Share

Bab 2

Untuk terakhir kalinya aku melihat wajah ibuku yang terbujur kaku tak bersuara. Aku berharap bahwa dia hanya tertidur, namun itu sungguh mustahil. Badanku masih tidak mempunyai tenaga, aku hanya bisa meraung memanggilnya. Mungkin ini yang dinamakan hilangnya akal sehat, duniaku serasa seketika gelap tanpa harap.

Aku masih mengingat tentang kebaikan seseorang yang menggendongku di punggungnya karena aku tidak mampu berjalan. Dia menggendongku dari tempat pemakaman diatas bukit sampai di tempat rumah bibiku. Jaraknya mungkin sekitar satu kilometer.

Setelah Maghrib, aku mendengar suara tangisan yang pecah

"Mamah mamah mamah aaaa aaaaaa mamah" teriak suara itu.

Dan suara orang-orang yang datang untuk menenangkannya

"Sudah neng, mamah sudah tenang. Jangan seperti itu!!" Ucap beberapa orang yang menghampiri suara itu. 

Ternyata suara itu tidak lain adalah suara kakakku. 

Aku dibawa oleh salah seorang uwa untuk menemui kakakku. Tangis kakakku makin pecah ketika melihatku yang tanpa daya. 

Dia memelukku walaupun masih dengan tangisan yang histeris. 

"Jangan khawatir, Dede masih ada teteh!!" Ucapnya sambil memelukku erat. 

Tiba-tiba pria itu menghampiri kami dan berkata "Hey eling, jangan begitu eling!!" Ucapnya. 

Ekspresi kakakku yang sedang memelukku malah berubah drastis seperti yang kerasukan. Dia memanggil nama tuhan sambil matanya membelalak kepada pria itu. 

Ya pria itu adalah orang yang aku panggil ayah. Aku semakin membencinya pada saat itu, aku menyalahkannya atas apa yang terjadi pada ibuku. Luka hati dan traumaku ini tergores makin dalam.

Namun terselip sedikit rasa kasihan dalam hatiku untuk pria tua itu. Kini tidak akan ada lagi wanita yang akan menerima dan merawatnya dengan sabar sesabar ibuku. 

Hari-hari berlalu, aku memutuskan untuk tinggal bersama kakakku dan meninggalkannya sendirian. Bukannya aku tidak berbakti, tapi dari sepeninggal ibuku dia tidak berubah masih saja suka berkata kasar. 

Tapi bagaimanapun aku besar dan hidup selama 22 tahun di rumah itu namun keadaan tidak lagi sama. Suasana rumah yang dingin dan setiap sudut menyimpan kenangan ibu, membuatku tidak akan pernah bisa bangkit. 

Dia berdiri memperhatikan kita yang sedang berkemas, aku sempat berpikir bahwa mungkin hatinya mulai merasa hampa. Dia tidak menyangka bahwa semuanya akan cepat berubah setelah istrinya tiada. 

Sempat terlihat dari sudut mataku, namun aku enggan menatapnya. 

"Ayah,, seandainya kau memperlakukan kami dengan baik layaknya ayah-ayah lain. Mungkin aku akan setia menemanimu, tapi hatikupun sakit karena setiap sudut rumah ini pun menjadi saksi bisu bagaimana kejamnya kau memperlakukan kami!" Aku berkata dalam hati sambil membereskan barang-barang ku. 

Air mataku sempat akan menetes, bagaimana pun sebenarnya aku menyayanginya. Namun kenangan pahit lebih sering muncul, sehingga aku pun tidak ingin diam dalam kesedihan.

Terlihat dari kaca spion bahwa dia mengikuti kita sampai keluar, aku yakin bahwa hatinya sangat hancur kali ini. Namun sayang, aku sudah tidak punya harapan setelah ibuku tiada. 

2 Minggu berlalu, 

Disuatu malam sekitar pukul 19.00 aku, kakakku dan kedua keponakanku masih asyik bermain. Kami bercanda dan tertawa karena tingkah keponakan bungsuku yang masih berusia 4 bulan. 

Tok tok tok...

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. 

"Teh, ada yang datang nyariin suami teteh!!" Ucap tetangga yang mengantar orang tersebut. 

Kakakku keluar untuk menemuinya, betapa kagetnya kami ketika seorang pria tua mengenakan topi, sepatu pantofel dan jaket abu itu berdiri di depan kami. 

Ya, itu ayah! Dia datang untuk pertama kalinya, entah bagaimana dia bisa datang walau kakakku hanya memberi tahunya sekali.

Aku hanya bisa mendengar suaranya mengobrol dengan kakakku di luar. 

"Tadi pake ojek, jalan kedepan situ tapi tidak ketemu, terus bapak bilang lagi ke perumahan ***** terus ketemu si mas itu bapak bilang mau ke pak (menyebutkan nama suami kakakku) terus diantar bapak sama si mas itu!!" Begitu ungkapnya.

Namun dia tidak tinggal untuk waktu yang lama. Mungkin sekitar satu jam dia memutuskan untuk pulang, dia sadar bahwa anaknya tidak menginginkan kehadirannya. 

Dia merogoh saku dalam jaketnya , dan mengeluarkan satu bungkus kue untuk keponakanku. Kue itu pun tidak dilapisi plastik. Dia memberikan nya dnegan tangan telanjang.

Untuk pertama kalinya dia memberiku uang, dia bilang itu untukku jajan. 

Antara pikirku yang dia merasa bersalah karena memang dia tidak pernah memberiku uang jajan dengan nominal yang layak seperti anak lain. Atau mungkin karena dia ingin berdamai denganku. 

6 bulan berlalu, ayahku mulai sering datang. Dan aku pun mulai membuka hati untuk memaafkannya, hatiku terketuk karena aku merasa kasihan padanya. 

Aku mendapat pekerjaan baru, sehingga aku sudah jarang bertemu ayah jika dia datang. 

Ddrrrrtttt ddrrrrtttt..

Pesan teks dari kakakku, dia bilang jika tadi ayah datang menitipkan uang 500ribu untuk jajan.

Hatiku mulai merasa tidak enak, dan aku pun mulai merasakan kesepiannya. 

Suatu malam, ketika aku sampai dirumah selesai bekerja sekitar pukul 22.00

Seorang mengetuk pintu, lagi-lagi itu ayah. Dia semakin sering datang akhir-akhir ini. 

Hanya sekitar 30 menit dia tinggal, tiba-tiba dia pamit pulang. Kakakku menyuruhnya untuk menginap saja, karena ini sudah malam. 

Setelah dibujuk akhirnya dia pun mengiyakan. Walaupun hubunganku dengan ayah berangsur membaik, tapi aku masih tidak bisa mengobrol dengannya. 

Tiba-tiba dia terisak, 

"Kenapa hidup bapak begini ya?? Bapak mengakui bahwa tidak ada wanita sesabar mamah. Semalam kemarin, bapak merasa mamah masih ada, malahan bapak sering dengar suara kalian mengobrol diruang tamu. Bapak buru-buru liat tapi itu hanya halusinasi saja. Bapak juga sampai buka pintu kamar Dede, karena terus dengar suara kalau Dede lagi ada di kamar. Bapak kesepian, makanya bapak datang walau sudah malam!!" Tuturnya sambil mengusap air mata yang jatuh ke pipinya. 

Entah itu air mata sungguhan atau bukan, tapi aku yakin bahwa dia memang kesepian. 

Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa ; "dia jahat karena dia tidak mengenal rasa kasih sayang. Ibunya pun meninggal diusianya yang masih muda, ayahnya pun menikah lagi tanpa mempedulikan anak-anaknya. Tapi apakah sulit untuk membedakan kasih sayang dan bukan? Aku masih tidak bisa menerimanya, aku hanya akan memaafkannya".

Beberapa hari berlalu, ayah tidak datang lagi. Sungguh aneh, sampai akhirnya kita memutuskan untuk pergi menemuinya. Kami ingat bahwa dia sempat mengeluhkan perut nya yang sakit dan keras, namun dia tidak pergi untuk diperiksa lebih lanjut karena dia takut. 

Setelah sekian lama, aku melihat lagi rumah ini. Ingatan masa kecil menyerangku ketika aku mulai menginjakan kakiku diteras rumah. 

Pintu nya tertutup namun sama sekali tidak dikunci, kami memanggilnya dan suara lemah menjawab kami. 

