Home / Romansa / Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah! / Bab 10: Pagi yang Panik

Share

Bab 10: Pagi yang Panik

last update Last Updated: 2024-07-09 00:45:38

Michelle mendorong dua kartu ini sampai mendekat ke tangan Alins yang berada di tepian meja. Dengan tindakan serupa pula Alins mendorong balik ke tangan Michelle, sampai memaksa Michelle menggenggamnya.

“Kami tidak merasa disusahkan olehmu. Sebaliknya, kami merasa senang kau ada bersama kami. Bukankah kau sudah menganggap kami seperti orang tuamu, Michelle?”

Dani menepuk pundak michelle. "Kami akan sedih jika kau menolak ini.”

"Terimalah! Simpan uangmu untuk kebutuhan lainnya. Kau dan anakmu berhak untuk hidup layak. Kami tidak punya siapa-siapa selain dirimu untuk berbagi kebahagiaan." Alins meyakinkan sambil menutup jemari Michelle agar menggenggam 2 kartu yang mereka berikan.

Tak ada yang bisa Michelle lakukan selain memeluk Alins. Wanita cantik itu menitihkan air mata di pelukan Alins yang berbalas.

Michelle benar-benar merasa beruntung di tengah-tengah ujian hidup yang menyayat perasaannya. Sampai-sampai di dalam hati Michelle memohon kebahagian dan ketenangan hidup saat itu tidak akan pernah rusak.

"Ayo segera tidurlah. Wanita hamil tidak baik tidur terlalu malam.” Alins mengalihkan suasana demi kesehatan Michelle. “Kami juga akan tidur karena besok kami akan berangkat pagi ke rumah sakit,” lanjutnya menuntun Michelle ke kasur sementara Danny dengan sigap

merapikan gelas susu hamil di meja Michelle.

Selimut dinaikkan hingga separuh tubuh michelle tertutup selimut. "Sekali lagi terima kasih sampaikan juga kepada Paman Danny."

"Tentu sayang, kami cuma mau kau jaga kesehatanmu dan bayimu. Itu sudah lebih dari cukup bagi kami." Alins mengecup kening Michelle dan mematikan lampu.

.

Di ruangan gelap kamarnya michelle tak mampu menyembunyikan perasaan hatinya. Michelle merasa sangat beruntung karena Alins dan. Danny sudah menyayanginya dengan tulus. Mereka adalah pengganti Mommy dan Daddy yang sempurna bagi michelle dari kecil hingga sekarang dewasa.

Seharusnya hidupnya sempurna namun kenapa ada luka yang tak sembuh kala mata Michelle terpejam. Roland selalu hadir dalam terpejamnya. Berkali-kali ia mencoba melupakan namun tetap saja wajah itu selalu menghiasi pelupuk matanya. Tak pernah berhenti sedetik pun.

Danny dan Allins masih terjaga di ruang tidur mereka. Danny membaca buku dan Alins masih asik dengan ponselnya.

"Bagaimana bila kita memperluas kamar Michelle agar ketika bayinya lahir suasana baru membuatnya bahagia. Dia masih saja bersedih tampaknya. Sesekali ia menyembunyikan wajah sendunya." Alins meletakkan ponsel di nakasnya.

"Itu ide yang baik. Hamil sebagai single parent memang berat. Lakukan apa saja yang kau mau, Sayang. Michelle sudah seperti anak kita sendiri." Danny menutup bukunya. Meletakkan kacamata di atas meja. Lalu merebahkan dirinya di sisi Alins.

Alins tersenyum, "Boleh? Aku akan mendesain kamar yang indah untuk bayi Michelle kalau begitu. Sayang, terima kasih banyak." Aliens mendaratkan kecupan lembut di bibir suaminya. Danny memeluk istrinya dan mematikan lampu kamar tidur mereka.

***

~ Beberapa bulan kemudian ~

Kandungan Michelle sudah berusia sembilan bulan. Alins dirundung rasa gelisah ketika terpaksa meninggalkan Michelle di rumah sendirian.

"Aku sangat khawatir pada Michelle, menurut dokter 4 hari lagi bayinya lahir." Alins tampak mengurungkan niatnya berangkat.

"Jam makan siang aku akan melihatnya." Danny menenangkan istrinya itu.

"Aku tidak apa-apa. Percayalah padaku." Michelle turut menenangkan Alins.

"Michelle, jangan terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika ada salah satu tanda melahirkan, kau harus segera hubungi kami." Alins mendikte, kemudian mengenakan mantel dan syalnya demi menjaga kehangatan tubuh di tengah musim dingin yang menyelimuti.

"Tentu jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja." Michelle meyakinkan Alins.

Ketika ditinggalkan sendiri, Michelle tidak lagi menjaga ketenangan diri. Postur tubuh yang semula terlihat kuat dan baik-baik saja telah terlihat lemas tak berdaya. bahkan untuk menopang tubuhnya yang semakin memberat, Michelle terburu-buru duduk di sofa ruangan.

Kakinya sudah sangat terasa sangat pegal. Pinggangnya juga pegal. Kakinya bengkak dan kelas senam hamil yang dipelajari sudah berhenti karena telah memasuki prediksi masa persalinan.

