Amora duduk di atas kursi roda. Dan seorang dokter mendorong kursi roda tersebut. Dokter itu membawanya ke ruang pemeriksaan. Napasnya sedikit terengah, tubuhnya begitu lemah. Namun tetap saja ia begitu sangat bersemangat. Begitu sampai, ia berbaring perlahan di ranjang periksa. Dingin ruangan langsung menyentuh kulitnya, tapi rasa perih di perutnya jauh lebih menusuk.“Apakah ada yang tidak nyaman?” tanya sang dokter dengan suara tenang, namun sorot matanya berubah begitu melihat wajah pucat Amora.Alih-alih menjawab, Amora malah balik bertanya, “Saya akan mendonorkan hati, biaya pengobatan sebelum donor dilakukan, apakah itu jadi tanggungan saya sendiri?”Dokter menggeleng, sedikit terkejut dengan arah pembicaraan. “Tidak. Semua biaya ditanggung oleh pihak penerima donor.”Barulah Amora menghela napas lega. Ketegangan di wajahnya sedikit luluh, tapi tak sepenuhnya hilang. “Dok, bekas operasi saya, terbuka lagi.”Ia tak sanggup menahan nyeri itu. Darah yang mengalir dari perutnya s
"Ada pendonor yang bersedia mendonorkan hatinya."Perkataan Dokter Bram menggema di ruangan seolah waktu terhenti. Alvaro dan Yurika saling berpandangan, antara percaya dan tidak. Sudah terlalu sering kabar semacam ini datang seperti embusan angin, menggugah harapan lalu pergi meninggalkan kehampaan.“Sudah dilakukan pemeriksaan?” tanya Yurika pelan, suaranya nyaris bergetar. Harapan itu kembali tumbuh dalam matanya, meskipun ia tahu betapa kejamnya kenyataan sering mematahkan mimpi mereka.“Pendonor baru datang tadi pagi,” jawab Dokter Bram. “Tim medis sedang bersiap melakukan rangkaian tes. Tapi, kondisi pendonor cukup lemah. Kami tidak bisa melanjutkan prosedur apapun sampai ia pulih sepenuhnya.”Sejenak, tidak ada yang bicara. Harapan yang sempat muncul kini kembali dibungkus kekhawatiran. Wajah Yurika menggelap, senyum tipisnya runtuh perlahan.“Kalau begitu, kapan kami tahu hasil kecocokan hati itu?” tanya Alvaro. Kali ini suaranya lebih tenang, hampir datar. Ia sudah terlalu se
"Aku mau saja menikah, tapi apa ada perempuan yang rela jadi janda dalam hitungan bulan?" Alvaro berkata lirih, matanya menatap kosong pada wajah ibunya.Kalimat itu menggantung di udara, menghantam seperti palu godam ke dada Yurika. Sejenak ia tak bisa bicara, hanya bisa menatap anak laki-lakinya dengan perasaan getir yang nyaris tak bisa ditahan. Ia tahu betul kondisi Alvaro. Tapi mendengar langsung, dengan suara sepasrah itu, membuat dadanya sesak, seakan digerogoti dari dalam.Hening menyelimuti ruangan. Napas-napas berat seperti suara lonceng duka yang pelan-pelan berdentang di kepala mereka.Tiba-tiba suara bening memecah keheningan itu."Oma, Oma tahu nggak? Beberapa hari lalu, aku hampir diculik," kata Zolin tiba-tiba sambil melompat ke pangkuan sang nenek."Apa?!" Yurika nyaris menjerit.Wajahnya berubah pucat seketika. Jemarinya langsung memeluk tubuh mungil cucunya dengan refleks, seakan hendak melindungi gadis kecil itu dari bayangan apa pun yang mengancam."Iya Oma, dua o
Mata Amora terbuka lebar ketika mendengar penjelasan dari sang dokter. 400 sampai 700 juta?" "Iya."Amora mulai menghitung-hitung jika 700 juta, itu artinya putranya bisa menyelesaikan pengobatan pasca operasi. Amora ingin putranya benar-benar sembuh total."Di Singapura, untuk hat, harga jualnya tinggi. Hanya saja tetap hati harus di uji terlebih dahulu, apakah hati kamu miliki cocok dengan hati penerima donor.Amora mengangguk kan kepalanya. 700 juta itu sudah sangat besar untuknya. "Dokter, kalau bisa saya minta tambah lagi dengan si penerima donor. Sekitar 800 juta, apa boleh?" Bukan berniat untuk serakah. Tapi biaya anaknya sangat besar. Dan dia pun membutuhkan uang. Setidaknya menjelang mendapatkan pekerjaan dan sampai tubuhnya benar-benar pulih untuk memulai pekerjaan yang baru. Bercerita tentang pekerjaan, Amora merasakan dadanya yang berdenyut nyeri. Sampai sekarang ijazah yang dimilikinya masih berada di rumah Randy. Apakah ijazah miliknya juga sudah dibuang oleh mereka?
Malam itu begitu dingin, namun bukan udara yang membuat tubuh Amora menggigil. Ia duduk di kursi roda, sendirian, di ruang tunggu yang sunyi dan menyisakan aroma disinfektan menyengat. Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit tak mampu mengusir kegelapan yang merayap di dalam hatinya.Ia tidur sambil duduk, atau lebih tepatnya berusaha tidur. Tapi nyeri di perutnya seperti cakar yang tak henti mencabik. Luka bekas operasi yang belum sempat pulih sepenuhnya masih mengalirkan darah, walau tak sederas sebelumnya. Amora mengintip ke bagian perutnya. Plaster yang dipakainya sudah basah dengan darah. Padahal Dewi tahu bahwa ia baru saja melahirkan secara Caesar. Namun dengan kejam wanita itu menendang bagian perutnya. Dari sikap yang ditunjukkan mantan mertuanya itu, tampak jelas bahwa Dewi ingin membunuh Amora.Rasa sakit itu seharusnya menumpulkan pikirannya. Tapi justru membuatnya makin sadar akan kenyataan. Bayinya masih di NICU, detak jantungnya rapuh, hidupnya bertumpu pada mesin dan w
"Permisi dokter Atar, maaf Papa saya mengganggu?" Amora berkata ketika sudah membuka pintu ruang praktek dokter tersebut. Dokter Attar yang sedang sibuk membaca laporan tentang pasiennya, memandang ke arah Amora. " Tidak, silakan masuk. " Dokter itu menjawab dengan kening berkerut. Sebagai seorang dokter dia bisa membedakan mana kondisi tubuh yang sehat dan mana kondisi tubuh yang buruk. "Ada apa Dok, apakah kondisi putra Saya baik?" Amora bertanya dengan wajah tersenyum. Dia berharap mendapatkan kabar baik saat ini. Setidaknya kabar itu bisa membuat hatinya bahagia. Dokter itu tidak langsung menjawab namun dia memandang Amora. " Apa kamu baik-baik saja? "Dengan cepat Amora menganggukkan kepalanya. Kondisinya sangat menyedihkan. Tidak memiliki uang sama sekali. Jika harus manja dan mengatakan kondisinya saat ini, bisa-bisa biaya rumah sakit akan bertambah. Dan mungkin saja dokter itu akan menyarankannya untuk kembali dirawat. Begitu banyak kecemasan yang dirasakannya hingga dia