Share

Bab 4. Pihak Keluarga

Author: Liazta
last update Last Updated: 2025-05-13 11:27:30

"Telepon dari siapa?"

Amora mendengar suara suaminya. Ia tidak akan mempermasalahkan apapun, yang terpenting Randy mau perduli dan datang untuk menandatangani surat persetujuan operasi.

"Ini Mas ada yang ngaku jadi istri kamu, kamu disuruh menandatangani surat untuk perempuan itu operasi. "

Semua yang berada di dalam ruangan mendengar percakapan dua orang dari dalam sambungan telepon.

"Nggak usah dilayani, bilang aja sama mereka kalau perempuan itu mati baru hubungi aku," kata Randy.

"Dengar sendiri kan suami saya ngomong apa. Kami tidak ada urusan dengan perempuan itu. Mungkin saja perempuan itu gila." Telepon kemudian diputuskan secara depiy.

Hening mencekam. Semua mata mengarah pada satu titik. Tatapan mata itu mengisyaratkan berbagai macam pertanyaan.

Istri sah, wanita itu adalah istri sah dari Randy?

Itu artinya wanita itu dinikahi secara resmi.

Amora baru teringat bahwa dia menikah dengan Randy hanya secara sirih. Pada waktu itu kondisi Randy dalam keadaan cacat. Setelah sembuh pria itu tidak mengurus surat nikah secara resmi. Bahkan sampai sekarang statusnya masih istri sirih.

Apakah ini artinya ia tidak memiliki hak untuk meminta tanggung jawab?

Bahkan kertas yang menyatakan bahwa mereka sudah menikah secara agama pun tidak dibawa oleh Amora. Semuanya tertinggal di rumah mertuanya.

Selama menjadi istri Randy, begitu banyak luka yang dia terima. Namun mengapa luka ini yang terasa begitu sangat sakit?

Di sisi lain, Dokter Andi masih terkejut dengan apa yang telah terjadi. Apakah benar wanita ini sedang berbohong? Ataukah perempuan ini memang orang gila

"Maaf Mbak, orang yang Mbak akui suami sepertinya tidak bisa menandatangani surat perjanjian operasi. Apa ada pihak keluarga yang bisa dihubungi?"

Amora hanya anak yatim piatu yang tidak memiliki orang tua, sanak keluarga dan juga kerabat.

Pertanyaan dari perawat membuat otaknya kembali berpikir, siapa kira-kira yang bisa menolongnya?

Hanya ada satu orang yang mungkin bisa menyelamatkannya.... sang mertua.

Ini adalah harapan terakhirnya. Ia berharap wanita yang selalu dihormatinya itu masih memiliki rasa kemanusiaan.

Perawat kembali menghubungi nomor yang diberikan oleh Amora. Hanya menunggu beberapa detik panggilan telepon diterima oleh nomor yang dituju.

"Halo," jawab wanita dari seberang sana.

"Halo selamat pagi, apa benar ini Ibu Dewi?" Perawat bertanya dengan sangat ramah.

"Ya ada apa?"

"Saya dari Rumah Sakit Berlian, saat ini menantu Anda berada di rumah sakit."

"Menantu? Sekarang saya bersama menantu saya. Terus itu siapa?" Terdengar suara angkuh dari seberang sana.

"Nyonya Amora mengatakan bahwa anda, ibu mertuanya," jelas perawat.

"Amora? Oh dia itu hanya orang yang menumpang di rumah saya. Keluarga Sanjaya sudah tidak ada hubungan dengan dia. Jika terjadi sesuatu dengan perempuan itu, tidak perlu hubungi saya."

"Tapi Bu, pasien tidak memiliki keluarga lain. Apakah bisa datang ke rumah sakit untuk melihat kondisinya dan juga menandatangani surat pernyataan persetujuan untuk operasi." Perawat itu masih berusaha melakukan negosiasi.

"Saya nggak ada waktu ngurusin itu. Lagi pula jika dia mati, tidak ada urusan dengan saya."

Wanita paruh baya itu ingin lepas tanggung jawab begitu saja.

"Mami, tolong." Belum sempat ia melanjutkan kata-katanya, wanita itu langsung menyahut.

"Idih! Nggak usah terlalu banyak berharap, Amor."

Tut!

Wanita itu kembali menutup panggilan telepon tanpa menunggu Amora menjelaskan.

Amora terdiam sudah hampir satu jam terbaring dan dokter tidak bisa melakukan tindakan untuknya.

