Se connecter**Innocence is a mask** Camila has known loss all her life—first her parents, then her childhood friend, and now… maybe her peace of mind. Determined to honor her grandfather's dying wish, she walks into a world far more twisted than she imagined—a world where promises turn deadly and family ties are not what they seem. A powerful marriage alliance. A tragic birth. A betrayal that changes everything. When secrets long buried begin to resurface, Camila is forced to question those closest to her. Love, loyalty, and truth begin to blur. And just when she thinks she's found someone to trust, another shadow rises from her past. In a world where allies wear masks and enemies hold your hand, will Camila uncover the truth in time—or will she become part of the mystery?
Voir plusNamaku Silvana Larasati, seorang mahasiswi keguruan yang sedang pusing memikirkan skripsi, ditambah lagi biaya wisuda yang jumlahnya membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
Aku bukan berasal dari kalangan keluarga berada, Ayah hanya seorang pengrajin kayu biasa, sementara Ibu membuka usaha gorengan kecil-kecilan. Meski begitu, aku tetap bersyukur, kedua orangtua ku masih mampu menyekolahkan empat anaknya meski harus diimbangi dengan lauk seperti tahu dan tumis kangkung.
Hidup bermewah-mewahan bukanlah gaya kami, tak memikirkan beli beras untuk esok hari saja, Ibu sudah sangat mengucap syukur.
Hari ini, aku diterima bekerja sebagai babysitter di rumah salah satu orang kaya, tak jauh dari tempat tinggal kami. Aku harus melakukan itu untuk meringankan beban Ayah dalam mencicil biaya wisudaku. Tak masalah, karena aku hanya bekerja selama beberapa jam saja.
Kulangkahkan kaki melewati gerbang yang menjulang tinggi setelah dipersilahkan oleh seorang petugas keamanan, dan aku disambut oleh seorang pria tinggi tanpa ekspresi yang kemarin mewawancarai ku.
"Mari ikuti saya," ucapnya tenang.
Aku mengekor di belakangnya seraya mengagumi keindahan bangunan ini yang terlihat seperti istana. Bahkan, kutebak marmer yang kupijak ini harganya lebih mahal daripada biaya wisudaku.
Kami berbelok menuju halaman belakang yang menyediakan sebuah kolam renang luas berhias taman kecil di sudutnya. Aku terpaku saat mendapati dada telanjang seorang pria yang sedang bersantai di pinggiran kolam. Rambut basahnya mengalirkan butiran halus yang mengalir ke tubuh liatnya. Tanpa terasa, aku menelan ludah susah payah demi membendung jiwa yang resah karena godaan iman di depan mata.
"Tuan, pelayan anda telah tiba," ucap pria itu penuh penghormatan.
Pelayan? Siapa maksudnya? Aku? Tapi, bukankah yang harus ku asuh adalah seorang anak kecil?
"Tunggu dulu, maksudmu akulah pelayannya?" tanyaku memastikan.
Pria yang membawaku ke sini mengangguk, dan hal itu cukup membuatku terkejut.
"Kau membawa seorang wanita, Jo?" Pria berambut tembaga itu menggeram kasar.
Laki-laki bernama Jo itu menghela napas panjang. "Saya yakin kali ini berbeda, Tuan," sahutnya tegas, tapi masih sangat terdengar sopan.
Dengusan keras pria itu sebagai sahutan, sebelum ia kembali bersuara. "Terserah padamu, beritahu semua tugasnya, dan jika dia berani berulah, aku akan memenggal kedua kakimu!" ancamnya tajam.
Aku berjengit kaget karena kekejaman pria itu, bagaimana bisa ia mengucapkan ancaman semengerikan itu tanpa beban. Hatiku mulai gelisah, mengasuh seorang bayi besar saja sudah menjadi masalah tersendiri bagiku, apalagi harus ditambah dengan kekejaman yang tampak nyata ada dalam diri pria yang akan kulayani ini.
Ah, aku merasa sebutan itu terlihat binal sekali, tapi tugasku memang melayaninya 'kan? Meski bukan dalam hal intim seperti yang sering orang lain pikirkan.
"Uhm, apa ... apa aku bisa memikirkannya sekali lagi?" ucapku berusaha menawar, aku harus memikirkannya matang-matang, takut tak akan sanggup menjalani tugas berat ini.
Meski aku mengakui gaji yang ditawarkan luar biasa besar, hanya dengan bekerja sebulan saja aku bisa melunasi semua biaya kelulusanku. Tapi sayangnya di kontrak itu tertulis, aku harus bekerja selama tiga bulan lamanya.
"Apa kau lupa telah menandatangani surat perjanjian itu, Nona?" tanya Jo datar, sementara pria bersurai lembab itu menggeram marah.
"Usir saja jika memang dia tak ingin bekerja di sini!" hardiknya kasar.
