Setelahnya, tempat tidur Amora didorong cepat oleh perawat.
Begitu melewati ambang pintu, hawa dingin langsung menyergap kulitnya. Bagi kebanyakan calon ibu, ruang operasi adalah tempat yang menegangkan. Namun tidak bagi Amora. Ada cahaya berbeda di matanya ketika berada di dalam ruangan bernuansa hijau itu. Alih-alih cemas, hatinya justru berdebar riang. Di hadapannya terbentang deretan alat medis yang tertata rapi. Dia akan berjumpa dengan anaknya... "Dokter, hasil uji lab pasien sudah keluar. Pasien memiliki golongan darah AB+." Perawat yang datang membawa hasil dari lab langsung memberi informasi kepada dokter Andi. Golongan darah AB, cukup langka. Dokter itu menarik napas pelan dan menghembuskannya secara perlahan-lahan. "Pasien membutuhkan darah 4 kantong. Bagaimana stok di rumah sakit?" Tanya Dokter Andi. Amora terdiam, tubuhnya menegang seketika. Baru saja ia merasakan sangat bahagia karena bisa masuk ke dalam ruangan ini, namun pernyataan dari perawat membuat hatinya kembali gelisah. Apakah semua usaha yang telah dilakukan akan berujung dengan kematian? Bayangan kejadian 2 tahun yang lalu kini kembali muncul dalam ingatan Amora. Ketika Randy mengalami kecelakaan, tidak ada stok darah untuknya. Karena golongan darahnya termasuk langkah, AB+. Dengan penuh keikhlasan Amora datang dan menawarkan darahnya untuk menyelamatkan nyawa pria tersebut. Rasa cinta yang besar, rasa takut kehilangan membuat dia rela untuk memberikan darah sebanyak apapun yang dibutuhkan. Dia bahkan tidak memikirkan keselamatannya sendiri. Namun kini ia kehilangan banyak darah. Apakah suaminya itu mau melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan dulu? Tidak, suaminya itu tidak akan memberikan setetes pun darahnya. Bahkan dia tidak akan mau tahu seperti apa kondisinya saat ini. Bodoh sekali jika Amora masih berharap dengan orang itu. "Hanya ada tersisa satu Dok. Saya sudah coba menghubungi PMI, dan ternyata di sana tidak ada stok darah golongan AB. Saya juga sudah mencoba mencari ke rumah sakit yang lain, hasilnya sama. " "Apa bisa keluarga pasien mencarikan pendonor dengan golongan darah AB+?" tanya dokter Andi. Namun, dokter itu kemudian diam ketika dia baru teringat bahwa pasien tidak memiliki keluarga. Suami juga tidak perduli dengan kondisinya. Amora adalah pasien yang mendapatkan prioritas tinggi dari tim dokter dan juga perawat. Karena operasinya langsung dikawal oleh dokter Eliza. Mereka akan berusaha untuk melakukan hal terbaik. "Saya AB, saya akan donorkan darah untuk pasien. " Lagi-lagi ucapan dokter cantik itu bagaikan angin yang menyejukkan di saat panas terik. Dokter Eliza selalu memberikannya kesempatan hidup di saat dia sudah rela untuk mati. "Baik dokter Eliza, silakan ke ruangan laboratorium untuk mengambil darah," kata perawat. Eliza menganggukkan kepalanya dan mengikuti perawat tersebut. Setelah nanti dia menyelesaikan proses persalinan, bagaimana caranya membalas Budi dari dokter Eliza. Andaikan memiliki umur yang panjang, Amora pasti akan berusaha untuk membalas jasa dokter tersebut. Tak lama, Amora pun mulai menjalani proses sebelum pembedahan. Perawat memasang kateter yang ternyata memberikan rasa yang cukup sakit. Namun tetap saja rasa sakit ini tidak seberapa baginya. Setelah memasang kateter dilanjut kembali memasang infus. Karena tadi Amora sudah sempat mencabut selang infusnya. Setelah tim medisnya lengkap dan Amora disuntik Anastasia barulah proses pembedahan dilakukan. Meskipun suasana hening, dokter tetap mengajaknya untuk bercerita. Menanyakan tinggal di mana, usia berapa dan sebagainya. Proses demi proses berjalan hingga bayi yang dinantikan keluar dari belahan perutnya. Bayi itu lahir tanpa suara. Bisa