Perawat hanya diam ketika melihat sambungan telepon yang sudah terputus.

"Apa Mbak beneran istri dari Randy Sanjaya?" Perawat itu mulai ragu bertanya sambil memandang Amora.

 "Dua tahun yang lalu kami menikah. Hanya saja saya dinikahi secara sirih."

Amora tidak ingin orang-orang beranggapan bahwa anak yang di dalam perutnya, anak haram. Meskipun tenaganya sudah sangat lemah, ia mencoba untuk tetap berjuang.

"Tadi saya melihat suami saya ada di depan. Saya akan menemuinya." Dengan kaki gemetar Amora turun dari atas tempat tidur.

Kondisinya sudah seperti ini, tidak mungkin lagi bisa menunggu. Selagi anaknya masih hidup, ia akan tetap berjuang.

"Tapi kondisi Anda....." Perawat mencoba untuk mengingatkan.

Amora tidak memperdulikan ucapan perawat tersebut. Dengan langkah lemah ia berjalan dan membuka pintu ruang UGD. Dia berjalan ke tempat di mana tadi Randy berada.

Lagi-lagi Amora kecewa ketika melihat tidak ada Randy di sana.

Namun harapan itu belum benar-benar padam. Dengan langkah pelan namun pasti, Amora menuju pintu depan. Tak disangka sebuah mobil hitam terparkir tepat di sana, mobil milik Randy. Ia melihat ibu mertua beserta istri muda suaminya naik ke dalam mobil.

"Mas Randy... Mas Randy!" Amora teriak memanggil suaminya.

Kesempatan terakhir ini tidak boleh dilewatkan begitu saja, Amora berusaha untuk berlari. Namun ternyata mobil sudah melaju lebih dulu.

Sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan, menyerah adalah solusi yang terbaik.

Kondisinya benar-benar sangat lemah, hingga tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.

"Apa Mbak baik-baik saja?" Amora baru sadar bahwa dia tidak jadi terjatuh karena ternyata ada seseorang yang menahan tubuhnya.

Amora memandang ke samping dia melihat sosok wanita yang begitu sangat cantik. Apakah ini adalah malaikat yang datang menjemputnya?

"Mbak Amora, apa suami Anda sudah tidak ada lagi di sini?" Suster yang berada di ruang UGD sudah berada di depan dan memandang Amora. Begitu juga dengan Dokter Andi yang sudah menyusul dan berdiri di dekat Amora.

Amora menggelengkan kepalanya. Ada sedikit rasa bahagia di hatinya karena masih ada orang yang peduli dan juga mengasihaninya.

"Apa yang terjadi?" Wanita cantik tuh bertanya sambil memandang dokter yang berdiri di sampingnya.

"Pasien ini akan melahirkan dokter, hanya saja suaminya tidak mau datang dan menandatangani surat persetujuan operasi. Pasien juga tidak punya keluarga. Dia datang ke sini sendiri." Dokter berkacamata Itu menjelaskan secara detail.

Dokter cantik itu masih menyangga tubuh ringkih Amora. Tatapannya tertuju ke lanta marmar putih yang kini digenangi darah segar. Ini pertanda bahwa wanita itu mengalami pendarahan. Jika tidak cepat ditolong, nyawa wanita ini tidak akan bisa terselamatkan.

Amora menatap dokter dengan tatapan yang penuh harap, tubuhnya gemetar tak terkendali. Suara yang keluar dari bibirnya serak, tercampur antara keputusasaan dan rasa sakit yang luar biasa. "Terima kasih, Dokter, sudah berusaha menolong saya," ucapnya dengan napas yang terengah.

"Jika dokter tidak bisa menolong saya, tidak apa-apa. Tapi tolong, beri saya obat penghilang rasa sakit. Jujur, saya tidak sanggup menahan ini lagi." Kata-kata itu terucap dengan berat, seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan pahit.

Amora tahu waktunya semakin singkat. Tubuhnya yang semakin lemah menjadi bukti bahwa pertempuran terakhirnya sudah semakin dekat. Mimpi untuk melihat anaknya lahir, yang dulu begitu ia perjuangkan, kini tergerus oleh kenyataan pahit. Apa yang ia inginkan sekarang hanyalah sedikit ketenangan, mengurangi rasa sakit yang semakin menyiksa jiwanya. Sebuah doa kecil, memohon agar kepergiannya tidak terlalu menyakitkan, itu saja.