Meski begitu, setelah merasa sedikit bertenaga dan merasa baik, Michelle memaksakan diri membersihkan area dapur atau pun sisi rumah yang berantakan. Padahal Alins tidak memintanya tetapi memang Michelle yang sudah terbiasa bergerak aktif tidak akan diam saja.

"Aaah ... Aduh sakiit." Michelle mendesis.

Sesaat sakitnya hilang. Michelle tahu itu adalah gejala awal pembukaan. Sakitnya kembali datang lagi beberapa menit kemudian. Itu yang ia pelajari dalam kelas senam hamil. Jemarinya bergelut dengan waktu menyelesaikan kegiatan yang hampir selesai.

“Awh, sakit!”

Michelle kembali mengeluh menahan sakit demi sakit yang semakin sering datang. Tangannya dengan sigap meraih handphone di meja lalu sambil merunduk menahan sakit yang kembali datang jemarinya menghubungi Alins lewat ponselnya.

“Bibi Alins, sakit sekali—”

Prank! Suara pecahan kaca yang nyaring telah menginterupsi pembicaraa yang baru tersambung. Sementara Michelle telah jatuh ke lantai dengan posisi meringis kesakitan di lantai.

“Michelle! Apa yang terjadi padamu?” Alins memekik panik di dalam sambungan telepon

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 140: Bisikan Manis

    Michelle terdiam dengan tatapan linglung yang kosong. Dia sulit mencerna sempurna beberapa saat pasca tenggelam dalam kenikmatan erotis yang Roland antarkan lewat lumatan bibir.Setelah mengembuskan napas panas lewat celah bibir yang agak ranum, barulah Michelle memahami kabar yang Roland sampaikan.“K-kau ... kau akan kembali ke New York?” Michelle terbata memastikan ulang dalam kesadaran tidak memercayai.Dehemen ringan Roland terdengar menanggapi, namun kemudian lenyap oleh bibirnya yang menyapu singkat bibir Michelle.“Ada beberapa pekerjaan penting yang tidak bisa diwakilkan. Aku harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan dan memastikan semua berjalan sesuai dengan harapanku.”Hati Michelle seketika tersadar pada sosok Roland yang bukan dari kalangan biasa seperti dirinya.Sudah lebih dari seminggu Roland merawat, menemani dan tak jauh dari sisi Michelle. Selama itu pula Michelle terbuai dalam kedamaian dan kenyaman yang Roland ciptakan. Sampai Michelle lupa bahwa Roland tak

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 139: Di Pangkuan yang Menggoda

    “Dasar mesum!”Michelle membalas kejam lewat gigitan kecil yang menyakitkan di telinga Roland. Wanita itu tak terpengaruh oleh Roland yang mengerang kesakitan. Sebaliknya, Michelle merasa puas melihat Roland yang meringis sembari menggosok-gosok telinganya yang habis digigit.“Aku sedang serius berbicara, Roland!” Michelle memprotes sampai matanya menyorot tajam. “Apa kau tidak bisa serius sedikit?” lanjutnya menghardik ketus.“Apa aku terlihat tidak serius?” Roland balik memprotes dengan tangan masih menggosok-gosok telinganya yang sakit. “Selama kau mengenalku, apa aku pernah tidak serius?”Michelle terdiam karena perkataan Roland tidak bisa dibantah. Memang benar, sepanjang Michelle mengenal pria itu tak pernah sekalipun ketidakseriusan terjadi. Michelle bahkan mengingat jelas Roland yang selalu konsisten pada ucapannya. Bahkan sekalipun Michelle menganggap hal itu tidak masuk akal, Roland tidak pernah bercanda dalam hidupnya.“A-aku sedang ingin berbicara serius denganmu!” Michell

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   BAB 138: Apa Bisa Bertanggung Jawab?

    Michelle mulai menjalani rutinitas pagi setelah merasakan kondisi tubuh semakin membaik. Sejak kemarin dia sudah mulai menyiapkan sarapan pagi dan membantu Leah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.Padahal Roland sudah bersikeras melarang dan menasihati Michelle agar lebih banyak beristirahat. Tetapi, wanita itu juga bersikeras tak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa melakukan aktivitas seperti itu.Aktivitas paginya hanya sekadar itu. Michelle sudah resmi mengundurkan diri dari firma hukum David. Barang-barang miliknya pun sudah diantar oleh pihak firma sesuai alamat tempat tinggalnya.Pagi itu di ruangan santai yang bersebelahan dengan balkon, Michelle terlihat fokus pada sebuah buku yang dipegang.Dia sampai tidak menyadari kedatangan Roland yang baru saja kembali setelah mengantar Leah ke sekolah. Sampai-sampai Michelle tidak tahu Roland telah duduk di sebelahnya.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Michelle tersentak kaget oleh Roland yang datang tiba-tiba. Wanita itu berings

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 137: Ayah dan Gadis Kecilnya

    “Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 136: Berjanjilah Padaku

    Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar

  • Tuan CEO, Aku Ingin Berpisah!   Bab 135: Bagaimana Jika Tahu? (II)

    Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status