“Sudah percaya kalau aku ini datang dari masa depan?” bisik Ratih menatap yakin kepada Deva.“Ini hanya sebuah kebetulan,” dengus Deva.Tidak semudah itu Deva percaya dengan omongan Ratih yang lebih terdengar seperti sedang mendongeng. Ratih tau, jika dia harus berusaha lebih keras lagi membuat Deva percaya kepadanya.“Ayah, nanti setelah pernikahan kami. Deva dan Ratih akan menyelidiki masalah ini, benarkan Deva?” tanya Ratih sekaligus setengah memaksa Deva di depan kedua orang tuanya.“Eh, Iya Ayah, kami berdua akan menyelidikinya. Sekarang, Ayah, Bunda dan Papa lebih baik berhentilah khawatir. Kalau kami sudah turun tangan, maka tidak akan ada yang bisa menghindar,” ucap Deva sambil mengepalkan tangannya.Ratih langsung memutar matanya dan menertawakan Deva sambil menunduk, tidak ingin Deva tau kalau dirinya baru saja mengejek Deva.“Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu. Itu Papa ada bawakan buah-buahan, katanya Mbak Lusi, Ratih suka sekali makan mangga. Sudah, Papa bawakan buat
“Apa yang kamu butuhkan untuk saat ini, Ratih?” tanya Deva dengan lembut. “Di mana liontin milikmu? Aku butuh liontinmu, Deva.” Harapan Ratih semakin besar saat ini. “Entahlah, aku sudah lama tidak meihatnya. Nanti setelah menikah, saat aku mengatur barang-barangku pindah ke kamarmu, akan aku cari sekalian yah,” jawab Deva lagi. Ratih mengangguk, tidak apalah menunggu beberapa hari. “Aku akan membantumu untuk membereskan barang-barangmu,” ucap Ratih. “Kalau begitu sekarang istirahatlah, besok kita masih harus mengurus masalah Yoga Budiman dan masalah barang yang tertutar di gudang papaku.” Deva lalu beranjak dan mengantarkan Ratih sampai di depan kamar. “Selamat malam, Deva.” Ratih lalu masuk dan mengunci kamarnya dari dalam. Suara ketukan pintu berulang membangunkan Ratih dari tidurnya. Tubuhnya terasa cukup lelah pagi ini, ia menarik badan sejenak sambil menguap selebar-lebarnya. “Duh, Deva! Kenapa pagi-pagi sudah mengganggu saja.” Ratih ngedumel sambil membuka pintu kamarnya.
Deva gelagapan mendengar amukan Ratih. “Yah! Siapa suruh! Kamu tidur kok malah nggak pakai dalaman, Uda gitu, baju tidurmu itu macam paranet untuk persemaian tanaman! Bukan hanya kamu yang malu! Aku juga malu tau melihat-!” “ARGH! DEVA HENTIKAN! JANGAN LANJUTKAN LAGI, AKU BISA LOMPAT DARI MOBIL SEKARANG JUGA!” teriak Ratih sambil menutup telinganya dan memejamkan matanya. “Apa kamu gila?! Berhenti berteriak seperti ini. Telingaku sakit mendengarnya.” Deva juga ketularab panik seperti Ratih. “Makanya diamlah, jangan bahas maslah pagi ini! Aku tidak sanggup mendengarnya, aku sangat malu,” ucap Arumi masih dengan nafas yang tersengal. Menyadari jika dirinya membahas lagi maka Ratih akan semakin malu, maka Deva langsung mengunci mulutnya rapat. Ia membawa kendaraan dengan tegang, saat itu juga Deva langsung mengunci pintu Ratih dari tombol yang ada sisinya. Mau bagaimana caranya Ratih membuka, kunci pintu mobil itu tetap tidak akan terbuka. Karena Deva sudah mengunci dengan sidik jari
“Sini aku bantu!” Deva langsung memakaikan sabuk pengamannya Ratih hingga membuat mereka tanpa sadar sudah tidak berjarak lagi.Sekuat apa pun Ratih mencoba untuk menghindar dan bersandar di kursi, lengan sebelah kiri Deva tetap menyentuh tubuhnya. Hingga membuat Ratih gugup hingga nafasnya memburu, sedangkan Deva kembali berdebar saat merasakan hembusan nafas Ratih yang menyapu pipi kirinya.“De-deva?!” pekik Ratih refleks mendorong kepala Deva sampai menempel di dasbor depan.“Kau! Kau gila yah Ratih?! Lepaskan!” Deva juga berteriak sampai suaranya terdengar di luar dan membuat Parlin langsung membuka pintu mobilnya Ratih.“Tuan! Nona! ada apa ini?!” tanya Parlin panik dan langsung menolong Deva.Pelipis kanan Deva terlihat memerah akibat benturan ke dasbor depan mobil. Sedangkan Ratih masih mengatur nafasnya, sangking gugupnya tangan Ratih sampai gemetar.“Sudah, tidak apa Parlin. Kamu kembalilah, kita langsung menuju ke Butik Pesona Kiandra.” Deva lalu merapikan rambutnya yang sud
“Kia, kenapa kamu bertingkah seperti itu di depan calon istriku?” tanya Deva saat masuk ke dalam ruangan koleksi pakaian pengantin pria.“Aku tidak suka sama calon istrimu, terus terang saja aku cemburu. Aku juga mencurigai Ratih, kenapa dia tiba-tiba saja menyetujui perjodohan yang ditolaknya mentah-mentah selama tiga tahun?” dengus Kiandra terus terang.“Dia melakukan hal ini untuk berbakti dengan kedua orang tuanya dan aku rasa dia juga menyukaiku. Mungkin selama ini Ratih hanya tidak sadar saja,” bela Deva.“Sudahlah, aku tidak perduli apa motivasinya menerima perjodohan ini. Yang jelas, aku tidak suka dengan calon istrimu itu. Sudah pendek, judes lagi.” Kiandra terus menjelek-jelekkan Ratih.Dengan lancangnya Kiandra menghampiri Deva lalu membuka kancing kemeja yang menempel di tubuh Deva. “Loh, loh, jangan. Biar aku aja yang buka bajunya kalau udah di ruangan ganti. Kamu pilihkan saja mana yang harus aku coba,” tolak Devara sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Kiandra.