Kata-kata Amora meremas hati setiap orang yang mendengarnya. Meski matahari belum sepenuhnya menanjak, suasana rumah sakit sudah dipenuhi hiruk-pikuk. Banyak pasang mata yang menyaksikan drama yang tengah terjadi di tempat itu.

"Apa tak ada keluarga lain, selain suami?" tanya dokter cantik itu, dengan nada penuh empati.

Dokter Eliza pernah merasakan seperti yang dirasakan Amora. Namun tetap saja, nasibnya jauh lebih beruntung. Pada saat itu ia didampingi suami dan juga ibu mertua.

"Tidak ada, Mbak. Saya yatim piatu," jawab Amora dengan tenang, suaranya lemah namun tegas.

Senyum tipis yang dipaksakan muncul di bibirnya.

"Dokter Eliza, bagaimana?" tanya perawat.

"Siapkan ruang operasi. Berhubung pasien tidak memiliki keluarga, saya akan bertanggung jawab." Dokter cantik itu memutuskan dengan cepat.

"Baik dokter Eliza. "Perawat itu berkata dengan sopan.

Seorang perawat langsung datang sambil membawa tempat tidur. Dan tubuh kurus wanita itu diletakkan di sana.

Amora terdiam. Apakah wanita cantik itu akan menyelamatkannya?


"Jadi, saya akan dioperasi?" tanya Amora.

Eliza pun memandang perawat yang berdiri di sampingnya. "Iya."

Dokter cantik itu kembali berkata, "Tidak usah pikirkan apapun, pikirkan saja keselamatan anakmu." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Farkhani Farkhani
kasar banget sih komennya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, dimana nih rumah sakitnya. koq g masuk akal betul ya. penulis goblok, jgn anggap semua pembacamu goblok dan tolol. koq si amora masih hidup ya?
goodnovel comment avatar
Mi Cha
gak masuk akal aah dah SPT itu..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 336

    Pagi itu, matahari menyapa lembut dari jendela besar mansion milik keluarga Alvaro. Amora berdiri di dapur, mengenakan gaun santai berwarna pastel, tangannya sibuk mengaduk cokelat hangat sambil sesekali menatap perutnya yang mulai membuncit. Usia kehamilannya baru masuk bulan ketiga, tapi Alvaro sudah memperlakukannya secara berlebihan. Seolah dunia bisa runtuh jika Amora sedikit saja lelah. “Sayang, kamu nggak usah berdiri lama-lama,” suara Alvaro terdengar dari balik meja makan. Ia mendekat, membawa nampan berisi buah potong. “Biar aku aja yang lanjut.” Amora tersenyum kecil, menatap suaminya dengan pandangan lembut yang penuh rasa syukur. Kehamilannya yang kali ini jauh berbeda dengan ketika hamil Emran. Dulu dia diperlakukan seperti babu, yang harus mengurus semua kebutuhan suami serta mertuanya. Namun kali ini ia diperlakukan seperti seorang ratu. “Kalau semua kamu yang kerjain, nanti aku malah nggak bisa ngapa-ngapain,” ujarnya sambil tertawa pelan. “Tugas kamu sekarang c

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 335

    Randy menatapnya lama sekali, seolah tak ingin melewatkan satu detik pun yang ada di hadapannya.Tatapan itu bukan tatapan lelaki yang sedang jatuh cinta secara terburu-buru, tapi tatapan seseorang yang menemukan tempat berlabuh setelah sekian lama terombang-ambing di lautan.Bibirnya perlahan tersenyum, dan tanpa banyak kata, ia menggenggam tangan Luna.Luna menunduk sedikit, menatap jemari mereka yang kini saling bertaut. Padahal hanya pegangan tangan, tapi jantungnya sudah berdebar dengan cepat.“Kak Randy…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.Randy hanya menggeleng lembut. “Nggak usah ngomong apa-apa.” Ia menatap mata Luna, dalam dan jujur. “Kadang, perasaan nggak perlu dijelasin. Cukup dirasain.”Luna tersenyum dan kemudian mencubit pinggangnya. “Aku bukan mau bicara masalah perasaan.”“Jadi apa?” Randy tersenyum kecil.Baru saja Luna berniat untuk bicara, namun pria itu sudah menarik tubuh wanita itu dan kemudian memeluknya.“Apapun masalahnya, bisa dibicarakan nanti.”Wajah

