Jane kaget, tidak menyangka jika ada orang lain selain dirinya di ruangan itu.
"Siapa kau? Apa kau dalang semua ini?" sergah Jane emosi.
"Kau bicara apa, Nona? Kondisi kita sama, jangan menuduh sembarangan," protes sosok itu pelan. Ia meringis menahan rasa nyeri di belakang kepala yang tiba-tiba terasa menusuk.
Sepertinya selain dibius, ia juga mengalami pukulan di belakang kepalanya.
"Apakah ... Kau juga dalam keadaan terikat?" tanya Jane penasaran.
Ia menoleh ke belakang, mencoba melihat sosok itu tapi percuma. Indra penglihatannya terbatas. Dari posisinya Jane hanya bisa melihat bayangan tubuh pria itu lewat sudut matanya.
"Ya, persis seperti dirimu. Bedanya pakaianku masih lumayan lengkap, sementara kau ...," Sosok itu tidak melanjutkan kata-katanya karena ia yakin Jane pasti tahu kelanjutan kalimatnya itu.
Jane terdiam dengan wajah merah. "Sial, jadi pria ini berbaring terikat di belakangku, memandangi tubuhku
Lindsay tertawa penuh kemenangan melihat Jane yang hanya bisa berseru kaget dengan kedua tangan dan kaki terikat. "Surprise!" serunya kemudian. Tubuh jangkung itu kembali menegakkan punggung, lalu bersedekap dengan angkuh. Sepasang netranya menatap Jane dengan penuh kebencian. Jane mendengkus sambil membuang muka, menolak bertatap muka lebih lama dengan wanita itu. "Tatap mataku, jalang!" Lindsay kembali menundukkan tubuhnya, mencengkram rahang Jane dengan kuat, memaksa tunangan Aaron itu untuk melihat ke arahnya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, Nona. Aku akan buktikan siapa yang lebih pantas mendampingi Aaron. Aku, yang tumbuh bersamanya, atau kau gadis murahan yang telah menghabiskan malam dengan Felipe Calderon?" seringai Lindsay. Lepas berkata itu, Lindsay mengeluarkan tawa lepas penuh kemenangan. Ia merasa rencananya berjalan lancar. Tidak lama lagi ia kembali bisa mendekati pria tampan yang telah menjadi impiann
"Laporan forensik sudah saya terima, Bos," lapor Chris langsung begitu dirinya bertemu Aaron siang itu. Di sebuah private room restoran mewah, Aaron dan Chris menggelar pertemuan rahasia. Jauh dari pandangan orang-orang yang mengenal mereka. Sebagaimana namanya, private room benar-benar memberikan privasi tinggi bagi tamu VIP mereka. Dinding kedap suara, dan layanan khusus yang bisa diminta via intercom. Jadi, tidak akan ada yang bisa masuk ke ruangan itu tanpa izin, dan juga tidak akan ada telinga yang bisa mencuri dengar pembicaraan penting mereka. Aaron sengaja memilih tempat itu agar dia dan Chris bisa bicara dengan leluasa tanpa diketahui oleh orang lain. Sampai detik ini, tidak ada satu pun orang yang tahu jika Jane menghilang secara misterius. "Bagaimana hasilnya?" tanya Aaron tak sabar. "Sesuai harapan kita, Bos. Kamar hotel itu bersih dari sidik jari Jane ataupun Calderon. Begitu juga seprai dan benda-benda lainnya di atas ranja
Jane telah selesai memberikan kesaksiannya, begitu juga Felipe yang ternyata lebih dahulu selesai sejak sepuluh menit yang lalu. "Anda pulang sekarang, Nona Ariest?" tanya Felipe ketika ia melihat Jane dan Aaron melintas di lobby. Serentak Jane dan Aaron menghentikan langkah, menoleh ke arah Felipe yang terlihat datang mendekat. "Ya, Tuan. Saya sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan tempat tidur yang nyaman," kelakar Jane disertai tawa yang renyah. Felipe turut tertawa, ia mengerti apa yang Jane rasakan karena dirinya juga menginginkan hal yang sama. "Ya, kita memang sangat membutuhkan itu saat ini," sahut Felipe. "Maaf jika saya menahan Anda lebih lama. Saya hanya ingin menyampaikan rasa terimakasih saya pada Anda, Nona Ariest. Saya berhutang budi kepada Anda, jadi kapanpun Anda membutuhkan bantuan jangan sungkan untuk menghubungi saya. Dengan senang hati saya akan meluangkan waktu untuk Anda," ujar Felipe, menawarkan niat baik
Aaron menghempaskan tasnya dengan kasar, lalu berjalan mondar mandir dengan sebelah tangan berada di pinggang. Sementara tangan satunya lagi memegang ponsel di telinga kiri. "Ya, tolong ke ruanganku sekarang," titahnya. Selang beberapa menit, sosok yang ditunggu muncul di ruangan berdinding kaca itu. Dia adalah Joshua, sang Manajer HRD, salah satu orang terdekat Aaron. Deru napasnya memburu, terlihat jelas kalau ia segera berlari begitu mendengar titah dari Aaron. "Bagaimana? Kau sudah mendapatkan hasil yang aku minta?" tanya Aaron langsung tanpa basa-basi. "Saya masih mengumpulkan datanya, Bos. Janjinya siang ini paling lambat," jawabnya. "Menurutmu ... apakah sesuai dugaan kita?" tanya Aaron lagi. "Saya tidak ingin berandai-andai, Bos. Namun, dari bukti yang terkumpul sejauh ini sepertinya dugaan Anda memang tidak salah." "Baiklah. Kabari aku secepatnya jika kau sudah terima file-file itu semua." Joshua mengangguk, la
