Sungguh kebetulan yang luar biasa.
Selain itu juga, entah mengapa dia merasa dua wajah di hadapannya ini cukup familier.
Trevor sampai tak bisa mengalihkan tatapannya dari mereka.
Hanya saja, sekalipun dia mengaduk-aduk ingatannya, Trevor tidak bisa menyebutkan satu pun nama yang memiliki kemiripan wajah di hadapannya itu.
Rasa penasarannya semakin bergejolak.
“Siapa kalian?” tanyanya pada dua gadis kecil itu.
Sontak saja, Thea dan Tilly berkacak pinggang.
“Paman yang siapa?” sahut Tilly tak merasa takut sama sekali. Suaranya yang cempreng pun terdengar lucu.
Karena pertanyaannya malah dibalas dengan pertanyaan juga, Trevor semakin penasaran. Dia pun terkekeh pelan.
“Namaku Trevor. Apa kalian mengenaliku?”
Dengan polosnya, Thea dan Tilly menggelengkan kepala mereka.
“Aku sudah memperkenalkan namaku. Sekarang giliran kalian,” titah Trevor.
Meskipun tidak ada kelembutan dalam suaranya, tapi tatapannya pada dua anak itu sangat berbeda.
Tidak seperti biasanya, di mana Trevor selalu melayangkan tatapan membunuh.
Tapi pada dua bocah perempuan yang imut ini, Trevor malah menatap mereka dengan lembut.
“Namaku Tilly, sedangkan ini adikku, namanya Thea.”
Tilly memperkenalkan dirinya dengan meletakkan dua telapak tangannya di dada, lalu tangan itu menunjuk ke arah Thea.
Thea pun mengangguk mendengar Tilly turut memperkenalkan dirinya pada Trevor.
“Kalian kembar?” tanya Trevor dengan menunjukkan ekspresi takjubnya yang sebenarnya tertuju pada cara Tilly yang begitu sopan memperkenalkan diri.
Selain takjub pada keberanian dua bocah perempuan di hadapannya itu, Trevor juga merasa takjub pada dirinya sendiri yang untuk pertama kalinya merasa tertarik berinteraksi dengan anak kecil.
Selama ini dia tak pernah tertarik pada anak-anak. Jangankan berinteraksi, Trevor akan menjaga jarak dirinya dari anak-anak.
Baginya anak-anak adalah makhluk pengganggu yang berisik.
Ini adalah pengalaman pertamanya dan Trevor merasa hal ini cukup menarik. Apalagi dua bocah perempuan di hadapannya ini terlihat tidak merasa takut sama sekali pada kehadirannya serta para pengawalnya.
Thea dan Tilly tampak mengangguk bersamaan.
"Benar kami kembar,” sahut Tilly lagi, lalu dia memprotes dengan merengut, “Apa paman tidak bisa melihat kesamaan di wajah kami?! Kok masih bertanya kami kembar, sih?"
Trevor nyaris tertawa melihat wajah itu merengut kesal hanya karena dia memberikan pertanyaan yang tidak berbobot.
“Ya, aku melihatnya. Tapi aku ingin mendengarnya sendiri dari bibirmu yang mungil ini.”
Satu keanehan lagi. Trevor sampai tanpa terduga menyentuh bibir mungil Tilly dengan telunjuknya.
Dia merasakan getaran yang aneh saat melakukan hal tak biasa ini.
Kenapa tiba-tiba saja dia merasa perbuatannya ini seperti dipenuhi aura penuh kasih sayang yang lembut. Ini sungguh aneh.
“Iiih, paman kenapa pegang-pengang? Jari Paman nanti ada kuman, aku jadi kena kuman dong! Haduuuuuh!”
Tilly langsung mengelap bibirnya dengan kain bajunya.
Itu membuat Percy yang melihatnya dari belakang Trevor sampai terkesiap. Percy menahan marah atas kata-kata Tilly.
Beraninya bocah itu mengatai jari boss-nya berkuman. Gadis kecil ini cari masalah.
Percy menunggu Trevor bangkit berdiri dan memberi perintah untuk memberi dua gadis kecil ini pelajaran kecil.
Tapi yang terjadi, Percy malah mendengar Trevor terkekeh.
“Tanganku selalu bersih. Aku sering cuci tangan. Tidak perlu takut kuman.”
“Benarkah? Awas kalau aku tiba-tiba sariawan di sini!”
“Kalau itu terjadi, kau boleh mendatangiku dan meminta pertanggung jawaban. Aku akan membawamu ke dokter dan membelikanmu obat.”
“Benar ya, Paman?” Tilly tiba-tiba merasa tenang. Lalu jari kelingkingnya terarah pada Trevor.
“Janji lho!”
“Janji!” Trevor pun mau-maunya menautkan jari kelingkingnya di jari Tilly.
“Tapi bagaimana aku memberitahu Paman?”
Trevor tiba-tiba tersadar. Dia memberi perintah pada Percy lewat jarinya.
“Beri mereka kartu namaku.”
“Baik, Boss.”
Trevor kembali menatap Tilly dan Thea.
“Sekarang, kenapa kalian bisa berlarian di sini? Mana orang tua kalian?”