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 334

    Hari itu, hujan turun pelan sejak sore.Langit kelabu, udara lembap, dan aroma tanah basah memenuhi halaman rumah milik Luna.Randy datang seperti biasa, membawa payung dan dua kantong belanja. Tapi begitu membuka pintu, langkahnya terhenti.Luna terbaring di sofa, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan, dan keningnya tampak basah oleh keringat.Detik itu juga, dada Randy mencelos.“Luna…” suaranya tercekat, hampir tak keluar. Ia bergegas mendekat, menyentuh kening wanita itu—panas. Terlalu panas.Ia menatap sekeliling, mencari sesuatu, apa pun yang bisa menurunkan demam. Tapi rumah itu begitu sederhana, hanya ada termos kecil dan beberapa bungkus obat batuk di meja.“Kenapa kamu nggak bilang kamu sakit?” tanyanya pelan, nyaris seperti teguran.Luna membuka mata perlahan, menatapnya dengan senyum lemah.“Aku cuma capek… kerjaan lagi numpuk. Lagipula, aku nggak mau nyusahin Kak Randy.”Randy memejamkan mata sesaat, menahan napas. “Nyusahin?

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 333

    Sudah lama Randy tidak merasakan ketenangan seperti ini.Angin sore berhembus lembut, menyingkap tirai putih di ruang tamu rumah milik Luna.Cahaya matahari menembus masuk, menimpa wajah wanita itu yang sedang menyiapkan teh di meja, tenang, lembut, dan sederhana.Tidak ada perhiasan berkilau di tubuhnya, tidak ada riasan berlebihan di wajahnya.Namun entah mengapa, bagi Randy, Luna terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Setiap gerakannya, dari cara ia menata cangkir, menata rambut yang terurai, hingga caranya tersenyum, semuanya menenangkan.“Tehnya sudah pas, nggak terlalu manis,” ucap Luna pelan sambil duduk di hadapannya.Randy hanya menatap, tanpa langsung menyentuh cangkir.“Kamu selalu tahu caranya bikin segalanya terasa damai,” gumamnya tanpa sadar.Luna menoleh, tersenyum tipis. “Mungkin karena aku terbiasa mencari kedamaian, bukan kehebohan.”Kalimat itu sederhana, tapi bagi Randy terdengar dalam.Ia dulu hidup dikelilingi gemerlap, suara bisi

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 332

    Ruang rawat itu berbeda hari ini.Tak ada aroma tajam obat-obatan yang menusuk seperti biasa, hanya wangi lembut bunga lily dan melati yang menghiasi setiap sudut ruangan.Langit-langitnya dipenuhi pita putih, dan di pojok ruangan berdiri sebuah meja kecil tempat sepasang cincin diletakkan di atas kain beludru biru.William berdiri di sana, mengenakan setelan jas berwarna abu lembut.Tatapannya tak lepas dari wanita yang duduk di ranjang, Miranda yang kini menjadi pusat semestanya.Ia mengenakan gaun putih sederhana dengan renda tipis, wajahnya pucat tapi memancarkan cahaya lembut yang menenangkan.Dan di pelukannya, bayi mungil mereka menggeliat pelan, tertawa kecil seperti mengerti bahwa hari ini adalah hari yang paling penting dalam hidup kedua orang tuanya.“Cantik sekali,” bisik William saat melangkah mendekat.Miranda tersenyum samar, pipinya memerah. “Kamu sudah bilang itu sejak pagi.”“Aku bakal bilang itu setiap hari kalau perlu,” jawabnya lembut, menatap mata istrinya lama.

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 331

    Ruang tamu itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding yang berjalan pelan.William duduk di sofa dengan posisi santai, tapi tatapan matanya menusuk.Di hadapannya, Edi berdiri dengan tubuh gemetar dan wajah penuh gugup.Ditipu seperti ini jelas membuat William marah. Namun kemarahan bukan hal utama yang ingin ia luapkan kali ini. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar kehilangan uang.“William…” suara Edi bergetar pelan. “Bapak tahu bapak salah. Bapak minta maaf. Tapi apa yang bapak lakukan murni kesalahan bapak sendiri. Kamu boleh melakukan apa saja terhadap bapak, mau dipukul, marah, terserah. Tapi tolong… jangan sakiti Miranda dan juga anaknya. Bapak yang berbuat, biar bapak yang tanggung jawab.”William menatapnya lama, wajahnya tetap datar tanpa emosi.“Uang yang anda ambil dariku,” tanyanya pelan, “apa sudah habis?”Edi menunduk, mengangguk perlahan.“Digunakan untuk apa? Mengapa bisa habis?” nada suara William meninggi sedikit, tapi tetap terkendali. Ia ingin tahu langs

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status