Share

Pertemuan

Lii terbangun dari tidur, mentari pagi yang menerobos masuk ke sela ventilasi yang membuat siluet di dinding kamar. Aroma harum kopi yang menguar dari nakas yang berwarna putih di samping tempat tidur, membuatnya ingin segera menikmati. 

 

Lii bangkit dari ranjang king size miliknya, kaki itu turun, tetapi dia masih duduk di tepi ranjang, tangannya meraih pegangan cangkir yang terasa hangat di sela jari. 

 

Lelaki itu mulai menyeruput sedikit demi sedikit kopi hitam nan kental yang tersaji pagi ini. Lii bangkit dari kasur, dia menghampiri meja kerja untuk mengambil kamera digital, karena biasanya di pagi hari dia mengambil foto mentari yang berwarna kuning keemasan, sangat indah. 

 

"Ah, sial! Bukankah kameraku rusak?" Lii kesal. Karena dalam hidupnya, hanya kamera digital yang selalu menemani waktu-waktunya. 

 

Lelaki itu bergegas ke kantor setelah semuanya selesai. Dia melewati meja makan yang penuh dengan hidangan untuk sarapan pagi ini. Tetapi, jangankan sarapan, memegang menu yang ada di meja pun dia enggan. Lii hanya melihat sekilas, setelah itu dia pergi begitu saja. Hampir tiap hari Lii berbuat seperti itu karena merasa sendiri. 

 

"Silakan, Tuan," ujar supir pribadinya. 

 

Lii naik ke mobil, dia tidak selalu diantar oleh supir pribadinya. Hal itu dia lakukan semata-mata demi Li Wei yang terlalu mengkhawatirkan putra sematawayangnya. 

 

Perjalanan berjalan lancar, Lii yang sibuk dengan gadget di tangannya tidak memperhatikan jalanan hari ini, yang ada dalam pikirannya hanya bekerja, bekerja dan bekerja untuk memajukan perusahaan. Karena baginya, uang merupakan segalanya. Apapun yang hendak kita lakukan, akan selalu membutuhkan uang. 

 

Mobil itu terparkir di loby kantor, supir itu membuka pintu kemudian mempersilahkan Tuannya untuk turun dari mobil. Lii berjalan dalam koridor kantor, ucapan selamat pagi terucap dari setiap karyawan dan karyawati yang dia lewati. Lelaki itu kemudian memasuki ruang kerjanya. 

 

Di sisi lain ada Hyun yang sedang mengerjakan semua tugas-tugasnya, termasuk mengantarkan kopi untuk Lii. 

 

"Permisi." Hyun mengetuk pintu ruang kerja Lii sambil membawa secangkir kopi panas dalam nampan. 

 

Lelaki itu kemudian masuk setelah Lii menyuruhnya. Hyun meletakan cangkir berisi kopi itu di meja Lii, lelaki ini melihat Lii yang sedang melihat ponselnya. 

 

Tumben, biasanya yang dia pegang itu kamera, batin Hyun. 

 

Lii mendongak ketika menyadari bahwa Hyun masih berdiri di depan mejanya. "Ngapain kamu masih di situ?"

 

"Em-itu--anu, Tuan--" Hyun begitu khawatir ketika Lii bertanya.

 

Lii mengernyit, wajahnya terlihat heran tetapi dengan gaya datar yang seolah bukan ingin tahu. 

 

"Boleh saya bicara sebentar, Tuan?" izin Hyun dengan sopan. 

 

"Bicara saja," jawab Lii yang masih sibuk dengan ponselnya. 

 

"Saya mau masukkan teman saya bekerja di sini, Tuan. Hanya saja, saya minta waktu yang agak longgar, karena dia sambil kuliah," ujar Hyun walau ragu. 

 

Lii tersenyum kecut, "Memangnya ini perusahaan Nenek Moyangnya?"

 

Hyun terdiam, dia pasrah. Karena ternyata usahanya mungkin saja tidak membuahkan hasil. 

 

"Sudahlah, saya mau kerja, jangan ganggu saya!" tegasnya. 

 

Hyun akhirnya keluar dari ruang kerja Lii, langkahnya gamang menuju pantry. Dia terlalu takut kalau Xiu yang tak lain gadis yang dia sukai akan kecewa. "Maafin aku, Xiu," gumamnya. 

