan dalam hati. Untuk hari ini — dan mungkin hari-hari ke depan — ia ingin tetap egois, memilih Tokyo versi dirinya sendiri.Malam itu, di tengah hiruk

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - IV

    Aroma kari hangat menyebar dari dapur, menyelimuti rumah kecil itu dengan rasa nyaman. Di dalamnya, Akari cekatan membantu Yuriko menyiapkan makan malam, sementara Kenta mondar-mandir menyusun piring dan gelas di meja. Di ruang keluarga, Mayu duduk anteng di depan televisi, sesekali bersenandung mengikuti lagu iklan yang lewat.Dari ruang tamu, Sakura mencuri pandang ke dapur. Ada rasa ingin tahu yang timbul begitu saja.“Sakura, mau lihat?” ajak Yuriko sambil tersenyum hangat.Sakura mengangguk pelan dan melangkah masuk. Dapurnya kecil, tapi terasa hidup—penuh suara, wangi, dan tawa kecil. Di sudut, Akari sedang menyiapkan salad. Yuriko sibuk mencicipi saus kare di panci besar.Sakura memperhatikan dapur itu. Ada kehidupan di ruang ini. Suara, aroma, dan interaksi yang terasa akrab dan kehangatan.Dapur ini... sangat berbeda dari dapur apartemennya yang sunyi.“Kamu biasa masak apa di rumah?” tanya Yuriko sambil tetap mengaduk kari.Sakura tersenyum kikuk. “Jujur aja… aku lebih serin

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - III

    “Nii-san! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ke Tokyo?” seru gadis muda itu dengan nada setengah protes.“Eh… iya, hahaha. Aku udah janji sama seseorang soalnya, Akari-chan. Takut waktunya gak cukup,” jawab Heri sambil nyengir canggung.Mata gadis itu langsung beralih ke Sakura. “Nii-san… dia siapa?” tanyanya polos.Sakura segera memperkenalkan diri, tak ingin membuat situasi jadi kikuk. “Kitagawa Sakura, salam kenal.”“Namaku Yamamura Akari! Salam kenal juga, Kitagawa-san!” jawab gadis itu dengan antusias dan senyum lebar.“Nii-san,” lanjutnya sambil tersenyum jahil, “dia teman… atau ‘teman’?”“Ibu pasti senang kalau melihatnya!”"Ibu?" Sebuah pertanyaan cepat melintas di kepala Sakura. Siapa 'ibu' yang dimaksud…?Heri menghela napas kecil, lalu menjelaskan sambil menoleh ke Sakura.“Akari ini… anak tertua dari keluarga angkatku di Tokyo.”Sakura, yang sempat merasa bingung, mendadak merasa lega. Bahkan senang. Sosok dari masa lalu Heri yang selama ini hanya dia dengar sekilas, kini

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - II

    Jarum jam menunjukkan pukul 11.45.Sakura bersantai di sofa, memeluk bantal kecil di tangannya. Matanya nyaris tertutup karena mengantuk.Diliriknya ke arah tempat tidur. Heri masih terlelap… tapi… oh? Sakura mengucek matanya. Heri sudah membuka matanya setengah, menatap pelan ke arah Sakura.Dengan gerakan pelan, Heri mencari HP-nya dan mematikan alarm sebelum sempat berbunyi.“Sudah bangun, ya,” ucap Sakura pelan.Heri hanya mengangguk, menguap, dan mengusap wajahnya. Ia bangkit dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka, lalu menunaikan salat.Gerak-geriknya rapi dan sistematis—seolah terbentuk dari kebiasaan panjang. Sakura memperhatikan dalam diam, hanya mengamati. Ada rasa tenang melihatnya begitu.Tanpa banyak bicara, Heri mengambil pakaian dari kopernya dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama, dia sudah siap sepenuhnya: sweater biru gelap dengan kemeja putih di dalam, celana jeans hitam, dan sepatu OnCloud kesayangan.“Jadi… mau kemana? Makan siang, ya?” tanya Heri sambil merapik

