"Telepon dari siapa?"
Amora mendengar suara suaminya. Ia tidak akan mempermasalahkan apapun, yang terpenting Randy mau perduli dan datang untuk menandatangani surat persetujuan operasi. "Ini Mas ada yang ngaku jadi istri kamu, kamu disuruh menandatangani surat untuk perempuan itu operasi. " Semua yang berada di dalam ruangan mendengar percakapan dua orang dari dalam sambungan telepon. "Nggak usah dilayani, bilang aja sama mereka kalau perempuan itu mati baru hubungi aku," kata Randy. "Dengar sendiri kan suami saya ngomong apa. Kami tidak ada urusan dengan perempuan itu. Mungkin saja perempuan itu gila." Telepon kemudian diputuskan secara depiy. Hening mencekam. Semua mata mengarah pada satu titik. Tatapan mata itu mengisyaratkan berbagai macam pertanyaan. Istri sah, wanita itu adalah istri sah dari Randy?Itu artinya wanita itu dinikahi secara resmi.
Amora baru teringat bahwa dia menikah dengan Randy hanya secara sirih. Pada waktu itu kondisi Randy dalam keadaan cacat. Setelah sembuh pria itu tidak mengurus surat nikah secara resmi. Bahkan sampai sekarang statusnya masih istri sirih. Apakah ini artinya ia tidak memiliki hak untuk meminta tanggung jawab?Bahkan kertas yang menyatakan bahwa mereka sudah menikah secara agama pun tidak dibawa oleh Amora. Semuanya tertinggal di rumah mertuanya.
Selama menjadi istri Randy, begitu banyak luka yang dia terima. Namun mengapa luka ini yang terasa begitu sangat sakit?Di sisi lain, Dokter Andi masih terkejut dengan apa yang telah terjadi. Apakah benar wanita ini sedang berbohong? Ataukah perempuan ini memang orang gila
"Maaf Mbak, orang yang Mbak akui suami sepertinya tidak bisa menandatangani surat perjanjian operasi. Apa ada pihak keluarga yang bisa dihubungi?" Amora hanya anak yatim piatu yang tidak memiliki orang tua, sanak keluarga dan juga kerabat. Pertanyaan dari perawat membuat otaknya kembali berpikir, siapa kira-kira yang bisa menolongnya?Hanya ada satu orang yang mungkin bisa menyelamatkannya.... sang mertua.
Ini adalah harapan terakhirnya. Ia berharap wanita yang selalu dihormatinya itu masih memiliki rasa kemanusiaan.
Perawat kembali menghubungi nomor yang diberikan oleh Amora. Hanya menunggu beberapa detik panggilan telepon diterima oleh nomor yang dituju.
"Halo," jawab wanita dari seberang sana.
"Halo selamat pagi, apa benar ini Ibu Dewi?" Perawat bertanya dengan sangat ramah.
"Ya ada apa?"
"Saya dari Rumah Sakit Berlian, saat ini menantu Anda berada di rumah sakit."
"Menantu? Sekarang saya bersama menantu saya. Terus itu siapa?" Terdengar suara angkuh dari seberang sana.
"Nyonya Amora mengatakan bahwa anda, ibu mertuanya," jelas perawat.
"Amora? Oh dia itu hanya orang yang menumpang di rumah saya. Keluarga Sanjaya sudah tidak ada hubungan dengan dia. Jika terjadi sesuatu dengan perempuan itu, tidak perlu hubungi saya."
"Tapi Bu, pasien tidak memiliki keluarga lain. Apakah bisa datang ke rumah sakit untuk melihat kondisinya dan juga menandatangani surat pernyataan persetujuan untuk operasi." Perawat itu masih berusaha melakukan negosiasi.
"Saya nggak ada waktu ngurusin itu. Lagi pula jika dia mati, tidak ada urusan dengan saya."
Wanita paruh baya itu ingin lepas tanggung jawab begitu saja.
"Mami, tolong." Belum sempat ia melanjutkan kata-katanya, wanita itu langsung menyahut.
"Idih! Nggak usah terlalu banyak berharap, Amor."
Tut!
Wanita itu kembali menutup panggilan telepon tanpa menunggu Amora menjelaskan.
Amora terdiam sudah hampir satu jam terbaring dan dokter tidak bisa melakukan tindakan untuknya.
Perawat hanya diam ketika melihat sambungan telepon yang sudah terputus.
