Langkah Farhan yang baru saja pulang dari kantor terhenti sejenak di depan pintu saat dia merasakan getaran berasal dari ponselnya. Dia membuka kunci layar dan langsung melihat pesan yang dikirimkan nomor tak dikenal. Sebuah foto dan video singkat berdurasi 5 detik yang memperlihatkan wajah Rania bersama seorang pria dalam kamar hotel.Kedua bola matanya membulat sempurna diiringi rahang yang mengeras. Refleks, Farhan mencengkram erat ponselnya sebelum kemudian dia melanjutkan langkah menuju ke rumahnya."Baru saja aku ingin menghubungi Mas, kebetulan sekali," ucap Dinar sembari berjalan menyambut kedatangan Farhan dari kantor.Sejak Rania keluar dari rumah mewah itu, Farhan mengizinkan Dinar untuk tinggal bersamanya. Selain karena sebentar lagi mereka akan resmi menikah, juga karena Farhan sangat mencemaskan keadaan Dinar yang sedang mengandung calon anaknya.Kedua alis wanita itu mengernyit dalam saat memerhatikan seraut wajah masam yang ditunjukkan suaminya."Kenapa wajah Mas ditek
"Kamu sudah bangun?" Kendrick merasa lega saat melihat Rania akhirnya sadar. "Syukurlah, kamu baik-baik saja sekarang," ucap Kendrick lagi.Masih belum sadar sepenuhnya, Rania mengejapkan mata beberapa kali menyesuaikan penglihatannya dengan silau cahaya lampu. Rania bingung dan merasa asing dengan ruangan yang saat ini dia tempati."Kenapa kamu ada di sini? Aku di mana sekarang?" tanya Rania.Dia berusaha untuk beranjak duduk, tetapi niatnya tertahan kerena kepalanya berdenyut sakit."Hati-hati," ucap Kendrick. Dia refleks langsung membantu Rania yang ingin bangun."Kamu ada di rumah sakit sekarang. Beruntung tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada bayimu," jelas Kendrick.Kedua alis Rania mengernyit dalam. Refleks dia menatap wajah pria yang sejak dia membuka mata sudah ada di sampingnya. Dia terdiam sesaat sembari mencerna perkataan Kendrick baru saja."Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Rania sembari mencoba mengingat kembali kejadian sebelum ini. "Seingatku, tadi aku ingin pergi
Rania terdiam sejenak, mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil. Dia melihat kertas dan membaca kembali hasil pemeriksaan kehamilan yang tadi dia dapatkan dari rumah sakit. Rania bingung, apakah dia harus mengatakan kabar baik ini kepada Farhan atau tidak.Hatinya meragu, dia merasakan kebahagiaan dan kesedihan dalam satu waktu secara bersamaan.Helaan napas panjang yang terasa menyesakkan terembus keluar dari mulutnya. Sejenak, dia memejamkan mata untuk menetralkan perasaannya."Aku harus memberi tahu Farhan," gumam Rania. "Ya, aku harus memberi tahunya. Mungkin kabar baik ini bisa memperbaiki hubungan aku dengannya."Rania merasa yakin dengan keputusan ingin memberi tahu Farhan kabar kehamilannya yang baru menginjak usia tiga minggu. Dia sangat berharap kabar baik ini akan memperkuat pernikahannya dengan Farhan.Rania turun dari mobilnya dengan bersemangat. Dia berjalan menuju ke rumah, tak sabar ingin segera menemui Farhan. Namun, niat yang semula sudah kuat itu harus tertahan. D
"Tunggu!"Farhan mengambil dokumen di atas meja yang sudah dia siapkan sejak dari tadi.Rania berhenti sejenak dan menghela napas panjang. Dengan enggan dia berbalik, kembali melihat ke arah Farhan."Apa lagi?" tanya Rania ketus.Pria itu tak menjawab, dia menggenggam tangan Rania sembari menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan. Sedetik kemudian, Farhan meletakkan dokumen yang dia bawa di tangan Rania penuh penekanan."Tandatangani ini," ucapnya pelan tetapi penuh penekanan.Kedua alis Rania mengerut dalam, dia menatap heran ke arah suaminya lalu beralih pada dokumen yang sudah di tangannya."Apa lagi ini?" tanya Rania sinis."Baca saja. Semua sudah jelas tertulis di sana," jawab Farhan tenang sembari memasukkan kedua tangan ke saku celananya.Dia tersenyum tipis penuh arti sembari tak beralih memerhatikan sang istri yang sedang membuka amplop berisi dokumen penting yang sudah pengacaranya siapkan atas perintah Farhan sendiri.Kedua bola mata Rania membulat sempurna. Refleks, sel
