Sepanjang perjalanan Ratih terus berusaha untuk menyusun ingatannya, tanpa terasa sebutir kristal bening menetes begitu saja saat mereka mereka melewati jalanan kebun sawit milik.“Hei, kamu kenapa?” Deva langsung meminggirkan mobil di sebelah kiri jalan.Buru-buru Ratih mengambil tissue dan menyeka air matanya, sambil terus menundukkan wajahnya. Ia terlalu sungkan untuk menunjukkan kesedihannya di depan Deva.Tak tahan melihat istrinya terisak, Deva lantas membuka sabuk pengamannya dan memeluk Ratih dengan posesif. “Aku tau, kamu sedang ketakutan,” bisik Deva.Semakin bergetar bahu Ratih mendengar suara Deva yang berusah menenangkan dirinya. “Sungguh aku sangat takut melihat mereka semua. Mereka yang berada di balik kematian seluruh keluargaku, melihat Ibu Leni saja, seluruh tubuhku langsung lemah. Tolong aku, Deva …,” lirih Ratih tanpa sadar melingkarkan tangan di tubuh suaminya.“Selama aku hidup, tidak akan ku biarkan siapa pun menyakitimu dan juga kedua orangtuamu, Ratih. Percaya
“Yang aku takutkan, justru bapaknya Rangga berada di perusahaan ini atau di Perkebunan ayahmu dengan nama yang berbeda. Apa kamu juga mencurigai kalau Rangga mengetahui aksi penukaran bahan baku ini?” tanya Deva. Bukannya menjawab, Ratih malah terdiam. Pikirannya malayang kemana-mana, jika apa yang dikatakan oleh Atmadeva benar dan ternyata Rangga memang terlibat dengan penukaran karet ini maka selama ini, selama bertahun-tahun ini mereka sudah menargetkan keluarganya untuk dijadikan sebuah ‘proyek’. Sungguh, Ratih tidak habis pikir. Tenggorokannya seketika langsung kering, bahkan untuk menelan ludah pun sudah susah sampai harus membuatnya berdeham dan mencari segelas air putih. Untunglah di sudut ruangan itu ada dispenser yang berdiri dengan gagah sebagai penyelamat dahaga. Ia lalu mengambill gelos kosong dan mengisi airnya hingga penuh, haus membuatnya meneguk seperti manusia di padang pasir yang kehabisan pesediaan air minum selama berhari-hari. “Ada apa denganmu,” tanya Deva se
“Aku sayang sama kamu,” bisik Atmadeva sambil menjeda ciumannya dan membiarkan Ratih mengambil nafas sejenak.Lalu ia kembali merangkul Ratih dan membiarkan Ratih bersandar di dada bidangnya dalam diam. Keduanya sama-sama terdiam dan membiarkan suasana lengang begitu saja. Ratih memejamkan matanya sambil mendengar debaran jantung Deva yang turut membuat darahnya berdesir.“Apa, kamu mau pulang sekarang?” tanya Deva seolah ingin melakukan sesuatu yang menjadi candu baginya.“Iya,” jawab Ratih singkat.Sungguh hebat sepasang pengantin baru ini, walau dalam hitungan bulan mereka menikah tapi dengan mendengar intonasi nada bicara saja, keduanya bisa sama-sama tau makna tersirat yang terkandung di dalamnya.Keduanya lantas segera bertolak dengan membawa dokumen yang akan mereka baca lagi setelah menyelesaikan ‘urusan’ penting mereka di rumah.Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Lala, keduanya langsung masuk ke dalam mobil. Walau mobil ini berjalan dengan kecepatan yang normal tapi seb
“Entah sejak kapan, tapi aku yakin kalau apa yang ku rasakan saat ini bukanlah sebuah kekaguman atau kebutuhanku sebagai seorang pria normal. Jika saja hatiku boleh berbicara saat ini secara langsung, aku yakin dia akan memanggil namamu seperti ini, Ratih … aku jatuh cinta kepadamu,” ungkap Deva.Ratih berusaha mencari celah kebohongan dalam tiap kalimat yang terucap di sorot pandangan Deva. Percuma, ia tidak menemukan apa-apa, Deva berbicara sangat yakin walau nafasnya tersengal tapi tidak ada keraguan dalam dirinya sedikit pun saat menyatakan cintanya.“Bagaimana mungkin?” Ratih juga tidak semudah itu percaya.Walau tidak bisa dipungkiri pengakuan Deva menciptakan sebuah desiran yang tak dapat dijabarkan dengan rangkaian. Ratih menduga kalau Deva pasti akan bungkam, seperti dirinya yang juga akan bungkam jika ada yang bertanya seperti dua kata pertanyaannya tersebut.“Cinta itu datang begitu saja, dia bukan jailangkung yang harus di undang dengan berbagai ritual. Cinta datang tanpa
Walau Deva sedang menikmati lezatnya daging rendang buatan Uda Beni ditemani istri tercinta dan asisten pribadinya. Tapi, dalam hatinya dia tidak pernah berhenti bertanya, di mana sebenarnya mantan kekasih yang telah lancang mencuri liontin peninggalan Nadira.Melihat lahapnya Ratih juga mengunyah nasi rendang sambil sesekali menjilati jemarinya sendiri, hati Deva kembali merasa berbunga. Entahlah, melihat pemandangan sederhana seperti ini dapat menambah kadar cintanya kepada wanita yang dulu sangat kejam menolaknya mentah-mentah.“Aku, mau tambah sekalian mau ngajak Uda Beni ngobrol,” pamit Ratih sambil membawa piring yang tersisa jejak sisa bumbu rendang.“Iya, ajak saja ngobrol di bawa pohon mangga, biasanya Uda Beni suka ngopi di sana,” ucap Deva membiarkan istrinya itu beranjak dari kursi.Bibir Atmadeva kembali tersungging melihat Ratih membungkuk singkat dan menyapa Uda Beni. Kini tatapannya beralih pada asisten pribadinya yang sedang meneguk teh tawar hangat dengan penuh khidm
Sore itu kira-kira hampir habis jam kantor, beberapa tahanan jaksa baru saja tiba di rumah tahanan yang sama dengan rumah tahanan tempat Rangga diamankan. Seorang sipir bernama Beni keluar dan mulai mengabsen satu per satu nama tahanan baru.“Kalian sementara akan diisolasi dulu, setelah dua hari baru akan pindah blok!” tegas Pak Beni.Satu dari lima tahanan tersebu adalah anak buahnya Ikbal yang sengaja membuat keributan di salah satu café milik rekan kerjanya Ikbal. Bos Café yang sudah diatur oleh Ikbal tersebut dengan sengaja melaporkan si pembuat rusuh. Hingga polisi menjemput dan segera memproses berkas perkaranya.Kini tibalah seorang agen rahasia salah satu anak buahnya Ikbal di rumah tahanan tersebut dengan berkas lengkap atau telah dinyatakan P21. Terlihat Pak Beni mulai mengambi selembar kertas, ternyata itu adalah daftar nama tahanan baru beserta kasus pidana yang mengantarkannya ke hotel pordeo ini.Satu-satu nama tahanan itu dipanggil, hingga Pak Beni berteriak dua kali u
“Aku tidak akan berteriak seperti si sipir bodoh itu! Aku akan memperlakukanmu dengan manusiawi asal kau mau melakukan semua perintahku dan menolong semua kebutuhanku.” Jimin kembali membaca tulisan Rangga dan segera saja mengangkat dua jempol tangannya. “Bos, kalau begitu tidur aja sekarang, biar saya pijit. Nanti saya tidur di bawah, in ikan ada tikar,” kata Jimin siap melakukan tugas pertamanya. “Aku belum malam,” jawab Rangga, lalu kembali menepuk jidat, dia lupa kalo kacungnya ini tuli. Akhirnya Rangga kembali menulis dan Jimin tertawa kecil sambil ikutan duduk menunggu jatah makan malam dari tamping bagian dapur yang biasanya mengantarkan makanan ke tiap blok tahanan. Tamping adalah salah seorang tahanan yang berkelakuan paling baik diantara tahanan lainnya dan ditugaskan sebegai salah satu kepala dari tiap divisi bagian kerja yang ada di dalam sel tahanan. Ada tamping untuk binker, ada juga tamping perpustakaan, tamping kamtib dan tamping masjid. Jimin sebenarnya agak heran
Seorang pria dengan wajah yang asing tengah berdiri di depannya. “Permisi, apa Anda Nona Yeni Latifa?” Yeni melihat pria tersebut dari atas sampai ke bawah. Tampaknya ini bukan orang sembarangan, penampilannya terlihat neces, memakai kemeja rapi dengan dasi juga celana kain mahal dan sepatu mengkilat. Ia jadi penasaran, siapa gerangan pria berkitar kepala empat yang cukup tampan di hadapannya ini.“Benar sekali, saya adalah Yeni Latifa. Maaf, Anda siapa dan ada keperluan apa dengan saya?” tanya Yeni masih belum mau mengijinkan pria tersebut untuk masuk bertamu ke rumahnya.“Saya adalah Parlin, asisten pribadinya Tuan Atmadeva Haidar Rahardjo. Bisakah kita berbicara berdua?” tanya Parlin sopan.Mendengar nama Deva, mata Yeni langsung membulat sempurna. Ia menatap Parlin dengan tatapan yang cukup sulit diartikan. Ada sinar binar kebahagiaan di mata Yeni tetapi ada juga sorot kekhawatiran.“A-ada apa? Apa Deva mencari saya?” Yeni masih anteng tetap berdiri di depan tanpa mempersilahkan