 

Hyun duduk di kursi, seluruh pekerjaannya telah usai dan lelaki ini hanya duduk termenung seorang diri. Batinnya berkecamuk merasa tidak enak. Namun, harus bagaimana lagi? Toh yang mempunyai wewenang itu memang Liiu Yaoshan, dia hanya sekedar bawahannya, bahkan ada di posisi paling bawah. 

 

"Hyun, kamu kenapa?" tanya Shu. 

 

"Lagi bingung, Mbak."

 

"Kenapa?"

 

"Saya sudah menjanjikan pekerjaan pada sahabat saya yang butuh uang tetapi sepertinya tidak bisa."

 

"Loh, lowongan kerja kan masih dibuka, tinggal masukin saja CV nya ke sini, kebetulan yang mengurus penerimaan karyawan baru itu aku."

 

"Beneran, Mbak?" 

 

"Iya. Bawa saja CVnya ke aku. Nanti aku yang atur, tapi lowongan yang paling banyak itu jadi office girl."

 

"Gak papa, Mbak. Hanya saja bisa enggak kerjanya paruh waktu supaya kuliahnya tidak terganggu?"

 

"Gampang, nanti aku yang atur. Tuan Muda sudah mempercayakan hal ini sama aku. Bay the way, sahabatmu kuliah, kenapa kamu enggak, Hyun?"

 

"Belum ada duit," jawabnya singkat sambil tersenyum. 

 

Shu kembali ke ruangannya meninggalkan Hyun yang kini bahagia. Bagaimana tidak, lelaki ini hampir bisa membantu Xiu, secara tidak langsung Xiu akan merasa berhutang budi padanya. Tetapi tidak seperti itu, Hyun tulus membantu sahabatnya walaupun sesungguhnya Hyun bisa saja berbuat picik.

 

*** 

 

Sepulang dari kampus, ponsel butut yang hanya dapat menerima SMS dan telepon milik Xiu bergetar. Gadis itu meraih ponsel kemudian membaca sebuah pesan dari Hyun. 

 

"Siapkan CV untuk melamar pekerjaan, besok kamu ke kantor bawa CV nanti aku bantu untuk bertemu dengan orang yang bertanggung jawab menerima karyawan baru di perusahaan ini."

 

Mata sipit Xiu membulat seolah hendak keluar dari tempatnya, dia tidak menyangka ada tempat yang memberikan kesempatan untuknya bekerja. Hatinya senang, air bening kebahagiaan dari kedua sudut matanya hampir luruh karena terharu mendapatkan kabar baik dari Hyun. 

 

"Oke! Aku akan siapkan segera, makasih, ya, Hyun?" balas Xiu melalui pesan singkat. 

 

"Oke!"

 

Xiu bergegas pulang, gadis ini bergegas memasak selepas dia sampai di rumah, setelah semuanya selesai dia pun langsung merapikan berkas untuk di fotocopy dan mempersiapkannya dalam satu berkas dalam map. 

 

"Uh, selesai juga!" ujar gadis itu yang langsung merobohkan badan letihnya di atas ranjang. 

 

Xiu memandang langit-langit kamar dengan bola mata berbinar, lengkungan bibir itu tersenyum bahagia. Karena yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana cara melunasi hutang ibunya pada Jingmi. Tidak berselang lama, sang ibu pun datang dengan wajah letih yang terlihat. Xiu menghampiri. 

 

"Ma," ucap Xiu dengan menggenggam hangat tangan Lian.

 

"Iya," jawab Lian dengan tatapan teduh pada putrinya. 

 

"Esok aku akan melamar kerja, doakan Xiu agar bisa keterima di sana, ya?" 

 

"Bekerja? Kamu bekerja di mana, Nak? Bagaimana dengan kuliahmu nantinya?"

 

"Itu semua bisa Xiu atur, Ma. Xiu akan bekerja di tempa Hyun bekerja saat ini. Dia yang mau membantuku untuk memasukan lamaran kerjaku. Makanya, doain Xiu, ya, Ma?" ujar putri kecil yang kini telah tumbuh menjadi sosok dewasa. 

