Home / Romansa / Tuan Muda Diningrat / 5. Kekesalan Zen

Share

5. Kekesalan Zen

Author: Heenim_Ind
last update Last Updated: 2021-05-21 13:40:36

Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.

Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.

Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan, iya.

Ck, pacar dari mana, nya? Memangny pacar seperti apa yang akan memperlakukan kekasihnya layaknya seorang budak. Menyuruh ini dan itu. Membuatnya kerepotan setiap hari hanya untuk alasan kekanakan. Membawakan tas, buku, memasak bekal sarapan pagi untuk sang tuan muda, mengerjakan tugas pria itu, yang ternyata satu tingkatan dengannya hanya berbeda kelas.

Hal itu juga lah, yang pernah terlintas dipikaran Ziana, jika Zen satu tingkatan dengannya… kenapa pria itu dan sahabatnya bisa lolos dari masa perbudakan kakak senior yang dikemas dengan nama orientasi siswa? Namun, seakan ditampar oleh kenyataan, dia mulai sadar akan sesuatu. Jawabannya tentu saja hanya satu. Karena seorang Zen Kusuma Diningrat mempunyai kuasa untuk melakukannya.

Dan yang lebih menyebalkannya lagi, setiap bibirnya baru akan mengajukan protes tidak setuju terhadap perlakuan semena-mena Zen. Dengan sekali ancaman, mulutnya akan kembali terkunci rapat, tidak berani membantah sang tuan muda.

Sebuah ancaman yang kerap kali membuat gadis itu merinding ketakutan. Ancaman akan menuntutnya ke pengadilan, jika tidak menuruti perintah dan ancaman lainnya yang terkadang membuat Ziana sangat ingin mencakar wajah yang selalu terkekeh sinis itu.

“Bugh…”

Suara keras benda yang jatuh tepat di atas meja, tempat tangannya bertumpu, sukses membuat Ziana terperanjat kaget. Sugguh… jantungnya terasa mencelos beberapa saat. Ziana juga dapat merasakan nyawanya sempat terbang pada detik pertama setelah kejadian. Dia yakin, jika kejadian seperti ini terus berulang, maka jadwal kematiannya dapat dipastikan lebih cepat daripada yang seharusnya.

Ziana masih terdiam sambil melotot kaget melihat penampakan di depannya. Ada sebuah tas ransel berwarna hitam yang sekarang teronggok cantik di depan wajahnya. Tas yang mulai dikenalinya sebagai milik dari manusia yang selalu membuatnya naik darah.

Tas siapa lagi, jika bukan tas milik si tuan muda. Karena tas bermerek yang kini berada tepat di depan wajahnya ini adalah tas yang akhir-akhir ini selalu dibawanya kemana-mana pada saat mengikuti kemanapun kaki sang tuan muda melangkah selama di lingkungan sekolah.  

Sebuah aktivitas yang sering kali membuat Ziana mendengar bisikan-bisikan iri dari para murid perempuan lain, karena dirinya bisa berdekatan dengan mudah dengan Zen. Padahal, jika mereka menginginkannya, Ziana akan dengan sangat ikhlas memberikan posisinya yang sebagai budak ini, kepada mereka.

Tapi sayangnya, si tuan muda manja yang sekarang tengah menatapnya dengan kesal, hanya menginginkan dirinya sebagai korban kerja paksa, seperti penjajahan zaman dulu. Ck, pria kurang ajar batin Ziana mengumpat.

“Lo bener-bener nggak dengerin omongan gue diparkiran tadi pagi ya, Zian? Ohh… atau sekarang, lo udah berani ngebantah gue, iya? Sekarang lo tinggal pilih, mau gue laporin ke polisi atau lo ganti…”

“Ehh… Nggak, nggak gitu, Zen. Adu… maaf, maafin aku. Aku… aku masih nyatet pelajaran tadi, serius deh! Aku nggak bohong. Hn, jangan laporin aku ke polisi, ya? Please… aku nggak bakalan ngulangin kelasalahan aku lagi, aku janji.” ujar Ziana cepat. Raut wajahnya dibuat semelas mungkin agar Zen mencabut perkataan yang akan menuntutnya atas kejadian tempo hari.

