Amora duduk gelisah di tepi ranjang rumah sakit. Jemarinya meremas ujung selimut tipis, sementara matanya terus mengarah ke pintu. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagia, ia diizinkan pulang. Namun bayang-bayang kecemasan menggantung berat di dadanya.Bagaimana mungkin ia pulang tanpa membayar satu rupiah pun?Tak ada perhiasan di tubuhnya, bahkan uang receh pun nihil. Baju satu-satunya yang ia kenakan saat masuk ke UGD kini hanya tinggal sisa koyakan dan bercak darah kering.Pintu terbuka perlahan."Halo, Amora. Apa kabar hari ini?"Suara lembut itu milik dokter Andi, pria muda dengan senyum hangat yang tak pernah absen dari wajahnya. Ia melangkah masuk dan segera memeriksa luka di perut Amora.Amora tersenyum kecil, mengangguk sopan."Baik, Dokter," ucapnya pelan. "Ada keluhan?" tanya dokter Andi sambil menyibak perban dengan hati-hati."Masih agak pedih, Dok..." jawabnya, nyaris berbisik. Ia merasa bersalah karena mengeluh. Seharusnya nyeri itu disembunyikan karena ia tak sanggu
Sudah tiga hari berlalu, namun kondisi bayi Amora masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Tubuh kecil itu terbaring lemah diruang NICU. Namun ia masih tetap bertarung melawan takdir.“Apa yang sebenarnya terjadi pada malaikat kecilku?” batinnya lirih. Ia hanya bisa menunggu, menanti hasil uji laboratorium dan kabar dari dokter yang rasanya tak kunjung datang.Amora duduk diam di tepi ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap menu makan malam yang tak disentuh. Rasanya makanan pun tak punya rasa. Besok ia dijadwalkan keluar dari rumah sakit, tapi benaknya dipenuhi satu pertanyaan besar: apakah pihak rumah sakit akan mengizinkan ia pulang tanpa membayar biaya perawatan terlebih dahulu?Bingung, cemas, dan takut bercampur aduk dipikirannya. Anak yang sakit, tagihan yang menumpuk, dan kesendirian yang menampar tanpa belas kasihan.“Maaf Nak, apa kamu tidak punya suami?” suara seorang wanita tua dari ranjang yang berhadapan dengan Amora bertanya. Pertanyaan wanita itu menembus lamun
Air mata yang tadi sudah reda kembali mengalir, diam-diam dan tanpa suara.Amora cepat-cepat menghapusnya, mencoba sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan yang tiba-tiba kembali mencuat. Pemandangan itu sangat indah. Seorang anak kecil menggandeng ayahnya dengan penuh kasih. Hal seperti ini mustahil dirasakan oleh putranya. Bahkan mungkin takkan pernah sama sekali. Putranya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menggenggam tangan seorang ayah.“Kakak Amora!” Suara ceria itu memecah lamunannya. Amora menoleh, tersenyum samar sambil melambaikan tangan. Ia kembali mengusap matanya, memastikan tak ada jejak tangis yang tertinggal.“Kamu lagi ngapain?” tanyanya ketika gadis kecil itu sudah berada di hadapannya.“Aku kasihan sama Daddy. Dia cuma diam di kamar. Jadi aku ajak keluar. Sore-sore begini enaknya duduk di taman, biar segar!” jawab gadis itu, ceria seperti biasa.Amora tersenyum, mengangguk pelan. “Kalau cuma di kamar terus, kapan sembuhnya?” ucapnya, dengan nada menggoda.“Aku juga u
Langit sore tampak murung, seolah ikut merasakan perasaan Amora. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun yang mulai menguning. Ia duduk di bangku taman yang sepi, memeluk tubuhnya sendiri seakan hanya itu yang bisa memberinya kehangatan.Matanya masih sembab, meski ia sudah berusaha keras menyembunyikan luka itu. Tangis yang selama ini ia tahan, sudah terlalu sering mengalir tanpa diminta. Ia datang ke taman ini dengan harapan bisa menenangkan pikirannya, mencari sedikit saja ruang untuk bernapas.Namun kenyataan seperti selalu mengejarnya. Ponselnya berdering, dan suara di seberang sana langsung membuat dadanya kembali sesak. Suaminya. Suara yang dulu ia rindukan, kini terasa seperti pisau yang mengiris perlahan.Ia menepuk-nepuk dadanya, mencoba menahan perih yang mencakar dari dalam. Napasnya berat, nyaris tersengal.“Kenapa kamu tega...?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menetes, meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan.Semua sikap m
Amora mematuhi setiap nasihat dokter. Ia rutin memompa ASI setiap 2 jam sekali. Wajahnya berseri-seri saat melihat hasil perahannya. Air susu sumber kehidupan untuk bayinya, memenuhi botol hingga 50 mililiter. Baginya, ini adalah sebuah keajaiban kecil. Biasanya ia hanya mendapat sepuluh mililiter paling banyak. Kali ini, jumlahnya berlipat ganda. Dengan penuh semangat, Amora meninggalkan kamarnya menuju ruang perawatan bayi. Namun langkahnya terhenti, seorang perawat melarangnya masuk. Bayinya sedang dalam tindakan medis.Dari balik kaca pintu, Amora melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Tubuh mungil anaknya tampak kejang. Jantungnya seakan diremas. Meski tak diizinkan masuk, pandangannya tak lepas dari si kecil.“Nak, jangan tinggalin Mama, Mama kuat karena kamu. Kamu ingat kan, bagaimana kita berjuang bersama?” bisiknya lirih, seolah berharap kata-katanya bisa menembus kaca dan menjangkau hati bayinya.Sepuluh menit berlalu dalam diam yang menyesakkan, hingga akhirnya p
Amora kembali ke kamar rawatnya. Dengan sangat hati-hati ia turun dari atas kursi roda dan kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia baru saja melihat bayinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya penuh cinta dan harapan. Namun melihat putranya terbaring di ruang NICU dengan begitu banyak alat medis menempel di tubuh mungil itu, hatinya terasa diremas. Ada bahagia, tapi juga luka yang menganga. Perasaannya kacau. Satu demi satu masalah datang, silih berganti, tanpa jeda, tanpa solusi. Dua hari dirawat di NICU saja biayanya sudah menembus sembilan juta rupiah. Itu belum termasuk ongkos persalinan yang belum ia lunasi. Pikirannya berputar-putar, kepala terasa berdenyut dan nyeri setiap kali mengingat tagihan yang menumpuk. Ia memandangi kotak yang berisi alat pompa asi. Benda ini merupakan barang mewah untuknya. Jangankan untuk membeli pompa asi elektrik, membeli pakaian bayi untuk anaknya saja, Amora tidak mampu. Tapi ya sudahlah, Amora akan memikirkan masalah ini nanti. Yang pen