Dengan malas, aku ikut Artemis mengantar orang tua kami ke bandara, karena Papa akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama tiga hari dua malam.
Sedikit informasi, mama selalu menemani papa ke mana pun pergi—kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sementara itu, bisnisnya untuk sementara diserahkan kepada asisten. Mama memiliki butik cukup terkenal di kota ini, dengan sebagian besar pelanggan berasal dari istri para relasi bisnis Papa dan teman-teman arisannya.
Terlahir dari orang tua pekerja keras, aku dan kembaranku selalu hidup dalam kelimpahan. Namun, tak ada kehidupan yang sempurna. Kekurangan papa dan mama adalah ketidakmampuan mereka membagi kasih sayang.
“Pulang dari sini, Kakak mau ngapain?” tanya Artemis saat kami berjalan menuju parkiran.
Pesawat papa dan mama baru lepas landas belasan menit lalu. Sekarang kami memutuskan pulang—aku tak betah berlama-lama di luar berdua saja dengannya.
“Tidur,” jawabku singkat.
“Ini masih belum siang, lho. Gimana kalau ikut aku aja? Aku ada janji nonton di bioskop bareng teman-teman SMA kita.”
“Tidak mau.”
“Jangan langsung nolak, Kak. Pikirin dulu aja.”
Saat Artemis mencoba mengaitkan lenganku ke lengannya, segera kutepis hingga terlepas seketika.
“Sudah kupikirkan, dan jawabanku tetap sama. Jadi, jangan memaksa!”
“Sekali ini aja, please? Coba ingat, kapan terakhir kita hang out?”
“Apa pentingnya?”
“Penting banget!” Artemis langsung menahan tanganku saat aku hendak meraih handle pintu mobil. Dia menggeleng, memberi isyarat bahwa pembicaraan ini belum selesai dan aku belum boleh masuk.
“Memangnya Kakak nggak mau memperbaiki hubungan kita? Aku selalu berusaha agar ikatan persaudaraan kita nggak makin merenggang, tapi melihat Kakak terus menepis uluran tanganku … jujur, itu bikin aku sedih.”
“Sedih? Orang sepertimu merasa sedih hanya karena hal sepele?”
“Itu nggak sepele, Kak.”
Aku tertawa sarkas. “Buat hidupmu yang penuh warna dan baik-baik saja, tentu masalah kecil terasa mengganggu, makanya kau sibuk mencari jalan keluar. Tapi bagiku tidak, Temis. Aku tidak tertarik memperbaiki apa pun, jadi leave me alone!”
Mendengar bentakanku di akhir kalimat, kelopak matanya langsung melebar. Yah, Artemis yang lembut memang tak pernah terbiasa dengan respons seperti ini. Dia selalu mudah syok setiap kali berbicara denganku.
“A-aku paham. Nanti kita bicarakan lagi setelah Kakak … tenang,” ucapnya terbata, lalu bergegas masuk mobil dan duduk di jok penumpang.
***
Malam ini lebih kelam dari biasanya. Hujan deras dan angin kencang mengguyur, tapi untungnya listrik tetap menyala, mengurangi kesan mencekam di rumah.
Jam baru menunjukkan setengah delapan—terlalu dini untuk tidur. Suara berisik di luar membuatku gelisah, jadi aku memutuskan turun ke bawah, menuju perpustakaan untuk membaca.
Setelah menuruni setengah anak tangga, aku menemukan Artemis dan bibi duduk di sofa ruang tamu. Mereka sedang asyik melihat sesuatu.
Awalnya, aku berniat melewati mereka tanpa memberi kesempatan mereka untuk menyapaku. Namun, saat melihat benda di tangan Artemis, langkahku otomatis terhenti. Tatapanku terpaku, berusaha mengenali benda yang terasa familiar itu.
“Apa yang kalian lihat?” tanyaku datar.
Artemis dan Bibi serempak mendongak, sedikit terkejut melihatku.
“Lho, kapan turun? Kok dari tadi nggak kedengaran langkahnya?” tanya Artemis.
“Baru saja. Apa yang kau pegang?”
