Share

6. Suapin, bego!

Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu. 

Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya.

Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan memasak makanan untuk pria itu. Setelah itu, dia akan langsung pamit pulang ,tanpa menunggu Zen menyelesaikan makannya. Ya, sepertinya itu adalah rencana terbaik yang ada di dalam pikirannya sejauh ini.

Dia tidak boleh membiarkan tenaga pria itu pulih sebelum dirinya berhasil kabur dari rumah pria itu nanti. Karena bisa saja Zen menyergapnya setelah kembali bugar. Bisa saja, bukan? Ya, harus seperti itu.

“Eh, kenapa kamu belum makan? Wajah kamu pucat banget, lho. Ayo… kita cari makanan dulu sebelum pulang ke rumah kamu,” ajak Ziana.

“Gue nggak mau makanan lain selain masakan lo! Kalau gue mau, gue udah pesen makanan dari tadi, ketimbang nungguin lo diparkiran sampe gue jamuran,” ketus Zen.

Keras kepala, khas orang kaya. Menghela napasnya berat, Ziana membuka tas hitamnya untuk mencari sepotong roti dan air mineral yang diingatnya masih ada di dalam tas hitamnya sejak kemarin. Dengan cepat, dibukanya roti tersebut, sebelum kemudian diberikannya kepada Zen. Tapi pria itu masih keras kepala, tidak mau menerimanya.

“Kamu harus makan, setidaknya makan roti ini dulu. Asal kamu tau aja, aku masih pengen hidup. Kalau kamu nyetir dalam keadaan lemah dan pucat gini, nggak menutup kemungkin, kita bisa aja kecelakaan. Nggak, aku nggak mau, ya! Dan kalau kamu masih tetap keras kepala, aku nggak bakalan ikut sama kamu. Jangan harap, aku juga bakalan masakin kamu abis ini,” gertak Ziana sok berani sambil menyerahkan sebungkus roti dan air mineral itu kepada Zen.

Padahal jatungnya sudah bergemuruh hebat menantikan respon dari Zen. Bagaimana jika pria itu murka kepadanya yang terkesan mendikte? Ziana pasrah… paling parah dia sebentar lagi dia akan dibanting dan di bunuh di semak-semak belakang sekolah.

Namun di luar dugaan, Ziana malah melihat mata pria itu bergerak liar. Ada kilasan cemas yang sempat ditangkapnya bersarang di mata cokelat keemasan itu. Astaga… apakah Zen setakut itu jika tidak bisa merasakan masakannya? Seenak itu kah masakan yang dibuatnya beberapa hari belakangan ini? Apakah dia sudah bisa mendaftar dalam ajang kompetisi memasak di televise yang jurinya selalu mengeluarkan komentar pedas kepada peserta yang gagal dalam memasak?

Hiih… tidak. Bisa mati berdiri dirinya jika dibentak seperti itu. Dibentak oleh Zen saja, dia sudah syukur masih hidup sampai sekarang, dan jika ditambah dengan ujian ketahan mental di bentak orang lain lagi, Ziana yakin dirinya pasti akan langsung menangis dan meminta pulang di tengah ajang kompetisi. Selanjutnya dia akan viral karena menangis di televisi dan para netizen yang jahat juga akan ikut berkomentar pedas untuknya. Tidak! Jangan sampai hal itu terjadi. Dia masih ingin hidup dengan nyaman di luar sana.

“Ya, sudah. AAA...”

“A…AAA… itu apa, sih?” bingung Ziana. Jujur saja, saat melihat Zen membuka mulutnya, Ziana si gadis yang memiliki mata minimalis itu melongo tidak mengerti.

Apakah Zen, tiba-tiba menjadi gagap dalam sekejap? Tidak mungkin, bukan? Ck, sudah berapa kali dikatakannya, menyelesaikan soal fisika jauh lebih mudah daripada menghadapi tingkah laku sang tuan muda. Jika, Fisika memiliki rumus untuk memecahkan soalnya, maka berbeda dengan Zen. Tidak ada clue apa pun untuk bisa memahami, bagaimana jalan pikiran berandal satu itu. Pikiran orang kaya memang rumit, batin Ziana pusing. Bahkan kepalanya selalu berdenyut nyeri setiap kali berbicara dengan Zen.

“Bodoh, bego, tolol, udik! Suapin gue, keriting!”

“Astaga, Zen kasar banget, sih. Bilang dong dari tadi, kalau mau aku suapin,”

Loading…

“EEEHH? APA? SUAPIN?” pekik Ziana nyaring.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status