dikatakan bayi itu sudah dalam keadaan pingsan. "Dokter, bagaimana dengan anak saya?" Amora sangat takut ketika melihat kondisi bayinya. "Bayi anda akan langsung dibawa ke ruang nicu. Anda tidak perlu cemas. Bayi anda terlalu lama mendapatkan pertolongan," jelas dokter Andi. "Tapi bayi saya tidak apa-apa kan dok?" Amora bertanya dengan cemas. "Dokter anak akan langsung memeriksanya." Dokter itu berkata dengan tenang. Gegas, Bayi Amora dibersihkan dengan cepat dan kemudian dilarikan oleh perawat untuk mendapatkan perawatan intensif di ruang NICU . Sebagai seorang ibu Amora sangat mencemaskan anaknya. Jika bayinya tidak selamat maka dia pun sudah tidak bersemangat untuk hidup. Sementara itu.... Di rumah sakit yang sama, seorang pria bertubuh tinggi dan tegap tampak sibuk menatap layar laptopnya di sebuah ruang rawat. Tubuhnya terlihat sehat, hanya selang infus di tangannya yang menandakan bahwa ia sedang sakit. Meski dalam kondisi sakit, pria itu tetap mengerjakan pekerjaannya dan memantau perkembangan perusahaannya. Banyak yang menganggapnya gila kerja, namun sebenarnya bukan itu penyebabnya. Ia hanya sedang mengalihkan fokus hidupnya sepenuhnya pada pekerjaan, sebuah pelarian dari kenyataan yang menyakitkan. Setiap kali ia mengingat bagaimana mantan istrinya mengkhianatinya, kondisinya semakin memburuk. Dokter bahkan telah memvonis hidupnya hanya tersisa sekitar delapan bulan, kecuali jika ia segera mendapatkan donor hati. Saat ini, yang membuatnya masih bisa duduk dan bekerja hanyalah bantuan obat-obatan dan alat medis. Mencari pendonor hati bukanlah hal mudah, bahkan untuk seseorang yang memiliki banyak uang sekalipun. Kesesuaian hati tetap menjadi syarat utama. golongan darah AB+, yang membuat ia sulit mendapatkan pendonor. Pria itu bernama Alvaro Dominic, berusia 32 tahun. “Daddy...” Suara lembut seorang gadis kecil terdengar dari pintu kamar. Seorang anak perempuan cantik masuk, dengan rambut cokelat sebahu dan bola mata kecokelatan. “Hai, sayang. Bagaimana kabarmu?” Alvaro meletakkan laptop di meja, lalu mengangkat tubuh mungil putrinya yang berusia lima tahun dan memangkunya. Semangat hidupnya sepenuhnya terdapat pada gadis kecil itu. Apa pun yang terjadi, ia akan berjuang untuk tetap hidup, demi buah hatinya. “Aku baik sekali, Daddy. Kapan Daddy pulang ke rumah?” tanya sang putri sambil memandang wajah Alvaro. Setiap hari, gadis kecil itu datang menjenguk ayahnya di rumah sakit. Ia selalu pulang menjelang malam, karena Alvaro tidak ingin putrinya tidur di rumah sakit yang pasti membuatnya tak nyaman. “Mungkin sebentar lagi, Daddy sudah bosan di sini,” jawab Alvaro dengan ekspresi dibuat-buat sedih. “Daddy jangan sedih. Aku akan sering datang ke sini. Daddy di sini tidak apa-apa, yang penting Daddy harus sembuh,” ucap gadis kecil itu penuh perhatian. Meski baru berusia lima tahun, ia sangat cerdas dan pengertian. Ibunya sudah lama pergi, dan ia tidak ingin kehilangan ayahnya juga. Sejak saat itu, ibunya tak pernah pulang atau sekadar menjenguk. Alvaro tersenyum dan mengangguk. Zolin, nama gadis kecil itu, memang luar biasa. Di usianya yang masih sangat kecil, ia seakan paham betul kondisi ayahnya. “Mau makan sesuatu?” tanya Zolin. Alvaro menggeleng pelan. penyakit yang ia derita membuatnya harus menjaga makanan. bahkan makanan favoritnya sudah lama tak bisa disentuh, digantikan oleh menu khusus dari rumah sakit. “Apa Daddy mau minum kopi?” Alvaro tersenyum memandang putrinya. Meski baru lima tahun, Zolin sangat perhatian, bahkan cerewet soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ayahnya. Sayangnya, bahkan kopi pun sudah tak bisa lagi disentuh. Alvaro hanya mengkonsumsi air putih dan susu khusus. agar tubuhnya tidak