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   TOKYU LINES - I

    “Kamu udah makan?” tanya Heri sambil berjalan pelan di samping Sakura.“Udah kok. Tadi sarapan onigiri, terus sempet ngopi juga di Tully’s pas nunggu kamu mendarat,” jawab Sakura.“Ooh ya,” lanjutnya, “kita…mau ke mana sekarang? Kamu ke hotel dulu, ya?”Heri mengangguk pelan. “Iya, aku harus check-in dulu dan naro koper. Terus…sejujurnya, aku juga pengen tidur sebentar sampe jam 12 sebelum kita jalan-jalan.”Sakura hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ketika dia memutuskan untuk menjemput Heri di bandara dia tidak memikirkan “habis itu mau ngapain”—yang penting, dia bisa menjemput Heri. Bisa melihatnya langsung.“Sakura-san, kamu mau nunggu di mana nanti?”“Eh…ehm…mungkin di kafe dekat hotel kamu?” jawabnya ragu.“Gak kelamaan nanti kamu di kafe?” Heri tampak berpikir sejenak. “Atau…kalau kamu mau, ke kamar aja?”Hening.Keduanya tiba-tiba diam. Sunyi yang awkward.Sampai akhirnya Heri, agak tergesa, menambahkan, “Maksudku…ya kamu bisa duduk aja di sofa, nonton TV atau pesan cemilan lewa

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - VI

    PIIIPP PIIIPP...Suara alarm dari ponsel memecah keheningan pagi.Sebuah tangan langsung bergerak cepat mematikannya.Dengan mata setengah terpejam, Sakura mengangkat ponselnya—05:25 terpampang di layar.“Aku… kayaknya cuma tidur sebentar…” gumamnya lirih, masih dibalut rasa kantuk.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari ranjang, menyeret kakinya menuju kamar mandi.Sikat gigi. Cuci muka. Tarik napas panjang.Setidaknya, pagi ini dia berhasil bangun tepat waktu. Itu sudah pencapaian.Di meja kecil dekat jendela, Sakura membuka onigiri dan menyedot kotak jus jeruk dari konbini yang ia beli semalam.Apple Music memutar lagu secara acak, dan “Koi wo Shita nowa” by Aiko mulai mengalun.Entah kenapa, lagu itu terasa pas di pagi hari yang sunyi. Pagi ini terasa...istimewa.Sakura mengenakan celana jeans gelap, kaus nyaman yang ditutupi sweater putih, lalu winter coat abu-abu panjang yang sudah disiapkan semalam. Tak lupa sneakers New Balance putih favoritnya.Di depan cermin, ia merapikan ma

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - V

    TINGNotifikasi LINE berbunyi di ponsel Heri. Ia menaruh gelas latte-nya, membuka layar, dan membaca pesan dari Sakura."Sudah di bandara?""Sudah dong. Ini habis beli kopi, mau ke pesawat."Heri menyertakan foto: segelas kopi, koper, dan topi pilotnya di atas meja bandara."Kamu belum tidur? Di Tokyo udah jam 11 malam, kan?""Belum ngantuk >.!(semangat!)"Heri tersenyum kecil. Lagu “Innocence” dari NoisyCell mengalun pelan lewat earphone-nya."Arigatou (terima kasih)", balasnya."Tapi bobo gih. Katanya besok mau jemput di Haneda? Dari Yoyogi harus berangkat pagi loh~"TINGSakura membalas dengan selfie. Ia sedang tiduran, posisi miring ke kiri."Udah di kasur nih… tapi belum ngantuk ☹"Heri tertawa kecil."Kalau gitu… minum air hangat, terus coba hitung domba. Atau baca buku deh… buku matematika, misalnya. Biar cepet ngantuk 😆"Sakura tertawa keras.“Buku matematika katanya… emangnya aku anak SMA yang mau ujian nasional besok?”Dia memba

  • Tokyo Love Letter - Hibiki   5.000 KM - IV

    Malam hari di Tokyo. Angin dingin berhembus, menandakan musim dingin masih menyelimuti.Di kamar apartemennya, Sakura menatap layar ponsel dan menulis pesan LINE“Boleh gak... aku punya permintaan egois?”Heri cepat membalas,“Egois? Kenapa tuh? Apa apa?”Sakura ragu sejenak, lalu akhirnya menuliskan,“Aku mau jemput kamu di bandara. Aku kasih tau di awal biar kamu gak kaget... boleh?”Setelah mengirim pesan itu, Sakura langsung melempar ponselnya ke kasur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.“Ya ampun… kacau kacau kacau…” desahnya, deg-degan.Satu menit... dua menit... tiga menit…TINGLINE berbunyi.“Eh? Ya… boleh aja sih.”Jawaban simpel, tapi cukup untuk bikin Sakura gelisah berubah jadi girang. Dia menggoyangkan kakinya di kasur, senyum-senyum sendiri.Sementara itu di Jakarta, Heri termenung.“Waduh… kalo sampe diliat kru, gimana ya?”Tapi kemudian dia mikir, “Ah ya sudahlah… kayaknya nggak perlu disembunyiin juga.”Di kamar apartemennya, Sakura kembali menulis pesan. La

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status