Usai menjalani operasi Caesar, Amora tidak langsung dipindahkan ke ruang rawat. Tubuh lemahnya dibaringkan terlebih dahulu di ruang observasi. Ruangan yang dingin dan sunyi, namun dipenuhi isak tertahan dan suara mesin medis yang tak henti berdetak. Ia tidak sendiri, ada beberapa pasien lain yang juga baru saja melahirkan melalui operasi serupa.
Rasa dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuh Amora menggigil hebat, tak mampu melawan hawa yang menelusup dari dinding-dinding putih ruangan itu. “Dingin… suster, tolong… selimut… dingin…” Suara lirih terdengar dari ranjang sebelah. Salah seorang pasien dengan tubuh bergetar hebat, wajahnya pucat dan mata sayu. Efek bius masih membelenggu, membuatnya nyaris tak bisa menggerakkan tubuh. Amora terus memanggil. “Suster… tolong… selimut…” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suaranya tenggelam di antara kesibukan dan jarak. Perawat yang duduk di ujung ruangan tak menoleh, seolah tak ada yang memanggil. Menyadari panggilannya tidak direspons, Amora memilih diam. Ia hanya memejamkan mata, menahan gemetar yang makin menjadi. Pandangan matanya terarah ke pasien lain yang juga tengah menahan dingin. Namun ada perbedaan yang membuat dadanya sesak. Pasien itu tidak sendiri. Para suami duduk setia di sisi ranjang, memeluk erat dan sibuk meminta selimut tambahan dari perawat. Amora menelan getir. Tidak ada tangan yang menggenggamnya, tidak ada dada yang siap menjadi perisai dari dingin yang mencekam. Selama satu jam penuh, Amora harus menahan gempuran dingin yang menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya menggigil hebat, bibirnya membiru, napasnya mengepul dalam kepulan putih. Ia nyaris kehilangan kesadaran ketika akhirnya seorang perawat datang menghampiri. Tubuh Amora sudah sedingin es. Dalam hati, ia mulai bertanya, mungkinkah ajalnya benar-benar sudah sedekat ini? Ingatan itu pun kembali menyeruak, tragedi lima belas tahun silam. Saat itu, mobil keluarganya terlibat dalam kecelakaan maut. Ayahnya tewas seketika. Namun ibunya masih sempat membuka mata. “A-Amora... dingin sekali...” lirih suara sang ibu, nyaris tak terdengar di tengah angin malam. Amora kecil yang baru berusia lima tahun, tanpa ragu memeluk ibunya sekuat tenaga, mencoba menghangatkannya dengan tubuh mungilnya. Tapi pelukan itu menjadi yang terakhir. Tak lama kemudian, tubuh ibunya terkulai, tak lagi bergerak. Ibunya dunia dalam pelukannya. "Suster, dingin sekali," ujar Amora lirih, matanya menatap sayu ke arah perawat yang kini berdiri di sisi ranjangnya. Tatapan itu memancarkan permohonan—seolah berharap ada sedikit saja belas kasih dari perempuan berseragam putih itu. "Saya akan menambah selimutnya," balas sang perawat dengan tenang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil selimut tambahan dan menyelimutkan tubuh Amora dengan hati-hati. Gerakannya lembut, nyaris seperti pelukan yang tak terucap. Entah keajaiban atau sekadar reaksi alami, rasa dingin itu perlahan menghilang. Tubuh Amora mulai terasa lebih hangat, meski hatinya tetap beku. Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke ruang rawat. Kamar itu memiliki sepuluh bangsal. Semua ditempati oleh perempuan-perempuan yang baru saja melahirkan, baik secara normal maupun melalui operasi Caesar. Amora menempati satu-satunya bangsal kosong yang tersisa. Namun, bukan kelegaan yang datang, melainkan perih yang justru semakin menyesakkan dada. Semua pasien ditemani. Ada yang dijaga oleh suami, ibu kandung, ibu mertua, atau sanak keluarga yang sibuk menawarkan perhatian dan cinta. Hanya Amora yang benar-benar sendiri. "Suster, saya haus, saya ingin minum," pintanya, kali ini dengan suara lebih serak daripada tadi. Jika sebelumnya ia menggigil kedinginan, kini dahaga yang menyiksa. Tenggorokannya terasa kering, seolah tak pernah disentuh air. "Boleh, tapi sedikit saja," jawab sang perawat. Ia menuangkan air mineral ke dalam gelas plastik hingga seperempat gelas, lalu membantu Amora minum. "Suster, masih haus. Boleh tambah lagi?" tanyanya penuh harap. Namun jawaban itu membuat wajah Amora tampak kecewa. "Tidak boleh, kamu baru selesai operasi," jawab sang perawat sambil tersenyum singkat, lalu berlalu begitu saja. Dan Amora kembali sendiri. Kakinya mati rasa, efek bius yang belum sepenuhnya hilang. Agar rasa