Tidak! Masa mudanya tidak ingin dihabiskannya di dalam penjara karena tidak bertanggung jawab pada saat berkendara. Cita-cita yang di impikannya masih belum tercapai. Walaupun sudah tercapai sekali pun, dirinya tidak berniat untuk menjadi tahanan kriminal.

Ziana menyatukan kedua tangannya membentuk sebuah permintaan maaf dan bibirnya terus berceloteh ribut, tentang tidak akan melakukan melakukan hal itu lagi setelah ini. Keringat dingin juga mulai dirasakan Ziana, dia terlalu takut jika sudah di ancam Zen. Apalagi, tatapan pria itu saat ini terlihat sangat tajam, tepat mengarah ke matanya yang minimalis.

Kening Zen mengerut kesal saat mendengar perkataan Ziana yang terlalu cepat. Terlebih lagi, gadis itu berani memotong kalimat yang belum diselesaikannya tadi. Tapi, wajah ketakutan Ziana nyatanya selalu berhasil menghibur dirinya akhir-akhir ini. Sehingga, kekesalan yang sempat dirasakannya beberapa saat yang lalu menguap dengan cepat.

Walaupun masih dengan mempertahankan wajah datar dan terkesan masih kesal. Percayalah… di dalam hatinya sang tuan muda saat ini, dia sedang tertawa iblis karena telah berhasil menakuti Ziana yang sedang terlihat kalut di depannya.

Mata setajam elang milik Zen memindai ruangan kelas yang ditempati oleh Ziana. Ruangan yang cukup sempit untuk ukuran orang berkelebihan kaya sepertinya. Bahkan di dalam kelas ini hanya terdapat dua buah kipas angin yang tidak akan berfungsi dengan baik, jika semua murid berada dalam ruangan yang sama pada saat belajar.

Berbeda dengan ruangan kelasnya yang hampir dua kali lipat lebih luas daripada kelas ini, kelas mereka juga dilengkapi dengan AC yang akan membuat mereka tetap nyaman di dalam kelas.Ya, walaupun itu semua belum bisa membuatnya betah di dalam kelas. Tapi, setidaknya kelasnya nyaman dan tidak panas.

Apakah seperti ini kelas beasiswa? Ck, miskin sekali. Zen mulai berpikir, nampaknya dia harus memprotes masalah hal ini kepada kepala sekolah nanti. Setidaknya, kelas ini harus dibuat sedikit manusiawi untuk orang elit, sekelas dirinya.

Bagaimana mungkin mereka bisa tetap fokus belajar, di saat suasana kelas terasa sangat panas seperti ini. Bersyukur lah Zen, memiliki kekuasaan, sehingga dia tidak perlu merasakan siksaan dunia ini. Belajar di dalam ruangan sejuk ber-Ac saja tidak membuatnya rajin belajar, apalagi harus duduk berjam-jam di kelas panas ini. Ck, mustahil.

“Zen, maafin aku, ya?”

Terlalu larut dalam lamunanya membuat Zen sedikit terkejut, saat suara Ziana kembali mendayu lembut di telinganya. Sebelum membalas perkataan gadis itu, Zen kembali memasang tampang datar andalannya yang selalu membuat Ziana sedikit ngeri.

“Hn… jangan diulangin lagi, ok? Kalau gue ngomong, dengerin baik-baik! Jangan ngelawan, dosa! Berdiri cepetan, bawaiin tas gue! Capek gue nungguin lo. Tau gini, mending gue samperin aja lo ke kelas dari tadi,” dengusnya kesal. Zen masih tidak terima, mengingat dirinya sudah menunggu Ziana selama kurang lebih setengah jam diparkiran. Pikirnya gadis itu kabur.

Dan yang lebih membuatnya kesal, ternyata Ziana malah sibuk melamun di dalam kelasnya. Jadi dari tadi… dia menunggu orang yang nyawanya tengah melanglang buana, begitu?

Setelah mendengar perkataan Zen yang masih terdengar cukup kesal, dengan patuh Ziana mulai membereskan bukunya yang masih berserakan di atas meja. Memasukkan satu persatu alat tulis, penghapus dan buku-buku kecil yang berisi rumus fisika kesukaannya.

Setelah semuanya terkumpul rapi di dalam tas rajut berwarna hitam miliknya, baru setelahnya dia menggerakkan tubuhnya dengan menggeser kursi yang tadi di dudukinya kebelakang untuk mempermudah langkahnya bergerak keluar.

Ziana berjalan pelan, mengikuti langkah kaki Zen yang terlalu lebar untuk ukuran kakinya yang pendek di depan sana. Sadar akan Ziana yang seolah-olah memperlambat waktunya,

Zen kembali memutar tubuhnya kebelakang dan menatap tajam satu objek yang tengah berjalan seperti keong di depan pintu kelas yang hanya beberapa meter dari kelas gadis itu melamun tadi. Darah di kepalanya terasa semakin mendidih saat melihat gadis itu malah berhenti, saat sadar dirinya tengah menatap tajam.

“Zian… gue lagi nggak ada tenaga buat gendong lo keparkiran sekarang! Jadi, gue mohon dengan sangat, percepat langkah kaki pendek lo sekarang juga! Demi tuhan, Zian… kenapa lo setakut itu sama gue? Gue nggak akan macam-macam sama lo, nggak nafsu gue liat tubuh kurus kerempeng plus rambut keriting lo itu,” ujar Zen berdecak malas. Tenaga hampir habis menghadapi Ziana siang ini. Tubuhnya juga lemas sekali.

“Rambut aku ikal, bukan keriting,”

Lagi… sepertinya jawaban yang diberikan Ziana, bukan jawaban yang diinginkan oleh pria itu. Terlihat dari beberapa kali helaan napas kasar keluar dari bibir sang tuan muda, seolah-olah menahan dirinya dan mencoba mengatur segala emosi yang mungkin sedang bersarang di hatinya.

Gawat! Bagaimana jika Zen memutuskan untuk membunuhnya sekarang juga dengan cara membanting tubuhnya ke tembok? Astaga… Ziana tidak sanggup membayangkannya.

“Jangan debat gue, bisa? Setidaknya jangan sekarang. Demi tuhan, Ziaaan! Gue belum makan seharian ini!” ujar Zen menggelegar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Muda Diningrat   22. Zen atau Arka?

    "Kenapa wajah lo kusut terus dari tadi? Kurang disetrika, eh?" decih Zen sebal. Bagaimana tidak, gadis yang ada disampingnya ini terus saja menampilkan wajahnya yang ditekuk sejak ia memaksa untuk pergi bersamanya ke sekolah. Salahnya dimana coba? Bukankah seharusnya Ziana senang diantar jemput olehnya? Heran. Di saat hampir semua gadis disekolah ini ingin sekali berdekatan dengan dirinya, Ziana malah seolah-olah menjaga jarak darinya. Dasar aneh dengus Zen dalam hati. "Bukan urusan lo!" balas Ziana acuh tak acuh. "Hei! Nggak sopan ya, Zian— make lo-gue sama pacar sendiri!" "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Seperti yang pernah kamu bilang hari itu— we are nothing!" tekan Ziana. Ia berusaha menggali kenangan menyakitkan itu lagi. Ia menghela napasnya dalam-dalam menahan sesak yang mulai berdatangan. Ck... Ziana benci menjadi lemah seperti ini. Apalagi itu hanya karen

  • Tuan Muda Diningrat   21. Karena— kau suka padaku

    Hosh...Hosh...Hosh..."Zen tunggu, astaga tuan muda satu itu!" Ziana terus menggerutu sepanjang langkah kakinya mengikuti Zen. Bukan apa-apa langkah kaki panjang Zen dan sahabat-sahabatnya terlalu cepat untuk gadis yang memiliki kaki pendek dan minimalis seperti dirinya.Tapi— apakah Zen peduli? Jawabannya sudah pasti tidak. Pria itu terus mengabaikannya dan hanya berteriak untuk lebih cepat lagi. Karena setalah menunggu Ziana tepat di depan kelas tadi, Zen langsung memberikan tas sekolah untuk dibawakan olehnya. Sama seperti yang sering ia lakukan sebelumnya."Ck... Lamban sekali. Dasar pendek!" dengus Zen ketika akhirnya Ziana berhasil menyamai langkah kaki pria itu. Itu pun karena Zen dan kawanannya sudah terlebih dahulu berhenti di parkiran khusus mobil-mobil mewah. Lebih tepatnya di depan mobil si tuan muda.&nbs

  • Tuan Muda Diningrat   20. Zen mengamuk?