Wajah Tilly dan Thea yang sudah berbinar tadi tiba-tiba meredup dan terlihat sedih.
“Kami tidak datang dengan orang tua. Kami hanya memiliki mami, tapi tidak memiliki daddy. Dan saat ini kami datang dengan Bibi yang menyelematkan mami saat mami mengandung kami.”
Kedua mata biru keperakan Thea dan Tilly berkaca-kaca saat mengatakan itu.
Sekali lagi, Trevor merasa heran kenapa hatinya seakan ikut tercubit hanya karena mendengar kisah sedih ini dari Thea dan Tilly.
Dia pun berdeham demi mengalihkan perasaan hatinya sendiri dari kesedihan yang tiba-tiba melilitnya.
Lalu sebuah suara terdengar dari kejauhan meneriakkan nama kedua bocah itu.
“Tilly! Thea! Di mana kalian? Sudah tiba giliran kalian!”
“Eh, itu Bibi Beatrice. Ayo kita ke sana!” Thea menyikut Tilly.
Lalu dua gadis itu menatap Trevor. “Sudah ya, Paman. Kami mau imunisasi. Kata mami, imunisasi membuat kami kuat melawan virus. Dah ... paman! Paman juga jangan lupa diimunisasi ya!”
Trevor melihat Thea dan Tilly berlari menjauhinya sambil melambaikan tangan mereka kepadanya.
Dua gadis itu tertawa girang dan penuh semangat, seakan kesedihan tentang ketiadaan daddy mereka lenyap begitu saja.
Bangkit berdiri, Trevor masih terus menatap ujung koridor tempat Tilly dan Thea menghilang.
Ada perasaan aneh yang tadi menjalari relung hatinya, kini bagai menetap di dalam sana.
Kini kondisinya yang mandul selama 12 bulan tak lagi mengisi benaknya.
Pernikahannya dengan gadis perawan palsu pun juga tidak lagi dia pikirkan.
Trevor hanya terus menatap ujur koridor dengan benaknya terus menampilkan keceriaan dua gadis kecil tadi.
Thea dan Tilly. Mereka benar-benar imut, lucu, dan menggemaskan.
Namun yang paling membuat Trevor tak bisa mengalihkan pikirannya dari dua gadis kecil itu adalah aroma manis yang tercium dari tubuh mereka.
Aroma yang menguar dari dua gadis kecil itu terasa seperti aroma stroberi yang manis, yang persis sama dengan aroma gadis yang disodorkan Vicco padanya 6 tahun lalu.
Trevor memejamkan mata berusaha mencari perbedaan dari dua aroma yang dihirupnya di dua waktu yang berbeda ini.
Sesaat kemudian, Trevor menggeleng.
Tidak ada yang berbeda.
Aroma dua gadis kecil ini sama persis dengan aroma yang terpatri dalam ingatannya tentang gadis perawan enam tahun lalu.
Sungguh aneh.
Bagaimana bisa?
“Signore ...” ujar Tamara dengan senyum yang bernada mencibir bercampur candaan.“Ayolah ... aku sangat menginginkanmu,” bisik Trevor lagi sambil tiba-tiba mengangkat tubuh Tamara hingga berada dalam gendongan bridal style-nya.“Trevor! Kita sudah sepakat!”“Tidak bisakah kita lupakan saja kesepakatan yang dulu itu? Aku benar-benar menginginkanmu saat ini.”Trevor merebahkan Tamara di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya.Dia kembali menindih Tamara dan menciumnya dengan lembut.Pagutannya terasa dalam meski masih tenang dan tidak menggebu.“Signore, apa yang sudah disepakati tidak bisa diubah.”“Begitu kah?”“Iya. Kecuali kau mau juga mengubah hari pernikahan kita.”Mendengar itu, Trevor langsung berhenti dengan segala aktivitasnya.Dia terdiam dan hanya menatap Tamara. Ada kejengkelan di manik matanya meski itu tidak seberapa besar.Pada akhirnya Trevor bangun lagi dan duduk.Dia masih memberikan tatapan kesal pada Tamara.Wanita itu lalu terkekeh sambil memeluk leher Trevor.“Se
“Daddy sama mommy sudah pulang!”Thea dan Tilly menyambut orang tuanya dengan penuh semangat.Setiap kali mereka ditinggal di rumah, selalu ada Bibi Beatrice yang menemani mereka.Dan seperti biasa, Travish tetap cool. Dia menyambut dengan tatapan sekilas, lalu kembali fokus pada layar televisi, menonton pertandingan bola kesukaannya.“Kalian sudah makan?” tanya Tamara seraya membuka mantel dan syal-nya.Begitu selesai, Trevor mengambil mantel dan syal-nya lalu menggantungkannya di tiang mantel.Baru setelah itu dia membuka mantelnya sendiri.“Sudah! Tadi kami sudah lapar sekali. Jadi Bibi Betrice memasak untuk kami. Ngomong-ngomong mommy dan daddy sudah makan?”“Belum. Apa kalian ada menyisakan untuk kami?” tanya Trevor seraya berjongkok untuk membawa Thea dan Tilly dalam gendongannya.Dua gadis kecil itu sudah tahu lalu memeluk leher ayah mereka. Sekejap kemudian mereka sudah terangkat.Setiap kali hal ini terjadi, mereka akan tertawa-tawa merasakan digendong bersamaan dan merasa ti