sakit dihati tidak semakin bertambah Ia memilih untuk tidak melihat ke sekitarnya. Berpura-pura tertidur sepertinya lebih baik. Namun hal ini hanya terjadi beberapa menit. Matanya kembali terbuka. Ia ingin meminta minum karena rasa haus yang tidak tertahankan. Namun ia harus meminta dengan siap? Dengan sabar Amora menunggu perawat atau dokter datang. Ia ingin mendapatkan segelas air untuk membasahi tenggorokan yang kering. Kakinya sudah mulai terasa. Namun rasanya justru tidak nyaman. Kesemutan dan sangat pegal. Jika seandainya ibunya masih hidup, wanita itu pasti akan memijit kakinya. Jika seperti ini, Amora sangat rindu dengan sosok ibunya. Lagi-lagi matanya tertuju ke arah pasien yang berada di sampingnya. Ia melihat suami wanita itu memijat kaki istrinya. Amora hanya bisa menatap pasangan suami istri itu dengan tatapan iri. *** Amora menjalani setiap tahap penyembuhan seorang diri. Dalam kondisi tidak boleh bergerak, ia tetap berusaha makan sendiri. Tak jarang, ia kesulitan hanya untuk mengambil air minum, sebab di kamar ini hanya tersedia satu dispenser yang harus dibagi bersama pasien lain. Saat perawat akhirnya memperbolehkannya untuk berbaring miring, Amora harus menggerakkan tubuhnya sendiri, meski rasa sakit yang menusuk begitu sulit ditahan. Setelah bisa miring ke kanan dan kiri, datanglah kabar menggembirakan. Ia sudah diizinkan untuk duduk. Mendengar itu, hatinya dipenuhi suka cita. Namun, perjuangan belum usai. Duduk pascaoperasi ternyata menyakitkan melebihi yang ia bayangkan. Dari ranjang, ia melihat pasien lain dibantu oleh sang suami untuk duduk. Seketika air matanya jatuh, namun cepat-cepat ia seka. Amora tahu, ia punya alasan untuk kuat. Seorang bayi laki-laki tampan kini menantinya. Demi anak itu, ia harus bertahan. Dua hari sudah berlalu sejak ia dirawat di rumah sakit. Kateter telah dilepas, dan kini ia diperbolehkan berjalan. Dengan penuh semangat, Amora turun sendiri dari tempat tidur. Nyeri hebat di bagian perut membuat air matanya kembali menetes, tapi seperti sebelumnya, ia menghapusnya segera. Wajahnya tampak bertekad, tubuhnya bergerak perlahan, mencoba menapak walau tertatih. Amora bersemangat untuk bisa berjalan. Jika nanti dia sudah bisa berjalan, maka ia akan segera melihat putranya di ruang NICU. Sudah dua hari ini Amora tidak bisa melihat kondisi putranya karena dia yang belum boleh berjalan. Pasien silih berganti datang dan pergi di kamar itu. Hampir setiap pasien menanyakan hal yang sama, tentang suaminya. Pertanyaan sederhana yang terasa begitu menyakitkan. Pertanyaan begitu sangat paling Amora benci. ***Air mata yang tadi sudah reda kembali mengalir, diam-diam dan tanpa suara.Amora cepat-cepat menghapusnya, mencoba sekuat tenaga menyembunyikan kepedihan yang tiba-tiba kembali mencuat. Pemandangan itu sangat indah. Seorang anak kecil menggandeng ayahnya dengan penuh kasih. Hal seperti ini mustahil dirasakan oleh putranya. Bahkan mungkin takkan pernah sama sekali. Putranya tidak pernah tahu bagaimana rasanya menggenggam tangan seorang ayah.“Kakak Amora!” Suara ceria itu memecah lamunannya. Amora menoleh, tersenyum samar sambil melambaikan tangan. Ia kembali mengusap matanya, memastikan tak ada jejak tangis yang tertinggal.“Kamu lagi ngapain?” tanyanya ketika gadis kecil itu sudah berada di hadapannya.“Aku kasihan sama Daddy. Dia cuma diam di kamar. Jadi aku ajak keluar. Sore-sore begini enaknya duduk di taman, biar segar!” jawab gadis itu, ceria seperti biasa.Amora tersenyum, mengangguk pelan. “Kalau cuma di kamar terus, kapan sembuhnya?” ucapnya, dengan nada menggoda.“Aku juga u
Langit sore tampak murung, seolah ikut merasakan perasaan Amora. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun yang mulai menguning. Ia duduk di bangku taman yang sepi, memeluk tubuhnya sendiri seakan hanya itu yang bisa memberinya kehangatan.Matanya masih sembab, meski ia sudah berusaha keras menyembunyikan luka itu. Tangis yang selama ini ia tahan, sudah terlalu sering mengalir tanpa diminta. Ia datang ke taman ini dengan harapan bisa menenangkan pikirannya, mencari sedikit saja ruang untuk bernapas.Namun kenyataan seperti selalu mengejarnya. Ponselnya berdering, dan suara di seberang sana langsung membuat dadanya kembali sesak. Suaminya. Suara yang dulu ia rindukan, kini terasa seperti pisau yang mengiris perlahan.Ia menepuk-nepuk dadanya, mencoba menahan perih yang mencakar dari dalam. Napasnya berat, nyaris tersengal.“Kenapa kamu tega...?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar, dan air matanya kembali menetes, meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan.Semua sikap m
