Share

Bab 6. Tetap berjuang

Author: Liazta
last update Huling Na-update: 2025-05-26 15:27:18

Usai menjalani operasi Caesar, Amora tidak langsung dipindahkan ke ruang rawat. Tubuh lemahnya dibaringkan terlebih dahulu di ruang observasi. Ruangan yang dingin dan sunyi, namun dipenuhi isak tertahan dan suara mesin medis yang tak henti berdetak. Ia tidak sendiri, ada beberapa pasien lain yang juga baru saja melahirkan melalui operasi serupa.

Rasa dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuh Amora menggigil hebat, tak mampu melawan hawa yang menelusup dari dinding-dinding putih ruangan itu.

“Dingin… suster, tolong… selimut… dingin…” Suara lirih terdengar dari ranjang sebelah. Salah seorang pasien dengan tubuh bergetar hebat, wajahnya pucat dan mata sayu. Efek bius masih membelenggu, membuatnya nyaris tak bisa menggerakkan tubuh.

Amora terus memanggil.

“Suster… tolong… selimut…” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suaranya tenggelam di antara kesibukan dan jarak. Perawat yang duduk di ujung ruangan tak menoleh, seolah tak ada yang memanggil.

Menyadari panggilannya tidak direspons, Amora memilih diam. Ia hanya memejamkan mata, menahan gemetar yang makin menjadi.

Pandangan matanya terarah ke pasien lain yang juga tengah menahan dingin. Namun ada perbedaan yang membuat dadanya sesak. Pasien itu tidak sendiri. Para suami duduk setia di sisi ranjang, memeluk erat dan sibuk meminta selimut tambahan dari perawat.

Amora menelan getir. Tidak ada tangan yang menggenggamnya, tidak ada dada yang siap menjadi perisai dari dingin yang mencekam.

Selama satu jam penuh, Amora harus menahan gempuran dingin yang menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya menggigil hebat, bibirnya membiru, napasnya mengepul dalam kepulan putih. Ia nyaris kehilangan kesadaran ketika akhirnya seorang perawat datang menghampiri.

Tubuh Amora sudah sedingin es. Dalam hati, ia mulai bertanya, mungkinkah ajalnya benar-benar sudah sedekat ini?

Ingatan itu pun kembali menyeruak, tragedi lima belas tahun silam. Saat itu, mobil keluarganya terlibat dalam kecelakaan maut. Ayahnya tewas seketika. Namun ibunya masih sempat membuka mata.

“A-Amora... dingin sekali...” lirih suara sang ibu, nyaris tak terdengar di tengah angin malam.

Amora kecil yang baru berusia lima tahun, tanpa ragu memeluk ibunya sekuat tenaga, mencoba menghangatkannya dengan tubuh mungilnya. Tapi pelukan itu menjadi yang terakhir. Tak lama kemudian, tubuh ibunya terkulai, tak lagi bergerak. Ibunya dunia dalam pelukannya.

"Suster, dingin sekali," ujar Amora lirih, matanya menatap sayu ke arah perawat yang kini berdiri di sisi ranjangnya.

Tatapan itu memancarkan permohonan—seolah berharap ada sedikit saja belas kasih dari perempuan berseragam putih itu.

"Saya akan menambah selimutnya," balas sang perawat dengan tenang.

Tanpa banyak bicara, ia mengambil selimut tambahan dan menyelimutkan tubuh Amora dengan hati-hati. Gerakannya lembut, nyaris seperti pelukan yang tak terucap.

Entah keajaiban atau sekadar reaksi alami, rasa dingin itu perlahan menghilang. Tubuh Amora mulai terasa lebih hangat, meski hatinya tetap beku.

Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke ruang rawat.

Kamar itu memiliki sepuluh bangsal. Semua ditempati oleh perempuan-perempuan yang baru saja melahirkan, baik secara normal maupun melalui operasi Caesar. Amora menempati satu-satunya bangsal kosong yang tersisa.