"Apa Mbak beneran istri dari Randy Sanjaya?" Perawat itu mulai ragu bertanya sambil memandang Amora.
"Dua tahun yang lalu kami menikah. Hanya saja saya dinikahi secara sirih."
Amora tidak ingin orang-orang beranggapan bahwa anak yang di dalam perutnya, anak haram. Meskipun tenaganya sudah sangat lemah, ia mencoba untuk tetap berjuang.
"Tadi saya melihat suami saya ada di depan. Saya akan menemuinya." Dengan kaki gemetar Amora turun dari atas tempat tidur.
Kondisinya sudah seperti ini, tidak mungkin lagi bisa menunggu. Selagi anaknya masih hidup, ia akan tetap berjuang.
"Tapi kondisi Anda....." Perawat mencoba untuk mengingatkan.
Amora tidak memperdulikan ucapan perawat tersebut. Dengan langkah lemah ia berjalan dan membuka pintu ruang UGD. Dia berjalan ke tempat di mana tadi Randy berada.
Lagi-lagi Amora kecewa ketika melihat tidak ada Randy di sana.
Namun harapan itu belum benar-benar padam. Dengan langkah pelan namun pasti, Amora menuju pintu depan. Tak disangka sebuah mobil hitam terparkir tepat di sana, mobil milik Randy. Ia melihat ibu mertua beserta istri muda suaminya naik ke dalam mobil.
"Mas Randy... Mas Randy!" Amora teriak memanggil suaminya.
Kesempatan terakhir ini tidak boleh dilewatkan begitu saja, Amora berusaha untuk berlari. Namun ternyata mobil sudah melaju lebih dulu.
Sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan, menyerah adalah solusi yang terbaik.
Kondisinya benar-benar sangat lemah, hingga tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.
"Apa Mbak baik-baik saja?" Amora baru sadar bahwa dia tidak jadi terjatuh karena ternyata ada seseorang yang menahan tubuhnya.
Amora memandang ke samping dia melihat sosok wanita yang begitu sangat cantik. Apakah ini adalah malaikat yang datang menjemputnya?
"Mbak Amora, apa suami Anda sudah tidak ada lagi di sini?" Suster yang berada di ruang UGD sudah berada di depan dan memandang Amora. Begitu juga dengan Dokter Andi yang sudah menyusul dan berdiri di dekat Amora.
Amora menggelengkan kepalanya. Ada sedikit rasa bahagia di hatinya karena masih ada orang yang peduli dan juga mengasihaninya.
"Apa yang terjadi?" Wanita cantik tuh bertanya sambil memandang dokter yang berdiri di sampingnya.
"Pasien ini akan melahirkan dokter, hanya saja suaminya tidak mau datang dan menandatangani surat persetujuan operasi. Pasien juga tidak punya keluarga. Dia datang ke sini sendiri." Dokter berkacamata Itu menjelaskan secara detail.
Dokter cantik itu masih menyangga tubuh ringkih Amora. Tatapannya tertuju ke lanta marmar putih yang kini digenangi darah segar. Ini pertanda bahwa wanita itu mengalami pendarahan. Jika tidak cepat ditolong, nyawa wanita ini tidak akan bisa terselamatkan.
Amora menatap dokter dengan tatapan yang penuh harap, tubuhnya gemetar tak terkendali. Suara yang keluar dari bibirnya serak, tercampur antara keputusasaan dan rasa sakit yang luar biasa. "Terima kasih, Dokter, sudah berusaha menolong saya," ucapnya dengan napas yang terengah.
"Jika dokter tidak bisa menolong saya, tidak apa-apa. Tapi tolong, beri saya obat penghilang rasa sakit. Jujur, saya tidak sanggup menahan ini lagi." Kata-kata itu terucap dengan berat, seolah-olah ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan pahit.
Amora tahu waktunya semakin singkat. Tubuhnya yang semakin lemah menjadi bukti bahwa pertempuran terakhirnya sudah semakin dekat. Mimpi untuk melihat anaknya lahir, yang dulu begitu ia perjuangkan, kini tergerus oleh kenyataan pahit. Apa yang ia inginkan sekarang hanyalah sedikit ketenangan, mengurangi rasa sakit yang semakin menyiksa jiwanya. Sebuah doa kecil, memohon agar kepergiannya tidak terlalu menyakitkan, itu saja.