“Bunda?” panggil Ratih menunggu Lusi masuk dari balik pintu kamarnya.“I-ini aku.” Deva masuk perlahan dan menutup pintu kamar Ratih sambil bersandar di pintu.“Ngapain kamu ke sini?! Siapa yang ijinkan kamu masuk ke kamarku? Pakai kunci cadangan yah?! Sini kembalikan! Cepat kembalikan!” amuk Ratih mendekati Deva dan merogo saku kemeja dan saku celana Deva membabi buta.Deva hanya bergeming, membiarkan Ratih melakukan apa yang dia inginkan. Setelah merogo seluruh saku di pakaian dan celana, Ratih tidak menemukan apapun. Ia menjadi semakin berang, Ratih memukuli tubuh Deva.Walau pukulan itu tidak terasa sakit sama sekali, Deva sesekali meringis sampai pada akhirnya Ratih berhenti memukulinya karena lelah.“Pulanglah, aku tidak mau ikut ke rumahmu lagi. Kita bertemu di pelaminan, aku tidak akan memakai baju pengantin dari butik perempuan jalang itu! Aku akan memilih pakaianku sendiri dengan bundaku,” ucap Ratih lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Langkah Deva terdengar me
“Aku akan menyelidikinya. Tadi, juga saat dalam perjalan menuju ke rumahmu ini. Detektif yang baru saja tiba di Adimulya Hotel Medan mengirimkan informasi kalau Yoga Budiman saat ini sedang beristirahat di kamar 208. Persis seperti apa yang kamu katakan kepadaku,”“Benarkan?!” Ratih sejenak melupakan kejadian di butiknya Kiandra.Dirinya mendengar dengan seksama informasi yang diceritakan oleh Deva kepadanya. Keduanya tampak kompak padahal baru beberapa menit yang lalu, Ratih sangat kesal kepada Deva. Tapi, saat Ratih mendengar kalau Yoga berada di hotel dan kamar seperti yang Ratih infokan, perasaannya merasa lega.“Lalu, kini kamu sudah percaya kalau aku datang dari masa depan?” tanya Ratih berharap mendapatkan kepercayaan Deva.Senyuman tipis menjadi jawaban diplomatis Deva untuk Ratih. “Aku ingin percaya, tapi bagiku semuanya masih belum bisa aku terima dengan akal sehatku. Aku membutuhkan sesuatu yang lebih,” akuh Deva.Mendengarnya Ratih sedikit kecewa. “Apakah sesukar itu kamu
Sesampainya di rumah, Deva langsung memerintahkan Parlin untuk membantunya membongkar semua barang-barang ke kamar pengantin yang akan dihuninya beberapa hari ini. Deva ingin memberikan kejutan kepada Ratih setelah acara pernikahan nanti yaitu memberikan liontin pemberian Nadira.Ia tidak lagi perduli alasannya Ratih, tetapi secara tidak sadar Deva hanya ingin melihat Ratih bahagia dan tersenyum. “Bagaimana? Apakah sudah kelihatan kotak kayu kuno yang aku bilang?” tanya Deva dengan keringat yang mulai berjatuhan saat turun tangan untuk membongkar barangnya sendiri.Selama ini, jika Tuan Muda Rahadjo ini memerlukan sesuatu, dia tidak pernah turun tangan sendiri, tinggal bersabda dan semua akan tersedia atau beres. “Tuan, saya tidak menemukan kotak kayu kuno yang Tuan maksud,” lapor Parlin juga penuh keringat di pelipisnya.Deva lalu memberikan gambaran ciri-ciri kotak kayu yang hanya seukuran sepuluh senti meter berbentuk kubus dengan ukiran kayu khas jepara. “Ukirannya seperti gambar