Namun, bukan kelegaan yang datang, melainkan perih yang justru semakin menyesakkan dada.

Semua pasien ditemani. Ada yang dijaga oleh suami, ibu kandung, ibu mertua, atau sanak keluarga yang sibuk menawarkan perhatian dan cinta. Hanya Amora yang benar-benar sendiri.

"Suster, saya haus, saya ingin minum," pintanya, kali ini dengan suara lebih serak daripada tadi.

Jika sebelumnya ia menggigil kedinginan, kini dahaga yang menyiksa. Tenggorokannya terasa kering, seolah tak pernah disentuh air.

"Boleh, tapi sedikit saja," jawab sang perawat. Ia menuangkan air mineral ke dalam gelas plastik hingga seperempat gelas, lalu membantu Amora minum.

"Suster, masih haus. Boleh tambah lagi?" tanyanya penuh harap.

Namun jawaban itu membuat wajah Amora tampak kecewa.

"Tidak boleh, kamu baru selesai operasi," jawab sang perawat sambil tersenyum singkat, lalu berlalu begitu saja.

Dan Amora kembali sendiri.

Kakinya mati rasa, efek bius yang belum sepenuhnya hilang. Agar rasa sakit dihati tidak semakin bertambah Ia memilih untuk tidak melihat ke sekitarnya. Berpura-pura tertidur sepertinya lebih baik.

Namun hal ini hanya terjadi beberapa menit. Matanya kembali terbuka. Ia ingin meminta minum karena rasa haus yang tidak tertahankan. Namun ia harus meminta dengan siap?

Dengan sabar Amora menunggu perawat atau dokter datang. Ia ingin mendapatkan segelas air untuk membasahi tenggorokan yang kering. Kakinya sudah mulai terasa. Namun rasanya justru tidak nyaman. Kesemutan dan sangat pegal. Jika seandainya ibunya masih hidup, wanita itu pasti akan memijit kakinya. Jika seperti ini, Amora sangat rindu dengan sosok ibunya. Lagi-lagi matanya tertuju ke arah pasien yang berada di sampingnya. Ia melihat suami wanita itu memijat kaki istrinya. Amora hanya bisa menatap pasangan suami istri itu dengan tatapan iri.

***

Amora menjalani setiap tahap penyembuhan seorang diri. Dalam kondisi tidak boleh bergerak, ia tetap berusaha makan sendiri. Tak jarang, ia kesulitan hanya untuk mengambil air minum, sebab di kamar ini hanya tersedia satu dispenser yang harus dibagi bersama pasien lain.

Saat perawat akhirnya memperbolehkannya untuk berbaring miring, Amora harus menggerakkan tubuhnya sendiri, meski rasa sakit yang menusuk begitu sulit ditahan. Setelah bisa miring ke kanan dan kiri, datanglah kabar menggembirakan. Ia sudah diizinkan untuk duduk.

Mendengar itu, hatinya dipenuhi suka cita. Namun, perjuangan belum usai. Duduk pascaoperasi ternyata menyakitkan melebihi yang ia bayangkan. Dari ranjang, ia melihat pasien lain dibantu oleh sang suami untuk duduk. Seketika air matanya jatuh, namun cepat-cepat ia seka. Amora tahu, ia punya alasan untuk kuat. Seorang bayi laki-laki tampan kini menantinya. Demi anak itu, ia harus bertahan.

Dua hari sudah berlalu sejak ia dirawat di rumah sakit. Kateter telah dilepas, dan kini ia diperbolehkan berjalan. Dengan penuh semangat, Amora turun sendiri dari tempat tidur. Nyeri hebat di bagian perut membuat air matanya kembali menetes, tapi seperti sebelumnya, ia menghapusnya segera. Wajahnya tampak bertekad, tubuhnya bergerak perlahan, mencoba menapak walau tertatih. Amora bersemangat untuk bisa berjalan. Jika nanti dia sudah bisa berjalan, maka ia akan segera melihat putranya di ruang NICU. Sudah dua hari ini Amora tidak bisa melihat kondisi putranya karena dia yang belum boleh berjalan.