Kata-kata Amora meremas hati setiap orang yang mendengarnya. Meski matahari belum sepenuhnya menanjak, suasana rumah sakit sudah dipenuhi hiruk-pikuk. Banyak pasang mata yang menyaksikan drama yang tengah terjadi di tempat itu.
"Apa tak ada keluarga lain, selain suami?" tanya dokter cantik itu, dengan nada penuh empati.
Dokter Eliza pernah merasakan seperti yang dirasakan Amora. Namun tetap saja, nasibnya jauh lebih beruntung. Pada saat itu ia didampingi suami dan juga ibu mertua.
"Tidak ada, Mbak. Saya yatim piatu," jawab Amora dengan tenang, suaranya lemah namun tegas.
Senyum tipis yang dipaksakan muncul di bibirnya.
"Dokter Eliza, bagaimana?" tanya perawat.
"Siapkan ruang operasi. Berhubung pasien tidak memiliki keluarga, saya akan bertanggung jawab." Dokter cantik itu memutuskan dengan cepat.
"Baik dokter Eliza. "Perawat itu berkata dengan sopan.
Seorang perawat langsung datang sambil membawa tempat tidur. Dan tubuh kurus wanita itu diletakkan di sana.
Amora terdiam. Apakah wanita cantik itu akan menyelamatkannya?
"Jadi, saya akan dioperasi?" tanya Amora.
Eliza pun memandang perawat yang berdiri di sampingnya. "Iya."
Dokter cantik itu kembali berkata, "Tidak usah pikirkan apapun, pikirkan saja keselamatan anakmu."
Air mata yang tadi sudah reda kembali mengalir, diam-diam dan tanpa suara.Amora cepat-cepat menghapusnya, mencoba sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan yang tiba-tiba kembali mencuat. Pemandangan itu sangat indah. Seorang anak kecil menggandeng ayahnya dengan penuh kasih. Hal seperti ini mustahil dirasakan oleh putranya. Bahkan mungkin takkan pernah sama sekali. Putranya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menggenggam tangan seorang ayah.“Kakak Amora!” Suara ceria itu memecah lamunannya. Amora menoleh, tersenyum samar sambil melambaikan tangan. Ia kembali mengusap matanya, memastikan tak ada jejak tangis yang tertinggal.“Kamu lagi ngapain?” tanyanya ketika gadis kecil itu sudah berada di hadapannya.“Aku kasihan sama Daddy. Dia cuma diam di kamar. Jadi aku ajak keluar. Sore-sore begini enaknya duduk di taman, biar segar!” jawab gadis itu, ceria seperti biasa.Amora tersenyum, mengangguk pelan. “Kalau cuma di kamar terus, kapan sembuhnya?” ucapnya, dengan nada menggoda.“Aku juga u
Langit sore tampak murung, seolah ikut merasakan perasaan Amora. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun yang mulai menguning. Ia duduk di bangku taman yang sepi, memeluk tubuhnya sendiri seakan hanya itu yang bisa memberinya kehangatan.Matanya masih sembab, meski ia sudah berusaha keras menyembunyikan luka itu. Tangis yang selama ini ia tahan, sudah terlalu sering mengalir tanpa diminta. Ia datang ke taman ini dengan harapan bisa menenangkan pikirannya, mencari sedikit saja ruang untuk bernapas.Namun kenyataan seperti selalu mengejarnya. Ponselnya berdering, dan suara di seberang sana langsung membuat dadanya kembali sesak. Suaminya. Suara yang dulu ia rindukan, kini terasa seperti pisau yang mengiris perlahan.Ia menepuk-nepuk dadanya, mencoba menahan perih yang mencakar dari dalam. Napasnya berat, nyaris tersengal.“Kenapa kamu tega...?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menetes, meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan.Semua sikap m