Aku sampai mundur selangkah karena suara kerasnya. Ya, benar. Surat perjanjian sialan itu telah aku tandatangani tanpa berpikir panjang karena tergiur gaji yang fantastis. Jika kupikir ulang, akulah yang bodoh. Karena seingatku Jo memang tak menyebutkan seorang anak kecil yang harus ku asuh, ia hanya menjelaskan bahwa aku akan ditempatkan sebagai pengasuh. Itu saja.
Namun, bukankah tetap saja itu penipuan? Seharusnya dia memberitahuku akan bekerja menjadi seorang pelayan, itu akan lebih mudah untuk kumengerti.
"Saya akan mengurusnya, Tuan," tutur Jo sopan, setelahnya ia mengisyaratkan aku untuk kembali mengikutinya.
Aku menurut, berjalan melewati kursi pria itu yang sedang memejamkan mata. Kulirik otot keras yang terpampang membentuk kotak-kotak di perutnya. Seketika, lututku terasa lemah tak berdaya. Aku mendengus jengkel, dasar lutut murahan.
Jo membawaku ke sebuah kamar luas yang terasa begitu kosong karena hanya terisi sebuah kasur king size di tengah ruangan, satu buah lemari kecil di sebelahnya, serta ruang bersekat yang kuduga adalah walk in closet.
"Ini adalah kamar Tuan Max," ujar Jo, membuyarkan fokusku dalam hal meneliti isi ruangan ini. Aku mengernyit, jadi pria tadi bernama Max.
"Jangan sesekali menyentuh apa pun di sini tanpa seizinnya," tambah pria itu lagi.
Aku mengangguk, lagipula memang tak ada hal menarik yang menggoda untuk kusentuh.
"Tugasmu adalah datang setiap jam lima pagi, menyiapkan keperluan Tuan Max sebelum berangkat bekerja, termasuk membuat makanan untuknya. Setelah dia pergi, kamu boleh pulang, tapi ketika sore hari kamu harus kembali dan menyiapkan keperluan serta makan malam untuk Tuan Max, dan kamu boleh pulang setelah dia tertidur atau dirinya sendiri yang menyuruhmu untuk pulang. Paham?" ujar Jo panjang lebar.
Aku yang mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut pria itu merasa tercengang. Kenapa pekerjaanku lebih mirip tugas seorang istri? Lagipula kenapa bayi besar itu tak melakukan hal itu sendiri, menyiapkan keperluan saat ia pergi ke kantor bukanlah hal sulit, jika menganai sarapan atau makan malam sudah pasti ada pelayan yang ia gaji di rumah ini. Lalu, keberadaanku sekarang untuk apa?
"Apa kamu mengerti?" Suara pria itu terdengar lebih tajam, mungkin karena aku yang masih bungkam tak memberi jawaban.
Aku menarik napas panjang. "Kenapa tugasku aneh sekali?" tanyaku heran.
Dia mengangkat sebelah alis. "Bagian mana yang kamu anggap aneh?"
"Maksudku ... maksudku kenapa pekerjaanku malah seperti tugas seorang istri?" cetusku akhirnya.
Jo mengerutkan dahi, pandangannya menghunus tajam. "Jangan mimpi!" dengusnya, mulai terlihat jengkel.
Hei, aku tak sedang ingin bermimpi. Tipe pria idamanku adalah yang baik dan penyabar, sangat berbanding terbalik dengan sikap pria tadi yang tak jauh seperti kelakuan iblis.
"Kamu bisa mulai bekerja besok," ujarnya, lalu bersiap meninggalkanku. Mau ke mana dia? Aku tak tahu jalan keluarnya.
"Hei, apakah upah yang kuterima benar seperti yang tertera di kontrak?" tanyaku memastikan. Aku tentu tak mau setelah mengambil resiko sebesar ini, tapi upah yang kuterima tidak sebanding alias mengecewakan.
Lagi-lagi ia mendengus, tatapannya terlihat tajam. "Tuan Max tidak akan pernah berbohong soal itu," sahutnya ketus.
Aku mencebikkan bibir, kenapa dia langsung merasa tersinggung? Aku kan memang harus berhati-hati, jaman sekarang ini banyak penipu di mana-mana, bukan hanya dari kalangan biasa saja, melainkan orang kaya pun melakukannya.
"Satu hal lagi," ucapnya sambil berbalik, kembali menatapku dengan mata tajam. "Kau harus merahasiakan dari siapapun kenyataan bahwa Tuan Max buta," ujarnya dingin.
Seketika aku terpaku, dengan hati mendadak ngilu. Pria dengan rupa sesempurna itu ternyata memiliki kekurangan yang sangat memprihatinkan. Sugguh aku tak mengangka hal itu. Pantas saja ia memerlukan pelayan untuk mengurus segala keperluannya.
*****
To Be Continued
Jangan lupa follow Instagram aku : itsayutarigan
Thank you.