Pasien silih berganti datang dan pergi di kamar itu. Hampir setiap pasien menanyakan hal yang sama, tentang suaminya. Pertanyaan sederhana yang terasa begitu menyakitkan. Pertanyaan begitu sangat paling Amora benci.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 276

    Randy berdiri memunggungi Diki, menatap keluar jendela dengan rahang menegang.Tangannya mengepal, jemarinya tampak bergetar menahan emosi yang sudah terlalu lama ia tekan. Jika tidak memikirkan bahwa dokter itu sahabat baiknya, ia pasti sudah menendang pria itu keluar.“Aku tidak ada hubungan apa pun dengan anak itu,” suaranya serak, tapi tajam seperti bilah pisau.Ia berbalik, menatap Diki dengan mata penuh kemarahan, luka serta kecewa.“Kenapa aku harus mempertahankannya, hah? Untuk apa?”Diki menghela napas panjang, lalu duduk di kursi berhadapan dengannya.Ini sudah kali kedua ia datang membicarakan hal yang sama, dan entah kenapa, Randy justru terlihat semakin keras kepala.“Randy…” katanya dengan nada hati-hati. “Aku hanya ingin kau mempertahankan hak asuh itu, setidaknya sampai prosesnya selesai. Setelah itu, aku yang akan mengurus anak itu. Aku yang akan menjadi walinya, dan dia akan berada di bawah pengawasanku.”Diki sangat prihatin melihat nasib bayi malang tersebut. Pada

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 275

    Suasana di ruang tamu mansion sore itu begitu tenang namun juga hangat. Ikato duduk di sofa besar, sambil memangku Emran. Bayi itu tampak ceria, jemari mungilnya tak henti mencubit dagu sang kakek buyut, saat mendengar Ikari menjerit dan berpura-pura sakit. Bayi tampan itu tertawa ngakak. Zolin, yang duduk di samping mereka, menjadi komentator paling cerewet sedunia. “Kakek besar, hati-hati ya! Emran suka gemas,” kata gadis kecil itu sambil menunjuk tangan adiknya. Dan benar saja, Emran tiba-tiba menepuk pipi Ikato dengan telapak mungilnya lalu tertawa lebar, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil. “Tuh kan! Dibilangin!” seru Zolin sambil ikut tertawa. Yurika yang sedang menyiapkan teh di meja, menoleh sambil tersenyum. “Zolin, jangan menggoda adikmu terus. Biarkan Tuan Ikato menikmati waktu dengan cicitnya.” “Tapi, Oma… Emran itu lucu banget kalau lagi nyengir!” Zolin memonyongkan bibirnya menirukan gaya adiknya. “Begini, Kek! Nih, ‘heheh~’” katanya dengan ekspres

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 274

    Dihalaman mansion keluarga Alvaro, mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya keluar seorang pria tua berambut putih, langkahnya kokoh, sorot matanya menyala namun teduh. Ikato Ikari, sosok yang sangat disegani dan sangat sulit untuk ditemui. Ikato Ikari, sosok yang disegani, dan begitu sulit dijumpai oleh siapa pun. Namun kali ini pria itu yang datang sendiri sambil membawa kantong berukuran besar. Angin sore berembus lembut, membawa aroma dedaunan dan bunga yang bermekaran. Ikato berdiri lama di depan halaman itu, menatap rumah besar di hadapannya dengan pandangan bergetar. Bibirnya bergetar lirih, mengucap doa yang nyaris tak terdengar. “Semoga hari ini… aku diterima sebagai keluarga.” Suara derit pintu terdengar. Dari dalam, muncul Yurika, mengendong Emran. Di belakangnya berlari kecil Zolin, dengan wajah ceria dan rambut bergoyang ditiup angin. “Tuan Ikato… senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda,” ucap Yurika sambil sedikit membungkuk, menahan haru.