 

Lian mengusap rambut Xiu, dia kagum dan terharu pada putrinya. Diusianya yang masih tergolong muda, gadis ini bisa bersikap bijak dalam menyikapi masalah yang memang sangat besar, karena hutang-hutang lian yang semakin menumpuk dari hari ke hari. Sesungguhnya, hutangnya tidak bertambah, yang bertambah itu bunga dari pinjamannya. 

 

Lian memeluk Xiu, dia merasa sedih bercampur bahagia melihat kegigihan dari putrinya untuk membantu melunasi hutang-hutangnya pada Jingmi. 

 

Malam pun tiba, keduanya memutuskan beristirahat untuk menyongsong esok hari dengan aktivitas, semangat dan mungkin masalah baru. Xiu mematikan lampu tidurnya, suasana hening, dingin dan gelap seolah menyelimutinya malam ini. 

 

"Pa, Xiu rindu," gumam Xiu ketika dia hendak memejamkan mata. 

 

Xiu memang sangat dekat pada almarhum ayahnya, gadis itu seolah tidak mau lepas dari dekapan sang ayah semasa hidupnya. Bahkan, ketika meninggal dunia, Xiu tak henti menangis dengan tangan melingkar di perut almarhum yang seolah tidak mengizinkan jasad itu untuk dikebumikan. 

 

Mata terpejam, entah Xiu sadar atau tidak, air mata dari kedua manik mata itu luruh membasahi pipi. Dia terlalu rindu pada sang ayah. 

 

Xiu terbangun oleh alarm jam beker yang berdering pagi itu. Langit masih tampak gelap, gadis itu bersiap-siap membantu Lian memasak untuk sarapan pagi mereka. 

 

"Masak apa, Ma?" tanya Xiu yang baru saja tiba di dapur kecil dan sumpek. 

 

"Goreng telur dadar aja, ya? Stok sayur sudah tidak ada," jawab Lian yang sedang mencuci beras. 

 

"Baiklah, Xiu yang goreng," ucap gadis yang beranjak dewasa. 

 

Begitulah aktivitas pagi hari di rumah Xiu. Kedua wanita tangguh ini tampak kompak walaupun tanpa nakhoda yang memegang kendali kapal untuk bersandar di pelabuhan yang tenang. Terombang-ambing di tengah lautan lepas dan diterjang ombak bertubi-tubi, mereka tetap bersama. 

 

Lian sudah siap untuk berangkat bekerja, begitupun dengan Xiu yang kini mulai merapikan buku-buku yang ada di meja belajarnya dengan kayu yang sudah mulai keropok dimakan hewan. Gadis itu terlihat memasukan buku ke dalam tas dan kembali mengecek perlengkapan CV nya, dia memastikan bahwa semuanya sudah lengkap supaya tidak merepotkan Hyun. 

 

Waktu menunjukkan Jam Enam pagi, Xiu berjalan menuju halte dan dia kembali bertemu dengan Hyun. Kebetulan, jam kampusnya agak siang jadi dia lebih tenang berfokus pada kantor yabg akan menerimanya bekerja. 

 

Xiu dibonceng oleh Hyun, mereka melesat mengurai kemacetan dengan sepeda motor hingga akhirnya mereka telah sampai di kantor tersebut. 

 

Wahh ... gede banget." Xiu merasa takjub ketika melihat bangunan kokoh yang berdiri tegak di tengah pusat kota. Maklum saja, gadis ini jarang sekali jalan-jalan ke pusat kota. Walaupun dia tinggal di kota, tetapi kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Potret kemiskinanlah yang terjadi di lingkungan Xiu. 

 

"Kamu gak mau turun?" tanya Hyun yang lebih dulu turun dari motor. 

 

"Eh, iya," jawabnya dengan pipi yang memerah. 

 

Xiu turun, mereka berdua memasuki kantor yang masih sepi. Staf kantor biasanya datang agak siang, para OB dan OG lah yang datang lebih dulu di kantor.

 

"Kamu duduk dulu di sini, ya? Aku akan beres-beres sebentar," titah Hyun.

 

"Eh, enggak bisa. Aku juga mau bantu, apa yang bisa kukerjakan?" tanya Xiu yang merasa tidak enak hati.