Chapter 54Author’s POVThe night after Sisi caught the shadow of a man lurking in her house, she couldn’t sleep. She sat upright, staring at the faint outline of Ryan curled up peacefully on the couch. Her heart was heavy, tangled between suspicion and fear. But as the morning sun crept through the curtains, the man was gone leaving behind nothing but the cold reminder that she wasn’t safe.Determined to distract herself, Sisi decided to take Ryan shopping the next day. Maybe, she thought, the mall would drown her mind in noise and colour.Ryan was the first to brighten the moment. Holding Sisi’s hand, he tilted his head and smiled softly.“Don’t worry, mum,” he said in his innocent voice. “Even if bad people come, I’ll always protect you. You and aunt Camila… you’re my family.”Her heart ached. She pulled him close and kissed his forehead.“You’re just a child my little boy,” she whispered. “You shouldn’t have to protect anyone. It’s me who should protect you.”Ryan shook his head w
Chapter 53Camila’s POVThe numbers circled in my head like vultures around dying prey. Eight million. It wasn’t small—not the kind of sum I could ever pull together without questions being asked, without sacrifices that would shine a blinding spotlight on me.I sat at the corner of my room, knees pulled to my chest, the moonlight slashing across my face. The demand replayed in my mind again and again. Whoever those people were faceless, terrifying they were serious. And if I didn’t act, someone else would pay.My first thought had been Roderick. His name always split me in two—anger on one side, longing on the other. He had the money, the power, the means. But what would I tell him? That strangers were threatening me? That I needed millions overnight? He’d never give it quietly. He’d question, investigate, drag the whole house into the storm.No. I couldn’t risk it.My mind shifted. Adrian.Adrian wasn’t perfect—he could be cold, distant, a man who carried his emotions like armor. Bu
Chapter 52 Author’s POV The Clastu mansion had grown unusually quiet since the parents left two days ago. But in the silence, darkness brewed. Precillia and Aria had been meeting old friend and dangerous connection in hushed tones, their faces pale with malice, their whispers laced with venom. Ryan’s existence had become the center of their twisted plan. “We’ll end it,” precillia muttered one night, her eyes cold. “We’ll end him… and she will take the blame.” Aria leaned closer, her voice low and steady. “Yes. Camila will suffer, not just lose her name, but her soul. No one will believe her again after this, and Roderick, Roderick will be all mine. The fact am willing to do anything for that handsome man and his wealth shows how much am in love with him.” Aria said with a self prasing tone and a smile on her face. Their plan was precise, heartless. Before striking Ryan, they needed bait—someone who could drag Camila right into their trap. For a while, that have been keeping a ver
Chapter 51Author’s POVThe Clastu family’s convoy of black cars pulled up to the quiet street, their polished exteriors reflecting the late afternoon sun. It was supposed to be a visit of comfort, of unity or at least that was how Aria had painted it when she suggested the idea. But beneath her sweet expression, a darker satisfaction bloomed.From the backseat of one of the cars, Aria’s sharp eyes caught sight of a figure storming out of Roderick’s house.It was Sisi.Her face was pale but streaked with redness from tears, her expression twisted in pain and fury. She clutched Ryan’s small hand tightly, the boy trailing beside her, his little face confused and tear-stained. Sisi walked fast, her shoulders stiff, her free hand gripping her car keys as if they were the only thing tethering her to the present moment.Aria tilted her head slightly, lips curving into a sly smile. Precillia, sitting beside her, also noticed.“That’s her,” Aria whispered under her breath. “The one Camila cal
Chapter 50Author’s POVAria sat on the edge of her bed in the Clastu mansion, phone in hand, her eyes glinting with satisfaction. She dialed a number, clearing her throat before speaking in a calm, measured voice, perfectly imitating Camila.“Hello… it’s me Camila." She said. The voice on the other hand replied triled to her from her. "Wow Camila. It's been a while. How're you doing." She asked. "I'm really sorry for not reaching out lately but We need to meet, it's really urgent” Aria said softly, glancing at her reflection in the mirror. “Somewhere private. I’ll text you the address.”"Well ok. If it's really that important, I'll be there ok. I'll be expecting the address but I have to go now. See you later Camila." She hung up. A small smile curling on Aria's lips. One step closer. Few minutes later, she walked into the sitting room where the Clastu family except Adrian was gathered. She scanned the environment and saw how everyone was glued with either their phone or documents.
Chapter 49Camila’s POVRoderick’s voice was low, but it cut straight through me. “The last time I saw her like this,” he said, his gaze fixed on the door as though Sisi might appear any second, “was when she was about to jump. That same look… like she’s holding the weight of the world in one hand and a blade in the other.”A chill slid down my spine. I folded my arms across my chest, bracing against the thought.“You mean… she’s dangerous?”He turned, eyes sharp. “Yes. And when Sisi’s in this state, she’s dangerous to herself—and to everyone she thinks has betrayed her.”That last word hung between us like smoke—thick, suffocating, impossible to ignore.The next morning, I found her in the sunroom, the one place in the house too bright for shadows. She sat in the corner chair, staring out the tall windows, a coffee mug in her hand, untouched.I moved toward her slowly, each step feeling like it might set off a mine.“Sisi,” I began, voice softer than I meant it to be, “I just… I want
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Commentaires