Share

Bab 4

Namun lagi-lagi aku memutuskan untuk melajang. Sekitar 5 tahun aku berusaha hidup tanpa mencintai siapapun. Semua itu karena traumaku yang berkali-kali bertemu dengan orang yang salah. 

Dikhianati, dijadikan orang ke tiga, ditinggalkan tanpa sebab, dimanfaatkan secara financial bahkan dimanfaatkan hanya untuk urusan badan juga pernah, walaupun begitu, aku masih teguh mempertahankan keperawanan ku. 

Semua itu aku lalui bukan karena aku wanita yang tidak bisa sendirian, namun aku terlalu bodoh dan menganggap bahwa akan ada pria yang mencintaiku dengan tulus. 

Tapi nyatanya, pria memang tidak pernah menganggap ku serius. Setelah aku lelah dengan semuanya, aku memang memutuskan untuk hanya fokus bekerja, walaupun sekalinya aku fokus bekerja itu pun tidak jadi apa-apa. 

Karena hidupku yang sendiri, sehingga penghasilanku yang pas-pasan pun hanya bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.

Dikala mood ku sedang tidak baik, kenangan pahit masa lalu selalu menemani. Terlebih perkataan ayahku yang membuatku semakin yakin bahwa aku memang tidak layak untuk dicintai..

5 tahun memutuskan untuk sendiri itu tidak mudah, rasa sepi dan sedih hanya bisa aku rasakan sendiri. Aku tidak ingin berbagi kesedihanku pada orang lain, tapi terkadang hadirnya seseorang yang mencintai kita dalam hidup membuat hidup kita terasa lebih berarti. 

Aku mencoba untuk menjauhkan bosan dari hidupku dengan mencari teman dari dunia maya. Walau sekedar ngobrol tapi aku merasa tidak kesepian. 

Ya biasalah dunia maya, mengobrol hanya 2 hari lalu mereka menghilang. Setidaknya walaupun mereka menghilang aku tidak akan merasa sedih. Karena mereka hanya teman dunia maya.

Aku pun memilih kenalan dari negara lain, karena alasan traumaku pikiran ku lebih terbuka dengan pria yang berasal dari negara lain. 

Waktu silih berganti, berhari-hari berminggu-minggu berbulan-bulan aku masih memainkan aplikasi itu. Singkat cerita, ada pria yang aku rasa perilaku dan sifatnya itu nyambung denganku. 

Hingga akhirnya tidak terasa bahwa kita sudah intens mengobrol tanpa hilang kontak sedikitpun. Obrolan kami makin dalam, sampai ranah pribadi pun kita masukan dalam topik kita. 

Sampai dirasa memang tidak ada rahasia diantara kita. Caranya menanggapi cerita ku pun terlihat sangat tulus. 

Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemuiku. Aku tidak menganggapnya serius pada saat itu, pikiran ku masih dalam batasku dimana aku menganggap bahwa dia hanya bicara saja. 

Dia meyakinkanku dengan mengirim bukti pembelian tiket pesawat menuju Indonesia. Dan aku pun hanya merasa percaya saja bahwa dia akan datang. Tanpa perasaan lebih lain karena kemungkinan bahwa dia hanya berbohong itu juga masih mungkin terjadi. 

Sebulan berlalu, kami pun benar-benar bertemu. Pikiranku masih berusaha waras, jika dia datang hanya untuk berlibur. 

Sampai pada akhirnya dia mengatakan padaku bahwa alasannya datang adalah untuk menemuiku. 

"Ah yang benar saja, wanita jelek sepertiku mana mungkin disukai dan membuat seorang berkorban untuk datang menemui ku!!" 

Berkali-kali aku memperingatkan otakku supaya tidak terlena. 

Tidak disadari bahwa apa yang kami lakukan berujung perasaan seperti sepasang kekasih. 

Sampai aku pun menangis ketika terakhir kita bersama dan dia harus kembali ke negaranya. Dan itu pun pertama kalinya ada pria yang menangis ketika harus melepasku. 