 

"Yakin mau bantu aku?" ujar Hyun sambil menyipitkan mata.

 

Xiu mengangguk. 

 

Kini Hyun dan Xiu berbagi tugas dan mengerjalannya dengan penuh tanggung jawab. Sampai semuanya usai, barulah staf kantor satu persatu datang dan mulai masuk ke ruangannya masing-masing. Meja-meja yang tadinya kosong pun, kini telah terisi oleh penghuninya. Ramai. 

 

"Hai, Hyun?" sapa seorang gadis yang masuk ke pantry, siapa lagi kalau bukan Shu, wanita ini memang langganan pantry pagi hari hanya untuk menyeduh teh hangat yang akan menemaninya bekerja. 

 

"Eh, Mbak," jawab Hyun dengan seulas senyuman. "Xiu, kenalin ini Mbak Shu, dia yang bertugas menerima karyawan baru," ujar Hyun mengenalkan pada sahabatnya. 

 

"Pagi, Mbak, aku Xiu Juan," ucap gadis itu sabil mengulurkan tangan.

 

"Hai Xiu Juan, namaku Zhinshu, panggil Shu saja biar lebih akrab," putusnya dengan seulas senyuman. 

 

Perkenalan mereka berlangsung hangat dengan secangkir teh manis sebagai pelengkap dari kehangatan pagi itu. 

 

Waktu menunjukkan jam delapan kurang, Shu sudah kembali ke ruang kerjanya dan Hyun sedang bertugas mengantarkan kopi ke setiap staf kantor. Sementara Xiu duduk di dekat jendela pantry sambil melihat ke loby parkir. 

 

"Wow, dari setiap mobil yang kuamati, baru kali ini aku melihat mobil mewah. Punya siapa, ya?" Xiu berpikir. Tetapi, sepertinya aku tidak asing dengan mobil ini." 

 

Ketika Xiu sedang asyik berpikir tentang siapa pemilik mobil mewah yang terparkir di loby, Hyun datang membawa nampan kosong. 

 

"Sedang apa kamu?" tanya Hyun membuat Xiu terperanjat. 

 

"Eh, kamu Hyun. Ngagetin aja. Aku lagi liat mobil mewah yang terparkir di loby."

 

"Oh, mobil Tuan Muda," jawab Hyun penuh percaya diri. 

 

"Dari mana kamu tau? Lihat saja tidak."

 

"Ya taulah. Karena mobil dia yang paling mentereng, wajar saja dia merupakan CEO sekaligus anak pemilik dari perusahaan ini."

 

"Oh...." 

 

"Hyun, tolong buatkan kopi untuk Tuan muda," ujar Shu dari arah pintu pantry.

 

"Baik, Mbak. Segera," jawab pemuda itu, sedangkan Shu kembali ke ruangannya. 

 

"Xiu, tolong kamu antarkan kopi ini ke ruangan Tuan muda. Bilang saja kamu office girl baru di sini."

 

"Oh, seperti itu. Baiklah, tapi aku gak tau ruangannya."

 

"Dari sini kamu tinggal lurus saja, ruangan Tuan muda ada di barisan itu. Nanti juga terlihat di pintunya tertulis ruangan CEO." 

 

"Baiklah." 

 

Xiu keluar dengan secangkir kopi yang dia bawa, kakinya melangkah dan matanya dengan teliti mencari tulisan yang telah diberitahu oleh Hyun. Hingga akhirnya dia menemukan tulisan tersebut. 

 

"Ini dia," gumamnya di hadapan pintu yang berdiri kokoh berwarna hitam. Xiu mengetuk pintu, "permisi?"

 

"Masuk!"

 

Tanpa ragu, Xiu masuk ke ruangan itu. Tampak sosok lelaki bertubuh tinggi yang sedang membelakanginya, lelaki itu terlihat melihat ke jalan yang cukup macet, entah dia memperhatikan jalanan pusat kota ataukah melihat mentari pagi yang berwarna keemasan. Indah dan dan hangat. 

 

"Saya bawakan kopi, Tu--" ucap Xiu terhenti ketika lelaki itu membalikkan badannya, Xiu melihat wajah lelaki itu, "Kakak Kamera?" sambung Xiu dengan mata yang membulat.  

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status