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 273

    Randy terdiam. Tatapannya tajam menembus sosok pria yang duduk di depannya, penuh rasa tak sabar dan ketegangan yang sulit disembunyikan. “Bayi itu... anak Miranda,” ujar Diki pelan. Dokter itu berhenti sejenak, mencoba memilih kata yang tepat. Namun kalimat berikutnya meluncur dengan berat, “Dan kau, Randy... kau adalah ayah dari anak itu.” Randy langsung menyergah, nada suaranya meninggi. “Anak itu bukan anakku!” Napasnya naik turun, matanya memerah menahan emosi. Diki tak langsung membalas. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Randy dengan sorot yang teduh namun tegas. “Aku tahu, dan aku sudah menduga kau akan berkata begitu.” Randy mengambil selembar kertas yang terlipat rapi dan menunjukkannya ke Diki. “Aku punya buktinya. Hasil tes DNA. Anak itu bukan darah dagingku.” Ia menatap lembaran itu seolah sedang menghadapi seluruh beban hidupnya. “Tidak akan ada perebutan hak asuh, tidak juga hak waris. Semua sudah jelas. Aku akan hapus nama anak itu dari keluarg

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 272

    Randy masih duduk di ruang kantornya, dengan tatapan kosong menembus gelapnya malam di balik jendela kaca. Lampu-lampu kota Jakarta berpendar samar, tapi tak ada satu pun yang mampu mengusir kegelapan di dadanya. Di atas meja, berkas hasil DNA yang baru saja ia baca masih terbuka. Surat ini akan menjadi bukti di pengadilan. Bahwa anak itu bukan darah dagingnya. Namun sebelum ia sempat menutupnya, suara pintu berderit pelan. “Randy…” Suara berat namun tenang itu membuat Randy menoleh. Diko, sahabatnya, yang merupakan seorang dokter. Randy berdiri setengah bingung. “Diki? Ada apa?" Diki hanya menghela napas panjang. Wajahnya terlihat tegang. Ia menatap Randy seolah sedang menimbang apakah pria itu siap menerima sesuatu yang jauh lebih berat daripada rahasia DNA yang baru diketahuinya. “Aku datang bukan sebagai dokter, Ran,” ucapnya lirih. “Aku datang sebagai orang yang menyaksikan apa yang kau hancurkan… dengan tangamu sendiri.” Randy mengernyit. “Apa maksudmu?” Diki

  • Transaksi Hati Ibu Pengganti Anak Presdir   Bab 271

    “Sayang, kamu sudah mandi, dan sudah wangi.” William tersenyum samar, menyeka peluh di dahinya setelah selesai membersihkan tubuh Miranda dengan lembut. Gerakannya hati-hati, seolah takut wanita itu akan hancur jika disentuh terlalu keras. “Sayang, ayo bangun. Kamu itu paling benci kelihatan berantakan, kan?” Ia mengambil baju pasien yang baru diganti perawat, lalu menatapnya dengan senyum miris. “Coba lihat, modelnya jelek sekali. Pasti kamu bakal protes kalau sadar.” Tangannya gemetar saat memasangkan baju itu ke tubuh Miranda. “Sayang… apa kamu nggak bosan pakai warna yang sama setiap hari? Putih dan biru muda terus. Kamu pasti kangen pakai gaun merah favoritmu itu, ya?” Ruangan ICU sunyi. Hanya terdengar bunyi mesin pemantau detak jantung yang monoton. William duduk di tepi ranjang, matanya menatap wajah Miranda yang pucat. Dulu wajah itu selalu penuh warna, dengan lipstik tajam dan tatapan yang menusuk siapa pun yang menantangnya. Sekarang hanya keheningan dan napas

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status