    "Lo udah makan?" Zen bertanya disela-sela kunyahan-nya. Ziana yang sejak tadi fokus menyuapkan Zen makan pun mau tak mau sedikit terlonjak kaget ketika mendapatkan pernyataan yang terkesan tiba-tiba itu. "Gue bertanya, Zian— lo udah makan?" tanya Zen sekali lagi. Kesal juga dengan tingkah Ziana yang terlihat takut-takut saat mata mereka bertatapan. "B—belum." "Kenapa?" balas Zen tajam. "Karena makananku kan kamu ambil—" "Hei! Kau menyalahkanku?" ujar Zen melotot tidak terima ketika disalahkan Ziana. Ya... Walaupun itu merupakan kebenaran tentu saja ia tidak akan mau mengakuinya. Lagipula bukan salahnya, seharusnya gadis itu paham jika status-nya masih lah pembantu Zen. Dan harus menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk makanan. Salah sendiri hanya membawa satu bekal. "Bu—bukan begitu Zen. A—aku tidak menyalakanmu

  • Tuan Muda Diningrat   19. Lo mau gue buang ke semak-semak?

    Tring... Tring... Tring... Bel sekolah berbunyi nyaring hampir di seluruh pelataran sekolah. Riak gembira juga dirasakannya di dalam kelas yang baru saja isi dengan pelajaran matematika. Sebuah mata pelajaran yang terkadang membuat banyak murid sakit kepala dan membencinya. Begitupun dengan Ziana hari ini. Karena biasanya, ia akan bersemangat untuk menyambut mata pelajaran hitung-hitungan itu. Namun kali ini ia tidak begitu aktif dalam jalannya proses belajar mengajar itu. Bahkan gurunya Bu Rani pun terlihat heran melihatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi Ziana tidak mau ambil pusing. Bayang-bayang tentang ucapan Zen sebelum melepaskannya tadi pagi masih terngiang di telinganya sampai saat ini. Dan itu artinya... Ia akan kembali berurusan dengan pria itu. Mau bagaimana lagi. Zen memiliki kuasa dan hak untuk melakukannya. Karena pria itu pasti merasa dirugikan a

  • Tuan Muda Diningrat   18. Pertengkaran dua serigala Alpha

    Pagi ini cuaca bersinar terang. Nyanyian burung di pagi hari membuat bumi seakan bergembira menyambut sang surya. Namun tidak untuk gadis bermata sipit dengan rambut ikal menggantung itu. Ia tidak terlihat begitu semangat di pagi ini. Alasannya masih berpendar pada laki-laki berandalan yang sudah tidak pernah ditemuinya lagi dua hari belakangan. Ziana memutuskan untuk menjauh dari sisi pria itu. Ia takut kehadirannya dihadapan Zen akan membuat masalah baru yang pastinya hanya akan membuatnya ikut malu. Terlebih setelah kalimat menyakitkan yang pernah terlontar dari bibir merah itu. Ziana ragu ia akan tetap bertahan setelah kata penuh penghinaan itu meluncur dengan bebas. Ia sakit hati. Akan tetapi tidak jauh lebih sakit saat Zen pada akhirnya juga memilih untuk menjauh darinya. Tanpa berniat untuk meminta maaf, apalagi menjelaskan kejadian hari itu. Malahan hari demi hari Zen juga semakin dekat dengan gadis berhidung mancung bernama Aura itu. Zian

  • Tuan Muda Diningrat   17. Arkan Si Anak Baru Di SMA Garuda

    Ziana akhirnya berseru lega saat dilihatnya sosok Jeffry di depannya, bukan lagi anak-anak nakal menyebalkan tadi. Yang walaupun sudah membubarkan diri tetap saja menonton gerak-geriknya. Terutama Zen yang masih setia duduk di tempatnya tanpa berniat menolongnya sama sekali. Jika saja Jeffry tidak menolongnya dengan cepat, bisa saja saat ini tubuhnya sudah menyatu dengan tanah alias pingsan. “Aku… mau ngasih ini sama Zen,” Ziana menunjukkan kotak bekal yang tadi disembunyikannya dibelakang tubuhnya ke depan wajah Jeffry yang membuat pria itu terkekeh gemas. Kenapa juga Ziana memperlihatkan apa yang dibawanya tepat di depan wajahnya. Bahkan hampir menyentuh hidung mancungnya. Dengan sisa kekehan yang masih bertahan di bibirnya, Jeff sedikit menjauhkan kotak bekal imut itu dari hidungnya. Melihat hal itu Ziana dengan cepat menarik kotak itu dan menjauhkannya dari wajah Jeff agar tidak menyakiti pria baik itu nanti. “Maaf,” “Zen ada Ziana nih, ka