Aku mengantar nya sampai ke bandara, keyakinan ku harus aku pudarkan. Mengingat bahwa tidak pernah ada ketulusan untukku. Aku harus menganggap segala kebaikan dan pengorbanannya adalah hal biasa. 

Namun rasa takut dan khawatir hinggap dikala dia kembali ke negaranya. 

Aku tidak dapat berbohong bahwa ternyata aku menaruh harap. Aku tidak bisa berekspresi terlalu bahagia, karena aku juga tidak ingin terlihat terlalu bersedih dikala dia memang benar pergi seperti yang lainnya. 

Komunikasi kami masih berjalan dengan baik, bahkan disaat dia pergi bersama kerabatnya pun aku masih diberi kabar. 

Hampir tidak pernah ada konflik diantara kami, dia memperlakukan ku dengan baik sehingga aku tidak pernah merasa curiga. 

Tiba saat dimana dia memberitahu ku bahwa dia akan pergi mengunjungi orang tuanya di kota lain.

Entah mengapa hatiku terasa khawatir, tiba-tiba saja aku ingin berdoa dan meminta kebahagiaan. 

"Tuhan, Apapun yang terjadi aku hanya ingin bahagia!" 

Padahal ada kekhawatiran lain dalam benakku yang tidak pernah ingin aku ungkapkan pada siapapun. 

Sepulangnya dia dari rumah orangtuanya, komunikasi kami mulai dingin. Walaupun kami masih berkomunikasi. 

Ketika bervideo call pun tanpa berkata-kata kami seolah bertelepati. Hanya sekedar menatap tanpa berkata apapun, kami sama-sama menangis. 

Tapi kami masih terus mempertahankan hubungan ini. 

Tiba di hari dimana dia sangat lambat dalam merespon, aku hanya mencoba untuk berpikiran baik walau aku tahu bahwa firasat tidak akan pernah berbohong. 

Dia menelpon ku lewat video, namun dia mengarahkan kameranya ke langit kamarnya. 

Aku pun bertanya tentang apa yang dia lakukan, dan kenapa camera nya tidak mengarah ke wajahnya. 

"Mana wajahnya? Aku ingin lihat, aku sangat rindu" ucapku. 

Hanya sedetik lalu dia memutus panggilan nya. 

Aku mencoba memanggilnya kembali, dia pun menyambungkan panggilan itu. 

Namun untuk kedua kalinya dia menghindari camera nya. 

"Aku tahu kamu sedang menangis, apa yang terjadi?" Tanyaku. 

Dia hanya bilang bahwa dia tak sanggup melihat wajahku. 

Tanpa dia berkata lebih, aku pun mengerti maksudnya. 

Pikiranku sudah meracuni keyakinan ku, bahwa kali ini pun akan berakhir sama. 

Aku hanya bertanya apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dan dia pun tidak menyebutkan kata-kata bahwa kita harus berakhir. 

Emosinya mereda, lalu dia meluapkan isi hatinya. 

Dia hanya menyesal bahwa kita berada berjauhan, sehingga jika terjadi suatu hal padaku, dia tidak bisa segera membantu. 

Aku tahu bahwa itu hanya secuil kekhawatiran nya. Dan dia hanya mencoba untuk mengalihkan topik.

Kekhawatiran yang sesungguhnya adalah bahwa hubungan kita sedang berada di ujung tanduk. 

Antara kita harus terjatuh bersama atau kembali ke jalan lain dan berpisah. 

Kita memilih untuk meneruskan hubungan ini dengan keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan jalan. 

Batinku berkata lain, aku meyakini bahwa kita akan putus. Dan ini hanya tinggal menunggu waktu. 

Namun kali ini juga aku dengan lancangnya meminta supaya hubungan kami diberi kemudahan.

Sebagai manusia yang mempunyai iman, walau imanku hanya seuprit tapi aku juga adalah manusia tidak tahu diri yang masih meminta walau hasil akhir akan tetap saja sama. Dan tidak tahu malunya aku, aku masih mengira bahwa mungkin bisa saja kali ini berbeda. 

Kalian bisa nilai betapa bodohnya aku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status