Amora mematuhi setiap nasihat dokter. Ia rutin memompa ASI setiap 2 jam sekali. Wajahnya berseri-seri saat melihat hasil perahannya. Air susu sumber kehidupan untuk bayinya, memenuhi botol hingga 50 mililiter. Baginya, ini adalah sebuah keajaiban kecil. Biasanya ia hanya mendapat sepuluh mililiter paling banyak. Kali ini, jumlahnya berlipat ganda. Dengan penuh semangat, Amora meninggalkan kamarnya menuju ruang perawatan bayi. Namun langkahnya terhenti, seorang perawat melarangnya masuk. Bayinya sedang dalam tindakan medis.Dari balik kaca pintu, Amora melihat sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Tubuh mungil anaknya tampak kejang. Jantungnya seakan diremas. Meski tak diizinkan masuk, pandangannya tak lepas dari si kecil.“Nak, jangan tinggalin Mama, Mama kuat karena kamu. Kamu ingat kan, bagaimana kita berjuang bersama?” bisiknya lirih, seolah berharap kata-katanya bisa menembus kaca dan menjangkau hati bayinya.Sepuluh menit berlalu dalam diam yang menyesakkan, hingga akhirnya p
Amora kembali ke kamar rawatnya. Dengan sangat hati-hati ia turun dari atas kursi roda dan kemudian naik ke atas tempat tidur. Ia baru saja melihat bayinya. Sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya penuh cinta dan harapan. Namun melihat putranya terbaring di ruang NICU dengan begitu banyak alat medis menempel di tubuh mungil itu, hatinya terasa diremas. Ada bahagia, tapi juga luka yang menganga. Perasaannya kacau. Satu demi satu masalah datang, silih berganti, tanpa jeda, tanpa solusi. Dua hari dirawat di NICU saja biayanya sudah menembus sembilan juta rupiah. Itu belum termasuk ongkos persalinan yang belum ia lunasi. Pikirannya berputar-putar, kepala terasa berdenyut dan nyeri setiap kali mengingat tagihan yang menumpuk. Ia memandangi kotak yang berisi alat pompa asi. Benda ini merupakan barang mewah untuknya. Jangankan untuk membeli pompa asi elektrik, membeli pakaian bayi untuk anaknya saja, Amora tidak mampu. Tapi ya sudahlah, Amora akan memikirkan masalah ini nanti. Yang pen
Alvaro memandang putrinya dengan dahi berkerut. “Hanya Paman Bodyguard yang mengikuti kamu?”Zolin mengangguk pelan. “Iya, nggak ada orang lain.”Meskipun ragu, gadis kecil berusia lima tahun itu tetap yakin tak ada yang mengikutinya selain bodyguard yang memang ditugaskan untuk menjaganya.Alvaro menarik napas. “Coba ceritakan dari awal. Apa yang terjadi?”Zolin mengangguk, lalu mulai bercerita.“Waktu pulang beli makanan, aku ketemu Kakak Amora. Dia langsung pegang tanganku dan bilang ada yang ngikutin aku. Aku takut, terus aku lihat kiri-kanan, tapi nggak ada siapa-siapa. Paman bodyguard juga masih di belakangku. Jadi, aku pikir aku aman.”Alvaro menatap putrinya dalam-dalam. “Lalu kenapa kamu percaya kata-katanya soal ada penjahat?“Wajah Kakak itu jujur banget. Dia juga kelihatan baik. Tapi kayaknya lagi sakit juga. Jadi aku iya kan saja.”Alvaro memijat pelipisnya. Sakit kepala itu datang lagi.“Zolin, kamu nggak boleh gampang percaya sama orang. Zaman sekarang, banyak orang kel
Mata gadis itu membelalak. Ia menoleh ke belakang, lalu ke kiri dan kanan. “Ada yang mengikuti aku?” tanyanya dengan wajah panik. Amora mengangguk. “Namamu siapa? Kenapa sendirian? Seharusnya Ayah atau Ibu menemani. Tempat ini berbahaya.”Anak itu terdiam sejenak, lalu perlahan mengangguk. “Nama ku Zolin, Daddy sedang sakit. Aku baru beli makanan, siapa tahu nanti Daddy mau makan.” Ia mengangkat kantong plastik di tangannya."Namanya yang sangat cantik." Amora berkata dengan tersenyum. “Sejak sakit, Daddy hampir tak mau menyentuh makanan enak,” lanjutnya lirih. “Aku berharap Daddy bisa cepat sembuh.” Wajah gadis kecil itu tampak sedih ketika mengatakan tentang kondisi ayahnya.“Tapi kamu tetap tidak boleh sendirian. Ayo kakak antar ke kamar Daddy mu. Kamar Daddy mu di lantai berapa?" ucap Amora lembut.Apakah gadis kecil ini benar-benar bisa ke kamar Daddy nya sendiri? Bagaimana dia tahu Daddy nya berada di kamar lantai berapa dan nomor berapa? Sedangkan anak perempuan itu tampak ma