  • Tuan Muda Diningrat   16. Kegalauan Ziana

    Tidak ada yang berubah dengan hubungan Zen dan Ziana selama hampir setengah semester di SMA Garuda. Ziana masih lah anak beasiswa yang seringkali terkena serangan panik dan Zen masih seorang berandalan yang tidak pernah patuh akan aturan. Ah… mungkin dirinya melupakan sesuatu. Ada yang perubahan kecil. Kedatangan Aura membuat fokus tuan muda itu tidak lagi padanya, bahkan tidak jarang akhir-akhir ini Ziana lebih santai dalam menjalani kehidupan sekolah tanpa bayang-banyak Zen disekitarnya. Karena pria itu sibuk dengan gadis yang bernama Aur-auran itu. Walaupun Aura sangat cantik,dia tidak akan pernah sudi mengakui ular keket itu jauh lebih menarik daripada dirinya sehingga bisa membuat perhatian Zen tercurah sepenuhnya kepada gadis itu. Sebenarnya ini bukan masalah besar, bukan? Bukankah hak asasi seperti ini yang selalu di inginkannya sejak memasuki gerbang sekolah ini dulu? Bebas tanpa gangguan pria menyebalkan itu. Tapi sekarang apa? Ziana malah sepe

  • Tuan Muda Diningrat   15. Zen Sangat... Mempesona

    “Zian, lo mau kemana?” pertanyaan dari suara berat dari belakang tubuhnya sukses membuat langkah gadis itu terhenti untuk mencari tahu siapa yang sudah mengganggu perjalanannya. Padahal dia sudah membayangkan pulau kapuk dikamarnya. Menyebalkan, batinya setelah mengetahui siapa dalangnya. Zen! Tapi dia tidak bisa berkata kasar. “Pulang?” “Kok malah balik nanya ke gue?” “Eh… itu… iya aku mau pulang,” “Gue anter,” “Nggak usah,” “Gue anter!” “Eh… ak…” “Zen… bukannya kamu mau nganterin aku pulang, ya? Kenapa sekarang malah nawarin tumpangan ke orang lain, sih?” Perdebatan absurd diantara sang pentolah SMA Garuda dan gadis beasiswa itu terhenti oleh suara yang terdengar cukup asing ditelinga Ziana. Oh… Dia melupakan keberadaan gadis yang bersama Zen tadi pagi sedang berada di samping pria itu sambil menyorotnya angkuh dengan tangannya dilipatkan di atas dada sambil menatapnya dari atas sampai ke bawah dengan tatapan

  • Tuan Muda Diningrat   14. Ziana Cemburu?

    Suara musik dari lagu milik IU yang berjudul Old Story mengalir dengan lembut di telinganya. Sesekali matanya tertutu, sementara bibir tipisnya ikut menyenandungkan lagu patah hati itu dengan penuh penghayatan, karena makna dari lagunya benar-benar bagus menurutnya.Sebuah lagu mellow yang menceritakan tentang hancurnya perasaan seorang wanita yang ditinggal oleh prianya. Seorang wanita yang masih mengingat masa lalu yang membuatnya kecewa akan sikap pria yang dicintainya yang sangat egois terhadap hubungan mereka.Setelah lagu dari IU berakhir, telinganya kembali dimanjakan dengan lagu lain yang tidak kalah sedih yang semakin membuat perasaannya bercampur aduk.Jika diingat-ingat lagi… kenapa gadis itu, Ziana… memutar lagu sedih ditengah siang bolong di belakang sekolah, dibawah pohon besar yang merupakan tempat favoritnya untuk membaca buku setiap jam istirahat? Padahal dia tidak dalam mode patah hati. Eh… benarkah?Gadis manis berm

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status