Apakah yang paling mengecewakan selain patah hati karena cinta? Mungkin pengkhianatan seorang teman adalah salah satu jawabannya. Teman adalah seseorang yang paling berarti, bahkan terkadang melebihi keberadaan keluarga sendiri. Dengan teman seseorang bisa berbagi banyak hal, sampai hal-hal paling rahasia sekalipun. Teman mungkin bukan orang pertama yang ikut tertawa saat dirimu bahagia, tapi teman selalu jadi orang pertama yang menangis saat dirimu sedang berduka. Teman sejati akan saling peduli dan melindungi satu sama lain. Kali ini Aaron harus menghadapi kekecewaan itu untuk yang ke dua kalinya. Dikhianati dengan begitu keji oleh teman sendiri. Daniel, teman Aaron sejak sama-sama berjuang meraih gelar sarjana, juga teman yang selalu ia andalkan saat membangun TCC di awal-awal dirinya menjadi CEO. Jika dihitung, usia pertemanan mereka mungkin sudah lebih dari dua puluh tahun. Begitu banyak kepercayaan yang telah Aaron curahkan padanya. Begi
Aaron masih berdiri tegak, nyaris tak bergerak di depan makam Kevin Williams. Dia sungguh tidak menyangka jika pria yang selalu ia panggil paman itu mengambil jalan pintas yang begitu tragis untuk mengakhiri hidupnya. "Paman, haruskah berbuat sejauh ini?" bisik Aaron lirih. Ia menyusut sudut matanya yang terasa basah. Ia berlutut, sebelah tangannya mengusap batu nisan itu dengan perasaan bersalah. "Aku tidak bermaksud untuk menghancurkanmu, Paman. Aku hanya ingin memberi peringatan kecil karena kau sudah mengusik ketenanganku. Tapi ... aku juga tidak menyangka jika dampaknya akan sebesar ini. Maafkan aku, Paman." Aaron masih tergugu di depan nisan itu. Beribu rasa sesal memenuhi hatinya, membuat dadanya terasa sesak. "Untuk apa kau berada di sini?!" Tiba-tiba sebuah bentakan terdengar dari belakang Aaron. Aaron kaget, spontan menoleh untuk melihat si pemilik suara. Tepat di belakangnya, Lindsay berdiri mengenakan pakaian serba hita
Alis Aaron spontan bertaut mendengar pertanyaan ayahnya. Jane juga tidak kalah terperanjat, dia menatap Aaron dengan tatapan penuh selidik. "Terlibat dalam kematian Kevin? Apa maksud Papa?" tanya Aaron heran. Benyamin menghela napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang mendadak berdebar lebih cepat. Membicarakan hal yang krusial begini sebenarnya bukan hal yang mudah bagi Benyamin. Apa lagi dirinya dan Aaron jarang melakukan pembicaraan berat. Sejak Aaron menggantikan posisinya sebagai CEO, seolah ada jurang tak kasat mata di antara mereka berdua. Mereka tidak saling membenci, tapi untuk menunjukkan saling cinta juga tak mudah. "Apakah kau yang berada di balik bangkrutnya Williams Foods?" tanya Benyamin lagi. Kali ini pertanyaannya langsung pada pokok permasalahannya. Aaron terdiam, rahangnya bergerak-gerak, sementara sepasang netranya menatap lurus ke arah Benyamin. Namun, ekspresi itu tidak bertaha
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi Jane masih belum bisa memejamkan matanya. Tubuhnya terasa remuk hingga ke tulang. Pangkal pahanya terasa nyeri, organ intimnya lecet dan terasa pedih hingga ke dalam. Sementara kulit di sekitar dada Jane penuh oleh bekas gigitan Aaron. Jane bangkit lalu duduk bersandar di atas ranjang, melirik Aaron yang tertidur pulas di sampingnya. Hati Jane terasa perih mengingat perlakuan Aaron semalam. Dia mendadak menjadi beringas dan kasar. Sedikitpun tidak ada bisikan kasih sayang dari pria itu selama menggaulinya. Sorot mata Aaron hanya menyiratkan dominasi kepemilikan. Lewat aksinya seolah-olah Aaron berkata, Jane adalah miliknya, terserah dirinya akan berbuat apa. Jane meluncur dari ranjang empuk itu, lalu beringsut ke kamar mandi. Semua persendiannya terasa nyeri. Jane tidak bisa menahan laju air matanya saat menatap bayangan dirinya di cermin. Meskipun Aaron adalah calon suaminya, tapi Jane sulit m