Amora mematuhi setiap nasihat dokter. Ia rutin memompa ASI setiap 2 jam sekali. Wajahnya berseri-seri saat melihat hasil perahannya. Air susu sumber kehidupan untuk bayinya, memenuhi botol hingga 50 mililiter. Baginya, ini adalah sebuah keajaiban kecil. Biasanya ia hanya mendapat sepuluh mililiter paling banyak. Kali ini, jumlahnya berlipat ganda. Dengan penuh semangat, Amora meninggalkan kamarnya menuju ruang perawatan bayi. Namun langkahnya terhenti, seorang perawat melarangnya masuk. Bayinya sedang dalam tindakan medis.Dari balik kaca pintu, Amora melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Tubuh mungil anaknya tampak kejang. Jantungnya seakan diremas. Meski tak diizinkan masuk, pandangannya tak lepas dari si kecil.“Nak, jangan tinggalin Mama, Mama kuat karena kamu. Kamu ingat kan, bagaimana kita berjuang bersama?” bisiknya lirih, seolah berharap kata-katanya bisa menembus kaca dan menjangkau hati bayinya.Sepuluh menit berlalu dalam diam yang menyesakkan, hingga akhirnya p
Amora kembali ke kamar rawatnya. Dengan sangat hati-hati ia turun dari atas kursi roda dan kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia baru saja melihat bayinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya penuh cinta dan harapan. Namun melihat putranya terbaring di ruang NICU dengan begitu banyak alat medis menempel di tubuh mungil itu, hatinya terasa diremas. Ada bahagia, tapi juga luka yang menganga. Perasaannya kacau. Satu demi satu masalah datang, silih berganti, tanpa jeda, tanpa solusi. Dua hari dirawat di NICU saja biayanya sudah menembus sembilan juta rupiah. Itu belum termasuk ongkos persalinan yang belum ia lunasi. Pikirannya berputar-putar, kepala terasa berdenyut dan nyeri setiap kali mengingat tagihan yang menumpuk. Ia memandangi kotak yang berisi alat pompa asi. Benda ini merupakan barang mewah untuknya. Jangankan untuk membeli pompa asi elektrik, membeli pakaian bayi untuk anaknya saja, Amora tidak mampu. Tapi ya sudahlah, Amora akan memikirkan masalah ini nanti. Yang pen
Alvaro memandang putrinya dengan dahi berkerut. “Hanya Paman Bodyguard yang mengikuti kamu?”Zolin mengangguk pelan. “Iya, nggak ada orang lain.”Meskipun ragu, gadis kecil berusia lima tahun itu tetap yakin tak ada yang mengikutinya selain bodyguard yang memang ditugaskan untuk menjaganya.Alvaro menarik napas. “Coba ceritakan dari awal. Apa yang terjadi?”Zolin mengangguk, lalu mulai bercerita.“Waktu pulang beli makanan, aku ketemu Kakak Amora. Dia langsung pegang tanganku dan bilang ada yang ngikutin aku. Aku takut, terus aku lihat kiri-kanan, tapi nggak ada siapa-siapa. Paman bodyguard juga masih di belakangku. Jadi, aku pikir aku aman.”Alvaro menatap putrinya dalam-dalam. “Lalu kenapa kamu percaya kata-katanya soal ada penjahat?“Wajah Kakak itu jujur banget. Dia juga kelihatan baik. Tapi kayaknya lagi sakit juga. Jadi aku iya kan saja.”Alvaro memijat pelipisnya. Sakit kepala itu datang lagi.“Zolin, kamu nggak boleh gampang percaya sama orang. Zaman sekarang, banyak orang kel
Mata gadis itu membelalak. Ia menoleh ke belakang, lalu ke kiri dan kanan. “Ada yang mengikuti aku?” tanyanya dengan wajah panik. Amora mengangguk. “Namamu siapa? Kenapa sendirian? Seharusnya Ayah atau Ibu menemani. Tempat ini berbahaya.”Anak itu terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. “Nama ku Zolin, Daddy sedang sakit. Aku baru beli makanan, siapa tahu nanti Daddy mau makan.” Ia mengangkat kantong plastik di tangannya."Namanya yang sangat cantik." Amora berkata dengan tersenyum. “Sejak sakit, Daddy hampir tak mau menyentuh makanan enak,” lanjutnya lirih. “Aku berharap Daddy bisa cepat sembuh.” Wajah gadis kecil itu tampak sedih ketika mengatakan tentang kondisi ayahnya.“Tapi kamu tetap tidak boleh sendirian. Ayo kakak antar ke kamar Daddy mu. Kamar Daddy mu di lantai berapa?" ucap Amora lembut.Apakah gadis kecil ini benar-benar bisa ke kamar Daddy nya sendiri? Bagaimana dia tahu Daddy nya berada di kamar lantai berapa dan nomor berapa? Sedangkan anak perempuan itu tampak ma