“Bagaimana rencana pernikahan kalian? Apa sudah kalian perkirakan tanggal dan bulannya?”Makan malam malam itu akhirnya berlangsung di antara mereka berempat, seperti rencana semula.Alland, Shirley, Giana dan Bobby.Giana mengangguk dengan semangat yang kini tinggal setengahnya saja dari saat tadi sebelum dia melihat Trevor.Tadinya Giana sangat senang dengan kedatangan Bobby di rumahnya. Dia senang akhirnya pria itu menunjukkan keseriusannya dengan datang menghadap ayah dan ibunya. Membicarakan rencana mereka ke jenjang yang lebih serius ke depannya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Tamara yang mengunjungi ayahnya dengan menggandeng pria yang pernah membuat Giana terpesona parah.Saat itu adalah pameran yang diselenggarakan kantornya. Dan Trevor adalah salah satu undangan resmi berlabel VVIP.Ketika Trevor hadir, semua manajernya menunduk. Bahkan CEO mereka pun menyambut dengan hormat.Saat itu pun Giana sudah terpesona akan ketampanan dan kharisma Trevor. Dan dia lebih terpukau lagi saat
“Sungguh suatu kebetulan kau datang ke sini, Tamara. Ayo masuk! Di luar sangat dingin.”Sang ayah -Alland- mempersilakan Tamara untuk masuk.Di sana, Tamara mendapati Shirley dan Giana dan teman prianya.Tamara tidak masuk terlalu dalam. Dia langsung berkata pada sang ayah, “Ayah ... ehm, aku datang tidak akan lama. Aku hanya ingin memberikan ini.”Tamara menyerahkan kartu undangan yang dihias indah kepada ayahnya.Pria tua itu menatap ke arah kartu dan membaca isinya. Seketika tatapannya berbinar cerah.“Kau ... akan menikah, Tamara?”“Iya, Dad. Ini ... perkenalkan calon suamiku.” Tamara lalu merujuk pada Trevor yang sedari tadi berdiri di sebelahnya selayaknya seorang tuan besar yang tak terbantahkan kehadirannya.Tentu saja Alland menyadari keberadaan Trevor sedari tadi, hanya saja dia masih canggung akan Tamara setelah bertahun-tahun tidak bertemu Tamara.Rasa bersalah melilitnya juga selama ini. Di lubuk hati terdalamnya, Alland merasa bersalah karena membiarkan Tamara pergi saat
Apalagi ketika Trevor bergerak dengan menempel demi mencari kenyamanan dirinya.“Hmm ... aku menginginkanmu, Tamara. Malam ini ...” bisik Trevor di sela pagutan dan lumatannya.Meski seakan meminta izin pada Tamara, tapi tangannya sudah bergerak lebih dulu.Trevor menyelinap ke balik kaos Tamara dan mencari gundukan kenyal di baliknya.Masih ada bra tipis di sana dan Trevor meremas dari baliknya. Terasa puncak Tamara yang ikut menajam.Dengan jemarinya, Trevor mengelus untuk merasakan lebih lagi.Sebelah tangannya bergerak seakan saling mensupport. Dia menaikkan kaos baju Tamara untuk diloloskan melewati kepala.Sedangkan tangan satunya terus membelai dan mengelus. Sesekali cubitan ringan dikerahkan Trevor membuat Tamara semakin menggelinjang.Trevor lalu merayapkan tangannya di sepanjang kulit halus Tamara, menyisiri perut rata Tamara hingga berakhir di bokong lembut Tamara.Meremas di sana, Trevor kembali semakin menyelinap ke balik celana pendek, untuk menuju paha dalam Tamara.Saat
Bukan hanya Tamara yang semakin merasakan berat hatinya menceritakan semua itu, tapi juga Trevor.Dia sungguh tak menyangka jika Tamara mengalami ditinggalkan ibu kandungnya sendiri.Tenggorokan Trevor ikut tercekat rasanya.Tak bisa ditahannya, Trevor pun menebak lagi dengan tepat. “Ternyata ibumu pergi karena ayahmu memiliki wanita lain.”Tamara mengangguk perlahan sambil menundukkan wajahnya.Tamara tidak suka memikirkan ibunya, apalagi membicarakannya.Ada kemarahan tersendiri dalam hatinya untuk ibunya. Kenapa ibunya tidak memberitahunya sama sekali tentang perselingkuhan ayahnya. Kenapa ibunya malah pergi begitu saja. Setidaknya, ibunya harusnya membawa dirinya pergi juga. Bukan pergi sendiri.Dan kalaupun memang ingin pergi seorang diri, setidaknya ibunya memberitahukan padanya! Jika memikirkan ibunya terasa begitu pahit, memikirkan ayahnya pun Tamara seperti menelan pecahan kaca.“Aku baru mengetahui semua itu setelah satu minggu kepergian ibuku. Ayahku pulang dengan istriny