begitu lemes. “Kamu sudah sarapan tadi?” Zolin mengangguk ceria, senyum manisnya mengembang, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Gadis kecil itu adalah alasan Alvaro tetap bertahan. Putrinya masih terlalu kecil dan sangat membutuhkannya. Jika ia tiada, siapa yang akan menjaga Zolin? Apakah ia harus mulai memikirkan ucapan sang ibu untuk mencari istri sekaligus ibu untuk putrinya? Jika Zolin memiliki ibu pengganti, putri kecilnya itu tidak akan kesepian seperti ini. Namun mencari ibu pengganti bukanlah hal yang mudah.Begitu banyak wanita yang mau menjadi istri Alvaro, hanya karena harta kekayaan yang ia miliki.
Adakah ibu yang baik dan menyayangi Zolin dengan tulus di luar sana?
***Randy berdiri memunggungi Diki, menatap keluar jendela dengan rahang menegang.Tangannya mengepal, jemarinya tampak bergetar menahan emosi yang sudah terlalu lama ia tekan. Jika tidak memikirkan bahwa dokter itu sahabat baiknya, ia pasti sudah menendang pria itu keluar.“Aku tidak ada hubungan apa pun dengan anak itu,” suaranya serak, tapi tajam seperti bilah pisau.Ia berbalik, menatap Diki dengan mata penuh kemarahan, luka serta kecewa.“Kenapa aku harus mempertahankannya, hah? Untuk apa?”Diki menghela napas panjang, lalu duduk di kursi berhadapan dengannya.Ini sudah kali kedua ia datang membicarakan hal yang sama, dan entah kenapa, Randy justru terlihat semakin keras kepala.“Randy…” katanya dengan nada hati-hati. “Aku hanya ingin kau mempertahankan hak asuh itu, setidaknya sampai prosesnya selesai. Setelah itu, aku yang akan mengurus anak itu. Aku yang akan menjadi walinya, dan dia akan berada di bawah pengawasanku.”Diki sangat prihatin melihat nasib bayi malang tersebut. Pada
Suasana di ruang tamu mansion sore itu begitu tenang namun juga hangat. Ikato duduk di sofa besar, sambil memangku Emran. Bayi itu tampak ceria, jemari mungilnya tak henti mencubit dagu sang kakek buyut, saat mendengar Ikari menjerit dan berpura-pura sakit. Bayi tampan itu tertawa ngakak. Zolin, yang duduk di samping mereka, menjadi komentator paling cerewet sedunia. “Kakek besar, hati-hati ya! Emran suka gemas,” kata gadis kecil itu sambil menunjuk tangan adiknya. Dan benar saja, Emran tiba-tiba menepuk pipi Ikato dengan telapak mungilnya lalu tertawa lebar, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil. “Tuh kan! Dibilangin!” seru Zolin sambil ikut tertawa. Yurika yang sedang menyiapkan teh di meja, menoleh sambil tersenyum. “Zolin, jangan menggoda adikmu terus. Biarkan Tuan Ikato menikmati waktu dengan cicitnya.” “Tapi, Oma… Emran itu lucu banget kalau lagi nyengir!” Zolin memonyongkan bibirnya menirukan gaya adiknya. “Begini, Kek! Nih, ‘heheh~’” katanya dengan ekspres
Dihalaman mansion keluarga Alvaro, mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya keluar seorang pria tua berambut putih, langkahnya kokoh, sorot matanya menyala namun teduh. Ikato Ikari, sosok yang sangat disegani dan sangat sulit untuk ditemui. Ikato Ikari, sosok yang disegani, dan begitu sulit dijumpai oleh siapa pun. Namun kali ini pria itu yang datang sendiri sambil membawa kantong berukuran besar. Angin sore berembus lembut, membawa aroma dedaunan dan bunga yang bermekaran. Ikato berdiri lama di depan halaman itu, menatap rumah besar di hadapannya dengan pandangan bergetar. Bibirnya bergetar lirih, mengucap doa yang nyaris tak terdengar. “Semoga hari ini… aku diterima sebagai keluarga.” Suara derit pintu terdengar. Dari dalam, muncul Yurika, mengendong Emran. Di belakangnya berlari kecil Zolin, dengan wajah ceria dan rambut bergoyang ditiup angin. “Tuan Ikato… senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda,” ucap Yurika sambil sedikit membungkuk, menahan haru.
