Randy terdiam di depan rumah jelek yang belakangan menjadi tempat tinggal Amora. Sangat sepi, tidak ada satu pun tanda-tanda kehidupan di sana. Pintu dan jendela rapat tertutup. Hatinya diliputi kegelisahan.Jika rumah ini kosong seperti ini, bagaimana jika ular atau binatang liar masuk? Lalu, siapa yang bisa membantu Amora? Bukankah Amora sangat takut ular dan juga tikus? Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepalanya, namun tak satu pun jawaban yang ia temukan. Randy menghela napas panjang, lalu menutup pintu dengan rapat, memastikan kuncinya terkunci sempurna. Tak lama kemudian, ia kembali ke mobil, melajukan kendaraan menuju kantor.Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berkecamuk. Ia baru benar-benar menyadari betapa jauh tempat itu dari pusat kota. Bahkan dengan mobil, butuh tiga jam untuk sampai ke kantornya.Lalu bagaimana Amora pergi ke rumah sakit? Apa masih ada objek online atau taksi online yang mau menjemput penumpang ke tempat sejauh ini?Semua penyesalan datang terl
"Bagaimana kondisi Amora sekarang?" Randy bertanya dengan dirinya sendiri. Ia mengisap rokok dalam satu tarikan napas. Asapnya mengepul, lalu menghilang seperti waktu yang tak bisa diulang. Ketika rokok tinggal separuh, dia mematikan puntung rokoknya di asbak kaca.Satu bulan telah berlalu, setelah perkelahian antar Amora, Dewi dan juga Miranda di rumah sakit. Setelah itu ia sudah tidak pernah bertemu dengan Amora. Beberapa kali ke rumah sakit, ia tidak pernah berjumpa dengan Amora. Apakah Amora sudah sehat?Lalu bagaimana dengan anaknya? Apalagi anaknya hidup?Dengan gelisah, Randy meraih ponselnya. Jemarinya menari cepat, mencari nama yang ia yakin masih tersimpan.“Namanya masih ‘Amora’. Tapi, kenapa tidak muncul?” gumamnya dengan dahi mengernyit.Tak percaya, ia mengetik ulang huruf demi huruf. Tapi hasilnya tetap sama."Dia pasti sudah ganti nomor. Atau memang sengaja memasukkan aku ke daftar hitam." Randy berkata dengan kesal “Dia pasti kembali ke rumah kontrakan itu,” tebak
Setelah menenangkan hatinya, Amora kembali membalik badan dan kemudian tersenyum kearah Zolin dan juga Yurika. "Ini sungguhan untuk saya tante?" Amora berkata sambil memandang kantong yang dibawa oleh Yurika. Yurika tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Jika kamu tidak sanggup membawanya, karena ini berat, biar saya yang angkat. Kamar kamu di mana? ""Sepertinya kuat kok Tante." Amora tersenyum dan berniat mengambil kantong tersebut. "Tidak usah, ini biar tante yang bawa. Ayo kita ke kamar rawat kamu saja biar bisa diletak di atas meja."Amora memandang wajah teduh wanita tersebut. Ia tidak menyangka bahwa wanita yang merupakan Oma dari Zolin itu sangat baik. Tiba-tiba saja Amora teringat dengan Alvaro. Ternyata sifat anak serta ibunya sangat jauh berbeda dengan sikap pria itu. Pria yang dinilainya terlalu dingin."Lain kali tante nggak perlu repot-repot bawa yang seperti ini." Hati Amora begitu sangat senang ketika dibawakan bingkisan seperti ini. Namun dia juga malu jika memp
Amora berdiri di samping inkubator, memandangi wajah bayi kecilnya yang tertidur. Tangannya yang kurus menggenggam jari mungil anaknya, seolah tak rela melepasnya walau sedetik.Matanya sembab, tapi bukan karena lelah semata, melainkan karena terlalu banyak air mata yang tak bisa lagi ia bendung."Sayang, kamu harus kuat, ya," bisiknya lirih. "Mama janji akan lakukan apa pun bahkan jika itu artinya mama harus kehilangan segalanya."Di balik kaca, Yurika memperhatikan pemandangan itu dengan dada sesak. Satu bagian dari dirinya ingin berlari masuk dan memeluk gadis itu. Tapi bagian lain menyadarkannya, Amora belum tahu siapa dia sebenarnya.“Aku tidak tahu hidup bisa sekejam ini pada seseorang,” gumam Yurika, berbicara pada dirinya sendiri.Dokter Bram menoleh padanya, lalu memberi isyarat untuk pergi dari ruang NICU. Mereka berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit."Bu Yurika," ujar Dokter Bram tiba-tiba, "Saya tahu ini semua rumit tapi jika ibu mengizinkan, saya ingin memberitahu s
Kabar baik yang disampaikan oleh Alvaro tidak membawa kebahagiaan bagi Yurika. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya, entah keraguan, kekhawatiran, atau hanya naluri seorang ibu yang belum bisa sepenuhnya percaya.Tanpa menunggu lama, Yurika melangkah ke rumah sakit dengan langkah tergesa namun hati-hati. Ia tak ingin kabar bahagia itu hanya menjadi harapan kosong. Ia harus memastikan sendiri. Maka, ia pun menemui Dokter Bram."Dokter Bram," ucap Yurika dengan suara tertahan, berusaha tetap tersenyum meski dadanya bergemuruh, "Apa benar calon pendonor itu memiliki kecocokan hati dengan anak saya?"Dokter Bram mengangguk pelan. "Benar, Bu Yurika. Setelah penantian panjang, akhirnya kami menemukan pendonor yang cocok. Saat ini kondisi tubuh pendonor belum memungkinkan untuk menjalani operasi, tapi kami sedang mengupayakan peningkatan berat badan dan kestabilan fisiknya dalam dua bulan ke depan."Yurika tertegun. "Dua bulan?" tanyanya, mengangkat dua jari seolah tak percaya."Iya,"
Suasana di ruang ICU terasa begitu hening, seolah semua yang hadir di dalamnya tengah menahan napas. Di balik dinding kaca inkubator, seorang bayi mungil sedang berjuang dengan segenap tenaga kecilnya. Bayi itu menghirup udara tanpa bantuan selang oksigen. Napasnya naik turun pelan, tak beraturan, namun penuh tekad.Amora berdiri di sisi inkubator, memandang putranya dengan mata yang dipenuhi air mata dan harapan. Ia menyentuh kaca pelindung, seakan sentuhannya mampu menyalurkan kekuatan untuk si kecil.Dokter Attar, yang berdiri tak jauh darinya, tersenyum sambil mengusap kepala bayi laki-laki itu dengan lembut."Ayo nak kamu harus bisa bernapas tanpa selang, ya. Lama-lama pakai selang, hidung kamu bisa pesek. Gantengnya nanti hilang," ucapnya setengah bercanda, berusaha mencairkan suasana.Amora ikut tersenyum, meski dalam hatinya tetap ada kegelisahan. Ia tahu, setiap detik yang dilalui tanpa alat bantu adalah perjuangan hidup bagi bayinya.Bayi itu membuka matanya, lalu menghembus