Ruangan senam hamil itu seperti tempat aerobic pada umumnya. Kaca besar melingkari ruang latihan.
Michelle menengok ke pintu mencari sosok Alins yang berjanji menemaninya. Hatinya sedikit merasa rendah diri ketika melihat pesertanya senam lainnya didampingi suami mereka. [Michelle aku akan terlambat karena konsultasi pasienku sedikit mundur jamnya. Aku akan tetap datang menemani. Masuklah lebih dulu mengikuti kelas] Chat yang masuk dari Alins tadi harusnya membuat Michelle tidak terus menunggu tetapi ada rasa sedih ketika wanita cantik itu memulai senam tanpa siapa pun di sisinya. "Baik Untuk para ibu hamil silahkan berdoa berhadapan dengan suaminya. Mulai meregangkan jari dengan saling menggenggam tangan suaminya." Instruktur senam hamil telah memberi instruksi. Setiap dari peserta senam hamil pun telah berdoa berhadapan dengan suaminya untuk memulai senam hamil dengan peregangan jari. Michelle diam beberapa menit mencoba tegar ketika yang lain tersenyum pada pasangan saling mengaitkan jari dan mengikuti instruksi pemanasan. Matanya terpejam mengumpulkan kekuatan hati yang bergetar ingin menangis karena wajah Roland kembali hadir. Michelle membuka matanya dan berusaha tegar menatap ke depan tanpa pasangan. Berhadapan dengan kekosongan, hanya wanita cantik itu peserta senam hamil yang tidak mempunyai pasangan di ruangan itu. Instruktur senam hamil melangkah cepat menuju ke tempat Michelle duduk siap membantu Michelle. "Gerakan berikutnya berhadapan dengan pasangan dan menarik nafas panjang bersama. Kita melatih kekuatan pernafasan kita." Sang instrukstur tersenyum ketika telah duduk di hadapan Michelle. Dia dengan peduli mengarahkan cara menarik nafas dari perut yang benar dan menghembuskan perlahan. "Gerakan selanjutnya, memijat pundak. Pastikan para Nyonya rileks. Perlahan pijat dengan lembut dan bangun bonding antara kalian!" seru sang instruktur menyemangati. Michelle terdiam menunduk, tetapi tidak ada yang memijatnya. Ada rasa sendu yang ia rasakan. Hampir saja Michelle lepas kendali tak dapat menyembunyikan perasaan sedihnya. Mungkin itu adalah hormon kehamilan yang sering dijelaskan oleh Alins. Sehingga perlahan-lahan Michelle berusaha menata perasaannya. Anehnya, wajah pria kejam itu selalu setia berputar di memori ingatan Michelle. Sampai-sampai batinnya merutuk kesal pada keadaannya yang rapuh. "Michelle menunduklah. Aku mau memijatmu!" sebuah suara membuat Michelle mendongak. Michelle setengah terkejut mendapati Alins telah tersenyum lembut dengan perhatian yang nyata di hadapannya. Dengan jas snelli dan tas yang masih di pundaknya, Alins tampak terengah menyapa Michelle. Titik-titik keringat di dahinya menyatakan Alins yang berusaha keras untuk sampai di sisi Michelle. Michelle tersenyum dan Alins dalam hitungan detik telah merapikan tasnya bahkan membuka alas kakinya. Duduk bersila memijat pundak Michelle. Instruktur senam hamil yang tadi mendekat menjadi pasangan Michelle turut tersenyum bahagia. Yang kemudian dibalas dengan senyuman oleh Michelle. Senam hamil berikutnya dan berikutnya tidak menjadi masalah lagi bagi Michelle karena Alins maupun instruktur senam menemaninya hingga sesi senam hamil selesai. Bahkan lewat kesempatan itu Michelle menjalin hubungan pertemanan dengan instruktur senamnya. *** Di tengah-tengah kehamilannya, Michelle masih berusaha produktif. Wanita cantik itu masih tetap menerima pekerjaan yang didapatkan lewat website. Seperti sebelumnya, malam itu Michelle masih berkutat aktif di depan laptop yang menyala. Kesepuluh jemarinya masih bergerak lincah di atas keyboard, sementara mata sangat fokus ke layar. "Ini sudah larut malam.” Segelas susu di depan mata memecahkan fokus Michelle seteleh sebelumnya suara lembut Alins melantun. “Segera habiskan susu ini dan segeralah tidur!” lanjut Alins menekan. Michelle tersenyum lemah. “Terima kasih. Aku akan segera tidur setelah menyelesaikan ini,” ucapnya yang kemudian menengguk segelas susu. "Kenapa kau bekerja begitu keras? Kau tidak boleh lelah dan stres." Danny menyelip masuk ke dalam pembicaraan. Tindakannya itu membuat Michelle