Setelah membereskan semua pakaian miliknya ke dalam koper, dengan berat hati dia harus meninggalkan kamarnya yang menyimpan banyak kenangan bersama Farhan. Di ruang tamu, sudah ada Lalita yang sedang duduk menunggunya turun.Rania menoleh ke arah dokumen perjanjian perceraian yang ada di atas nakas. Dia belum sempat menandatanganinya, ah ... sebenarnya tidak berniat sama sekali. Rania menghela napas panjang lalu mengambil dokumen itu dan melihatnya dengan mata berkaca-kaca."Bukan akhir yang seperti ini yang aku inginkan," gumamnya lirih.Suaranya bergetar menahan tangis dan juga sesak di dadanya. Tanpa terasa, setetes cairan bening terjatuh membasahi wajahnya. Rania langsung mengusapnya dengan kasar dan kembali menghela napas panjang untuk menetralkan perasaannya.Dia mengambil bulpoint miliknya dari dalam laci, lalu tanpa berpikir panjang langsung menandatangani surat perceraian itu. Meski berat hati, walau tidak rela pernikahannya harus berakhir seperti ini. Namun, Rania terpaksa s
"Kau yakin kita akan bercerai sekarang?" tanya Rania.Saat ini dia dan suaminya sedang di depan gedung kantor urusan agama untuk mengurus perceraian pernikahan mereka.Pendar bulat itu menatap sendu wajah pria yang ada di hadapannya. Hati Rania berdenyut sakit membayangkan dirinya akan bercerai dan mengurus calon anaknya sendirian."Ya, bercerai adalah solusi terbaik yang terlintas saat ini," jawab Farhan dengan begitu yakin.Rania hanya bergeming, menahan semua kesakitan dalam hatinya. Perkataan sang suami baru saja itu terdengar sangat menyeramkan dari pada hal apa pun yang selalu menakutinya."Lebih baik aku melepaskanmu dari pada harus melepaskan Dinar yang saat ini sedang mengandung anakku," ucap Farhan lagi.Helaan napas kasar terdengar begitu menyesakkan. Rania akhirnya menganggukkan kepalanya, setuju dengan keinginan sang suami untuk berpisah tanpa membantah lagi. Mereka berjalan beriringan memasuki gedung untuk memulai sidang perceraian mereka.Beberapa jam kemudian, Rania da
Rania mulai bosan menunggu Kendrick yang sudah pergi sekitar dua puluh menit yang lalu. Dia mencari ponselnya bermaksud ingin menghubungi pria itu, tetapi dia tidak menemukan keberadaan benda pipih itu bersamanya."Di mana ponselku?" gumam Rania sembari menggeledah tas miliknya. Dia mengernyitkan alis, mencoba mengingat kapan terakhir dia memainkan ponselnya itu."Astaga, sepertinya ponselku tertinggal di mobil Lalita."Rania berdecak sebal pada dirinya sendiri yang bisa sampai teledor. Dia ingat sempat menggunakan benda pipih itu untuk membalas pesan dari mata-mata yang dia bayar untuk menyelidiki Dinar dan Farhan. Mungkin ponsel itu terjatuh saat dia ingin memasukkannya ke dalam saku pakaian yang ia kenakan sekarang.Perhatian Rania teralihkan dari memikirkan ponselnya saat menyadari orang yang sedang dia tunggu sudah datang."Kenapa lama sekali? Apa kau sudah menemukan dompetmu?" tanya Rania sembari menatap Kendrick.Pria itu menoleh dan mengangguk ringan. "Sudah," jawabnya.Kendri
"Mas, kamu pernah ada kepikiran tentang Rania gak?"Kening Farhan mengernyit dalam menatap sang istri. Dia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Dinar menanyakan Rania setelah sekian lama. Mengerti akan arti tatapan suaminya, wanita itu pun melanjutkan perkataannya."Mas sadar gak kalau Rania menghilang begitu saja selepas Mas dan dia resmi bercerai? Kira-kira dia ada di mana ya sekarang?" tanya Dinar. Ya, tentu saja dia penasaran tentang kabar Rania sekarang. Bahkan dia sudah mencoba mencari tahu lewat orang-orang bayarannya, tetapi mereka tidak bisa menemukan keberadaan mantan istri suaminya itu."Kenapa tiba-tiba kamu ingin tahu kabar wanita itu?" selidik Farhan. "Dan lagi pula, untuk apa juga memikirkan dia. Hidupku sudah merasa jauh lebih bahagia bersamamu," sambungnya lagi. "Aku hanya penasaran saja karena dia tiba-tiba menghilang. Bahkan dia sama sekali tidak mengungkit hubungan kita dan juga masalah perusahaan yang sudah kita ambil," ungkap Dinar. Dia sengaja menjeda perkataanny