“Oh, ini …” Artemis mengangkat benda itu, sempat tersenyum sebelum menjelaskan, “kamera mirrorless yang kupinjam dari Kak Atlan. Sebenarnya aku yang maksa sih, soalnya ini barang lama dan katanya penuh kenangan.”
Pikiranku langsung melayang, mengaitkannya dengan hal-hal yang terjadi di masa lalu. Jangan-jangan, kamera itu …
“Kenapa, Kak? Oh iya, mau ikut lihat isinya juga? Sekalian kenalan secara nggak langsung sama Kak Atlan, soalnya kemarin-kemarin gagal terus.”
“Tidak perlu,” jawabku cepat, menggeleng. Akan aneh jika aku setuju. Lagi pula, mungkin saja kameranya hanya kebetulan mirip—benda seperti itu ada banyak di dunia ini.
“Aku … pergi. Terima kasih atas jawabannya.”
“Ya? Oh, tentu! Sama-sama, Kak.”
Mengabaikan keterkejutan Artemis, aku langsung berlalu menuju perpustakaan. Begitu masuk, aku mengambil satu buku dan duduk di sofa tunggal untuk membaca.
Kupikir fokusku akan tertuju pada isi buku, tapi nyatanya, setelah beberapa menit, pikiranku justru terus berputar pada kamera mirrorless putih di tangan Artemis tadi. Benda itu persis seperti milikku … yang dulu kuberikan pada seorang Atlantis Pranadipta.
Tujuh tahun yang lalu.
“Permisi,” ucapku setelah beberapa kali mengetuk pintu. “Ini ruang kesekretariatan UKM?”
Semua orang di dalam menoleh. Salah satu dari mereka tiba-tiba berceletuk, “Lo Athena, ya? Teman sekelas yang dibicarakan Emily beberapa hari lalu?”
“Eh, iya … Kak.”
“Oke! Kalau begitu, silakan masuk dan selamat bergabung!”
Begitu kalimat itu terlontar, yang lain serentak berdiri dan bertepuk tangan menyambut kedatanganku.
Sebenarnya, ini agak berlebihan. Aku sampai kikuk dibuat oleh mereka. Tapi kalau memang begitu tradisinya … yah, aku akan mencoba beradaptasi.
“Eh, ada apa ini? Heboh banget, suara kalian sampai kedengaran dari luar.”
Mendengar suara yang tak asing, refleks aku berbalik, penasaran melihat pemiliknya.
“Kita kedatangan anggota baru, Lan. Sebagai sesepuh di sini, lo wajib menyambut dia.”
“Ah, anggota baru …” Tatapannya kini tertuju padaku. Setelah meletakkan dus besar di atas meja, dia mengangkat tangan kanan untuk menyapa.
“Hai, gue Atlantis, wakil ketua UKM. Makasih udah mau gabung di organisasi kami. Semoga betah, ya.”
“Sambutan macam apa itu? Kayak kasir Indom** yang nyapa pembeli.”
“Grogi kali depan cewek baru.”
Beberapa ejekan lainnya terdengar, tapi Atlantis hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Dari sikapnya, aku bisa menebak—dia tipe cowok yang santai dan tidak mudah tersinggung.
Ini pertemuan kedua kami, tapi aku benar-benar merasa canggung. Sulit bersikap biasa saja ketika tepat di hadapanku berdiri seorang Atlantis.
“A-aku Athena, Kak. Makasih juga sudah mau nerima aku … dan untuk pertolongan waktu itu …”
“Sama-sama,” ujarnya.
Ah, aku yakin Atlantis sudah lupa pernah menyelamatkanku. Tapi tak apa, aku cukup senang bisa melihatnya lagi sekarang.
Sejak hari itu, setelah resmi bergabung di organisasi yang sama, pertemanan kami mulai terjalin. Berbagai kegiatan membuat kami semakin dekat, hingga akhirnya, di hari kelulusannya, aku menghadiahinya sebuah kamera mirrorless. Kamera putih dengan ukiran huruf A di sudut kiri bawahnya.
Bersambung ...
Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y
Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,
Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,
Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya
Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per
Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca
Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s
Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku
Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi