“Kalian ini, kenapa tadi berlarian di rumah sakit sampai Bibi cukup lama mencari kalian!” Bibi Beatrice terlihat cemas ketika Thea dan Tilly berlarian kembali ke tempat antrian mereka.
Dua gadis kecil itu bukannya merasa bersalah malah tertawa-tawa mendengar gerutuan Bibi Beatrice. Mereka sampai tak melihat di samping Bibi Beatrice, Travish melayangkan tatapan super tajam pada mereka. Jika ada Bibi Beatrice atau mommy bersama mereka, mau Travish menatap tajam atau bahkan menggeram marah pun mereka tidak akan takut. Lain hal jika hanya ada mereka bertiga saja. Mereka sudah pasti tidak akan berani macam-macam pada Travish. “Kami bosan menunggu, Bibi!” seru Tilly menjawab Bibi Beatrice. “Lain kali jangan seperti itu lagi! Kalau tadi kalian hilang dan tersesat bagaimana?” tanya Bibi Beatrice lagi. Wanita yang cocok untuk menjadi nenek mereka ini memiliki hati seluas samudera. Kesabaran Bibi Beatrice sangat besar. Dia tak pernah marah menghadapi tingkah laku triplet, senakal apapun mereka. “Kami tidak akan tersesat, Bibi!” “Ya, siapa yang tahu?” kilah Bibi Beatrice tidak mau kalah, meskipun dalam hatinya dia gemas setengah mati atas jawaban si kembar. “Tidak akan, Bi! Kami memiliki IQ tinggi. Jadi, tidak akan mungkin tersesat di tempat seperti ini!” sahut Thea. Di antara Thea dan Tilly, Tilly lebih ceplas ceplos. Sedangkan Thea lebih kalem, persis seperti Tamara. “Yeee, siapa bilang kau ber-IQ tinggi? IQ-mu masih jauh dibawahku!” seru Travish yang paling tidak suka jika Thea dan Tilly merasa diri mereka pintar. “Ish! Yang bilang IQ-mu tinggi kan juga kau sendiri! Belum ada pengakuan dari siapapun!” “Aku tidak butuh pengakuan siapapun! Apalagi dari kalian berdua!” sahut Travish dingin. Thea dan tilly jadi berang dan mereka membuang wajah dari Travish. “Sudah, sudah! Kalian semua pintar dan berakal cerdik sesuai diri kalian masing-masing.” Bibi Beatrice melerai tanpa memilih melambungkan salah satu dari mereka. “Sekarang ayo giliran kalian diimunisasi. Setelah ini kita pulang dan sambut mami dengan rumah dan diri kalian dalam keadaan bersih, rapi, dan harum. Oke?” Pertengkaran kecil yang sudah biasa di antara mereka itu pun berakhir dan ketiganya mengangguk patuh. Mereka diimunisasi tanpa banyak drama, lalu langsung pulang ke rumah. Sore harinya, tanpa mereka duga, sang mami pulang dengan wajah kuyu. “Mami! Mami!” seru Thea dan Tilly berbarengan dan berlarian seakan berlomba siapa yang paling pertama menyambut mami mereka itu. Ketika dua-duanya berhasil tiba dan memeluk sang mami berbarengan mereka pun tertawa senang. Hanya Travish yang tidak ikut berlarian. Bocah lelaki itu memang lebih senang berdiri agak jauh, menatapnya saja dengan kedua tangan berada di dalam saku. Oh, Tamara sering gemas sendiri melihat tingkah Travish. Entah seperti siapa sikap putranya itu. Namun satu hal yang pasti, Tamara tak pernah sanggup menatap wajah putranya itu terlalu lama. Pasalnya, wajah Travish teramat persis dengan ayah biologis tripletsnya itu. Dia masih bisa mengingat dengan jelas sosok pria di malam enam tahun lalu itu. Pria dengan tubuh kencang dan kuat yang mengukir nama T. Kozlov di bagian dadanya. Pria yang telah merenggut mahkota kehormatannya sebagai wanita. Pria yang masih sering menghantui mimpi buruknya hingga saat ini. Sekalipun Thea dan Tilly juga berwajah sama dengan Travish, tapi mereka memiliki ekspresi yang jauh berbeda sehingga tidak memetakan wajah ayah biologis mereka dengan semirip Travish. “Lho, mami kok kuyu? Mami cape? Atau mami sedang sedih?” tanya Thea ketika telah mengamati wajah mommy-nya selama beberapa saat. “Eh, siapa yang membuat mami sedih? Beritahu kami, Mi! Biar kami yang hadapin!” seru Tilly lagi sambil menyingsingkan lengan bajunya, menunjukkan lengannya yang seolah-olah berotot besar. “Ah, masa sih?” Tamara jadi terkejut. Pasalnya sedari tadi dia memang melamunkan perlakuan yang diterimanya dari Lady El-Mia. Sekalipun saat melayani wanita itu Tamara masih mampu mengendalikan emosinya, tapi setelah kepulangan wanita itu, Tamara kerap memikirkannya dan selalu mendapati hatinya merasa sakit atas perlakuan kasar Lady El-Mia. Bagaimana bisa ada pelanggan seperti wanita itu, yang bisa-bisanya menghina pekerjaan yang dia lakukan. Padahal pekerjaannya ini halal. Dan entah kenapa juga, untuk pertama kalinya Tamara mulai menyalahkan kejadian enam tahun lalu. Andai tidak ada kejadian malam itu, andai Darla tidak mencuri rancangan gaun pengantinnya, Tamara pastilah telah berhasil menjadi perancang busana yang diakui di kota ini. ‘Tidak! Tidak! Aku tidak boleh berpikir demikian! Aku tidak boleh menyalahkan kejadian enam tahun lalu! Tamara pun gegas menyibukkan diri. “Ayo kita makan bersama!” seru Tamara lagi dengan suara yang sudah ceria kembali. Tamara tidak ingin berlama-lama terlihat bersedih di depan kembar tiga menggemaskannya itu. Mereka makan bersama dengan keriangan yang dipenuhi dengan celetukan Thea dan Tilly tadi. Selesai makan, Tamara membereskan piring-piring kotor ditemani Thea dan Tilly. Dua gadis kecil itu rajin membantu, meskipun tak jarang mereka hanya membantu sebentar saja sebelum keduanya lantas asyik bermain bersama. Seperti kali ini ... “Ayo, Thea, kita bermain seperti saat kita menabrak paman seram tadi!” seru Tilly sambil mulai memeragakan wajahnya seperti paman seram tadi. “Aku menjadi paman seram dan temannya yang berkepala botak. Kau menjadi kita.” “Oke!” Thea pun berlarian dan menabrakkan diri pada Tilly, lalu Thea berseru, “Aduh!” Tilly kemudian menatap galak pada Thea. Thea berseru lagi, “Paman! Kalau jalan lihat-lihat dong!” Tamara awalnya tidak terlalu mengamati cara mereka bermain. Hanya saja ketika dia telah selesai, Tamara jadi penasaran atas serunya permainan role-play Thea dan Tilly. “Apa yang kalian lakukan?” “Oh, kami sedang bermain drama. Tadi siang di rumah sakit kami bertemu seorang paman yang menyeramkan. Tapi ternyata paman itu cukup baik. dan paman itu memiliki 4 pengawal yang berjalan di belakangnya, seperti di cerita-cerita film seru gitu, Mami!” Tamara mengerutkan alisnya. Dia membayangkan cerita-cerita film seru dan membayangkan sosok pria yang seperti apa yang cocok berjalan dengan gagahnya dan 4 pengawal mengikuti di belakangnya. “Paman menyeramkan?” gumam Tamara lagi sambil membayangkan. Dua bocah kembar di hadapannya mengangguk penuh semangat. “Paman itu tubuhnya tinggi dan besar. Wajahnya seram karena dia tidak tersenyum sedikit pun. Juga tatapan matanya sinis dan alis matanya menekuk seperti sedang marah.” Entah mengapa yang muncul di benak Tamara saat mendengar itu semua adalah bayangan pria yang bersamanya enam tahun lalu. Sekalipun tampan, tapi Tamara masih bisa mengingat jelas bagaimana suaranya yang dominan dan tak bisa dibantah, lalu sentuhannya yang menaklukkan, juga auranya yang seperti penguasa, sekalipun dalam keadaan sedang tidur. Tamara jadi bergidik dan menggeleng sendiri berusaha mengenyahkan bayangan pria itu di benaknya. Di saat yang sama, tiba-tiba dua gadis kecilnya itu saling terkesiap saat tatapan mereka terarah pada Travish yang sednag bersandar di kusen pintu dan menatap remeh dan begitu tajam pada mereka. Keduanya begitu terkejut sampai-sampai langsung menyeletuk, “Mami! Wajah Paman menyeramkan tadi sangat mirip dengan Travish. Apalagi tatapan matanya, mereka mirip sekali!”“Signore ...” ujar Tamara dengan senyum yang bernada mencibir bercampur candaan.“Ayolah ... aku sangat menginginkanmu,” bisik Trevor lagi sambil tiba-tiba mengangkat tubuh Tamara hingga berada dalam gendongan bridal style-nya.“Trevor! Kita sudah sepakat!”“Tidak bisakah kita lupakan saja kesepakatan yang dulu itu? Aku benar-benar menginginkanmu saat ini.”Trevor merebahkan Tamara di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya.Dia kembali menindih Tamara dan menciumnya dengan lembut.Pagutannya terasa dalam meski masih tenang dan tidak menggebu.“Signore, apa yang sudah disepakati tidak bisa diubah.”“Begitu kah?”“Iya. Kecuali kau mau juga mengubah hari pernikahan kita.”Mendengar itu, Trevor langsung berhenti dengan segala aktivitasnya.Dia terdiam dan hanya menatap Tamara. Ada kejengkelan di manik matanya meski itu tidak seberapa besar.Pada akhirnya Trevor bangun lagi dan duduk.Dia masih memberikan tatapan kesal pada Tamara.Wanita itu lalu terkekeh sambil memeluk leher Trevor.“Se
“Daddy sama mommy sudah pulang!”Tiba di penthouse mereka yang mewah, luas, dan hangat, Thea dan Tilly menyambut orang tuanya dengan penuh semangat.Setiap kali mereka ditinggal di rumah, selalu ada Bibi Beatrice yang menemani mereka.Dan seperti biasa, Travish tetap cool. Dia menyambut dengan tatapan sekilas, lalu kembali fokus pada layar televisi, menonton pertandingan bola kesukaannya.“Kalian sudah makan?” tanya Tamara seraya membuka mantel dan syal-nya.Begitu selesai, Trevor mengambil mantel dan syal-nya lalu menggantungkannya di tiang mantel.Baru setelah itu dia membuka mantelnya sendiri.“Sudah! Tadi kami sudah lapar sekali. Jadi Bibi Betrice memasak untuk kami. Ngomong-ngomong mommy dan daddy sudah makan?”“Belum. Apa kalian ada menyisakan untuk kami?” tanya Trevor seraya berjongkok untuk membawa Thea dan Tilly dalam gendongannya.Dua gadis kecil itu sudah tahu lalu memeluk leher ayah mereka. Sekejap kemudian mereka sudah terangkat.Setiap kali hal ini terjadi, mereka akan te
“Bagaimana rencana pernikahan kalian? Apa sudah kalian perkirakan tanggal dan bulannya?”Makan malam malam itu akhirnya berlangsung di antara mereka berempat, seperti rencana semula.Alland, Shirley, Giana dan Bobby.Giana mengangguk dengan semangat yang kini tinggal setengahnya saja dari saat tadi sebelum dia melihat Trevor.Tadinya Giana sangat senang dengan kedatangan Bobby di rumahnya. Dia senang akhirnya pria itu menunjukkan keseriusannya dengan datang menghadap ayah dan ibunya. Membicarakan rencana mereka ke jenjang yang lebih serius ke depannya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Tamara yang mengunjungi ayahnya dengan menggandeng pria yang pernah membuat Giana terpesona parah.Saat itu adalah pameran yang diselenggarakan kantornya. Dan Trevor adalah salah satu undangan resmi berlabel VVIP.Ketika Trevor hadir, semua manajernya menunduk. Bahkan CEO mereka pun menyambut dengan hormat.Saat itu pun Giana sudah terpesona akan ketampanan dan kharisma Trevor. Dan dia lebih terpukau lagi saat