beserta Alins tertuju padanya. "Michelle sangat keras kepala. Dia akan mendengarkan kita ketika nanti dia akan melahirkan.” Alins sengaja menyindir dengan wajah masam yang merajuk. Danny terlihat tersenyum melihat istrinya. “Aku ingin memberikan sesuatu padamu, Michelle.” Belum sempat memikirkan maksud ucapan Danny, Michelle telah dikejutkan oleh dua buah kartu yang Danny letakkan di sebelah laptop. “Apa ini?” Michelle kebingungan. "Danny membuatkan asuransi kesehatan untukmu, Michelle. Kami telah membayar lunas tagihannya tahun ini. Sementara kartu satunya adalah kartu ATM dari tabunganku untuk memenuhi kebutuhan bayimu dan yang lainnya,” jelas Alins mewakili suaminya. Michelle terperangah, sementara matanya telah berkaca-kaca menatap Alins dan Danny yang tersenyum lembut. “Aku malu sekali pada kalian. Aku telah menyusahkan kalian. Aku tidak pantas menerima ini semua.”Michelle terdiam dengan tatapan linglung yang kosong. Dia sulit mencerna sempurna beberapa saat pasca tenggelam dalam kenikmatan erotis yang Roland antarkan lewat lumatan bibir.Setelah mengembuskan napas panas lewat celah bibir yang agak ranum, barulah Michelle memahami kabar yang Roland sampaikan.“K-kau ... kau akan kembali ke New York?” Michelle terbata memastikan ulang dalam kesadaran tidak memercayai.Dehemen ringan Roland terdengar menanggapi, namun kemudian lenyap oleh bibirnya yang menyapu singkat bibir Michelle.“Ada beberapa pekerjaan penting yang tidak bisa diwakilkan. Aku harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan dan memastikan semua berjalan sesuai dengan harapanku.”Hati Michelle seketika tersadar pada sosok Roland yang bukan dari kalangan biasa seperti dirinya.Sudah lebih dari seminggu Roland merawat, menemani dan tak jauh dari sisi Michelle. Selama itu pula Michelle terbuai dalam kedamaian dan kenyaman yang Roland ciptakan. Sampai Michelle lupa bahwa Roland tak
“Dasar mesum!”Michelle membalas kejam lewat gigitan kecil yang menyakitkan di telinga Roland. Wanita itu tak terpengaruh oleh Roland yang mengerang kesakitan. Sebaliknya, Michelle merasa puas melihat Roland yang meringis sembari menggosok-gosok telinganya yang habis digigit.“Aku sedang serius berbicara, Roland!” Michelle memprotes sampai matanya menyorot tajam. “Apa kau tidak bisa serius sedikit?” lanjutnya menghardik ketus.“Apa aku terlihat tidak serius?” Roland balik memprotes dengan tangan masih menggosok-gosok telinganya yang sakit. “Selama kau mengenalku, apa aku pernah tidak serius?”Michelle terdiam karena perkataan Roland tidak bisa dibantah. Memang benar, sepanjang Michelle mengenal pria itu tak pernah sekalipun ketidakseriusan terjadi. Michelle bahkan mengingat jelas Roland yang selalu konsisten pada ucapannya. Bahkan sekalipun Michelle menganggap hal itu tidak masuk akal, Roland tidak pernah bercanda dalam hidupnya.“A-aku sedang ingin berbicara serius denganmu!” Michell
Michelle mulai menjalani rutinitas pagi setelah merasakan kondisi tubuh semakin membaik. Sejak kemarin dia sudah mulai menyiapkan sarapan pagi dan membantu Leah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.Padahal Roland sudah bersikeras melarang dan menasihati Michelle agar lebih banyak beristirahat. Tetapi, wanita itu juga bersikeras tak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa melakukan aktivitas seperti itu.Aktivitas paginya hanya sekadar itu. Michelle sudah resmi mengundurkan diri dari firma hukum David. Barang-barang miliknya pun sudah diantar oleh pihak firma sesuai alamat tempat tinggalnya.Pagi itu di ruangan santai yang bersebelahan dengan balkon, Michelle terlihat fokus pada sebuah buku yang dipegang.Dia sampai tidak menyadari kedatangan Roland yang baru saja kembali setelah mengantar Leah ke sekolah. Sampai-sampai Michelle tidak tahu Roland telah duduk di sebelahnya.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Michelle tersentak kaget oleh Roland yang datang tiba-tiba. Wanita itu berings
“Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki
Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar
Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang