Share

5. Kekesalan Zen

Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.

Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.

Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan, iya.

Ck, pacar dari mana, nya? Memangny pacar seperti apa yang akan memperlakukan kekasihnya layaknya seorang budak. Menyuruh ini dan itu. Membuatnya kerepotan setiap hari hanya untuk alasan kekanakan. Membawakan tas, buku, memasak bekal sarapan pagi untuk sang tuan muda, mengerjakan tugas pria itu, yang ternyata satu tingkatan dengannya hanya berbeda kelas.

Hal itu juga lah, yang pernah terlintas dipikaran Ziana, jika Zen satu tingkatan dengannya… kenapa pria itu dan sahabatnya bisa lolos dari masa perbudakan kakak senior yang dikemas dengan nama orientasi siswa? Namun, seakan ditampar oleh kenyataan, dia mulai sadar akan sesuatu. Jawabannya tentu saja hanya satu. Karena seorang Zen Kusuma Diningrat mempunyai kuasa untuk melakukannya.

Dan yang lebih menyebalkannya lagi, setiap bibirnya baru akan mengajukan protes tidak setuju terhadap perlakuan semena-mena Zen. Dengan sekali ancaman, mulutnya akan kembali terkunci rapat, tidak berani membantah sang tuan muda.

Sebuah ancaman yang kerap kali membuat gadis itu merinding ketakutan. Ancaman akan menuntutnya ke pengadilan, jika tidak menuruti perintah dan ancaman lainnya yang terkadang membuat Ziana sangat ingin mencakar wajah yang selalu terkekeh sinis itu.

“Bugh…”

Suara keras benda yang jatuh tepat di atas meja, tempat tangannya bertumpu, sukses membuat Ziana terperanjat kaget. Sugguh… jantungnya terasa mencelos beberapa saat. Ziana juga dapat merasakan nyawanya sempat terbang pada detik pertama setelah kejadian. Dia yakin, jika kejadian seperti ini terus berulang, maka jadwal kematiannya dapat dipastikan lebih cepat daripada yang seharusnya.

Ziana masih terdiam sambil melotot kaget melihat penampakan di depannya. Ada sebuah tas ransel berwarna hitam yang sekarang teronggok cantik di depan wajahnya. Tas yang mulai dikenalinya sebagai milik dari manusia yang selalu membuatnya naik darah.

Tas siapa lagi, jika bukan tas milik si tuan muda. Karena tas bermerek yang kini berada tepat di depan wajahnya ini adalah tas yang akhir-akhir ini selalu dibawanya kemana-mana pada saat mengikuti kemanapun kaki sang tuan muda melangkah selama di lingkungan sekolah.  

Sebuah aktivitas yang sering kali membuat Ziana mendengar bisikan-bisikan iri dari para murid perempuan lain, karena dirinya bisa berdekatan dengan mudah dengan Zen. Padahal, jika mereka menginginkannya, Ziana akan dengan sangat ikhlas memberikan posisinya yang sebagai budak ini, kepada mereka.

Tapi sayangnya, si tuan muda manja yang sekarang tengah menatapnya dengan kesal, hanya menginginkan dirinya sebagai korban kerja paksa, seperti penjajahan zaman dulu. Ck, pria kurang ajar batin Ziana mengumpat.

“Lo bener-bener nggak dengerin omongan gue diparkiran tadi pagi ya, Zian? Ohh… atau sekarang, lo udah berani ngebantah gue, iya? Sekarang lo tinggal pilih, mau gue laporin ke polisi atau lo ganti…”

“Ehh… Nggak, nggak gitu, Zen. Adu… maaf, maafin aku. Aku… aku masih nyatet pelajaran tadi, serius deh! Aku nggak bohong. Hn, jangan laporin aku ke polisi, ya? Please… aku nggak bakalan ngulangin kelasalahan aku lagi, aku janji.” ujar Ziana cepat. Raut wajahnya dibuat semelas mungkin agar Zen mencabut perkataan yang akan menuntutnya atas kejadian tempo hari.

Tidak! Masa mudanya tidak ingin dihabiskannya di dalam penjara karena tidak bertanggung jawab pada saat berkendara. Cita-cita yang di impikannya masih belum tercapai. Walaupun sudah tercapai sekali pun, dirinya tidak berniat untuk menjadi tahanan kriminal.

Ziana menyatukan kedua tangannya membentuk sebuah permintaan maaf dan bibirnya terus berceloteh ribut, tentang tidak akan melakukan melakukan hal itu lagi setelah ini. Keringat dingin juga mulai dirasakan Ziana, dia terlalu takut jika sudah di ancam Zen. Apalagi, tatapan pria itu saat ini terlihat sangat tajam, tepat mengarah ke matanya yang minimalis.

Kening Zen mengerut kesal saat mendengar perkataan Ziana yang terlalu cepat. Terlebih lagi, gadis itu berani memotong kalimat yang belum diselesaikannya tadi. Tapi, wajah ketakutan Ziana nyatanya selalu berhasil menghibur dirinya akhir-akhir ini. Sehingga, kekesalan yang sempat dirasakannya beberapa saat yang lalu menguap dengan cepat.

Walaupun masih dengan mempertahankan wajah datar dan terkesan masih kesal. Percayalah… di dalam hatinya sang tuan muda saat ini, dia sedang tertawa iblis karena telah berhasil menakuti Ziana yang sedang terlihat kalut di depannya.

Mata setajam elang milik Zen memindai ruangan kelas yang ditempati oleh Ziana. Ruangan yang cukup sempit untuk ukuran orang berkelebihan kaya sepertinya. Bahkan di dalam kelas ini hanya terdapat dua buah kipas angin yang tidak akan berfungsi dengan baik, jika semua murid berada dalam ruangan yang sama pada saat belajar.

Berbeda dengan ruangan kelasnya yang hampir dua kali lipat lebih luas daripada kelas ini, kelas mereka juga dilengkapi dengan AC yang akan membuat mereka tetap nyaman di dalam kelas.Ya, walaupun itu semua belum bisa membuatnya betah di dalam kelas. Tapi, setidaknya kelasnya nyaman dan tidak panas.

Apakah seperti ini kelas beasiswa? Ck, miskin sekali. Zen mulai berpikir, nampaknya dia harus memprotes masalah hal ini kepada kepala sekolah nanti. Setidaknya, kelas ini harus dibuat sedikit manusiawi untuk orang elit, sekelas dirinya.

Bagaimana mungkin mereka bisa tetap fokus belajar, di saat suasana kelas terasa sangat panas seperti ini. Bersyukur lah Zen, memiliki kekuasaan, sehingga dia tidak perlu merasakan siksaan dunia ini. Belajar di dalam ruangan sejuk ber-Ac saja tidak membuatnya rajin belajar, apalagi harus duduk berjam-jam di kelas panas ini. Ck, mustahil.

“Zen, maafin aku, ya?”

Terlalu larut dalam lamunanya membuat Zen sedikit terkejut, saat suara Ziana kembali mendayu lembut di telinganya. Sebelum membalas perkataan gadis itu, Zen kembali memasang tampang datar andalannya yang selalu membuat Ziana sedikit ngeri.

“Hn… jangan diulangin lagi, ok? Kalau gue ngomong, dengerin baik-baik! Jangan ngelawan, dosa! Berdiri cepetan, bawaiin tas gue! Capek gue nungguin lo. Tau gini, mending gue samperin aja lo ke kelas dari tadi,” dengusnya kesal. Zen masih tidak terima, mengingat dirinya sudah menunggu Ziana selama kurang lebih setengah jam diparkiran. Pikirnya gadis itu kabur.

Dan yang lebih membuatnya kesal, ternyata Ziana malah sibuk melamun di dalam kelasnya. Jadi dari tadi… dia menunggu orang yang nyawanya tengah melanglang buana, begitu?

Setelah mendengar perkataan Zen yang masih terdengar cukup kesal, dengan patuh Ziana mulai membereskan bukunya yang masih berserakan di atas meja. Memasukkan satu persatu alat tulis, penghapus dan buku-buku kecil yang berisi rumus fisika kesukaannya.

Setelah semuanya terkumpul rapi di dalam tas rajut berwarna hitam miliknya, baru setelahnya dia menggerakkan tubuhnya dengan menggeser kursi yang tadi di dudukinya kebelakang untuk mempermudah langkahnya bergerak keluar.

Ziana berjalan pelan, mengikuti langkah kaki Zen yang terlalu lebar untuk ukuran kakinya yang pendek di depan sana. Sadar akan Ziana yang seolah-olah memperlambat waktunya,

Zen kembali memutar tubuhnya kebelakang dan menatap tajam satu objek yang tengah berjalan seperti keong di depan pintu kelas yang hanya beberapa meter dari kelas gadis itu melamun tadi. Darah di kepalanya terasa semakin mendidih saat melihat gadis itu malah berhenti, saat sadar dirinya tengah menatap tajam.

“Zian… gue lagi nggak ada tenaga buat gendong lo keparkiran sekarang! Jadi, gue mohon dengan sangat, percepat langkah kaki pendek lo sekarang juga! Demi tuhan, Zian… kenapa lo setakut itu sama gue? Gue nggak akan macam-macam sama lo, nggak nafsu gue liat tubuh kurus kerempeng plus rambut keriting lo itu,” ujar Zen berdecak malas. Tenaga hampir habis menghadapi Ziana siang ini. Tubuhnya juga lemas sekali.

“Rambut aku ikal, bukan keriting,”

Lagi… sepertinya jawaban yang diberikan Ziana, bukan jawaban yang diinginkan oleh pria itu. Terlihat dari beberapa kali helaan napas kasar keluar dari bibir sang tuan muda, seolah-olah menahan dirinya dan mencoba mengatur segala emosi yang mungkin sedang bersarang di hatinya.

Gawat! Bagaimana jika Zen memutuskan untuk membunuhnya sekarang juga dengan cara membanting tubuhnya ke tembok? Astaga… Ziana tidak sanggup membayangkannya.

“Jangan debat gue, bisa? Setidaknya jangan sekarang. Demi tuhan, Ziaaan! Gue belum makan seharian ini!” ujar Zen menggelegar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status