“Sungguh suatu kebetulan kau datang ke sini, Tamara. Ayo masuk! Di luar sangat dingin.”Sang ayah -Alland- mempersilakan Tamara untuk masuk.Di sana, Tamara mendapati Shirley dan Giana dan teman prianya.Tamara tidak masuk terlalu dalam. Dia langsung berkata pada sang ayah, “Ayah ... ehm, aku datang tidak akan lama. Aku hanya ingin memberikan ini.”Tamara menyerahkan kartu undangan yang dihias indah kepada ayahnya.Pria tua itu menatap ke arah kartu dan membaca isinya. Seketika tatapannya berbinar cerah.“Kau ... akan menikah, Tamara?”“Iya, Dad. Ini ... perkenalkan calon suamiku.” Tamara lalu merujuk pada Trevor yang sedari tadi berdiri di sebelahnya selayaknya seorang tuan besar yang tak terbantahkan kehadirannya.Tentu saja Alland menyadari keberadaan Trevor sedari tadi, hanya saja dia masih canggung akan Tamara setelah bertahun-tahun tidak bertemu Tamara.Rasa bersalah melilitnya juga selama ini. Di lubuk hati terdalamnya, Alland merasa bersalah karena membiarkan Tamara pergi saat
Apalagi ketika Trevor bergerak dengan menempel demi mencari kenyamanan dirinya.“Hmm ... aku menginginkanmu, Tamara. Malam ini ...” bisik Trevor di sela pagutan dan lumatannya.Meski seakan meminta izin pada Tamara, tapi tangannya sudah bergerak lebih dulu.Trevor menyelinap ke balik kaos Tamara dan mencari gundukan kenyal di baliknya.Masih ada bra tipis di sana dan Trevor meremas dari baliknya. Terasa puncak Tamara yang ikut menajam.Dengan jemarinya, Trevor mengelus untuk merasakan lebih lagi.Sebelah tangannya bergerak seakan saling mensupport. Dia menaikkan kaos baju Tamara untuk diloloskan melewati kepala.Sedangkan tangan satunya terus membelai dan mengelus. Sesekali cubitan ringan dikerahkan Trevor membuat Tamara semakin menggelinjang.Trevor lalu merayapkan tangannya di sepanjang kulit halus Tamara, menyisiri perut rata Tamara hingga berakhir di bokong lembut Tamara.Meremas di sana, Trevor kembali semakin menyelinap ke balik celana pendek, untuk menuju paha dalam Tamara.Saat
Bukan hanya Tamara yang semakin merasakan berat hatinya menceritakan semua itu, tapi juga Trevor.Dia sungguh tak menyangka jika Tamara mengalami ditinggalkan ibu kandungnya sendiri.Tenggorokan Trevor ikut tercekat rasanya.Tak bisa ditahannya, Trevor pun menebak lagi dengan tepat. “Ternyata ibumu pergi karena ayahmu memiliki wanita lain.”Tamara mengangguk perlahan sambil menundukkan wajahnya.Tamara tidak suka memikirkan ibunya, apalagi membicarakannya.Ada kemarahan tersendiri dalam hatinya untuk ibunya. Kenapa ibunya tidak memberitahunya sama sekali tentang perselingkuhan ayahnya. Kenapa ibunya malah pergi begitu saja. Setidaknya, ibunya harusnya membawa dirinya pergi juga. Bukan pergi sendiri.Dan kalaupun memang ingin pergi seorang diri, setidaknya ibunya memberitahukan padanya! Jika memikirkan ibunya terasa begitu pahit, memikirkan ayahnya pun Tamara seperti menelan pecahan kaca.“Aku baru mengetahui semua itu setelah satu minggu kepergian ibuku. Ayahku pulang dengan istriny