Randy terdiam. Tatapannya tajam menembus sosok pria yang duduk di depannya, penuh rasa tak sabar dan ketegangan yang sulit disembunyikan. “Bayi itu... anak Miranda,” ujar Diki pelan. Dokter itu berhenti sejenak, mencoba memilih kata yang tepat. Namun kalimat berikutnya meluncur dengan berat, “Dan kau, Randy... kau adalah ayah dari anak itu.” Randy langsung menyergah, nada suaranya meninggi. “Anak itu bukan anakku!” Napasnya naik turun, matanya memerah menahan emosi. Diki tak langsung membalas. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Randy dengan sorot yang teduh namun tegas. “Aku tahu, dan aku sudah menduga kau akan berkata begitu.” Randy mengambil selembar kertas yang terlipat rapi dan menunjukkannya ke Diki. “Aku punya buktinya. Hasil tes DNA. Anak itu bukan darah dagingku.” Ia menatap lembaran itu seolah sedang menghadapi seluruh beban hidupnya. “Tidak akan ada perebutan hak asuh, tidak juga hak waris. Semua sudah jelas. Aku akan hapus nama anak itu dari keluarg
Randy masih duduk di ruang kantornya, dengan tatapan kosong menembus gelapnya malam di balik jendela kaca. Lampu-lampu kota Jakarta berpendar samar, tapi tak ada satu pun yang mampu mengusir kegelapan di dadanya. Di atas meja, berkas hasil DNA yang baru saja ia baca masih terbuka. Surat ini akan menjadi bukti di pengadilan. Bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Namun sebelum ia sempat menutupnya, suara pintu berderit pelan. “Randy…” Suara berat namun tenang itu membuat Randy menoleh. Diko, sahabatnya, yang merupakan seorang dokter. Randy berdiri setengah bingung. “Diki? Ada apa?" Diki hanya menghela napas panjang. Wajahnya terlihat tegang. Ia menatap Randy seolah sedang menimbang apakah pria itu siap menerima sesuatu yang jauh lebih berat daripada rahasia DNA yang baru diketahuinya. “Aku datang bukan sebagai dokter, Ran,” ucapnya lirih. “Aku datang sebagai orang yang menyaksikan apa yang kau hancurkan… dengan tangamu sendiri.” Randy mengernyit. “Apa maksudmu?” Diki
“Sayang, kamu sudah mandi, dan sudah wangi.” William tersenyum samar, menyeka peluh di dahinya setelah selesai membersihkan tubuh Miranda dengan lembut. Gerakannya hati-hati, seolah takut wanita itu akan hancur jika disentuh terlalu keras. “Sayang, ayo bangun. Kamu itu paling benci kelihatan berantakan, kan?” Ia mengambil baju pasien yang baru diganti perawat, lalu menatapnya dengan senyum miris. “Coba lihat, modelnya jelek sekali. Pasti kamu bakal protes kalau sadar.” Tangannya gemetar saat memasangkan baju itu ke tubuh Miranda. “Sayang… apa kamu nggak bosan pakai warna yang sama setiap hari? Putih dan biru muda terus. Kamu pasti kangen pakai gaun merah favoritmu itu, ya?” Ruangan ICU sunyi. Hanya terdengar bunyi mesin pemantau detak jantung yang monoton. William duduk di tepi ranjang, matanya menatap wajah Miranda yang pucat. Dulu wajah itu selalu penuh warna, dengan lipstik tajam dan tatapan yang menusuk siapa pun yang menantangnya. Sekarang hanya keheningan dan napas