Dia berbaring tak berdaya di ranjangnya, haruskah di bawa ke rumah sakit namun dia tetap menolak. Kami menyediakan berbagai makanan dan minuman di sisinya. Sungguh menyesal kami tidak bisa tinggal lebih lama karena untuk ijin hari ini pun aku sudah mendapat teguran dari bosku. 

Untuk kali ini aku benar-benar memaafkannya, aku sangat merasa kasihan padanya. Dengan berat hati kami meninggalkan nya, karena dia bilang bahwa dia baik-baik saja. 

Pagi menjelang, seperti biasa aku selalu mengerjakan dulu pekerjaan rumah sebelum bekerja.

Prang......

Satu gelas pecah, jatuh dari genggaman ku ketika aku sedang mencucinya. Firasatku tidak bisa bohong bahwa aku langsung khawatir dengan keadaan ayah. 

Pesan masuk memberi tahu bahwa ayah masuk rumah sakit. Kami pun panik dan bertanya siapa yang menjaganya, seorang tetangga mencari bantuan dan menemukan seorang pemuda yang masih menganggur untuk menjaganya. 

Tentu saja itu tidak gratis, karena ayahku akan memberinya upah. Kami pikir itu lebih baik, daripada kami yang menjaganya Karena dia pasti canggung. 

Aku mencoba meminta ijin untuk tidak masuk kerja lagi karena ingin menjenguk ayah dirumah sakit. Namun seperti biasa, itu menjadi masalah, aku tidak mempedulikannya dan hanya pergi saja. Beruntung sekali aku hadir, karena ku bisa bertemu langsung dnegan dokter yang menangani ayah. 

Satu lembar hasil CT-scan Rontgen dikeluarkan dari amplop besar dan diperlihatkan padaku. 

Dokter menjelaskan bahwa itu adalah tumor yang tumbuh di ulu hati dan ayah harus dioperasi. Namun karena ayah sedang batuk , maka batuknya harus sembuh terlebih dahulu. 

Dokter itu pun mengatakan harus hati-hati untuk berbicara dengan pasien karena pasien punya riwayat jantung. 

Ya, ayah punya penyakit komplikasi yang membuatnya sering juga keluar masuk rumah sakit. 

Ketika aku melihat ayahku, dia terlihat senang karena aku mengunjunginya. Aku tak sanggup untuk memberi tahunya bahwa dia terkena tumor. Tapi sebelumnya dokter sudah bicara padanya bahwa dia harus dioperasi namun pada saat itu dokter belum tahu penyebab asli penyakitnya apa. 

Aku bercerita bahwa sebenarnya aku bolos lagi bekerja hari itu, dan besok aku tidak boleh membolos lagi kataku. 

Malamnya aku langsung kembaki6, karena besoknya aku harus bekerja, aku bercerita pada kakak tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ayah. 

Kakakku juga nampak kaget, dia juga khawatir dan merasa bersalah karena belum bisa menjenguknya. Urusan 2 anak pun sudah membuatnya sibuk dan kerepotan. 

Keesokan harinya aku pergi bekerja, rekan kerjaku memarahiku dan berlaku ketus padaku. Membuatku sangat tidak nyaman, hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk berhenti saja. 

Owner tempat ku bekerja mendatangiku dan mengajakku berdiskusi, namun memang aku tidak bisa berjanji jika kedepannya aku akan fokus , aku memberi tahukan bahwa ayahku benar sakit dan sebentar lagi dia akan menjalani operasi. 

Selepas ashar, kakakku menelpon jika ayah sudah tahu bahwa dia mengidap tumor. Dia menangis dan tak menyangka jika dia akhirnya mengidap penyakit yang sebenarnya selama ini dia paling takuti. 

Nomor tidak dikenal menelpon ku terus menerus, tapi aku tidak bisa mengangkat nya karena sedang evaluasi harian. 

Diperjalanan pulang pun nomor ini masih menelpon ku. Akhirnya aku mengangkatnya, seseorang berkata diseberang telpon bahwa ayahku kritis. 

Dengan segera aku memberitahukan pada kakakku. Setelah aku sampai di rumah, aku pikir bahwa kita akan segera pergi, tapi ternyata masih tidak bisa karena kondisi kakak iparku yang keracunan obat-obatan. 

Kami masih menunggu bantuan untuk mengantar kami pergi, sampai akhirnya satu pesan yang berisi sambaran petir datang "Ayah sudah tidak ada!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status